Anda di halaman 1dari 16

F44190109_Halomoan_Manalu

Pratamamanalu11@gmail.com

Subject: Tugas03

i
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya pembangunan struktur dan infrastruktur di Indonesia, diiringi dengan


peningkatan kebutuhan material bangunan yang sangat besar. Bata beton menjadi
salah satu alternatif konstruksi bangunan yang berperan penting sebagai penutup atau
perkerasan permukaan tanah. Penggunaan bata beton sudah banyak dijumpai pada
tempat-tempat khusus untuk menahan beban sekunder (secondary force) seperti pada
daerah tikungan, halte, area parkir, tanjakan, pelabuhan, serta untuk perkerasan pada
ruas jalan di kawasan perumahan, jalan setapak, trotoar, halaman kantor, rumah,
kompleks pertokoan dan perkerasan lainnya. Bata beton memiliki kemudahan dalam
pemasangannya, perawatan relatif murah, memenuhi aspek keindahan serta memiliki
daya serap air yang baik. Melalui pemasangan bata beton dengan daya serap air yang
baik dapat menjaga keseimbangan air tanah dan membuat bata beton lebih banyak
diminati (Sembiring dan Saruksuk 2017).
Berkembangnya sektor pembangunan di Indonesia yang menggunakan bata beton
mengakibatkan tingginya kebutuhan semen dan pasir yang akan berpengaruh pada
peningkatan produktifitas semen. Peningkatan produktifitas yang tinggi akan
berdampak pada peningkatan biaya produksi dan eksploitasi alam yang terus menerus.
Produksi semen telah menghasilkan emisi gas CO2 yang cukup besar ke atmosfer.
Menurut International Energy Authority, World Energy Outlook, jumlah karbon
dioksida yang dihasilkan tahun 1995 adalah 23,8 Milyar ton. Angka ini menunjukkan
produksi semen portland menyumbang 7% dari keseluruhan CO2 yang dihasilkan dari
berbagai sumber dan diprediksi akan terus meningkat (Akmalia et al. 2016). Melihat
hal tersebut, maka perlu dicari alternatif bahan pengganti baik sebagai pengikat
maupun pengisi dalam campuran bata beton.
Perkembangan industri keramik di Indonesia yang terus mengalami peningkatan
juga berdampak pada meningkatnya limbah keramik yang timbul. Puslitbang TMB
(2005) menyebutkan bahwa Indonesia mengekspor 122.367.973 m3 batu keramik pada
tahun 2005. Salah satu pusat industri keramik ada di kawasan Gunung Putri, Bogor
menghasilkan limbah keramik sekitar 2-3 m3/minggu/industri. Selain itu, juga terjadi
peningkatan kebutuhan batu bara pada pembangkit tenaga listrik untuk proses
pembakaran. Hal ini akan meningkatkan produksi abu terbang yang pemanfaatnnya
masih sedikit, yaitu sekitar 20 - 30 % (Nurzal dan Taufik 2016). Limbah abu terbang
dapat menyebabkan polusi serta dampak buruk terhadap kesehatan apabila terhirup
dan masuk ke saluran pernapasan.
Limbah keramik dan abu terbang dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengisi
dalam suatu campuran pembuatan bata beton. Penambahan limbah keramik yang
mengandung kapur dapat berfungsi sebagai pendukung abu terbang yang juga
berfungsi sebagai pozolan pengganti semen, namun fungsi utama kapur adalah plastis,
dapat mengeras dan memberikan kekuatan mengikat, menghasilkan daya rekat yang
bagus (Alfiansyah 2017). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh penambahan limbah keramik dan abu terbang
terhadap kuat tekan dan daya serap air bata beton.

1.2 Rumusan
Berdasarkan masalah yang telah dijelaskan pada latar belakang, ada beberapa
rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaruh limbah keramik dan abu terbang terhadap kuat tekan
dan daya serap air pada bata beton ?
2. Berapa banyak limbah keramik dan abu terbang yang optimal dalam
pembuatan bata beton ?
3. Bagaimana keuntungan dari penggunaan limbah keramik dan abu terbang
dalam pembuatan bata beton ?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui pengaruh campuran limbah keramik dan abu terbang terhadap
kuat tekan dan daya serap air bata beton.
2. Mengetahui campuran limbah keramik dan abu terbang yang optimal.
3. Mengetahui perbedaan dan kelebihan bata beton yang diberi campuran
limbah keramik dan abu terbang dengan bata beton normal.
4. menyebabkan polusi kebauan.

1.4 Manfaat
Hasil dari penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah dan praktisi lingkungan untuk:
1. Memberikan informasi tentang pengaruh abu terbang dan limbah keramik terhadap
sifat fisika bata beton yang berupa kuat tekan dan daya serap air.
2. Mengurangi limbah keramik yang ada di lingkungan dan dapat membuat
bata beton yang lebih ramah lingkungan dengan biaya yang relatif lebih
murah.

