Anda di halaman 1dari 12

Studio Akhir Desain Arsitektur

Re-desain Pasar
Kotagede
Re-desain Pasar Legi Kotagede
dengan Konsep Perancangan
Arsitektur Biomorfik yang
merespon Tata Ruang Rumah
Tradisional Jawa dan Material
Daur Ulang

Febty Fajar Rahayu


18512197

Dosen Pembimbing
Johanita Anggia Rini, ST., MT., Ph.D

PROGRAM STUDI SARJANA ARSITEKTUR


I. Premis Perancangan

Pasar Legi Kotagede sebagai jantung perekonomian masyarakat yang berada di kawasan Kotagede dan sekitarnya. Lokasi pasar
yang terletak di tengah-tengah wilayah Kotagede dan sangat strategis untuk didatangi seluruh penduduk Kotagede. Di pasar tersebut
terdapat berbagai bahan pokok makanan baik kebutuhan sehari-hari hingga makanan tradisional (jajanan pasar) khas Kotagede, dan
dikelilingi industri perak yang berkembang di sekitar pasar tersebut. Selain itu, dalam kurun waktu tertentu juga rutin diadakan
pertunjukan kesenian seperti Wayang Tingklung, Ketophrak, Pasar Keroncong, dan lain-lain tepat di sebrang pasar.

Gagasan awal proyek tugas akhir ini berasal dari adanya kondisi pasar yang belum memadai baik secara internal maupun eksternal.
Secara internal jumlah kios terbatas yang tidak dapat menampung para pedagang, jumlah pedagang tersebar dan tidak tertata
sehingga pengunjung kebingunan mencari keperluannya, serta belum memiliki ciri khas yang menarik wisatawan. Sedangkan secara
eksternal, setiap legi pasar dipenuhi pedanag dan pembeli dari berbagai daerah sehingga aktivitas keramaian menyebabkan

kemacetan, belum terdapat pasar yang menunjukan keunggulan budayanya seperti kuliner, suasana tempat, dan kesenian. Maka dari
itu perlunya re-desain terhadap penataan kios-kios pasar dan beberapa fasilitas pendukung sehingga berfungsi dengan baik.

Untuk menyelesaikan permasalahan secara arsitektural yaitu menggunakan pendekatan re-desain pasar dengan arsitektur biomorfik
yang dilihat dari pasar yang belum memiliki ciri khas. Melalui pendekatan tata ruang rumah tradisional jawa dan penggunaan
material daur ulang sesuai dengan eksplisit untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks teknologi dan kinerja bangunan.
Sehingga seluruh pendekatan yang digunakan dapat berkontribusi pada bangunan maupun lingkungan sekitar.
II. Latar Belakang Permasalahan

Pasar Legi Kotagede merupakan pasar tertua di Yogyakarta yang dibangun pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada masa

pemerintahan Panembahan Senopati abad ke-16. Pasar ini pada jaman dahulu merupakan tempat asimilasi budaya dari para
pedagang dan pembeli dengan latar belakang budaya, ras, dan etnis yang berbeda. Bangunan pasar ini juga termasuk dalam
Kawasan Cagar Budaya (KCB). Selain sebagai pusat perekonomian, pasar Kotagede juga menyimpan makna historis dan filosofis
yang merupakan bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal, yang berarti empat tempat atau wahana menjadi kesatuan tunggal.
Keempat tempat atau wahana tersebut meliputi: pasar sebagai pusat perekonomian, alun-alun sebagai pusat budaya masyarakat,

masjid sebagai pusat peribadatan, dan keraton sebagai pusat kekuasaan (Kostof, 1992).

Pada tahun 2017, pasar ini telah mengalami peningkatan jumlah pengunjung. Namun sejak pandemi Covid-19 pengunjung mulai
beralih ke pasar Beringharjo dan pasar lainnya, sehingga kinerja pasar mengalami penurunan. Selain itu, hal tersebut menyebabkan
perawatan fasilitas pasar yang kurang memadai, penataan ruang dan pedagang yang masih belum teratur, belum terdapat ciri khas
pada pasar, dan kemacetan arus lalu lintas yang disebabkan adanya aktivitas pasar. Kemacetan tersebut dipengaruhi oleh tidak
adanya fasilitas parkir pada pasar dan membludaknya keberadaan pasar Legi sudah menjadi peristiwa rutin di setiap hari pasaran.
Setiap Legi, pasar dipenuhi para pedagang dan pembeli yang datang dari berbagai daerah, sehingga komoditas yang ditawarkan
semakin beragam. Namun keramaian akibat aktivitas jual-beli di pasar ini yang tidak dibersamai dengan perbaikan pasar dari segala
aspek. Sehingga keluhan dari masyarakat terus terlontarkan dengan ketidaknyamanan saat berada di Pasar Kotagede ini.

