Anda di halaman 1dari 17

4.

1 Rumah Tradisional Jawa


Rumah tradisional Jawa adalah rumah tinggal yang memiliki komposisi dan proporsi
yang khas karakteristik arsitektur Jawa. Bentuk rumah tinggal tradisional Jawa dibagi
menjadi empat tipe berdasar bentuk atap, yaitu joglo, limasan, kampung, dan panggang pe.
Masing-masing tipe memiliki beberapa ragam/varian yang keseluruhannya berjumlah sekitar
26 ragam/varian. Demikian pula yang berada di Kotagede. Joglo adalah tipe atap yang paling
rumit dan canggih dalam hal konstruksi dan tekniknya, sedangkan panggang pe adalah tipe
atap yang paling sederhana (Tjahjono, 1989). Dengan demikian dapat dimengerti bahwa
rumah joglo biasanya dimiliki oleh orang-orang dengan status sosial ekonomi tinggi.
Berdasarkan lokasinya, rumah tradisional Jawa di Kotagede dibedakan menjadi rumah
tradisional di dalam kampung dan rumah tradisional di tepi jalan.
Rumah tradisional Kotagede yang lengkap, terutama yang dimiliki oleh bangsawan
atau orang kaya, biasanya menggunakan atap joglo atau limasan pada pendapa dan dalem.
Sedangkan bangunan gandhok dan gadri biasanya beratap limasan atau kampung. Atap
panggang pe tidak biasa digunakan untuk rumah tinggal tetapi umumnya digunakan antara
lain untuk gardu dan pasar.
4.2 Rumah tradisional Kotagede
Kotagede adalah kawasan tradisional tertua di Yogyakarta yang merupakan bekas
ibukota Kerajaan Mataram Islam pertama yang didirikan pada abad ke-16. Sejarah
Yogyakarta berawal dari Kotagede, sehingga di samping sebagai kawasan lama yang unik,
Kotagede juga merupakan kawasan pusaka yang penting yang telah membentuk kehidupan
perkotaan Yogyakarta.
Nilai sejarah dan budaya yang tinggi dari kawasan pusaka Kotagede tercermin pada
arsitektur rumah tinggal dan kehidupan sosial masyarakatnya. Rumah tradisional yang
dibangun ratusan tahun lalu dengan konstruksi kayu dan konsol kayu berukir yang disebut
bahu dhanyang adalah ciri utama yang unik dan menarik. Demikian pula rumah Kalang yang
merupakan perpaduan gaya arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur Indisch adalah pusaka
Kotagede yang sangat bernilai. Ciri istimewa lainnya dari Kotagede adalah kampungkampung dengan gang-gang sempit di antara rumah rumah dan masyarakatnya masih hidup
dalam tradisi Jawa.

4.3 Perubahan alih fungsi permukiman Kotagede


Dari waktu ke waktu, Kotagede telah mengalami banyak perubahan yang
mengakibatkan pudarnya karakter asli Kotagede.
Beberapa hal yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain:

Adanya kebutuhan untuk mewadahi kehidupan modern yang menuntut perubahan tata
ruang dan desain bangunan sehingga beberapa rumah tradisional telah berganti wajah

menjadi rumah 'modern' baik sebagian atau seluruhnya.


Adanya kebutuhan ekonomi yang mendorong pemilik rumah untuk menjual sebagian
atau seluruh rumahnya sehingga beberapa rumah tradisional telah berpindah ke

tempat lain di luar Kotagede dan digantikan dengan bangunan nontradisional.


Adanya bencana gempa bumi Mei 2006 lalu telah menyebabkan banyak rumah roboh
dan rusak sehingga perlu segera diperbaiki atau dibangun kembali. Perbaikan dan
pembangunan kembali yang menggunakan teknik dan bahan baru yang lebih mudah
dan lebih murah dibanding apabila menggunakan bahan dan teknik tradisional

dikhawatirkan akan berdampak pada berubahnya karakter kawasan pusaka Kotagede.