1.6 Lingkup/Batasan
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini mengambil permasalahan mengenai pengaruh material tambahan
maupun pengganti yang berupa limbah keramik dan abu terbang terhadap sifat fisika
bata beton.
2. Pemeriksaan karakteristik bahan-bahan yang digunakan, komposisi campuran, kuat
tekan dan daya serap air bata beton serta analisis biaya yang dibutuhkan menjadi tolak
ukur dari kinerja bata beton yang dihasilkan.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semen Portland


Semen merupakan bahan perekat yang biasa digunakan dalam kegiatan konstruksi
secara umum seperti pada beton, pasangan bata, dinding precast, bata beton, mortar dan
lain sebagainya. Semen terdiri dari bahan perekat, bitumen dan berbagai macam zat
kapur. Menurut Rahmenia (2013), sejumlah bahan yang mengandung zat kapur, ketika
dicampur menjadi pasta dengan air memiliki sifat kekerasan menuju masa padat dibawah
reaksi kimia dan pengkristalan karena penambahan air. Semen portland penting bagi
struktur teknis untuk bahan penyemenan berfungsi mengikat bagian-bagian beton.
Berdasarkan ASTM (standar pengujian dan bahan Amerika) semen portland
adalah produk dari penghalusan batu klinker, pada dasarnya terdiri dari hidrolik
silikat kalsium yang tidak ada penambahan, selain air dan atau tidak kalsium sulfat
dan telah dibuat untuk pengapuran, kecuali penambahan melebihi 1 % dari bahan
lain. Pembuatan semen portland menggunakan bahan baku utama berupa CaO dari
batuan kapur sebesar 70 % berat, 20 % berat sebagai sumber Silika (SiO2),
Alumina (Al2O) dan bahan aditif yang terdiri dari 1% berat MgO untuk kontrol
komposisi, 1% berat FeO, dan 5 – 10 % berat gypsum CaSO 2H2O untuk mengatur
waktu ikat semen. Reaksi pembentukan C2S, C3S, C3A, C4AF terjadi saat proses
kalsinasi yang berlangsung pada suhu tinggi, yaitu sekitar 1450 oC. Apabila semen
tercampur dengan air, maka akan terjadi proses hidratasi yang menyebabkan
berlangsungnya pengerasan (Nurzal dan Mahmud 2013).
Semen berfungsi untuk merekatkan butir-butir agregat menjadi suatu masa
yang kompak. Semen mengisi sekitar 10 % dari volume beton. Perbedaan susunan
kimia maupun kehalusan butir–butirnya sesuai dengan tujuan pemakaiannya.
3
Bahan dasar penyusun semen terdiri dari bahan-bahan yang terutama mengandung
kapur, silika dan oksida besi (Mustaqim et al. 2016). Menurut SNI 15-7064-2004,
semen portland adalah bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan bersama-sama
terak semen portland dan gips dengan satu atau lebih bahan anorganik, atau hasil
pencampuran antara bubuk semen portland dengan bubuk bahan anorganik lain.
Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi (blastfurnace slag),
pozolan, senyawa silikat, batu kapur, dengan kadar total bahan anorganik 6% - 35
% dari massa semen portland komposit. Menurut Tjokrodimuljo (1996), semen
portland tersusun dari beberapa unsur seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Unsur penyusun semen portland


No Oksida Kadar (%)
1 Kapur (CaO) 60 – 65
2 Silika (SiO2) 17 – 25
3 Alumina (Al2O3) 3–8
4 Besi (Fe2O3) 0.5 – 6
5 Magnesia (MgO) 0.5 – 4
6 Sulfur (SO3) 1–2
7 Potash (Na2O + K2O) 0.5 – 1
Menurut peraturan SNI 15-2049-2004 tentang semen portland, semen
portland dapat diklasifikasikan menjadi 5 jenis sesuai dengan fungsinya, antara
lain yaitu :
1. Semen portland tipe I, yaitu semen portland untuk penggunaan umum
yang tidak memerlukan persyaratan–persyaratan khusus seperti yang di
syaratkan pada jenis–jenis lain.
2. Semen portland tipe II, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya
memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidarsi sedang.
3. Semen portland tipe III, yaitu semen portland yang dalam
penggunaannya menuntut persyaratan kekuatan awal yang tinggi setelah
proses pengikatan terjadi.
4. Semen portland tipe IV, yaitu semen portland yang dalam
penggunaannya menuntut persyaratan panas hidrasi yang tinggi.
5. Semen portland tipe V, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya
menuntut persyaratan sangat tahan terhadap sulfat.

