Anda di halaman 1dari 25

BAHAN LEARNING LOSS

https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/27/150334571/setahun-pembelajaran-daring-
benarkah-terjadi-learning-loss?page=all

Setahun Pembelajaran Daring, Benarkah Terjadi "Learning Loss"? Kompas.com - 27/03/2021,


15:03 WIB BAGIKAN: Komentar1 Lihat Foto Pandemi corona mendorong pemerintah
memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring(Getty Images) Editor Yohanes
Enggar Harususilo Oleh: Mahir Martin | Guru SMAN Banua Banjarmasin, Kalsel
KOMPAS.com - "Sulit Pak, selama daring saya tidak memahami kompetensi siswa," gumam
seorang kawan yang sama-sama berprofesi guru kepada saya tempo hari. Ini hanyalah gambaran
singkat bagaimana perasaan seorang guru saat ini. Banyak guru yang merasa skeptis tentang
pembelajaran daring. Banyak guru yang beranggapan pembelajaran daring memiliki risiko
"learning loss" yang besar pada generasi. Di sisi lain, selama pandemi berlangsung, banyak
orang tua yang akhirnya tidak mendaftarkan anaknya untuk sekolah, terutama anak-anak yang
ada pada masa usia dini. Padahal pada usia dini, tumbuh kembang anak perlu sangat
diperhatikan. Hal ini juga bisa menjadi pemicu awal terjadinya learning loss pada generasi. Baca
juga: PJJ Berkepanjangan, Pengamat Pendidikan UGM Khawatirkan Learning Loss Risiko
"Learning Loss" Risiko learning loss memang sudah diprediksi akan terjadi dari mulai awal
terjadinya penutupan sekolah di seluruh dunia karena pandemi Covid-19. Berdasarkan laporan
tentang framework pembukaan kembali sekolah yang dikeluarkan bersama oleh UNESCO,
UNICEF, World Bank, dan WFP pada bulan April 2020, dikatakan penutupan sekolah secara
global sebagai tanggapan terhadap pandemi menghadirkan risiko merusak pendidikan,
perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak (UNESCO et al, 2020). Selain itu, Michelle
Kaffenberger, akademisi dari Blavatnik School of Government, University of Oxford,
memprediksi anak-anak bisa kehilangan pembelajaran selama lebih dari satu tahun menyusul
penutupan sekolah selama tiga bulan karena tertinggal pelajaran ketika sekolah kembali dibuka
(Kaffenberger, 2020). Pada studi yang lain diperkirakan bahwa antara 7 dan 9,7 juta anak akan
putus sekolah sekolah karena dampak ekonomi dari pandemi (Wagner dan Warren, 2020). Dari
sisi sejarah, problematika learning loss ini sebenarnya sudah terbukti ada dari pengalaman yang
terjadi di masa lalu. Berdasarkan penelitian berbasis pada pandemi polio tahun 1916 telah
ditemukan bahwa penutupan sekolah dapat memiliki dampak negatif jangka panjang pada hasil
pendidikan anak-anak, seperti berkurangnya pencapaian sekolah dan keterampilan kognitif atas
mereka, selama seumur hidupnya (Meyers dan Thomasson, 2017). Siswa rentan di masa PJJ
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada itu, kita memahami bahwa learning loss adalah
sebuah keniscayaan. Siswa yang lebih rentan mengalami learning loss adalah siswa yang tidak
memiliki akses yang maksimal untuk melakukan pembelajaran daring. Misalnya, siswa yang
berada di pedesaan atau daerah pedalaman dimana akses internet sulit didapatkan. Jika pun ada
akses internet, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala bagi siswa mengikuti
pembelajaran. Misalnya keterbatasan kuota internet, atau tidak adanya perangkat elektronik
untuk mengakses internet. Faktor orangtua juga memiliki dampak yang signifikan pada
terjadinya learning loss. Bagi orangtua yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau orangtua
yang tidak memahami pembelajaran daring, ada anggapan bahwa pembelajaran daring itu
sebenarnya tidak ada atau mengada-ada. Bagi mereka, tanpa adanya tatap muka, peran sekolah
bisa dikatakan tidak ada dalam pembelajaran. Kini, seolah-olah sekolah memasuki masa libur
berkepanjangan. Dengan pemikiran orangtua seperti ini yang paling rentan terkena dampaknya
adalah siswa putri. Ada orangtua yang akhirnya memutuskan untuk menikahkan dini putrinya
dalam rangka mengurangi beban keluarga. Selain itu, orangtua yang memiliki kendala ekonomi
terkadang juga menjadi problematika. Alih-alih mendukung anaknya untuk belajar daring,
mereka justru terpaksa memanfaatkan anaknya untuk bekerja membantu keuangan orangtua
untuk memenuhi kebutuhan keluarga di tengah krisis pandemi. Baca juga: PJJ Berlangsung 10
Bulan, Siswa Berpotensi Alami Learning Loss Meminimalisir risiko Berdasarkan laporan
penelitian-penelitian tersebut risiko learning loss memang sangat besar terjadi di masa pandemi.
Namun, hal ini tidak seharusnya membuat kita berpangku tangan dan berdiam diri. Banyak hal
yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini, apalagi dengan kemajuan era teknologi digital
saat ini. Bagi yang tinggal di perkotaan atau di daerah yang relatif lebih mapan, learning loss bisa
saja diminimalisir dengan membuat program pembelajaran dalam jaringan (daring) yang lebih
maksimal, efisien dan efektif. Penggunaan berbagai macam platform pendidikan online bisa
menjadi alternatif jalan yang sangat membantu pembelajaran siswa di masa pandemi sehingga
siswa tidak terlalu tertinggal dalam belajar. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang sangat
penting. Hal ini bisa kita jelaskan dengan analogi guru sebagai seorang koki. Seorang koki harus
bisa meramu resep masakan sehingga bisa menghasilkan masakan yang lezat rasanya. Jika
rasanya lezat, orang yang memakannya pasti akan ketagihan, ingin makan lagi setelah
mencicipinya. Koki pun akan merasa senang dan semangat untuk membuat resep-resep lain yang
berbeda. Begitu halnya guru, jika guru mampu meramu pembelajaran daring dengan baik, guru
akan merasa senang dan tak sabar untuk memulai pembelajaran. Sementara siswa akan
menantikan pembelajaran dengan rasa penuh penasaran. Penasaran akan hal baru apa yang akan
dilakukan gurunya di pembelajaran. Jika tidak seperti ini, pembelajaran daring bisa menjadi
sangat membosankan, apalagi tanpa adanya kreativitas dari guru dalam menyampaikan
pembelajarannya. Sejatinya guru harus mampu menuangkan ide-ide kreatif dan inovatifnya
menjadi sebuah proses pembelajaran yang baik sehingga siswa tertarik dan akan tetap semangat
mengikuti pembelajaran daring. Selain guru, kurikulum juga harus dibuat lebih fleksibel dengan
menentukan standar minimum pencapaian. Standar pencapaian ketuntasan kurikulum sebelum
masa pandemi harus ditinjau ulang. Materi pelajaran yang tidak begitu perlu bisa dihapuskan,
yang terlalu panjangan harus dimodifikasi menjadi lebih singkat, dan yang terlalu dalam harus
lebih disederhanakan. Meskipun hal ini terlihat tidak maksimal, setidaknya hal ini bisa
meminimalisir terjadinya learning loss pada siswa. Baca juga: PJJ Berkepanjangan, Pengamat
Pendidikan UGM Khawatirkan Learning Loss Tidak hanya soal akademik Sebenarnya, learning
loss tidak melulu berkutat tentang persoalan akademik, ada dimensi pendidikan karakter juga di
dalamnya. Dalam pemaparan panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun
ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19 pada tanggal 20 November
2020, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menegaskan hilangnya pembelajaran secara
berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang, baik kognitif maupun
perkembangan karakter. Jika mau jujur, pembahasan hilangnya pembelajaran karakter
semestinya lebih bisa dikedepankan. Sebenarnya, degradasi moral dan penurunan akhlak sudah
terjadi jauh sebelum pandemi ini ada. Sejak dunia memasuki era millenial dan revolusi industri
4.0, kemajuan teknologi, selain memiliki dampak positif, ada juga dampak negatif yang yang
sangat signifikan pada pendidikan karakter di sekolah. Hal ini yang menyebabkan para ahli
pendidikan merasa perlu mengedepankan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter
yang mengedepankan nilai-nilai inti yang bersifat universal. Sebenarnya, andai saja penguatan
pendidikan karakter bisa berjalan dengan baik sebelum datangnya pandemi, potensi loss
learning, baik di pedesaan atau di perkotaan, otomatis bisa diminimalisir. Siswa yang berkarakter
akan memiliki motivasi belajar yang tinggi pada kondisi apapun. Ada atau tidak ada krisis, siswa
yang berkarakter akan bisa tetap bisa belajar dengan caranya sendiri. Sejatinya, banyak cara
belajar yang bisa dilakukan tanpa harus tergantung dengan formalitas pendidikan di sekolah. Hal
ini membutuhkan motivasi yang tinggi bagi siswa untuk mengeksplor semua potensi belajar dari
lingkungan yang ada di sekitarnya. Penguatan pendidikan karakter inilah yang telah terlupakan
selama ini karena kita terlalu fokus memikirkan kompetensi kognitif siswa. Bahkan di masa
krisis pandemi seperti saat ini, kita masih saja terjebak ke dalam pola pikir yang sama. Akhirnya,
kita sendiri yang kerepotan menghadapi ancaman learning loss yang bisa sangat merugikan
dampaknya bagi kemanusiaan. Alhasil, setelah hampir satu tahun pembelajaran daring dilakukan
pastinya banyak sudah learning loss yang kita rasakan, baik secara kognitif maupun
pengembangan karakter. Mengedepankan pendidikan karakter yang bisa membuat siswa
memiliki motivasi belajar dari dalam dirinya sendiri menjadi hal yang perlu kita lakukan sebagai
sebuah alternatif solusi agar learning loss tidak terlalu berdampak buruk. Meskipun guru tak bisa
maksimal memberikan pelajaran, peran orang tua menanamkan pendidikan karakter sejak usia
dini menjadi kunci penting pemecahan learning loss yang mungkin terjadi pada siswa di masa
krisis seperti sekarang ini.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setahun Pembelajaran Daring, Benarkah
Terjadi "Learning Loss"?", Klik untuk
baca: https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/27/150334571/setahun-pembelajaran-daring-
benarkah-terjadi-learning-loss?page=all.