Pada Kelurahan Rejowinangon terdapat permukiman jenis atap joglo yang dialih
fungsikan menjadi fasilitas pendidikan, dikarenakan fungsi permukiman yang lama
sudah tidak ada guna lagi atau tidak dipakai lagi saat pemilik rumah berpindah
tempat. Jadi dimanfaatkan untuk fasilitas pendidikan agar berguna bagi masyarakat
sekitar.
Menyelamatkan dan mempertahankan kawasan pusaka Kotagede dan rumah-rumah

tradisionalnya berarti menyelamatkan dan mempertahankan kekayaan nilai sejarah dan


budaya Kotagede, termasuk teknik membangun arsitektur tradisional Jawa. Upaya pelestarian
tersebut sangat penting bagi generasi mendatang agar mengerti dan menghargai asal-usul
sejarah dan budayanya.
Seringkali ada pemahaman yang keliru bahwa melestarikan bangunan berarti
mengawetkan bangunan sebagaimana adanya. Artinya, bangunan sama sekali tidak bisa
diubah, baik pemanfaatannya maupun bentuk desain bangunannya. Sesungguhnya pelestarian
adalah sebuah tindakan yang dinamis dan memungkinkan adanya perubahan, tentu saja
secara selektif. Pemahaman ini mengarahkan kepada kemungkinan adanya penyesuaian
fungsi dan desain bangunan menurut kepentingan pemanfaatannya masa kini dan masa yang
akan datang.
Untuk melakukan perubahan, hal pertama yang perlu dipahami adalah fungsi
bangunan dan tata ruangnya yang asli. Memang, tindakan paling aman adalah apabila

bangunan bisa digunakan seperti fungsi aslinya karena hal ini berarti hanya memerlukan
sangat sedikit perubahan dan dana. Perubahan fungsi bangunan sangat mungkin akan
memerlukan konstruksi dan teknik yang baru, sehingga perlu diperhatikan kesatuan struktural
antara bagian yang lama dan yang baru. Selama ini Kotagede adalah tempat yang menarik
untuk dikunjungi, baik oleh wisatawan (domestik dan asing) maupun mahasiswa dan peneliti
karena nilai sejarah dan budayanya. Kotagede juga sangat terkenal sebagai pusat beragam
kerajinan, terutama kerajinan perak. Mengingat potensinya sebagai objek wisata budaya,
berikut ini adalah beberapa kemungkinan fungsi baru dari bangunan-bangunan tua yang
semula berfungsi sebagai rumah tinggal di Kotagede:
a. Fasilitas makan-minum (restoran, kafe, dll.)
Mengingat bahwa Kotagede adalah tempat yang banyak diminati para pelancong
maupun peneliti, maka akan sangat baik apabila tersedia fasilitas makan dan minum bagi
mereka. Beberapa rumah tua pada lokasi-lokasi tertentu, jika direnovasi, dapat digunakan
sebagian atau seluruhnya untuk restoran dengan menu dan suasana tradisional yang khas.
b. Penginapan (hotel, guest house, homestay, dll.)
Kotagede sangat sering menjadi lokasi pilihan kuliah lapangan bagi mahasiswa dan
para ahli, baik dari dalam maupun luar negeri. Biasanya mereka menginap di hotel di
luar Kotagede. Apabila ada rumah-rumah tradisional yang dapat dijadikan tempat
penginapan, guest house, atau homestay bagi para peserta kuliah lapangan, mereka tentu
akan sangat senang mendapatkan pengalaman tinggal di rumah tradisional dan terlibat
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Tentu saja harus diperhatikan lokasi
tempat rumah itu berada agar dapat dihindari dampak buruknya terhadap lingkungan
sekitar. Demikian pula perlu disediakan fasilitas pelengkap yang memenuhi standar
kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan.
c.

Toko kerajinan dan bengkel kerja


Kotagede terkenal akan kerajinan perak, tembaga, kuningan, dan bordir yang sampai
saat ini masih ada. Meski akibat adanya gempa pada 27 Mei 2006 yang lalu banyak
orang yang kehilangan peralatan dan ruang kerja mereka, namun apabila ada bantuan
dana untuk membangkitkan lagi industri rumah tangga tersebut maka Kotagede akan bisa
bertahan menjadi pusat kerajinan terutama perak. Selama ini banyak pelancong yang
justru tertarik untuk mengunjungi dan membeli perak langsung ke rumah perajin.