Bata Beton
Bata beton merupakan salah satu perkerasan kaku yang mulai banyak
digunakan dalam konstruksi bangunan. Bata beton menggambarkan material
konstruksi versi modern dari block granit. Bata beton umumnya digunakan untuk
jalan kecil atau jalan kendaraan dan apabila kegunaannya untuk pelayanan yang
banyak, masalah pecahan atau pemulihan permukaan dapat diminimumkan
(Wignall 1999). Bata beton dikenal juga dengan sebutan paving block, concrete
block atau cone block. Bata beton adalah suatu komposisi bahan bangunan yang
dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air
dan agregat dengan atau tanpa bahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata
beton. Bata beton memiliki banyak variasi baik dari segi bentuk, ukuran, warna,
corak dan tekstur permukaan serta kekuatan (Nurzal dan Taufik 2016).
Bata beton mempunyai beberapa keunggulan antara lain pelaksanaannya
mudah sehingga memberikan kesempatan kerja yang luas kepada masyarakat,
pemeliharaannya mudah, perbaikannya tidak memerlukan bahan tambahan yang
banyak karena bata beton merupakan bahan yang dapat dipakai kembali meskipun
telah mengalami pembongkaran, tahan terhadap beban statis, dinamik dan kejut
yang tinggi, cukup fleksibel untuk mengatasi perbedaan penurunan (differential
sattlement) serta mempunyai durabilitas yang baik (Sebayang et al. 2011).
Menurut SNI 03-0691-1996 tentang bata beton (paving block), bata beton
4
adalah suatu komponen bahan bangunan yang dibuat dari bahan campuran semen
portland atau bahan perekat lainnya, air, dan agregat dengan atau tanpa bahan
tambahan lain yang tidak mengurangi mutu bata beton tersebut. Dalam SNI 03-
0691-1996, bata beton harus memenuhi beberapa syarat mutu, yaitu (BSN 1996) :
1. Sifat tampak
Bata beton harus mempunyai permukaan yang rata, tidak terdapat retak dan
cacat, bagian sudut dan rusuknya tidak mudah direpihkan dengan kekuatan jari.
2. Ukuran
Bata beton harus mempunyai ukuran tebal nominal minimum 60 mm dengan
toleransi + 8%.
3. Sifat fisika
Bata beton harus mempunyai sifat-sifat fisika seperti pada Tabel 2.

5
5

Tabel 2 Klasifikasi kelas mutu bata beton


Kuat Tekan Ketahanan aus Penyerapan air
Mutu (MPa) (mm/menit) rata-rata Aplikasi
Rata- Rata- Min maksimum (%)
rata Min rata
A 40 35 0.09 0.103 3 Jalan
B 20 17 0.13 0.149 6 Pelataran parkir
C 15 12.5 0.16 0.184 8 Pejalan kaki
D 10 8.5 0.219 0.251 Taman dan
10 lainnya

6
Sumber : SNI 03-0691-1996 (BSN 1996)

4. Ketahanan terhadap natrium sulfat


Bata beton apabila diuji dengan pengujian ketahanan terhadap natrium sulfat,
tidak boleh cacat dan kehilangan berat yang diperkenankan maksimum 1%.

Abu terbang

Abu terbang merupakan sisa pembakaran batu bara yang berbentuk partikel
halus amorf, dan merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan
bahan mineral karena proses pembakaran. Hasil dari proses pembakaran batubara
pada unit pembangkit uap (boiler) akan terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang
dan bottom ash. Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10 - 20 %
bottom ash, sedang sisanya sekitar 80 - 90 % berupa abu terbang yang ditangkap
dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong
(Barsoum 1997). Abu terbang mengandung 50% - 90% senyawa-senyawa seperti
SiO2, Al2O3, F2O3 dan alkali, sedangkan sisanya adalah fase kristal seperti mulit,
kuarsa dan hematit yang sering tertinggal ketika pembakaran karbon.
Menurut ASTM C.618 (2003), abu terbang didefinisikan sebagai butiran
halus hasil residu pembakaran batubara atau bubuk batubara yang mengandung
sedikit atau tidak mengandung semen, tetapi dalam keadaan halus bereaksi dengan
air dan kapur padam pada suhu normal (240 – 270 oC) menjadi massa yang padat
dan tidak larut dalam air. Berdasarkan jenis batubara yang digunakan, abu terbang
atau abu terbang dibagi atas 3 kelas yaitu abu terbang kelas F dan kelas C serta
kelas N (natural). Abu terbang kelas F dan kelas C adalah hasil residu pembangkit
listrik yang menggunakan bahan bakar batubara. Berdasarkan ASTM C.618
(2003), abu terbang dibagi dalam 3 kategori seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan kimia abu terbang