Editor : Yohanes Enggar Harususilo

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

https://www.its.ac.id/news/2021/10/04/learning-loss-akibat-pembelajaran-jarak-jauh/
Learning Loss Akibat Pembelajaran Jarak Jauh?
Oleh : itsojt | 
 4.715
 | Source : ITS Online
Potret pendidikan jarak jauh di masa pandemi yang dikhawatirkan menimbulkan learning loss pada siswa
(Sumber: Detik News)

Kampus ITS, Opini – Penutupan sekolah telah menjadi alat umum dalam pertempuran
melawan Covid-19. Pendidikan dilakukan secara serentak dengan cara daring guna
menghindari pola pendidikan tatap muka (luring). Dalam kenyataannya, ketergantungan
masyarakat Indonesia terhadap pendidikan di sekolah berimbas pada kemampuan belajar
siswa hingga dapat terjadi learning loss. Selain dari aspek ketergantungan ini, konsep
dari pembelajaran jarak jauh yang ditawarkan pemerintah juga terkesan tidak siap dalam
penyusunan program dan kurikulum yang sesuai riset, survei dan realita di Indonesia.
Penangguhan pembelajaran tatap muka di sekolah ini telah menimbulkan kekhawatiran akan penurunan
kualitas pengetahuan kognisi, keterampilan vokasi, dan keterampilan sosial yang dimiliki pribadi siswa.
Dimulai dari penyampaian materi yang tidak leluasa, kesulitan untuk bertanya maupun berkonsultasi dengan
guru, serta gangguan kelancaran internet. Selain itu, proses pembelajaran daring yang diselenggarakan oleh
guru belum menemukan format yang tepat di banyak sekolah sehingga efektivitasnya masih sering
dipertanyakan.
Jika dilihat lebih jauh, tumpuan sistem pendidikan pada tingkat rendah, seperti TK dan SD semua akan beralih
ke keluarga, dengan orangtua yang mengawasi berlangsungnya proses pembelajaran siswa. Secara singkat,
orangtua akan berperan sebagai guru yang mengajarkan materi-materi kurikulum hingga menyelesaikan tugas
sekolah. Hal ini sangat tidak mengherankan bila para orangtua mengeluh berperan sebagai guru dirumah
karena mengalami banyak kesulitan.
Di lain sisi, pihak sekolah pun merasakan kesulitan dengan keterbatasan dalam memberikan materi ajar kepada
siswa. Jam belajar mengajar berkurang, materi pelajaran tidak tersampaikan dengan baik, dan sulitnya
mengajar materi yang bersifat praktikum, sehingga hal ini menimbulkan rasa was-was di kalangan pelaku dan
pengamat pendidikan.
Dari permasalahan learning loss ini, dikhawatirkan siswa akan mengalami kesulitan belajar setelah masa
pandemi Covid-19 usai. Jika kualitas siswa menurun, nantinya akan berimbas pada pembangunan pendidikan
secara keseluruhan dan juga dunia kerja. Tidak mengherankan bila muncul saran-saran yang berisikan gagasan
untuk memperpanjang lama tahun belajar. Beberapa diantaranya mengusulkan masa belajar diperpanjang
selama 6 bulan, ada juga yang menyarankan diperpanjang selama satu tahun, dan ada pula yang menyarankan
diperpanjang sesuai lama dari pandemi ini.
Namun, apakah learning loss yang terjadi pada para siswa ini murni diakibatkan oleh sistem PJJ dan pandemi?
Dilihat dari konsep learning loss yang dipakai di Indonesia dan di luar negeri, terdapat perbedaan yang
mencolok. Di Indonesia, konsep learning loss hanya dipahami sebagai bentuk penurunan daya kemampuan
siswa akibat adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan konsep, learning loss sendiri sebenarnya dapat terjadi
karena beberapa hal semisal liburan sekolah, tidak masuk sekolah, pengajaran yang tidak efektif hingga putus
sekolah. Sedangkan di luar negeri, konsep learning loss ini adalah suatu kondisi hilangnya atau menurunnya
pengetahuan dan keterampilan siswa yang disebabkan oleh kekurangan atau terputus secara berkelanjutan
dalam pendidikan.
Jika saya tekankan pada konsep learning loss secara menyeluruh di Indonesia, hal ini terjadi akibat dari adanya
pengajaran yang kurang efektif. Jika melihat kebelakang sebelum terjadi pandemi, para siswa sudah sering
mengalami learning loss yang tidak pernah disadari oleh guru, dinas pendidikan dan pemerintah.
Setelah diberlakukannya sistem pembelajaran daring oleh pemerintah justru semakin memperparah
ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar. Selain karena rendahnya tingkat pemahaman guru tentang
teknologi, kebingungan para guru mengenai kebijakan pemerintah yang diambil masih belum relevan dengan
realitas di Indonesia. Saat ini hanya ada pengajaran yang berupa soal-soal tanpa adanya pembelajaran terlebih
dahulu.
Jadi, apakah ada solusi untuk mengatasi learning loss ini?
Pertama, sekolah harus terus mengembangkan kapasitas siswa dan guru sehingga mampu mengoptimalkan
pembelajaran melalui daring. Pelajari banyak pengalaman selama pandemi yang tidak akan hilang ketika
keadaan sudah normal. Dari pengalaman tersebut akan tercipta inspirasi dan masukan untuk pengembangan
pendidikan kedepannya.
Kedua, pembelajaran selama pandemi difokuskan pada topik dan keterampilan yang esensial dan berguna bagi
siswa untuk menempuh pendidikan tingkat lanjut dan dunia kerja. Untuk mewujudkan pembelajaran yang
berguna, bukan hanya pada pemahaman materi, melainkan juga penekanan pada makna.
Ketiga, pengembangan kurikulum dan model pelajaran yang membebaskan siswa daripada mengejar nilai
karena hal ini justru membuat pribadi siswa menjadi individualis dan tidak peka sosial. Pada kurikulum, sudah
seharusnya pelajar dan guru tidak dibebankan pada kurikulum ‘normal’ yang tertuang dalam kompetensi dasar
karena hal ini tidak mengalami perubahan sama sekali padahal jam pelajaran mengalami pengurangan yang
cukup signifikan.
Keempat, pembelajaran yang mendalam dapat dipahami sebagai proses seseorang agar mampu mengambil
manfaat dari apa yang telah dipelajari dalam suatu situasi dan mampu menerapkannya pada situasi baru
(pandemi, red) atau bisa dibilang sebagai bentuk pembelajaran transformasi.
Dan terakhir, kelima, diperlukan pengetahuan keterampilan (tool-knowledge) agar bisa secara mandiri,
mencari, dan memperoleh ilmu pengetahuan baru. Disini guru berperan sebagai pemateri dan motivator bagi
siswa guna meningkatkan kualitas pembentukan sikap dan karakter pribadi siswa. Penguasaan ini akan
mempermudah siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru yang mendukung kemampuan belajar mandiri
siswa.
Konsep learning loss ini bukan hanya terfokus pada unsur teknologi informasi, melainkan juga membutuhkan
penataan ulang kurikulum yang selaras dengan kondisi pada saat ini. Sekolah juga seharusnya lebih membuat
siswa lebih siap menghadapi kebebasan dalam mencari ilmu pengetahuan alih-alih hanya mengejar target tugas
dan nilai.
Referensi:
1. https://www.kompas.com/edu/read/2021/01/31/204931471/pjj-berlangsung-10-bulan-siswa-
berpotensi-alami-learning-loss
2. https://www.idntimes.com/news/indonesia/margith-juita-damanik/pengamat-learning-loss-terjadi-di-
indonesia-jauh-sebelum-pandemik