Oleh karena itu, akan sangat cocok apabila toko-toko kerajinan dan bengkel kerja
berada di rumah-rumah lama, baik di dalam kampung maupun di pinggir jalan besar.
Selain membeli kerajinan, para pengunjung akan terkesan menyaksikan dan bahkan
belajar secara langsung proses pembuatan kerajinan perak dan kerajinan lainnya.
d. Ruang pamer, galeri seni, dan museum
Bagi beberapa pemilik rumah lama yang tidak lagi berminat untuk tinggal di
Kotagede bisa mengalihfungsikan rumah mereka menjadi ruang pamer, galeri seni atau
museum rumah. Selain memajang benda-benda seni lokal, fasilitas baru ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai area pembelajaran bagi pengunjung maupun masyarakat setempat
dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan seni seperti diskusi seni dan budaya.
4.4 Bangunan (Jumlah lantai dan ketinggian bangunan)
Rumah tradisional Jawa pada umumnya terdiri dari satu lantai. Di antara semua
bangunan yang berada dalam satu kompleks rumah Jawa, dalem adalah bangunan yang
paling utama sehingga dalem memiliki permukaan lantai yang paling tinggi dibanding
dengan bangunan lainnya.
Tinggi bangunan pendapa pada umumnya 6-7 m terhitung dari permukaan tanah sampai ke
puncak atap, sedangkan ketinggian lantai pendapa sekitar 25-30 cm dari permukaan tanah.
Ketinggian lantai pendapa dihitung dari permukaan tanah adalah sama tinggi atau lebih
rendah dari ketinggian lantai dalem. Tinggi bangunan dalem pada umumnya lebih rendah
atau sama dengan pendapa. Ketinggian lantai senthong pada umumnya lebih tinggi dari
ketinggian lantai ruang atau bangunan lainnya karena senthong adalah ruang yang sakral.
Tinggi bangunan gadri (di belakang dalem) dan gandhok (di kanan kiri dalem) pada
umumnya lebih rendah daripada dalem.
4.5 Arah Hadap Bangunan
a. Arah Hadap (Orientasi) Bangunan Rumah Jawa
Termasuk di Kotagede, adalah utara atau selatan. Hal ini terkait dengan
kepercayaan masyarakat. Berikut ini adalah kondisi orientasi bangunan yang ada
di Kotagede saat ini:
b. Arah hadap bangunan yang berada di tengah kampung
Bangunan tradisional Jawa yang berada di tengah
mempertahankan arah hadap bangunan utara-selatan.
c. Arah hadap bangunan yang berada di pinggir jalan utama

kampung

masih

Pada dasarnya rumah yang berada di tepi jalan memiliki arah hadap utara-selatan.
Namun seiring dengan munculnya jalan besar, rumah tradisional Jawa berubah
menjadi menghadap jalan. Walaupun demikian, tata letak bangunan tetap
dipertahankan.
4.6 Permukiman tradisional
4.6.1

Permukiman Tradisional Pada Jalan Rukunan


Keunikan Kotagede juga tampak melalui kampung-kampungnya dengan bangunan

bangunan bersejarah berarsitektur tradisional dan gang-gang sempit serta jalan rukunan. Jalan
rukunan adalah jalan yang terbentuk dari deretan ruang terbuka di antara bangunan dalem
dan pendapa. Jalan ini digunakan sebagai jalan setapak untuk umum yang menghubungkan
sederet rumah pada lingkungan yang bersangkutan.
Jalan rukunan memiliki lebar tidak seragam antara 1-3 m. Letak jalan membujur ke
arah barat dan timur dan pada ujung timur atau barat terdapat gerbang sebagai batas antara
jalan rukunan dengan jalan kampung. Jalan rukunan banyak dijumpai di sekitar area pasar
Kotagede dan kompleks masjid-makam. Di Kelurahan Jagalan terdapat lima lokasi jalan
rukunan; di Kelurahan Prenggan terdapat 10 lokasi jalan rukunan dan di Kelurahan Purbayan
sebanyak enam lokasi jalan rukunan.
Ragam pola jalan rukunan terdiri dari empat macam , yaitu :
a.
b.
c.
d.