Kelas Campuran
Senyawa
F C N
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3, min (%) 70 50 70
SO3, max (%) 5 5 4
Moisture content, max (%) 3 3 3
Loss of ignition, max (%) 6 6 10
Alkali, Na2O, max (%) 1.5 1.5 1.5
Sumber : ASTM 2003 Klasifikasi ini mensyaratkan kandungan reaktif total
dari SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 berjumlah lebih dari 70% untuk kelas F dan lebih dari
50% untuk kelas C. Abu bersilika dan abu terbang kelas F adalah material
pozolan, sedangkan abu terbang kelas C merupakan semi-hidraulis. Pemanfaatan
abu terbang sebagai bahan tambah dapat meningkatkan kualitas bata beton
(Boccacini et al. 1995). Keuntungan lain dari abu terbang yang mutunya baik
ialah dapat meningkatkan ketahanan beton terhadap ion sulfat dan juga dapat
menurunkan panas hidrasi semen (Mustain 2006).
Abu terbang kelas F tersedia dalam jumlah terbesar. Secara umum abu
terbang kelas F memiliki kadar kapur yang lebih rendah dibandingkan dengan abu
terbang kelas C. Tingginya kadar CaO menjadikan abu terbang kelas C
mempunyai karakter atau sifat mudah mengeras dengan sendirinya. Abu terbang
kelas F efektif untuk meredam peningkatan panas hidrasi yang terjadi selama
7
masa perawatan beton dan merupakan material yang ideal untuk digunakan pada
campuran beton massa dan campuran kekuatan tinggi. Selain itu, abu terbang
kelas F juga mengandung sulfida, tahan terhadap sulfat sehingga dianjurkan untuk
penggunaan dimana mortar atau beton terpapar ion-ion sulfat seperti di dalam
tanah dan air tanah. Berbeda dengan abu terbang kelas F, abu terbang kelas C
merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam campuran performen,
beton prategang dan situasi yang membutuhkan kekuatan awal yang tinggi serta
terutama digunakan pada stabilisasi tanah karena kelas C tidak membutuhkan
tambahan kapur (Haryanto et al. 2008).
Abu terbang dapat dikatakan sebagai bahan yang termasuk dalam pozolan
buatan karena sifatnya yang pozolanic, yaitu bahan dengan kandungan silika dan
alumunium. Material yang bersifat pozolanic mengandung silika dan alumina
yang dapat digunakan sebagai binder (pengikat). Oleh karena itu, abu terbang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sebagian pemakaian semen, baik
untuk adukan maupun untuk campuran beton (Alfiansyah 2017).

Limbah Keramik

Limbah keramik lantai merupakan salah satu jenis limbah sisa bahan
konstruksi yang tidak digunakan. Pemanfaatan pada limbah tersebut kurang
optimal, sehingga limbah tersebut banyak ditemukan pada lingkungan sekitar,
terutama pada lingkungan industri penghasil keramik lantai. Keramik menjadi
salah satu bahan yang banyak digunakan untuk melapisi lantai atau dinding dalam
suatu konstruksi, serta terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan temperatur yang
tinggi. Menurut Puslitbang TMB (2005), Indonesia telah melakukan ekspor batu
keramik sebanyak 122.367.973 m3 pada tahun 2005. Namun, hingga Agustus
2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data ekspor produk keramik
meningkat menjadi 32,867 ton atau naik 9.43% dibandingkan dengan bulan
sebelumnya yang hanya 30,034 ton. Akan tetapi, BPS mencatat penjualan produk
keramik pada periode Januari - Agustus terbilang stagnan. Ekspor keramik pada 8
bulan pertama tahun ini sebanyak 242,693 ton atau hanya tumbuh senilai 0.17%
dibandingkan dengan periode lalu yang mencapai 242,291 ton.
Dalam setiap proses produksi atau proses pekerjaan konstruksi, selalu
dijumpai hasil produk atau sisa bahan bangunan yang tidak digunakan lagi dan

8
7

dibuang sebagai limbah. Limbah keramik adalah salah satu contoh limbah yang
dihasilkan dari pabrik keramik atau hasil pekerjaan renovasi bangunan. Keramik
terbuat dari tanah liat atau lempung yang mengalami proses pengerasan dengan
pembakaran pada temperatur tinggi (Wicaksono dan Sudjati 2012). Dalam dunia
perindustrian keramik, dikenal dua jenis limbah yang dihasilkan dalam proses
pembuatannya, yaitu limbah cair dan padat. Selama ini, limbah padat hanya
dibuang begitu saja, tanpa dimanfaatkan secara optimal. Analisa XRD
menunjukkan limbah keramik mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang
sangat tinggi yaitu 96 %. Salah satu sifat yang penting dari limbah padat keramik
adalah bila dicampur dengan kapur atau semen dan air, dalam beberapa waktu
pada suhu kamar dapat membentuk massa yang padat dan tidak larut dalam air,
dari sifat inilah limbah padat keramik dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, antara lain untuk campuran pembuatan beton, batako, maupun bata
beton (Subekti 2009).