 
Ditulis oleh:
Fauzan Fakhrizal Azmi
Mahasiswa S-1 Departemen Fisika
Angkatan 2020
Reporter ITS Online

https://www.kompasiana.com/sharfinaadelia/6191f8359dc4462ddf3e4a12/self-directed-learning-
pada-pembelajaran-di-masa-pandemi
Self Directed Learning pada Pembelajaran di Masa Pandemi

Kreator: Sharfina Adelia


Oleh : Dr.Ir. Vina Serevina, MM., Sharfina Adelia W, Pendidikan Fisika, Universitas Negeri
Jakarta, 2021.

Perubahan Signifikan saat Pandemi telah mengubah pola dan kultur interaksi antar individu
menjadi virtual dan online. Pembelajaran online yang sudah dilakukan , relatif tidak membuat
kemampuan siswa-siswi terasah secara maksimal dan sulit untuk mencapai kompetensi dasar
yang harusnya dicapai oleh siswa. (Ard, 2020)

Potensi learning loss mungkin saja dialami beberapa siswa, tetapi tidak bisa digeneralisasi.
Learning loss pun terjadi hanya ketika siswa sama sekali tidak memiliki akses terhadap ilmu
pengetahuan. Siswa akan  kehilangan minat pada sekolah, kemampuan akademik menurun,
hilangnya pengetahuan tentang pembelajaran dan keterampilan yang telah dipelajari. (Hanahime,
2021)

Self-Directed Learning dapat dipahami sebagai peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi dan
pengembangan individu yang diawali dengan inisiatif sendiri menggunakan perencanaan belajar
sendiri dan dilakukan sendiri, menyadari kebutuhan belajar sendiri dalam mencapai tujuan
belajar dengan cara membuat strategi belajar sendiri serta penilaian hasil belajar sendiri. (Hanik,
2020)
Tahap Self-directed learning. Gambar: Sulisworo, D., Winanrni, Astuti, A. Y., Hajar, S.,
Maryani, I., & Demitra. 
Ada beberapa Istilah yang berhubungan dengan Belajar mandiri, diantaranya Regulated learning,
Self regulated thinking, Self directed learning, Self efficacy,  Selt-esteem ,dsb. Kemandirian
belajar adalah suatu proses pembelajaran dimana setiap individu mengambil inisiatif, dengan
atau tanpa bantuan orang lain dalam hal menentukan kegiatan belajarnya seperti merumuskan
tujuan belajar dan sumber belajar . (Enjelina Siagian, Nurliana Marpaung, dan Mariati Purnama
Simanjuntak, 2021)

Self Directed Learning ini bertujuan agar Peserta didik bertanggung jawab untuk merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi belajar mereka sendiri dan diharapkan untuk bekerja secara
mandiri atau dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan belajar (Sulisworo, D., Winarti,
Astuti, A.Y., Hajar, S., Maryani, I., & Demitra, 2020)

Ada beberapa penting dari kebijakan baru yang sudah di paparkan dengan jelas dalam Surat
Edaran nomor 4 Tahun 2020, hal yang mendasar dari keseluruhan point tersebut ialah mengubah
cara pembelajaran antara Pendidik dan peserta didik dengan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar dari rumah.

Kebijakan belajar dari rumah melalui pembelajaran daring/jarak jauh dilaksanakan untuk
memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan
menuntaskan seluruh capaian kurikulum . 

Perkembangan IPTEK yang sangat pesat menuntut pendidik untuk mengembangkan


kompetensinya secara berkelanjutan dengan tujuan agar peserta didik memiliki kompetensi abad
21 yang mampu berfikir kritis, kolaboratif serta komunikatif.

Adanya pergeseran arah pendidikan selain dalam hal teknologi, tentunya berkaitan dengan model
pembelajaran pada abad 21, pembelajaran bukan lagi teacher centered learning, akan tetapi
student centered learning. 

Pembelajaran dengan  model student centered learning, akan memberikan ruang yang lebih luas
dan bermakna bagi peserta didik dalam mencari pengalaman dan  membangun pengalaman
menjadi suatu  pengetahuan baru, dan peserta didik pun dapat secara mandiri mencari hal baru
serta memiliki kendali penuh dalam mengembangkan pembelajarannya sendiri sehingga
membentuk peserta didik yang lebih kreatif. (Hanik, 2020).

Adapun karakteristik model pembelajaran self directed learning sebagai berikut;

Peserta didik secara mandiri memiliki usaha yang keras dan rasa tanggung jawab membuat
keputusan yang terkait dengan pembelajaran
Peserta didik memikli kewenangan dalam  melibatkan pemikiran, tindakan ataupun mengelola
aktivitas pembelajaran secara mandiri
Makna pembelajaran mandiri tidak selalu berarti belajar mandiri di mana pembelajaran
berlangsung terpisah dari orang lain; tetapi juga bisa melibatkan teman atau peserta didik yang
lain.
Mengharuskan peserta didik untuk memonitor sendiri proses pembelajaran yang akan terjadi,
adanya progress atau tidak dalam sebuah pembelajaran.
Kontrol aktivitas belajar secara bertahap bergeser dari pendidik ke peserta didik
Adanya peran penting motivasi dan kemauan  peserta didik. Motivasi akan mendorong
keputusan peserta didik untuk berpartisipasi, dan kemauan untuk melaksanakan tugas sampai
tercapainya
Secara rinci terdapat empat langkah sebelum melaksanakan pembelajaran self directed learning; 

Peserta didik secara khusus menuliskan tentang kebutuhan belajarnya secara terperinci agar jelas
untuk merencanakan kegiatan belajar.
Merencanakan kegiatan belajar. Peserta didik menjawab sendiri berdasarkan pertanyaan dasar
yang telah dirancang ,seperti Apa tujuan dari saya belajar? ,Dari mana literatur akan
tersedia? ,Berapa lama waktu yang akan dihabiskan dalam proses belajar? ,dsb.
Peserta didik memulai proses belajar mulai dari mengumpulkan materi belajar, mengerjakan
tugas sampai pada evaluasi akhir
Hasil dari proses pembelajaran, Berupa pengembangan keterampilan, tetapi yang utama adalah
kepuasan diri peserta didik selama proses belajar.
Evaluasi secara keseluruhan proses pembelajaran.