Selain itu, pasar Legi Kotagede ini memiliki ciri fisik yang khas berupa bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan
keasliannya sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Selain memiliki ciri khas berupa aset bangunan cagar budaya, Kotagede juga
memiliki banyak kesenian tradisional yang rutin diadakan bahkan memakai area jalan pasar Kotagede sebagai panggung. Kesenian

tradisional tersebut berupa karawitan, ketoprak lesung, panembromo dan samroh, keroncong, tari, dan teater. Kekhasan atau
keunggulan suatu daerah adalah hal sakral yang sangat penting untuk dijaga.
II. Latar Belakang Permasalahan

Rencana Revitalisasi Pasar dan Penataan Lalu Pasar Kotagede Pasar Tertua di
Lintas Kawasan Kotagede DIY, Buka Hampir 24 Jam
Sumber : kartamantul.jogjaprov Sumber : saibumi.com

Langkah penanganan telah dilakukan mulai dari manajemen lalu lintas, studi penataan kawasan, penataan RTBL hingga rencana
rehabilitasi pasar. Berdasarkan analisis dari sisi transportasi Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, kemacetan baru bisa diurai jika telah
dilakukan penataan Pasar Kotagede. Permasalahan utamanya adalah kondisi jalan yang relatif sempit dan adanya parkir di badan
jalan khususnya di Jalan Mondorakan. Kuncinya pasar perlu dibangun dan disediakan ruang parkir baru, kemudian bisa dilakukan
penataan.
III. Kajian Awal Tema Perancangan

a. Arsitektur Biomorfik
Bentuk dan pola biomorfik mengacu pada bentuk dan fungsi yang ditemukan di alam, yang sifat-sifatnya telah diadopsi untuk

kebutuhan dan masalah manusia (Kellert & Calabrese, 2015). Menurut Browning, Ryan, & Clancy (2014), bentuk dan pola biomorfik
yaitu, referensi atau acuan untuk mengacu pada bentuk dan fungsi yang ditemukan di alam, untuk memberikan solusi pada

kebutuhan dan masalah manusia. bentuk tanaman pada fasad bangunan, hingga bentuk hewan pada kain atau penutup ruangan.
Kemunculan bentuk yang alamiah dapat mengubah ruangan yang statis menjadi lebih dinamis dan dikelilingi oleh sistem kehidupan.
Semula, sistem konstruksi disesuaikan dengan karakteristik alamiah dari bahan-bahan bangunan yang konvensional, yaitu batu alam
dan kayu. Setelah dimulai dengan pembuatan kaca, brons, besi dan bata batuan, tak banyak kemajuan yang dicapai dalam disain.
Pengaruh besar terhadap arsitektur terjadi pada abad revolusi industri dengan munculnya berbagai bahan-bahan buatan. Cara-cara
dalam pemakaian baja, kaca, plastik, beton bertulang, lain-lain bahan campuran dan teknologi modern yang merealisir sumber tenaga
untuk penerangan, udara, air dan panas, membuat gedung-gedung terlindung dari gangguan alam. Dibuatlah perencanaan untuk

menyediakan lingkungan kehidupan kelompok-kelompok manusia dalam kota-kota yang menjadi monumen dan menguasai alam.
Prasangka anti alam dalam arsitektur dan gaya institusional mencapai puncaknya dalam tahun sembilan belas empat puluhan yang

dengan ciri khasnya digunakan kaca-kaca lebar dan baja-baja konstruksi yang dapat diprodusir secara besar-besaran.

a) Pada bangunan School of the karya WOHA Architect terdapat double skin pada fasad berupa green wall yang membuat
bangunan lebih dinamis dan dikelilingi sistem kehidupan, dengan fungsi sebagai filter dari bisng, cahaya dan debu.
b) Pada bangunan Kroon Hall Yale University, unsur bentuk dan pola biomorfik terdapat fasad bangunan yang memakai
pengulangan unsur garis
c) Konsep pada French International School of Beijing memakai fasad double skin beripa kisi-kisi kayu yang tampak seperti
mengapung dan membentuk seperti garis-garis pohon. Hal ini menciptakan tampilan bangunan yang inovatif dan dinamis
III. Kajian Awal Tema Perancangan

Berdasarkan kajian awal di atas, penggunaan arsitektur biomorfik sebagai pendekatan perancangan ini akan digunakan pada bagian

fasad bangunan berupa adanya ciri khas Kotagede pada double skin atau green wall yang membuat bangunan lebih dinamis dan

dikelilingi sistem kehidupan.

b. Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa


Jejak sejarah Kota Yogyakarta yang ada bukan hanya ditemukan dalam kesenian yang dimiliki oleh masyarakatnya namun juga
dapat dilihat dari bangunan yang terdapat di Yogyakarta, salah satunya bangunan rumah tinggal tradisional yang ada desa-desa di

Kota Yogyakarta. Arsitektur tradisional Jawa sendiri memiliki keunikan dengan kaidah- kadiah yang harus ada untuk membentuk
bangunan, termasuk dalam membentuk pola tata ruang rumah tinggalnya. Pola ruang pada arsitektur jawa sendiri terbentuk karena
kaidah-kaidah tertentu dalam penataan pola ruangnya.
Rumah tinggal adalah sebuah wujud dari kedudukan sosial, pembagian ruang pada rumah tinggal tradisional jawa dibagi

berdasarkan jender, sebagai gagasan mengatur perilaku pria dan wanita. Kebudayaan jawa merupakan sebuah kebudayaan dengan
sistem kekerabatan yang unik, yang memperlihatkan sebuah kedudukan serta peranan seseorang di dalam kehidupan dalam pola
ruang rumah tinggal. Oleh karena itu rumah tinggal tradisional Jawa dikelompokan berdasarkan pada status sosial dari pemiliknya
dari mulai bangsawan hingga rakyat biasa. Bentuk rumah tinggal tradisional sendiri berjenjang tingkatannya mulai dari rumah dengan

tipe joglo hingga kampung. Pembagian katagori ini berpengaruh pada pola tata ruang dan tata elemen arsitekturalnya yang
menyampaikan peran dan simbol tertentu menurut Suprijanto (2002).
Bentuk denah dasar rumah Jawa (omah) adalah bujur
sangkar atau empat persegi panjang. Pada dasarnya, rumah

Jawa-termasuk yang ada di Kotagede-terbagi menjadi dua


bagian yaitu rumah induk dan rumah tambahan
(Wondoamiseno & Basuki, 1986). Pola ini mengikuti prinsip
tata letak sesuai sumbu utara-selatan dan memiliki nilai
kesakralan yang semakin meningkat kea rah bangunan dalem.
Ada dua jenis omah, yaitu omah dengan dalem yang terbagi
dua ruang dan dalem yang terbagi tiga ruang. Bagian terluar
omah disebut emper dan bagian dalam berupa dalem dengan
tiga senthong.
III. Kajian Awal Tema Perancangan

Berdasarkan kajian awal di atas, penggunaan tata ruang rumah tradisional jawa pada perancangan ini terletak sebagai acuan tata

ruang utama pasar atau tata ruang kios-kios tertentu. Hal ini didasari pada konsep tata ruang memiliki ciri khas budaya Jawa yang
masih sangat kental di kawasan Kotagede itu sendiri.

c. Material Daur Ulang


Arsitektur hijau memiliki berbagai macam elemen atau indicator diantaranya yang disebutkan dalam Green Building Council Indonesia

(GBCI) yang didirikan tahun 2009, bahwa ada 6 aspek penilaian desain Greenship Homes (GBCI, 2014) yaitu, 1) Tepat guna lahan,
2) Efisiensi energi dan konservasi, 3) Konservasi air, 4) Sumber dan siklus material, 5) Kesehatan dan kenyamanan ruang dalam, 6)
Manajemen lingkungan bangunan. Dijelaskan lebih lanjut oleh (Surajana dan Ardiansyah, 2013) bahwa Penggunaan Material
Bekas/Daur Ulang diatur dalam poin Sumber dan Siklus material, yaitu pemanfaatan material bekas (reused) bangunan lama
dan/atau dari tempat lain untuk mengurangi penggunaan bahan baru, mengurangi limbah pembuangan dan memperpanjang usia

bahan material.
Tolak ukurnya adalah menggunakan kembali semua material bekas, baik dari bangunan lama maupun tempat lain, berupa bahan
struktur utama, fasad, plafon, lantai, partisi, kusen, dan dinding, setara minimal 10% dari total biaya material, akan menambah nilai
presentase peniliaian unutk poin sumber dan siklus material. Dalam hal ini, desain perlu memperhatikan faktor alternatif desain, yang
memasukan unsur bahan bangunan lama kedalam bangunan baru. Contoh penerapan material daur ulang pada bangunan yaitu
Gandom Office Building. Sebuah perusahaan manufaktur pasta telah membeli sebuah gedung yang sedang dibangun untuk kantor
pusatnya yang terdiri dari tujuh lantai kantor dan sebuah lantai komersial.
Gandom Building Office ini menggunakan material daur ulang dari gandum pada dindingnya. Proses pembuatannya yaitu :
1) Serbuk gandum + tanah + gypsum
2) Dicetak dengan teknik vertikal searah
3) Tunas mulai tumbuh secara acak
4) Kemudian tunas di cabut dan melakukan stabilizer resin