Agregat

Berdasarkan ASTM C.33 (2002), agregat dapat dibedakan menjadi dua jenis
berdasarkan ukuran butiran. Dalam bidang teknologi beton nilai batas daerah
agregat kasar dan agregat halus adalah 4.75 mm. Agregat dengan butiran yang
lebih kecil dari 4.75 mm disebut dengan agregat halus, sedangkan agregat dengan
butiran yang lebih besar daripada 4.75 mm disebut dengan agregat kasar. Bata
beton merupakan bahan kosntruksi yang terdiri dari campuran semen air dan
agregat sebagai pengisi. Pada bata beton digunakan agregat halus yang dapat
berupa pasir alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan-batuan atau berupa
pasir buatan yang dihasilkan oleh alat-alat pemecah batu (Mustaqim et al. 2016).
Agregat halus atau pasir merupakan butiran mineral keras yang berbentuk hampir
bulat dan tajam, serta sebagian besar berukuran maksimum 4,75 mm (Dep PU
2002). Menurut SNI 03-6820-2002, agregat halus berguna sebagai bahan pengisi
dalam penyusunan bata beton yang dapat menambah kekuatan, meminimalisir
penyusutan, serta mengurangi penggunaan semen (Putri dan Imastuti 2017).
Agregat menjadi komponen penyusun pada bata beton yang tidak ikut
bereaksi dengan semen dan air serta mengisi antara 60% sampai 80% dari total
volume yang ada, sehingga agregat sering disebut juga dengan bahan pengisi.
Agregat harus mempunyai bentuk yang baik (bulat dan mendekati kubus), bersih
dari bahan organik, keras, kuat dan memiliki gradasi ukuran butir yang baik.
Butiran agregat dengan ukuran yang sama (seragam) akan menyebabkan volume
pori yang besar. Sebaliknya, apabila ukuran butiran agregat bervariasi maka
volume pori akan menjadi kecil. Hal ini terjadi karena butiran kecil dapat mengisi
pori diantara butiran yang lebih besar sehigga pori-pori menjadi lebih sedikit,
dengan kata lain agregat tersebut mempunyai kemampatan tinggi (Akmalia et al.
2016).
Berdasarkan sumber dan proses terbentuknya, agregat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu agregat mineral alam dan agregat mineral buatan. Agregat
mineral alam adalah agregat yang langsung digunakan dari alam misalnya pasir
dan kerikil, sedangkan agregat mineral buatan yaitu agregat yang diperoleh dari
hasil penghancuran batu induk, seperti pasir buatan dan batu pecah. Pada
umumnya, dalam pembuatan bata beton digunakan agregat halus yang berupa
pasir alam. Pasir merupakan agregat halus yang terdiri dari butiran–butiran
9
sebesar 0.15– 4.75 mm.

10
8

Pasir dapat terbentuk dan diperoleh dari disintergrasi batuan alam ataupun dengan
memecahnya sendiri. Pasir alam memiliki beberapa jenis seperti pasir galian dan
pasir sungai. Pada daerah tertentu, pasir dapat mengandung mineral–mineral
berat. Namun, umumnya pasir terdiri dari batu–batuan porous dan yang sudah
berkurang kekuatannya akibat pelapukan dan dapat pecah karena gaya–gaya yang
terdapat di dalam sungai (Mulyono 2004).
Berdasarkan SK SNI T-15-1990-03, kekasaran butiran pasir dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu pasir halus, agak halus, agak kasar dan kasar (Dep PU
1990 d). Pasir yang digunakan dalam adukan bahan bangunan harus memenuhi
beberapa syarat yaitu pasir harus terdiri dari butir-butir tajam dan keras, butirnya
harus bersifat kekal, tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% dari berat
kering pasir, tidak boleh mengandung bahan organik terlalu banyak dan
gradasinya harus memenuhi syarat. Persyaratan ini disajikan pada Tabel 4
(Tjokrodimuljo 2007).