(Sulisworo, D., Winarti, Astuti, A.Y., Hajar, S., Maryani, I., & Demitra, 2020)

Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dikembangkannya belajar mandiri dapat meningkatkan
tanggung jawab peserta didik dalam proses pembelajaran. Tanggung jawab yang terbentuk dalam
diri peserta didik akan menumbuhkan motivasi . Dengan adanya motivasi pada diri peserta didik
akan membantu peserta didik dalam membuat pilihan informasi dan mengambil tanggung jawab
untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selama proses belajar hingga tercapainya tujuan
pembelajaran yang diharapkan. (Hanik, 2020).

Pembelajaran fisika berbasis daring dapat dijadikan sebuah alternatif untuk menerapkan sebuah
keterampilan Self-Directed Learning pada siswa dalam kondisi yang memiliki sedikit interaksi
langsung antara siswa dan guru. Namun, memiliki keterbatasan dalam hal waktu penerapan
untuk bisa digunakan menganalisis perubahan sikap siswa dalam belajar secara akurat. (Silvia
Ayu Permatasari, Mita Anggaryani, 2021)

DAFTAR PUSTAKA

Ard. (2020, juli 13). Menyiasati Pembelajaran Fisika di Masa Pandemi. Dipetik 10 31, 2021, dari
NEWS UAD: news.uad.ac.id

Enjelina Siagian, Nurliana Marpaung, dan Mariati Purnama Simanjuntak. (2021).


PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS)
MENGGUNAKAN MOODLE TERHADAP PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR
SISWA. Jurnal Inovasi Pembelajaran Fisika (INPAFI), 54-60.

Hanahime, Y. (2021, Oktober 11). Dipetik 10 31, 2021, dari Detik.com:


https://news.detik.com/kolom/d-5761650/ketakutan-learning-loss-dan-dilema-ptm-terbatas

Hanik, E. U. (2020). SELF DIRECTED LEARNING BERBASIS LITERASI DIGITAL PADA


MASA PANDEMI COVID-19 DI MADRASAH IBTIDAIYAH. Elementary Islamic Teacher
Journal, 183-208.

Saputra, Y. N. (2021). Self-directed learning readiness mahasiswa di masa pandemi Covid-19.


Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 164-177.

Silvia Ayu Permatasari, Mita Anggaryani. (2021). Penerapan Self-Directed Learning (SDL)
dalam Pembelajaran Fisika SMA Berbasis Daring Pada Pokok Bahasan Hukum Newton.
PENDIPA Journal of Science Education, 403-411.

Sulisworo, D., Winarti, Astuti, A.Y., Hajar, S., Maryani, I., & Demitra. (2020). Model
lingkungan pembelajaran era new normal. Yogyakarta: Pascasarjana UAD Press.

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/12/dorong-pemulihan-pembelajaran-di-masa-
pandemi-kurikulum-nasional-siapkan-tiga-opsi

Dorong Pemulihan Pembelajaran di Masa Pandemi,


Kurikulum Nasional Siapkan Tiga Opsi  21 Desember 2021  ←
Back
Aceh, 21 Desember 2021 --- Berdasarkan riset yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pandemi Covid-19 telah menimbulkan kehilangan
pembelajaran (learning loss) literasi dan numerasi yang signifikan. Kemendikbudristek kemudian
menyusun Kurikulum Prototipe sebagai bagian dari kurikulum nasional untuk mendorong pemulihan
pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Mulai tahun 2022, kurikulum nasional memiliki tiga opsi
kurikulum yang bisa dipilih oleh satuan pendidikan untuk pemulihan pembelajaran di masa pandemi
Covid-19, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan), dan
Kurikulum Prototipe.

Pemulihan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 penting dilakukan untuk mengurangi dampak
kehilangan pembelajaran (learning loss) pada peserta didik. Salah satu indikasi (learning loss) yang
tampak adalah berkurangnya kemajuan belajar dari kelas 1 ke kelas 2 SD setelah satu tahun pandemi.
Hasil riset Kemendikbudristek menunjukkan, sebelum pandemi, kemajuan belajar selama satu tahun
(kelas 1 SD) adalah sebesar 129 poin untuk literasi dan 78 poin untuk numerasi. Setelah pandemi,
kemajuan belajar selama kelas 1 berkurang secara signifikan (learning loss). Untuk literasi, (learning loss)
ini setara dengan 6 bulan belajar, sedangkan untuk numerasi, (learning loss) tersebut setara dengan 5
bulan belajar. Data tersebut merupakan hasil riset Kemendikbudristek yang diambil dari sampel 3.391
siswa SD dari 7 kabupaten/kota di 4 provinsi, pada bulan Januari 2020 dan April 2021.

Sejak tahun 2020, sebagai bagian dari mitigasi (learning loss), sekolah diberikan dua opsi, yaitu
menggunakan Kurikulum 2013 secara penuh, atau menggunakan Kurikulum Darurat, yakni Kurikulum
2013 yang disederhanakan. Kurikulum Darurat diberlakukan agar pembelajaran di masa pandemi dapat
berfokus pada penguatan karakter dan kompetensi mendasar. Ternyata selama kurun waktu 2020—
2021, siswa pengguna Kurikulum Darurat mendapat capaian belajar yang lebih baik daripada pengguna
Kurikulum 2013 secara penuh, terlepas dari latar belakang sosio-ekonominya.

Kemudian pada tahun 2021, Kemendikbudristek memperkenalkan Kurikulum Prototipe sebagai opsi
tambahan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran. Kurikulum Prototipe ini
mulai diterapkan di Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK). Ke depannya, untuk
mendorong pemulihan pembelajaran, mulai tahun 2022 hingga 2024 semua satuan pendidikan diberikan
tiga opsi dalam kurikulum nasional, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Prototipe.

Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perbukuan Kemendikbudristek, Supriyatno, mengatakan Kurikulum


Prototipe diberikan sebagai opsi tambahan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan
pembelajaran selama 2022-2024. Ia menjelaskan, dalam pengembangan Kurikulum Prototipe,
Kemendikbudristek melakukan penyusunan dan pengembangan struktur kurikulum, capaian
pembelajaran, prinsip pembelajaran, hingga asesmen.

“Tetapi untuk Kurikulum Prototipe ini satuan pendidikan diberikan otoritas, dalam hal ini guru, sehingga
sekolah memiliki keleluasaan. Karena yang dituntut adalah capaian pembelajaran di tiap fase. Dalam
Kurikulum Prototipe, ada fase A, B, C, D, dan E. Fase-fase ini memberikan keleluasaan pada guru
bagaimana mencapai capaian pembelajaran di masing-masing fase,” ujar Supriyatno pada kegiatan
Sosialisasi Buku dan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran, di Kantor Lembaga Penjaminan
Mutu Pendidikan (LPMP), di Kabupaten Aceh Besar, Selasa (21/12/2021).