Pola terbuka/tertutup
Pola lurus/berbelok
Pola tunggal/jamak
Pola yang terkait dengan ruang terbuka

Bahan perkerasan jalan yang digunakan pada jalan rukunan antara lain beton, batu
kali, batu bata dan sejenisnya. Status tanah jalan rukunan adalah milik pribadi yang direlakan
untuk kepentingan umum. Sebagai halaman rumah, jalan rukunan ini kadang berfungsi untuk
menampung kegiatan sosial sehari-hari seperti tempat mengobrol, tempat menjemur pakaian,
tempat bekerja perajin, tempat bermain anak, dan sebagainya. Pada saat saat tertentu jalan ini
digunakan untuk kepentingan lingkungan sekitarnya, misalnya perayaan pernikahan,
kematian, maupun perayaan hari kemerdekaan. Salah satu lokasi jalan rukunan yang banyak
dikenal orang terdapat di area permukiman Between Two Gates, di Kampung Alun-Alun,
Kelurahan Purbayan.

Gambar 4. 1 Permukiman Jalan Rukunan


4.6.2

Sejarah Terbentuknya Permukiman


Permukiman ini pada awalnya adalah permukiman dengan arsitektur rumah Jawa,

seiring dengan arsitektur rumah Jawa, namun seiring perkembangan jaman nuansa arsitektur
kolonial mulai terlihat di permukiman ini, gaya arsitektur kolonial itu terlihat dari beberapa
bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1900-an baik dari bentuk bangunannya maupun
bahan, ragam hiasan, serta tinggi pintu dan jendela yang digunakan.
Masuknya pengaruharsitektur kolonial tidak lepas dari keberadaan Belanda yang
menjajah Indonesia pada saat itu. Walauoun unsur-unsur atau arsitektur kolonial ikut
mewarnai permukiman ini, masyarakat setempat atau warga lingkungan permukiman tetap
memegang prinsip bahwa rumah induk (rumah utama) tetap menjaga konsep rumah Jawa
sehingga tidak boleh ada perubahan, yang boleh berubah adalah bangunan tambahan. Prinsip
tersebut tetap dipegang sampai sekarang sehingga rumah-rumah utama (induk) di
permukiman ini masih tetap terjaga keasliannya.
Pada awal terbentuknya, permukiman ini jalan yang dilalui penghuni adalah jalan
yang berada di belakang rumah, karena pertimbangan untuk kemudahan akses dan
masyarakat bisa lebih berinteraksi maka antar warga kemudian membuat kesepakatan untuk
mengibahkan halaman rumahnya untuk dilalui oleh penghuni lain. Jalan yang ada di dpan
rumah warga, sebenarnya bukan jalan tetapi lahan dari pemilik rumah masing-masing di
lingkungan permukiman ini yang di relakan untuk dilewati oleh penghuni lain. Pada
awalnya jalan ini hanya diperuntukkan bagi penghuni, tetapi saat ini telah menjadi jalan
public (umum) yang bisa dilalui oleh siapa saja (orang di luar permukiman).

Gambar 4.2 Pintu Gerbang Barat

Gambar 4.3 Lingkungan Permukiman


4.6.3

Tipologi Bentuk Rumah


Bentuk rumah pada awal terbentuknya permukiman ini adalah rumah tradisional Jawa

yaitu: rumah Joglo dan rumah kampung yang memiliki lahan kosong di samping kiri atau
samping kanannya. Seiring perkembangan jaman dan tuntunan ruang, lahan yang berada di
amping kiri atau kanan rumah ini kemudian dibangun. Pembangunan dilakukan seoptimal
mungkin memanfaatkan lahan yang ada, sehingga antara rumah yang satu dnegan yang
lainnya tadinya dipisahkan oleh kebun kemudian menjadi rapat/berhimpitan. Pembangunan
dengan mengoptimalkan lahan yang mereka miliki menghasilkan berbagai bentuk rumah,
yaitu :
1.
2.
3.
4.

rumah induk-rumah tambahan


rumah tambahan-rumah induk
rumah tambahan-rumah induk-rumah tambahan
rumah induk

Gambar 4.4 Rumah tambahan-rumah induk-rumah tambahan

Gambar 4.5 Rumah Induk


4.6.4

Konsep Rumah
Rumah-rumah di lingkungan permukiman ini dibangun dengan konsep bangunan