Tabel 4 Batas gradasi agregat halus


Lubang Persen bahan butiran yang lewat ayakan
ayakan Pasir kasar Pasir agak kasar Pasir agak halus Pasir halus
(mm) (Zona 1) (Zona 2) (Zona 3) (Zona 4)
10.00 100 100 100 100
4.80 90 – 100 90 – 100 90 – 100 95 – 100
2.40 60 – 95 75 – 100 85 – 100 95 – 100
1.20 30 – 70 55 – 90 75 – 100 90 – 100
0.60 15 – 34 35 – 59 60 – 79 80 – 100
0.30 5 – 20 8 – 30 12 – 40 15 – 50
0.15 0 – 10 0 – 10 0 – 10 0 – 15
Sumber : Dep PU 1990 d

Kuat Tekan dan Daya Serap Air

Kuat Tekan
Pada proses pembuatan bata beton, perlu dilakukan suatu pengujian untuk
menentukan mutu dari bata beton yang dihasilkan, salah satunya yaitu uji kuat
tekan. Kuat tekan yakni kemampuan beton dalam menerima gaya tekan persatuan
luas. Nilai kuat tekan menunjukkan mutu dari suatu struktur, semakin tinggi nilai
kuat tekannya semakin tinggi pula mutu yang didapatkan (Mulyono 2004).
Berdasarkan Peraturan Beton Bertulang Indonesia (Dep PU 1971), kuat tekan
beton dapat berbeda tergantung pada umurnya. Perbandingan kekuatan tekan
beton pada berbagai umur disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan kuat tekan beton pada berbagai umur


Umur beton (hari) Semen portland biasa Semen portland kuat awal tinggi
3 0.40 0.55
7 0.65 0.75
14 0.88 0.90
21 0.95 0.95
28 1.00 1.00
Sumber : Dep PU 1971

11
9

Perkembangan kuat tekan beton umur 28 hari sudah cukup sempurna


sehingga untuk umur selanjutnya peningkatan kuat tekan tersebut sudah tidak
terlalu signifikan (Mulyono 2005). Kuat tekan bata beton merupakan salah satu
parameter kualitas mutu yang harus diperhatikan selain ketahanan aus dan daya
serap air. Kuat tekan bata beton sangat dipengaruhi oleh perbandingan bahan
penyusunnya. Menurut SNI 03-1974-1990 (Dep PU 1990 c), kuat tekan beton
adalah besarnya beban per satuan luas yang menyebabkan benda uji hancur bila
dibebani dengan gaya tekan tertentu yang dihasilkan oleh mesin tekan. Kuat tekan
adalah kemampuan bata beton menahan gaya luar yang datang menekan bata
beton, kuat tekan merupakan sifat mekanis yang utama untuk menentukan mutu
bata beton. Bata beton harus memiliki kuat tekan yang baik karena dipakai untuk
pelapis perkerasan permukaan tanah (Mustaqim et al. 2016). Bata beton memiliki
standar kuat tekan yang harus dipenuhi, sehingga pengujian kuat tekan bata beton
mengacu pada SNI 03-0691-1996 tentang bata beton.

Daya Serap Air


Daya serap air adalah ukuran kemampuan suatu beton berpori (reservoir)
untuk mengalirkan fluida permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya
kemampuan produksi (laju alir) pada sumur-sumur penghasilnya. Hubungan
interbilitas dengan laju alir di suatu sistem media berpori, pertama kali
dikemukakan oleh Darcy, dengan rumus berat basah (A) berat kering (B). Berat
basah (A) merupakan berat bata beton setelah direndam dalam keadaan bersih
selama ± 24 jam, kemudian diangkat dari air dan air sisanya dibiarkan menetes ±
1 menit, lalu bata beton diseka permukaan dengan kain untuk menghilangkan
kelebihan air masih tertinggal. Berat kering (B) yaitu berat bata beton setelah
dikeringkan dalam dapur pengeringan pada suhu ± 105°C sampai beratnya 2 kali
penimbangan tidak berselisih lebih dari 0.2% dari penimbangan yang terdahulu
(B). Selisih penimbangan (A) dan (B) adalah jumlah penyerapan air dan harus
dihitung berdasarkan persen berat (Nurzal dan Mahmud 2013).
Secara umum, daya serap air merupakan persentase perbandingan antara
selisih berat basah dengan berat kering, sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam SNI 03-0691-1996 tentang bata beton (BSN 1996). Faktor air semen dalam
pembuatan bata beton dapat mempengaruhi besarnya pori. Hal ini dapat terjadi
karena makin banyak air tersisa yang tidak digunakan untuk proses hidrasi semen
akan memberikan pori-pori yang besar sehingga bata beton akan porous dan akan
sangat mudah dilalui air (daya serap air tinggi / permeable). Menurut Chan (2000)
kadar air dan densification dari proporsi campuran akan menjadi faktor yang
mengatur permeabilitas. Selain itu, proses pembuatan serta bahan yang digunakan
dalam pembuatan bata beton dapat mempengaruhi daya serap air / permeabilitas
bata beton.

DAFTAR PUSTAKA

12
Akmalia R, Olivia M, Kamaldi A. 2016. Kuat tekan dan sorptivity beton dengan
kulit kerang (Anadara granosa). Jom FTEKNIK. 3 (2) : 1-14.