Dengan begitu, lanjut Supriyatno, operasional pada Kurikulum Prototipe bisa dikembangkan di satuan
pendidikan. Sekolah diberikan keleluasaan untuk memilih atau memodifikasi perangkat ajar dan contoh 
kurikulum operasional yang sudah disediakan pemerintah untuk menyesuaikan dengan karakteristik
peserta didik, atau menyusun sendiri perangkat  ajar sesuai dengan karakteristik peserta didik. “Namun
pusat (Kemendikbudristek) tetap menyediakan perangkat ajar seperti buku teks pelajaran, contoh modul
ajar mata pelajaran, atau contoh panduan proyek Profil Pelajar Pancasila,” katanya.  

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi X DPR RI, Illiza Sa’aduddin Djamal menuturkan, pada
tahun 2021 Kurikulum Prototipe memang hanya diterapkan di Sekolah Penggerak dan SMK PK. Namun
mulai tahun 2022, tidak hanya Sekolah Penggerak dan SMK PK yang bisa menerapkan Kurikulum
Prototipe, melainkan semua satuan pendidikan diberikan opsi untuk menggunakan Kurikulum Prototipe
sebagai upaya pemulihan pembelajaran. Kurikulum prototipe memiliki beberapa karakteristik utama yang
mendukung pemulihan pembelajaran, antara lain pengembangan soft skills dan karakter, fokus pada
materi esensial, dan fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan
kemampuan murid (teach at the right level).
Kepala LPMP Aceh, Muslihuddin, mengatakan satuan pendidikan dapat memilih untuk menerapkan
Kurikulum Prototipe dengan jalur mandiri. Satuan pendidikan dapat menentukan pilihan berdasarkan
Angket Kesiapan Implementasi Kurikulum Prototipe yang mengukur kesiapan guru, tenaga kependidikan
dan satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum. Tidak ada pilihan yang paling benar dalam
angket tersebut. Pilihan terbaik adalah pilihan yang paling sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan
berdasarkan kompleksitasnya.

 “Setiap sekolah memiliki karakteristik yang berbeda. Kompleksitas sedang dan sederhana itu yang lebih
tahu kan dinas pendidikan, kaitannya dengan kesiapan sekolah dan guru. Jadi tergantung kesiapan
sekolah, karakteristik sekolah, dan stakeholders di lingkungan satuan pendidikan,” ujar Muslihuddin.

Kegiatan Sosialisasi Buku dan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran di Kantor LPMP Aceh
dihadiri sekitar 50 peserta yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Peserta antara lain terdiri dari perwakilan dinas pendidikan
provinsi/kabupaten/kota, guru, kepala sekolah, pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),
dan perwakilan organisasi profesi guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Guru
Indonesia (IGI). Seusai mendengarkan sosialisasi dan penjelasan dari narasumber Kemendikbudristek
dan Komisi X DPR RI, para peserta mengikuti diskusi kelompok terpumpun untuk membahas mengenai
implementasi kurikulum yang mendukung pemulihan pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2284-learning-loss
Sabtu 23 Oktober 2021, 05:00 WIB Learning Loss Abdul Kohar Dewan Redaksi Media
Group | Editorial   MI/Ebet Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. ADA satu frasa
bahasa Inggris yang terus-menerus membuat para pendidik, termasuk menterinya
pendidikan, risau sejak pandemi covid-19 melanda. Frasa itu ialah learning loss. Pandemi
korona, kata Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim, bisa hilang. Namun, learning loss atau
kehilangan kesempatan belajar bisa bersifat permanen. Kata Nadiem, "Kita semua akan
pulih dari covid-19. Tapi, anak-anak kita banyak yang sulit pulih dari learning loss, juga sulit
pulih secara psikologis dengan dampak yang luar biasa. Karena itu, satuan pendidikan
yang eligible harus segera menjalankan PTM (pembelajaran tatap muka)." Dalam
pandangan Mas Menteri, kalau angka kasus covid-19 terus melandai, sebaiknya anak-anak
tidak perlu dikorbankan lagi dalam hal pendidikan. PJJ (pembelajaran jarak jauh), tandas
Nadiem, dampaknya bisa lebih permanen daripada covid-19. Kendati PJJ merupakan
upaya untuk memastikan hak pendidikan anak-anak di Indonesia tetap terpenuhi, siapa
sangka, pemberlakuan PJJ dalam jangka panjang justru membawa ancaman baru.
Berdasarkan riset terbaru dari World Bank menunjukkan terlalu lama pembelajaran jarak
jauh dan lamanya sekolah ditutup menjadi salah satu penyebab penting terjadinya learning
loss. Dalam riset itu dinyatakan jika efektivitas pembelajaran jarak jauh berkurang 40%,
akan ada learning loss hingga 6,9 tahun. Jika efektivitas pembelajaran berkurang 20%,
learning loss akan mencapai 6,7 tahun. Jika efektivitas pembelajaran berkurang 10%,
learning loss yang didapat akan menjadi 6,6 tahun. Lantas, apa sebetulnya learning loss
itu? Apa pula dampaknya ke generasi muda? Saya mengutip laman The Glossary of
Education Reform yang menyebut bahwa learning loss mengacu pada kehilangan
pengetahuan dan keterampilan khusus atau umum, atau kemunduran dalam hal akademik.
Masalah ini paling sering terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau
diskontinuitas dalam pendidikan bagi siswa. Laman tersebut menjelaskan beberapa faktor
yang menyebabkan learning loss terjadi, di antaranya liburan musim panas, pendidikan
formal yang tertutup, kembali putus sekolah, ketidakhadiran sekolah (bisa karena
permasalahan kesehatan) dalam jangka panjang, pengajaran yang tidak efektif, dan
perancangan jadwal pelajaran yang tidak terkoordinasi dengan baik. Intinya karena ada
hambatan akses untuk meraih sumber-sumber pengetahuan. Pandemi covid-19 membuat
sistem pendidikan menjadi tidak seperti dulu. Studi lainnya yang dilakukan McKinsey
menilai bahwa komputer tidak akan bisa menggantikan suasana kelas. McKinsey meminta
guru di delapan negara menilai efektivitas pembelajaran jarak jauh sejak pandemi dimulai.
Mereka diminta memberikan skor rata-rata 5 dari 10. Nilai sangat buruk diberikan Jepang
dan Amerika Serikat ketika hampir 60% menilai efektivitas pembelajaran jarak jauh hanya
berada di nilai 3 dari 10. Itu Jepang dan Amerika, negara yang sangat maju. Bagaimana
Indonesia? Boleh jadi problemnya berlipat ganda. Selain efektivitas yang rendah,
ketersediaan sarana belajar daring juga tidak sepenuhnya bisa diatasi. Belum lagi
keterbatasan ekonomi sehingga tidak bisa membelu kuota pulsa. Jadi, fenomena learning
loss paling mungkin terjadi pada anak-anak dari golongan ekonomi menengah ke bawah,
yang memang tidak punya kemampuan untuk menggunakan dan mengakses gawai, juga
internet, untuk belajar. Di Jakarta, misalnya, ada satu keluarga dengan anak tiga harus
berebut gawai saat hendak belajar dari rumah. Boro-boro pakai laptop, gawai sederhana
saja cuma ada dua. Itu pun yang satu dipakai orangtua mereka mencari nafkah menjadi
pengojek online. Tinggal satu gawai lagi harus dipakai bertiga. Padahal, tingkat pendidikan
mereka berbeda: anak pertama SMA, nomor dua SMP, dan si bungsu SD. Bisa kita
bayangkan bagaimana pengetahuan bisa mereka dapat bila sarana dan prasarana dasar
saja mereka tidak mampu. Saya mafhum semafhum-mafhumnya bila Mendikbud-Ristek
terus mendesak agar pembelajaran tatap muka segera dimulai. Syaratnya, bertahap dan
disiplin menjalankan protokol kesehatan. Bukan perkara mudah, bukan pula simsalabim
langsung sanggup memutus mata rantai kehilangan pengetahuan, tapi setidaknya bisa
mencegah tingkat keparahan learning loss. Tidak ada salahnya memulai saat kasus positif
harian covid-19 mulai melandai di bawah 1.000 kasus dengan angka kematian di bawah
100 bahkan di bawah 50. Itu karena tidak ada bencana paling mengerikan bagi sebuah
bangsa selain hilangnya generasi (lost generation) akibat hilangnya ilmu pengetahuan alias
learning loss.