Jawa, yaitu terdiri dari ndalem, emperan, halaman, dan pendopo, baik rumah joglo maupun
rumah kampung. Bentuk rumah yang ada merupakan simbol status bagi pemiliknya.
Orientasi rumah di lingkungan permukiman ini semuanya menghadap ke arah selatan karena
anggapan masyarakat bahwa rumah rakyat tidak boleh menyamai keraton (menghadap utara).
Penambahan bangunan hanya dilakukan pada bagian kanan atau kiri bangunan induk,
sehingga tidak merusa konsep rumah yang ada, walaupun seiring perkembangan jaman
ruang-rumah di dalam ndalem, pada beberapa rumah sudah mengalami perubahan karea
tuntutan ruang bagi penghuninya.

Gambar 4. 6 Konsep Rumah Jawa


4.6.5

Nilai Rumah
Nilai rumah sebagai kebanggan bagi pemiliknya, terutama bila mempunyai rumah

Joglo karena pada jaman dulu rumah Joglo hanya dimiliki oleh orang yang status sosialnya
cukup tinggi. Penambahan bangunan di samping bangunan induk juga dimaksudkan agar
cukup menampung tamu undangan bila si pemilik rumah mengadakan hajatan, mereka
merasa bangga bila rumahnya memiliki ruangan yang besar yang cukup menampung para
tamu tanpa harus berada diluar rumah sehingga bangunan tambahan ini tidak memiliki sekat
atau pembatas ruang. Selain itu rumah juga memiliki nilai sosial tempat warga atau
masyarakat berkumpul untuk kegiatan-kegiatan tertentu misalnya; arisan, rapat. panitia acara
tertentu. hajatan. Rumah di kawasan ini juga memiliki nilai ekonomi karena ada dua rumah di
permukiman ini yang dijadikan sebagai artshop dan rumah yang dipinggir jalan menjadi
studio foto.

Gambar 4. 7 Nilai Rumah

4.6.6

Fungsi Jalan
a. Ruang Terbuka
Jalan yang membelah ruang hunian dengan pendopo depannya ini digunakan
warga sebagai tempat berinteraksi, warga yang tinggal di sebelah timur apabila
akan pergi beraktifitas maka akan melewati rumah0rumah warga yang ada di
sebelah barat begitupula seblaiknya sehingga mereka akan saling menyapa dan
akan saling kenal satu dengan yang lainnya. Di sisi jalan (depan rumah) terdapat
teritisan yaitu temppat duduk memanjang setinggi + 40 cm yang terbuat daru
batu/semen digunakan oleh warga untuk tempat duduk-duduk santau dan ngobrol
antar tetangga pada waktu-waktu tertentu. Jalan ini juga digunakan oleh anakanak sebagai tempat untuk bermain. Pada sisi jalan (utara dan selatan) digunakan
oleh beberapa pemilik sebagai area hijau dengan menanam tanaman di dalam pot
dan diletakkan didepan muka rumah dna juga diseberang jalan.

Gambar 4. 8 Ruang Terbuka


b. Ruang Kegiatan
Jalan ini digunakan oleh warga lingkungan permukiman untuk beragam kegaiatn,
misalnya; menjemur pakaian, menjemur kasur dikarenakan lebih cepat kering
dibandingkan jemur di dalam rumah. Wargapun sering melakukan aktivitas
sehari-hari dari rumah ke bangunan yang ada di selatan rumah. Jalan ini juga
digunakan pada saat acara-acara taau kegiatan-kegiatan tertentu, misalnya; orang
meninggal, perkawinan, sunatan, dan hajatan lainnya. Walaupun jalan ini
sekarang telah menjadi jalan publik yang dilalui oleh orang banyak, tetapi warga
dipermukiman ini tidak merasa terganggu dalam melakukan aktivitasnya di jalan
ini.