Alfiansyah A. 2017. Pengaruh kapur terhadap kuat tekan dan permeabilitas


paving block geopolymer berbahan dasar abu terbang dan lumpur lapindo.
Rekayasa Teknik Sipil. 1 (1) : 412-423.
[ASTM] American Standard Testing and Material. 2002. Standard for Concrete
Aggregates ASTM-C33-03-2002. Amerika Serikat (US) : American
Standard Testing and Material.

[ASTM] American Standard Testing and Material. 2003. Standard Spesification


for Fly Ash and Raw or Calcinated Natural Pozzolan for Use as a Mineral
Admixture in Portland Cement Concrete ASTM-C618-03-2003. Amerika
Serikat (US) : American Standard Testing and Material.

Barsoum M. 1997. Fundamentals of Cheramics. New York (US) : The Mc Graw


Hill Companies.

Boccacini AR, Kopf M, Stumfe W. 1995. Glass-ceramics from filter dust from
waste incinerators. Journal Ceramics International. 21 (4) : 231-235.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Tabel Ekspor Menurut Komoditi Tahun 2017.
https://www.bps.go.id/all_newtemplate.php [diakses tanggal 26 Maret 2018].
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1996. Bata Beton (Paving Block) SNI 03-
0691-1996. Jakarta (ID) : Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Semen Portland SNI 15-2049-2004.
Jakarta (ID) : Badan Standardisasi Nasional.
Chan WWJ, Wu CML. 2000. Durability of concrete with high cement replacement.
Cement and Concrete Research. 30 (6) : 865–879.

[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1971. Peraturan Beton Bertulang


Indonesia 1971. Bandung (ID) : Yayasan LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1990 a. Metode Pengujian Tentang
Analisis Saringan Agregat Halus dan Kasar SNI 03-1968-1990. Jakarta (ID)
: Yayasan LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1990 b. Metode Pengujian Kadar
Agregat SNI 03-1971-1990. Jakarta (ID) : Yayasan LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1990 c. Metode Pengujian Kuat Tekan
Beton SNI 03-1974-1990. Jakarta (ID) : Yayasan LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1990.d. Tata Cara Pembuatan Rencana
Campuran Beton Normal SK SNI T-15-1990-03. Bandung (ID) : Yayasan
LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1991. Spesifikasi Abu Terbang Sebagai
Bahan Tambahan Untuk Campuran Beton SNI 03-2460-1991. Jakarta (ID) :
Yayasan LPMB.
[Dep PU] Departemen Pekerjaan Umum. 2002. Spesifikasi Agregat Halus Untuk
Pekerjaan Adukan dan Plesteran dengan Bahan Dasar Semen SNI 03-6820-
2002. Jakarta (ID) : Yayasan LPMB.
Desharyanto D, Fansuri S. 2017. Pengaruh komposisi campuran terhadap kuat
tekan paving block. “MITSU” Media Informasi Teknik Sipil UNIJA. 5 (1) :
1

– 6.
13
27

Fitriana R, Anjarwati S, Azizi A. 2016. Pengaruh penggantian sebagian semen


dengan fly ash dan kapur terhadap kuat tekan paving block. Prosiding
Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 4 2016. Purwekerto (ID) :
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. 612-616.

Haryanto Y, Sudibyo GH, Fatkhurrozak. 2008. Abu terbang (fly ash) sebagai
bahan tambah untuk meningkatkan kuat tekan bata beton (paving block).
Dinamika Rekayasa. 4 (2) : 65-76.

Hasbi M. 2012. Pengaruh agregat terhadap mutu beton. Majalah Ilmiah Unimus.
3 (10) : 135-150.

Mulyati, Maliar S. 2015. Pengaruh penggunaan fly ash sebagai pengganti agregat
terhadap kuat tekan paving block. Jurnal Momentum. 17 (1) : 42-49.

Mulyono T. 2004. Teknologi Beton. Yogyakarta (ID) :


Andi. Mulyono T. 2005. Teknologi Beton. Yogyakarta (ID)
: Andi.

Mustaqim MI, Marliansyah J, Rahmi A. 2016. Pengaruh penambahan limbah abu


tempurung kelapa terhadap kuat tekan paving block. Jurnal Teknik Sipil
UPP. 3 (1) : 1-9.

Mustain. 2006. Uji kuat tekan dan seraopan air pada bata beton berlubang dengan
bahan ikat kapur dan abu layang [skripsi]. Semarang (ID) : Universitas
Negeri Semarang.
Nurzal, Mahmud J. 2013. Pengaruh komposisi fly ash terhadap daya serap air
pada pembuatan paving block. Jurnal Teknik Mesin. 3 (2) : 41-48.

Nurzal, Taufik. 2016. Pengaruh lama pengeringan paving block dengan


penambahan 5% fly ash terhadap kuat tekan (binder air mineral). Jurnal
Teknik Mesin Institut Teknologi Padang. 6 (1) : 43-49.