Sumber: https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2284-learning-loss

https://www.zenius.net/blog/learning-loss#:~:text=Learning%20loss%20adalah%20hilangnya
%20pengetahuan,yang%20berlangsung%20secara%20tidak%20baik.
Learning Loss, Kemunduran dalam Proses Belajar Siswa – Zenius untuk Guru
 Posted Byby Zenius Untuk Guru
 December 17, 2021 
  0
Sudah dua tahun pandemi COVID-19 mewabah dan learning loss menjadi salah satu dampak
sosial negatif yang muncul. Bapak dan Ibu Guru sendiri merasakan tutupnya sekolah akibat
pandemi menyebabkan proses belajar mengajar harus dilakukan secara daring.

Dalam penyelenggaraannya, pendidikan selama pandemi memegang prinsip mengutamakan


kesehatan dan keselamatan, serta mempertimbangkan tumbuh kembang dan hak anak. Karena
itu, pemerintah selalu mengkaji kebijakan pembelajaran sesuai dengan konteks perkembangan
pandemi dan kebutuhan pembelajaran.

Apakah Bapak dan Ibu Guru masih ingat, perubahan apa saja yang terjadi dalam pendidikan
selama pandemi? 

Sejak awal pandemi menyebar di Indonesia, tepatnya di bulan Maret 2020, pemerintah
menerapkan Belajar dari Rumah atau yang lebih kita kenal dengan Pembelajaran Jarak Jauh
(PJJ). Tak sampai di situ, untuk menekan penyebaran COVID-19, Ujian Nasional pun
ditiadakan. Perlahan, Pembelajaran Tatap Muka (PTM) mulai dilakukan bagi wilayah berzona
hijau atau kuning, dengan mengikuti berbagai persyaratan.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk pendidikan di masa pandemi COVID-19. (Sumber:
Keputusan Bersama Empat Menteri, Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi
COVID-19)
Penutupan sekolah selama pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga pendidikan
dan perkembangan siswa secara keseluruhan.

Secara bertahap, saat ini sekolah-sekolah di Indonesia sudah melaksanakan pembelajaran secara
langsung. Hal ini dilakukan sebagai solusi untuk mencegah dampak sosial negatif
berkepanjangan yang muncul pada siswa, salah satunya adalah learning loss.

Bapak dan Ibu Guru pasti sering mendengar istilah learning loss selama pandemi. Apakah Bapak
dan Ibu Guru tahu apa sebenarnya maksud dari learning loss tersebut? Di artikel ini, mari kita
bahas bersama-sama tentang learning loss tersebut.

Daftar Isi
 Pengertian Learning Loss
 Bagaimana Learning Loss Bisa Terjadi di Masa Pandemi?
 Kualitas Pendidikan yang Menurun
 Langkah Indonesia dalam Mengatasi Learning Loss

Pengertian Learning Loss

Learning loss adalah hilangnya pengetahuan dan kemampuan siswa, baik secara spesifik atau
umum, yang dipengaruhi berbagai faktor. Istilah ini sering diartikan sebagai kemunduran secara
akademis yang berkaitan dengan kesenjangan yang berkepanjangan atau proses pendidikan yang
berlangsung secara tidak baik.

Dalam Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19, learning


loss disebut sebagai salah satu bentuk penurunan capaian belajar. Selama pandemi, pendidikan
dilakukan secara daring di mana terjadi kesenjangan akses dan kualitas pembelajaran. Hal inilah
yang menyebabkan munculnya learning loss dan capaian belajar siswa yang menurun. Sebuah
studi menemukan bahwa  pembelajaran tatap muka secara langsung bisa menghasilkan
pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan saat PJJ.

Kalau sudah memahami istilahnya, sekarang kita beralih ke penyebab learning loss.

Baca Juga: Perjuangan Guru Mengajar Selama Pandemi

Bagaimana Learning Loss Bisa Terjadi di Masa Pandemi?

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, selama pandemi banyak perubahan yang terjadi
dalam pendidikan Indonesia, bahkan seluruh dunia. Proses perubahan pembelajaran dari tatap
muka biasa ke pembelajaran daring memunculkan beragam tantangan bagi siswa, orang tua, dan
guru. Seluruh elemen pendidikan diharuskan untuk beradaptasi dengan situasi yang baru, mulai
dari metode pembelajaran, teknologi yang digunakan, sampai rancangan belajar yang
disesuaikan dengan kondisi pandemi.

Sayangnya, tidak semua orang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan pendidikan di masa
pandemi. Dengan tingkat kemiskinan yang meningkat, banyak siswa yang berasal dari keluarga
kurang mampu serta tinggal di daerah pedalaman dan terpencil terpaksa putus sekolah, karena
tekanan ekonomi yang sangat besar. Tak sedikit dari mereka harus bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga di tengah krisis COVID-19. Mereka memilih untuk berhenti sekolah
karena merasa terbebani ketika harus sekolah secara daring, di mana banyak kebutuhan yang
harus dilengkapi seperti ponsel pintar dan kuota internet.

Alasan utama siswa putus


sekolah selama masa pandemi COVID-19. (Sumber: UNESCO)
Selain faktor ekonomi, banyak orang tua yang tidak melihat peran sekolah ketika proses belajar
mengajar tidak dilakukan secara langsung. Ketika belajar di rumah, guru tidak bisa mendampingi
siswa secara penuh. Materi, tugas, dan ujian diberikan secara daring sehingga guru tidak dapat
melihat langsung proses perkembangan belajar siswanya.

PJJ yang dilakukan selama pandemi juga berpotensi untuk menimbulkan kekerasan pada anak.
Tanpa sekolah, banyak anak yang terjebak dalam kekerasan yang dilakukan di rumah. Karena
proses pendampingan sekolah tidak berjalan secara langsung, kekerasan pada anak pun tidak bisa
dideteksi. Selain itu, muncul juga risiko eksternal yang menyebabkan anak tidak lagi bisa datang
untuk belajar seperti pernikahan dini atau eksploitasi anak.

Berbagai permasalahan dan perubahan menyebabkan terganggunya pendidikan siswa, dan


berakhir pada munculnya learning loss. Siswa mengalami kemunduran kemampuan dalam
proses belajar dan memahami informasi. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran utama Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, selama
pembelajaran di masa pandemi. Beliau menyebutkan bahwa PTM harus segera dilaksanakan agar
siswa tidak mengalami learning loss.

Baca Juga: Peran Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT)

Kualitas Pendidikan yang Menurun

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terus berusaha untuk meningkatkan hasil belajar
siswa. Namun selama pandemi, berbagai perubahan dalam pendidikan justru mengakibatkan
turunnya capaian belajar siswa. Di masa-masa sulit ini, tujuan utama pendidikan bukan hanya
ketuntasan kurikulum, tapi juga menjaga kesehatan dan keselamatan seluruh elemen pendidikan.

Pandemi COVID-19 menimbulkan berbagai dampak negatif yang mengarah pada learning loss.
Siswa kehilangan kesempatan belajar sebagaimana mestinya, dan dalam hal ini hak mereka
untuk mendapatkan pembelajaran tidak bisa terpenuhi secara maksimal.