Berdasarkan kajian awal di atas, penggunaan material daur


ulang yang diambil dari sampah Pasar Kotagede sebagai
pendekatan perancangan ini akan digunakan pada bagian
fasad atau material utama bangunan.
IV. Peta Persoalan

a. Rumusan Permasalahan Umum


Bagaimana mere-desain Pasar Legi Kotagede dengan pendekatan Arsitektur Biomorfik yang merespon Tata Ruang Rumah Tradisional
Jawa dan Material Daur Ulang?

b. Rumusan Permasalahan Khusus


Bagaimana merancang fasad bangunan dengan material daur ulang sebagai strategi pendekatan arsitektur biomorfik?
Bagaimana merancang tata ruang Pasar Kotagede dengan mengimplikasikan tata ruang rumah tradisional jawa pada bagian
tertentu?
Bagaimana merancang pasar modern yang rekreatif dan menarik dengan ciri khas Pasar Kotagede?

Kerangka Berpikir
Sumber : Penulis, 2022
V. Keunggulan, Originalitas dan Kebaruan

Judul : Revitalisasi Pasar Sentul

Nama : Dhira Ayu Laksmita


Tahun terbit : 2016
Instansi : Universitas Islam Indonesia
Penekanan : Mengoptimalkan kebutuhan ruang, integrasi wisata seni dan kuliner
Permasalahan : Minimnya wadah untuk mengembangkan UMKM menjadi latar belakang untuk mengintegrasikan fungsi pasar yaitu
pasar bahan pangan, kerajinan, dan kuliner. Sehingga revitalisasi pasar ditujukan untuk menjadi sarana rekreasi dan edukasi dengan
nilai kebudayaan berupa kuliner dan kerajian yang menjadi ciri khas kawasan.

Judul : Perancangan Kembali Pasar Kotagede


Nama : Ignatius Andriyuwana
Tahun terbit : 2000

Penekanan : Perancangan kembali pasar Kotagede yang dapat mengakomodasi karakter pedagang tidak tetap, dan pengolahan
tatanan fisik bangunan yang kontekstual terhadap karakter fisik lingkungan sekitar.
Permasalahan : Perkembangan pasar Kotagede yang tidak terencana dengan baik menyebabkan timbulnya permasalahan serius,
kususnya yang berkaitan dengan kapasitas dan kualitas ruang.

Judul : Revitalisasi Pasar Kota Sragen


Nama : Rochmad Adji Prayoga
Tahun terbit : 2019
Penekanan : Mengangkat citra pasar tradisional dengan konsep modern (neo vernakuler) sebagai pusat perbelanjaan yang nyaman,
aman, dan menyenangkan atau penataan kembali agar kebutuhan terpenuhi.
Permasalahan : Pasar Kota Sragen yang menarik dan melestarikan peninggalan budaya dicerminkan dari bentuk atap yang
mengelilingi fasad bangunan, komposisi material bangunan yang mencerminkan konsep neo vernakuler, bentuk los dan kios pada
tempat perdagangan mencerminkan kearifan kokal suasana pasar tradisional.
VI. Gambaran Awal Metode Perancangan

a. Metode Penelusuran Masalah

b. Metode Pemecahan Masalah c. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data melalui data primer (survei lokasi, wawancara,
dokumentasi) dan data sekunder (studi literatur) terkait konteks
lokasi, tapak, tipologi serta preseden bangunan
VII. Gambaran Awal Rancangan
Referensi

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota

Yogyakarta Tahun 2012-2016


Laksmita, Dhira Ayu. Proyek Akhir Sarjana. Revitalisasi Pasar Sentul. Arsitektur. Universitas Islam Indonesia. 2016

Andriyuwana, Ignatius. Tugas Akhir. Perancangan Kembali Pasar Kotagede. Arsitektur Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. 2000
http://repository.ub.ac.id/145617/
https://kartamantul.jogjaprov.go.id/rencana-revitalisasi-pasar-dan-penataan-lalu-lintas-kawasan-kotagede/
https://prezi.com/p/5kmmqynch0nv/pasar-legi-kotagede/
https://media.neliti.com/media/publications/289202-rekayasa-material-daur-ulang-dari-limbah-9089927e.pdf

Anda mungkin juga menyukai