[Puslitbang TMB] Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral


dan Batubara. 2015. Statistik Keramik.
http://www.tekmira.esdm.go.id/ data/komoditiStatistik.asp?
xdir=Keramik&commId=23&comm=Keramik [di akses tanggal 21 Agustus
1
2017].
Putri AZ, Imastuti. 2017. Pengaruh penambahan pecahan keramik pada pembuatan
paving block ditinjau dari nilai kuat tekan. G-SMART. 1 (1) : 23-32.

Rahmenia A. 2013. Kekuatan paving block dengan berbagai kandungan limbah


pengolahan lumpur pengeboran sumur minyak [skripsi]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
Respati SMB, Soenoko R, Irawan YS, Suprapto W. 2015. Pengaruh persentase
zeolit alam terhadap shrinkage matrik alumina zeolit alam keramik
komposit. Prosiding SNST ke-5 Tahun 2014. Semarang (ID) : Universitas
Wahid Hasyim. 90-94.

Sebayang S, Diana IW, Purba A. 2011. Perbandingan mutu paving block produksi
manual dengan produksi masinal. Jurnal Rekayasa. 15 (2) : 139-150.

Sembiring AC, Sarusuk JJ. 2017. Uji kuat tekan dan serapan air pada paving
block dengan bahan pasir kasar, batu kacang dan pasir halus. Jurnal Ilmiah
Teknik Industri Prima. 1 (1) : 32-39.

Subekti S. 2009. Limbah padat keramik sebagai bahan campuran batako ditinjau
terhadap kuat tekan. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Prasarana Wilayah 2009. Surabaya (ID) : Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. 529-534.

Sukirman S. 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta (ID) : Yayasan Obor
Indonesia.

Aatamila, M. et al., 2011. Odour annoyance and physical symptoms among residents living
near waste treatment centres. Journal of Environmental Research, 111(1), pp. 164-170.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara ambien – Bagian 1: Cara uji kadar amonia
(NH3) dengan metoda indofenol menggunakan spektrofotometer, SNI 19-7119.1-2005.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2007. Udara ambien – Bagian 11: Cara uji kadar
hidrogen sulfida (NH3) udara ambien dengan metode biru etilen secara spektrofotometri,
RSNI3.7119.11:2007. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Cabanac, M. & Cabanac, M., 2011. Hedonicity and Memory of Odors. Journal of
Psychological Studies, 3(2), pp. 178-185.
Capelli, L., Sironi, S., Rosso, D. & Guillot, J., 2013. odours in the environment vs. dispersion
modelling: A review. Journal of Atmospheric Environment, 79(1), pp. 731-743.
Freeman, T. & Cudmore, R., 2002. Review of Odour Management in New Zealand, Air
Quality Tecnical Report No.24, New Zealand Ministry. Wellington, New Zealand., New
Zealand Ministry.

2
Henshaw, P., Nicell, J. & Sikdar, A., 2006. Parameters for the assessment of odour impacts
on communities. Journal of Atmospheric Environment, 40(1), pp. 1016-1029.
Keller, A. et al., 2007. Genetic variation in a human odorant receptor alters odour perception.
Nature, 449(1), pp. 468-472.
[Kemen LH] Kementrian Lingkungan Hidup. 1996. Baku Tingkat Kebauan, Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kep-50/MENLH/11/1996. Jakarta (ID): KemenLH
Laing, D. & Francis, G., 1989. The capacity of humans to identify odors in mixtures. Physiol,
4(6), pp. 809-814.
McGinley, A. & McGinley, C., 2001. The new European olfactometry standard:
Implementation, experience and perspectives. Stillwater, St. Croix Sensory Inc..
Sakawi, Z. & Lukman, I., 2015. Managing odour pollution from livestock sources in
Malaysia. Malaysian Journal of Society and Space, 11(13), pp. 96-103.
[PPRI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Pengendalian Pencemaran Udara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999.
Sakawi, Z. & Mastura SSA, J. O. M. M., 2011a. An analysis of odour concentration using
Odour Concentration Meter XP-329 at landfill vicinity. Research Journal of Applied
Sciences, 6(5), pp. 324-329.
Sakawi, Z., Mastura, S., Jaafar, O. & Mahmud, M., 2011b. Community perception of odour
pollution from the landfill. Journal of Environmental and Earth Sciences, 3(2), pp. 143-
146.
Yuwono, A. S., 2008. Kuantifikasi Bau dan Polusi Bau di Indonesia. Purifikasi, 9(2), pp.
175-186.
Yuwono AS, Schulze LP. 2004. Performance test of a sensor array – based odour detection
instrument. Agricultural Engineering International: The CIGR Journal of Scientific
Research and Development. Manuscript Number BC 03 009. May, 2004.

Anda mungkin juga menyukai