Gambar 4. 9 Ruang Kegiatan


4.6.7
4.6.7.1

Teritorial
Teritorial Kawasan
Di kedua ujung jalan ini, yaitu di sebelah timur dan barat terdapat pintu

gerbang yang membatasi permukiman ini dengan masyarakat lain di sekitar kawasan.
Gerbang ini pada awal terbentuknya permukiman tidak ada, gerbang ini dibangun pada tahun
1840 (sesuai dengan yang tertulis di dinding atas gerbang bagian timur). Karena rumahrumah dilingkungannya permukiman ini dindingnya berhimpitan satu dengan yang lainnya,
sehingga membentuk rumah yang berdert maka pemilik rumah tidak dapat membuat batas
atau pagar pada batas lahannya. Pagar atau batas tersbeut kemudian dibangun pada ke dua
ujung dari deret dari rumah yang ada dilingkungan tersebut, untuk menandai batas wilayah
lingkungan permukiman ini sebagai pengganti pagar rumah masing-maisng penghuni.

Gambar 4. 10 Teritorial Kawasan


4.6.8

Teritorial Rumah
Jalan yang berada diantara rumah inti dan pendopo di kawasan ini sekarang telah

menjadi jalan publik yang dillaui oleh orang banyak orang tetapi warga dipermukiman ini
tidak merasa terganggu dalam melakukan aktivitasnya di jalan ini. Beberapa penghuni
melakukan aktivitas menjemur pakaian, meletakkan tanaman di kedua sisi jalan, membuat
terutusan atau tempat untuk duduk-duduk di jalan yang ada didepan rumahnya karena pemilik
rumah merasa bahwa jalan tersbeut adalah lahan miliknya yang dipakai untuk kepentingan

bersama, begitupula warga yang tidak ingin kepanasan dan kehujanan ketika berjalan dari
rumahnya yang ada di utara ke bangunan yang ada di selatan memberi atap sebagai
penghubung kedua bangunan itu.

Gambar 4. 11 Gambar Rumah dan bangunan di bagian selatan dihubungkan

Gambar 4.12 Menjemur pakaian di Jalan

4.6.9

Nilai Jalan
Nilai jalan diperoleh setelh melakukan eksplorasi terhadap kasus yang ada, yaitu nilai

kekerabatan, dengan adanya jalan di tengah lingkungan permukiman yang berderet maka
warga akan saling mengenal satu sama lain, hal ini juga akan memperat rasa persaudaraan
diantara penghuni lingkungan permukiman karena apabila adanya yang berselisih paham,
maka akan merugikan dirinya sendiri karena akan kesulitan untuk beraktifitas keluar rumah
(pergi bekerja). Nilai kerukunan karena antara rumah dan pendopo di kawasan permukiman
ini, warga dapat lebih saling mengenal, karena warga yang tinggal di lingkungan permukiman
ini hanya sedikit (hanya ada delapan ruamh yang dihuni, dari sembilan rumah yang ada)
sehingga warga lebih mudah mengenali orang asing (orang yang bukan warga permukiman)
yang masuk ke lingkungan permukiman tersebut dan mereka lebih mudah mengawasinya.
Selain itu terdapat lurungyang ada diantara rumah, awal terbentuknya permukiman ini
lurung-lurung ini tidak memiliki pintu tetapi pada tahun 1989 lurung ini diberi pintu,
dimaksudkan agar pada saat-saat tertentu (darurat) pintu-pintu ini dapat ditutup penghuni
telah rela mengibahkan lahannya untuk dapat dilalui oleh penghuni lain atau warga lain.

Gambar 4. 13 Nilai Jalan


4.6.10 Fungsi Ruang (lurung)
Lurung ini digunakan sebagai jalan alternative bagi warga yang tinggal di
permukiman untuk menuju ke kampung-kampung disekitar lingkunagn pemukiman atau
sebaliknya warga luar menggunakannya untuk menuju rumah yang ada di lingkunan
permukiman ini atau hanya lewat untuk menuju ke kampung lainnya. Lurung ini juga
digunakan sebagai jalan samping bagi penghuni rumah dan juga digunakan untuk sirkulasi
udara ke dalam rumah. Ruang antara yang ada di utara dan selatan berada pada satu garis.