Menurut data Lembaga Survei Indonesia di awal bulan September 2021, kebanyakan siswa
dinilai sudah mulai bosan menjalani PJJ, dilihat dari semangat mereka dalam mengikuti
pembelajaran. Bahkan, 23,8% guru menilai siswa tidak memiliki motivasi belajar. Data ini
menjadi salah satu bukti turunnya kualitas pendidikan, di mana siswa tidak memiliki ketertarikan
untuk belajar, termasuk mengikuti pembelajaran dan memahami materi.
Hasil survei nasional terhadap kondisi siswa selama PJJ. (Sumber: Lembaga Survei Nasional
yang diambil dari unicef.org)

Langkah Indonesia dalam Mengatasi Learning Loss

Sejak September 2021, sekolah-sekolah di Indonesia mulai menyelenggarakan PTM. Apakah


sekolah Bapak dan Ibu Guru termasuk salah satunya?

Menurut data, 39% sekolah mulai dibuka kembali dengan mengikuti panduan dari pemerintah.
Diberlakukannya PTM ini menjadi salah satu langkah pemerintah Indonesia untuk mengatasi dan
atau mencegah munculnya learning loss pada siswa. UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) pun mendukung berlangsungnya PTM di seluruh sekolah Indonesia.
Pel
aksanaan PTM sebagai solusi untuk mengatasi learning loss. (Foto dari kiriman guru di
komunitas ZenRu)
Jika siswa terus-terusan berada di luar sekolah, mereka tidak akan bisa mendapatkan dukungan
ke akses pendidikan. Bagi siswa, sekolah bukan hanya tempat untuk belajar tapi juga lingkungan
yang mendukung mereka untuk meningkatkan berbagai kemampuan, mendapatkan kesempatan
untuk berkembang, dan bersosialisasi. Karena itulah, sekolah kembali dibuka agar siswa tidak
mengalami kemunduran dalam proses belajar (learning loss).

Mengingat pandemi COVID-19 yang belum usai, pemerintah berusaha agar siswa tetap bisa
bersekolah dengan kondisi yang aman dan nyaman. Dengan menerapkan protokol kesehatan
yang ketat, sekolah diharapkan bisa memberikan lingkungan belajar yang lebih aman bagi siswa.
PTM dilakukan secara bertahap dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. (Sumber:
Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19).
Sebagai solusi dalam mengatasi learning loss, setiap elemen pendidikan harus saling memastikan
bahwa siswa mendapatkan hak belajarnya dengan aman dan sehat selama PTM. Dalam hal ini,
diperlukan program atau kegiatan yang berfokus untuk memenuhi hak belajar, kesehatan,
kesejahteraan, dan kebutuhan lain dari siswa. Selain itu, sekolah juga harus membantu siswa
dalam mengejar ketertinggalan pembelajaran selama PJJ. Di lain sisi, pemerintah dan seluruh
elemen terkait juga harus mendukung guru agar dapat mengatasi learning loss yang dialami
siswa.

Mengatasi learning loss yang muncul selama PJJ bukan hanya tugas guru, orang tua, atau
pemerintah. Kita semua yang terlibat di dalamnya berperan untuk mengembalikan kesempatan
dan semangat belajar siswa. Zenius untuk Guru pun akan terus mendampingi Bapak dan Ibu
Guru dalam proses belajar mengajar. Mari bersama-sama kita berikan pembelajaran yang
bermakna bagi siswa!
https://www.nciea.org/blog/school-disruption/contextualizing-covid-19-learning-loss-and-
learning-recovery

Contextualizing COVID-19 “Learning


Loss” and “Learning Recovery”
Education Reform has Always Been About Recovering Losses in Learning.
Will LoriéJune 9, 2020
In a late April survey by EdWeek, 320 district administrators were asked to indicate the
most urgent needs that assessment vendors could help within the wake of COVID-19.
Topping the list: “Assessment for the fall of 2020 to gauge students’ loss of learning
during closures.” “Learning recovery” (or “instructional recovery” or “compensatory
education”) has become an urgent priority; varied education support organizations such
as Zearn, ANet, and Council of Chief State School Officers have been working to fill this
need.
With most school campuses closed and distance learning hastily put in place for the last
part of the 2019-2020 school year, many are rightly concerned that upon “reopening”
(however that looks), schools will welcome back students who have lost ground relative
to prior years. Moreover, the loss may be more significant for low-income
students, given what we know about disparities in technology access, attendance, and
live instruction during early spring 2020 distance learning.

The Challenge of Measuring Learning Loss


What do we mean when we talk about “learning loss,” and what precisely is recovered
in “learning recovery”? Learning loss is best understood not as a reduction in existing
knowledge or skills, but as a difference between a current reality and some ideal or at
least normal condition. With the COVID-19 school closures, that normal condition is
spring 2020 without COVID-19, and the loss is the difference in the learning that
occurred during disruption and the learning that would have occurred in a COVID-free
spring 2020.
Viewing learning loss in this way highlights how difficult it is to assess such a thing.
Each spring, students sit for a comprehensive achievement test covering a sample of
grade-level standards. One could compare typical results of this test to those obtained
in spring 2020, and estimate a difference, probably a dip. This comparison can be done
by grade, subject area, and student group. One can then track the carryover effects of
this dip to see if its effects are lasting.
This exercise captures what most people understand as learning loss; determining what
grades, subject areas, or student groups the loss makes a real difference over time; and
the practical question of whether it will contribute to some students’ difficulties
accessing new grade-level content each year.
This measurement exercise will never be carried out. It couldn’t be. One of the
consequences of the spring 2020 disruption was a collapse in our ability to formally
assess students on the few critical outcomes measured on tests designed to assess
student achievement with respect to state standards comprehensively. It would also be
unethical merely to assess students this spring to measure COVID learning loss and its
carryover effects and to refrain from addressing gaps that were found.

Learning Loss in a Broader Context


Learning loss is not limited to events like the COVID-19 school closures. Education
reformers point to gaps between where students are and where they should be
(at/above proficiency, variously defined by NAEP and the states), highlighting the
learning loss that persists in a system that performs below its full potential. Since the
1960s, schools have been called to close inter-group gaps in academic achievement
measures – conceptually, a learning loss relative to what might be, if the right targeted
interventions were in place and succeeded. However, despite countless reform efforts,
those gaps remain.
As my Center colleague Brian Gong pointed out in a recent personal communication,
these gaps are greater than any differential “learning losses” we will find between
relatively advantaged and disadvantaged groups due to spring 2020 school
disruptions. Professors Heather Hill and Susanna Loeb made the same point in a recent
opinion piece on EdWeek.

Education Reform is Learning Recovery


Neither the challenges of measuring COVID-related learning losses and their carryover
effects, nor the magnitude of these losses relative to larger systemic losses, should
dissuade us from addressing them in the absence of ideal measurement and resource
allocation conditions. Various proposals have been advanced. A New York Times
editorial from mid-April cites an analysis by NWEA to argue that the COVID-slide would
be substantial and lasting, recommending that “any reasonable approach would include”
extensive testing upon reentry, “aggressive” plans for remediation and added school
days, among other things.
My Center colleague Carla Evans writes that professional development on good
classroom assessment practice is much more promising in addressing COVID-related
achievement gaps than an approach that tries first to solve the learning loss
measurement problem within the schooling parameters of a typical fall. In their EdWeek
article, Hill and Loeb write that informal assessments by classroom teachers (such as
those in a high-quality curriculum) are better than something more comprehensive at
the beginning of the year. They argue that schools are already set up to contend with
variabilities in student readiness that are much larger than the highest estimates of
COVID-related learning losses. (Hill and Loeb also question the NWEA estimates, citing
data from the Early Childhood Longitudinal Study that suggest smaller COVID-linked
learning losses.)
The place of assessment among these more nuanced proposals to address the COVID
gap is no different from what we would advocate as part of a plan to address better
studied, better measured, more significant, and more persistent gaps. The goal has
always been high-quality classroom assessment systems with an emphasis on powerful
formative assessment practices
If we are to do the work of learning recovery, let us take advantage of this moment to
recover not only from the losses of one season but also from those that have been with
us for decades.

Mengkontekstualisasikan COVID-19
“Kehilangan Pembelajaran” dan
“Pemulihan Pembelajaran”
Reformasi Pendidikan Selalu Tentang Memulihkan Kerugian dalam Pembelajaran.
Will Lorie9 Juni 2020
Dalam survei akhir April oleh EdWeek , 320 administrator distrik diminta untuk
menunjukkan kebutuhan paling mendesak yang dapat dibantu oleh vendor penilaian
setelah COVID-19. Puncak daftar: “Penilaian untuk musim gugur 2020 untuk mengukur
hilangnya pembelajaran siswa selama penutupan.” “Pemulihan pembelajaran” (atau
“pemulihan instruksional” atau “pendidikan kompensasi”) telah menjadi prioritas yang
mendesak; berbagai organisasi pendukung pendidikan seperti Zearn , ANet ,
dan Council of Chief State School Officers telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan ini.
Dengan sebagian besar kampus sekolah ditutup dan pembelajaran jarak jauh
diterapkan dengan tergesa-gesa untuk bagian terakhir tahun ajaran 2019-2020, banyak
yang khawatir bahwa setelah “dibuka kembali” (bagaimanapun kelihatannya), sekolah
akan menyambut kembali siswa yang kehilangan tempat relatif terhadap tahun-tahun
sebelumnya. Selain itu, kerugian mungkin lebih signifikan bagi siswa berpenghasilan
rendah, mengingat apa yang kita ketahui tentang perbedaan dalam akses teknologi,
kehadiran, dan pengajaran langsung selama pembelajaran jarak jauh awal musim semi
2020.

Tantangan Mengukur Kehilangan Pembelajaran


Apa yang kita maksud ketika kita berbicara tentang "kehilangan belajar," dan apa
tepatnya yang dipulihkan dalam "pemulihan pembelajaran"? Kehilangan belajar paling
baik dipahami bukan sebagai pengurangan pengetahuan atau keterampilan yang ada,
tetapi sebagai perbedaan antara kenyataan saat ini dan beberapa kondisi ideal atau
setidaknya normal. Dengan adanya penutupan sekolah COVID-19, maka kondisi
normal adalah musim semi 2020 tanpa COVID-19, dan kerugiannya adalah perbedaan
pembelajaran yang terjadi saat gangguan dan pembelajaran yang akan terjadi pada
musim semi 2020 bebas COVID-19.
Melihat kehilangan belajar dengan cara ini menyoroti betapa sulitnya menilai hal seperti
itu. Setiap musim semi, siswa mengikuti tes prestasi komprehensif yang mencakup
sampel standar tingkat kelas. Seseorang dapat membandingkan hasil khas dari tes ini
dengan yang diperoleh pada musim semi 2020, dan memperkirakan perbedaannya,
mungkin penurunan. Perbandingan ini dapat dilakukan berdasarkan kelas, mata
pelajaran, dan kelompok siswa. Seseorang kemudian dapat melacak efek sisa
penurunan ini untuk melihat apakah efeknya bertahan lama.
Latihan ini menangkap apa yang kebanyakan orang pahami sebagai kehilangan
pembelajaran; menentukan nilai, bidang studi, atau kelompok siswa apa yang membuat
perbedaan nyata dari waktu ke waktu; dan pertanyaan praktis apakah itu akan
berkontribusi pada kesulitan beberapa siswa mengakses konten tingkat kelas baru
setiap tahun.
Latihan pengukuran ini tidak akan pernah dilakukan. Itu tidak mungkin. Salah satu
konsekuensi dari gangguan musim semi 2020 adalah runtuhnya kemampuan kami
untuk menilai siswa secara formal pada beberapa hasil penting yang diukur pada tes
yang dirancang untuk menilai prestasi siswa sehubungan dengan standar negara
bagian secara komprehensif. Juga tidak etis hanya untuk menilai siswa musim semi ini
untuk mengukur kehilangan pembelajaran COVID dan efek akumulasinya dan untuk
menahan diri dari mengatasi kesenjangan yang ditemukan.

Kehilangan Pembelajaran dalam Konteks yang


Lebih Luas
Kehilangan pembelajaran tidak terbatas pada peristiwa seperti penutupan sekolah
akibat COVID-19. Pembaru pendidikan menunjukkan kesenjangan antara di mana
siswa berada dan di mana mereka seharusnya (pada/di atas kecakapan, yang
didefinisikan secara berbeda oleh NAEP dan negara bagian), menyoroti hilangnya
pembelajaran yang bertahan dalam sistem yang berkinerja di bawah potensi
penuhnya. Sejak tahun 1960-an, sekolah telah dipanggil untuk menutup kesenjangan
antar-kelompok dalam ukuran prestasi akademik – secara konseptual, kerugian belajar
relatif terhadap apa yang mungkin terjadi, jika intervensi yang ditargetkan dengan tepat
diterapkan dan berhasil. Namun, terlepas dari upaya reformasi yang tak terhitung
jumlahnya, kesenjangan itu tetap ada.
Seperti yang ditunjukkan oleh rekan Center saya Brian Gong dalam komunikasi pribadi
baru-baru ini, kesenjangan ini lebih besar daripada perbedaan "kehilangan belajar"
yang akan kita temukan antara kelompok yang relatif diuntungkan dan kurang
beruntung karena gangguan sekolah musim semi 2020. Profesor Heather Hill dan
Susanna Loeb membuat poin yang sama dalam opini baru-baru ini di EdWeek.
Reformasi Pendidikan adalah Pemulihan
Pembelajaran
Baik tantangan mengukur kerugian pembelajaran terkait COVID dan efek bawaannya,
maupun besarnya kerugian ini relatif terhadap kerugian sistemik yang lebih besar, tidak
akan menghalangi kita untuk mengatasinya tanpa adanya pengukuran yang ideal dan
kondisi alokasi sumber daya. Berbagai proposal telah diajukan. Editorial New York
Times dari pertengahan April mengutip analisis oleh NWEA untuk menyatakan bahwa
COVID-slide akan substansial dan abadi, merekomendasikan bahwa "setiap
pendekatan yang masuk akal akan mencakup" pengujian ekstensif saat masuk kembali,
rencana "agresif" untuk remediasi dan sekolah tambahan hari, antara lain.
Rekan saya di Center Carla Evans menulis bahwa pengembangan profesional pada
praktik penilaian kelas yang baik jauh lebih menjanjikan dalam mengatasi kesenjangan
pencapaian terkait COVID daripada pendekatan yang mencoba terlebih dahulu untuk
memecahkan masalah pengukuran kehilangan pembelajaran dalam parameter sekolah
pada musim gugur yang khas. Dalam artikel EdWeek mereka, Hill dan Loeb menulis
bahwa penilaian informal oleh guru kelas (seperti yang ada dalam kurikulum berkualitas
tinggi) lebih baik daripada sesuatu yang lebih komprehensif di awal tahun. Mereka
berpendapat bahwa sekolah sudah disiapkan untuk menghadapi variabilitas dalam
kesiapan siswa yang jauh lebih besar daripada perkiraan tertinggi kehilangan
pembelajaran terkait COVID. (Hill dan Loeb juga mempertanyakan perkiraan
NWEA, mengutip data dari Early Childhood Longitudinal Studyyang menunjukkan
kerugian belajar terkait COVID yang lebih kecil.)
Tempat penilaian di antara proposal yang lebih bernuansa ini untuk mengatasi
kesenjangan COVID tidak berbeda dari apa yang akan kami anjurkan sebagai bagian
dari rencana untuk mengatasi kesenjangan yang dipelajari dengan lebih baik, lebih
terukur, lebih signifikan, dan lebih persisten. Tujuannya selalu sistem penilaian kelas
berkualitas tinggi dengan penekanan pada praktik penilaian formatif yang kuat
Jika kita ingin melakukan pekerjaan pemulihan pembelajaran, mari kita manfaatkan
momen ini untuk pulih tidak hanya dari kerugian satu musim tetapi juga dari kerugian
yang telah bersama kita selama beberapa dekade.

Anda mungkin juga menyukai