Gambar 4. 14 Lurung
4.6.11 Permukiman Tradisional Rumah Kalang Pada Kelurahan Prenggan
Rumah tradisional Kalang merupakan bentuk fisik dari hunian orang Kalang yang
awalnya merupakan bagian dari masyarakat Jawa (Keraton Mataram) yang di kalangi oleh
lingkungan keraton sehingga membentuk komunitas sendiri dengan segala tradisi dan
karakter yang mempengaruhinya. Kondisi ini yang membawa perbedaan dengan tradisi asal
mereka yaitu suku Jawa khususnya yang berada di Jawa Tengah. Perbedaan ini
dilatarbelakangi oleh pengaruh kolonial dan kemampuan finansial mereka dalam mewujutkan
ungkapan fisik rumah namun tidak terlalu signifikan. Untuk mengulas lebih jauh kearifan
lokal rumah Kalang, maka perlu kiranya diawali dengan melihat rumah tradisional Jawa

(Jawa Tengah) sebagai leluhur masyarakat Kalang, karena rumah Kalang terbentuk
berdasarkan pengembangan dari rumah tradisional Jawa.
Rumah Kalang ini dibangun pada tahun 1927, terletak di Jl. Mondorakan Kotagede
Jogjakarta yaitu jalan poros yang menghubungkan ke pasar Kotagede (Gambar 9).
Bangunan ini menghadap ke Selatan dengan pencapaian ke jalan yang menghubungkan
langsung ke pasar Kotagede. Pada kasus ini pekarangan rumah berorientasi ke jalan dengan
rumah menghadap ke arah Selatan. Rumah ini memiliki program ruang yang lengkap terdiri
dari pendopo, pringgitan, dalem, senthong (kiwo, tengah dan tengen), emper wingking
(terletak dibelakang senthong, untuk santai anggota keluarga), dan gandhok (sebelah kanan
dan kiri dalem yang digunakan untuk kegiatan usaha dagang batik dan perhiasan serta kantor)
serta kulah dan kakus (untuk membersihkan diri bagi tamu yang akan bertemu tuan rumah
yang terletak disebelah kiri dalem). Selain itu dibagian belakang emper terdapat pawon
(untuk kegiatan memasak). Bangunan ini memiliki sistim konstruksi gabungan antara kayu
dan bata, untuk pendopo seluruhnya menggunakan bahan kayu, sedangkan dalem dindingdindingnya menggunakan konstruksi satu bata.
Rumah Kalang merupakan pengembangan dari rumah tradisional Jawa (Jawa
Tenngah) terkait dengan faktor historis antara masyarakat Kalang dengan etnis Jawa.
Keberadaan rumah Kalang lebih banyak dipengaruhi oleh sosio-kultural masyarakatnya yang
sudah berubah dari etnis asalnya terutama dari sisi profesinya yang rata-rata banyak bergerak
dibidang perdagangan dan jasa yang akhirnya berpengaruh pada aktivitas keseharian dan
kemampuan ekonominya. Sosio kultural dan Kemampuan ekonomi yang relatif mapan,
membentuk kesetaraan kemampuan dalam membangun rumah, dengan tuntutan kebutuhan
yang dipengaruhi aktivitas pemilik rumah, menyesuaikan profesi yang dijalankan
(membentuk keragaman jenis ruang, fungsi ruang dan jenis material). Penggunaan konstruksi
dinding satu bata merupakan pengembangan rumah Kalang yang mengadopsi dari bangunan
Kolonial, didukung oleh kemampuan ekonomi masyarakat untuk mewujudkannya, yang
secara disadari atau tidak telah menciptakan kondisi indoor lebih nyaman merupakan
kearifan lokal rumah Kalang.

Gambar 4. 15
Rumah Kalang
4.7 Elemen yang berada diluar rumah
Elemen yang berada diluar rumah pada Kelurahan Kotagede adalah balai pertemuan
masyarakat dan makam yang terdapat di kelurahan Purbayan

Gambar 4.
Elemen

16
yang
berada diluar rumah

4.8 Elemen yang berada di dalam rumah


Elemen yang berada di luar rumah adalah ruang tamu , dapur , kamar mandi, ruang
keluarga, dan kamar tidur.
4.9 Rumah Keluarga
Pada kelurahan Purbayan, terdapat salah satu permukiman yang berada pada 1 kapling
namun ditempati oleh 3 rumah yang masih mempunyai hubungan keluarga. Dalam
permukiman ini ditempati oleh orangtua beserta anak-anaknya. Dimana sebelum anaknya
berkeluarga, orangtua sudah mempersiapkan rumah dalam 1 kapling untuk anak-anaknya.

Gambar 4. 17
Rumah Keluarga

Anda mungkin juga menyukai