Anda di halaman 1dari 11

MINI LITERATUR REVIEW

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN SETIAP NEGARA MEMILIKI


RATA-RATA IQ BERBEDA

Disusun oleh:
Kelompok 1 – Data Pustaka A-2.3
1. Andrea Valerie Manik – 012111133041
2. Annisa Tiara Diva - 022111133163
3. Atamma Dzun Nun A - 102111133068
4. Karim Habibi - 012111133204
5. Kiara Thana Kirana - 062111133175
6. M. Rofiqi Azmi - 052111133024
7. Richo Adi Pratama Putra – 152110413020

UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

i
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN SETIAP NEGARA MEMILIKI RATA-
RATA IQ BERBEDA

1)Andrea Valerie Manik, 2)Annisa Tiara Diva, 3)Atamma Dzun Nun A, 4)Karim Habibi,
5)Kiara Thana Kirana, 6)M. Rofiqi Azmi, 7)Richo Adi Pratama Putra

1)4)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2)Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga, 3)Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 5)Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, 6)Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 7)Fakultas Vokasi
Universitas Airlangga

ABSTRAK
Perbedaan IQ di setiap negara menjadi perhatian yang menarik untuk dikaji dan
dipelajari lebih lanjut lagi. Informasi yang dibutuhkan untuk diteliti yaitu mengenai faktor
apa saja yang membedakan, perbedaan apa saja yang muncul antar warga negara sehingga
dapat membedakan rata-rata IQ, serta keterkaitan antara perilaku warga negara tersebut
dengan tingginya IQ. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dari beberapa dataset atau
sumber yang telah dipublikasikan. Dalam penelitian ini negara-negara yang diteliti IQ nya
berjumlah 192 negara di dunia dengan menggunakan data IQ nasional dari Lynn dan
Vanhanen (2006). Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik
JMP 8.0.2. Analisis regresi berganda dipilih untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Kemudian masing-masing prediktor dimasukkan dalam kuadrat terkecil biasa model regresi.
Kesimpulan dari penelitian ini yakni adanya hubungan positif antara tingkat melek huruf,
tingkat ekonomi pertanian proporsi pekerja, pendaftaran dan penyelesaian sekolah menengah,
serta rata-rata tahun pendidikan dengan tingkat tinggi-rendah IQ pada suatu populasi serta
terdapat adanya hubungan negatif antara rata-rata suhu setiap musim, lingkungan adaptasi
evolusioner manusia, dan penyakit menular dengan tingkat tinggi-rendah IQ pada suatu
populasi.
Kata Kunci: IQ, negara, kecerdasan intelektual

ABSTRACT
The difference in IQ in each country is an interesting concern to be studied and studied
further. The information needed to be researched is about what factors differentiate, what
differences arise between citizens so that they can distinguish the average IQ, as well as the

1
relationship between the behavior of these citizens and their high IQ. This study uses
quantitative data from several datasets or sources that have been published. In this study, the
IQ countries studied were 192 countries in the world using national IQ data from Lynn and
Vanhanen (2006). Data analysis was performed using JMP 8.0.2 statistical software.
Multiple regression analysis was chosen to determine the relationship between variables.
Then each predictor was included in the usual least squares regression model. The
conclusion of this study is that there is a positive relationship between literacy levels, the
proportion of workers in the agricultural economy, enrollment and completion of secondary
school, and the average years of education with high-low IQ levels in a population and there
is a negative relationship between the average temperature each season, the environment for
human evolutionary adaptation, and infectious diseases with high-low IQ levels in a
population.
Keywords: IQ, countries, brain growth

PENDAHULUAN
Pertanyaan yang telah ditentukan oleh penulis yaitu “Mengapa IQ rata-rata dari masing-
masing negara bisa berbeda?” Dari pertanyaan tersebut akan diidentifikasi terkait informasi
apa saja yang ingin diketahui oleh penulis. Informasi yang ingin penulis ketahui yaitu terkait
rata-rata IQ dari kalangan masyarakat yang berbeda dari tiap negara. Dengan demikian
informasi yang penulis butuhkan yaitu mengenai faktor apa saja yang membedakan,
perbedaan apa saja yang muncul antar warga negara sehingga dapat membedakan rata - rata
IQ, serta keterkaitan antara perilaku warga negara tersebut dengan tingginya IQ. Oleh karena
itu, kata kunci yang dirumuskan penulis dari pertanyaan dengan mempertimbangkan
informasi yang dibutuhkan yaitu IQ, countries, dan brain growth.
Setelah merumuskan kata kunci yang digunakan, selanjutnya kami mengembangkan
kata kunci tersebut dengan mencari sinonim ataupun bahasan lain yang berhubungan dengan
kata kunci. IQ dapat dikembangkan menjadi person intelligence, kecerdasan intelektual,
kemampuan memecahkan masalah, intelligence quotients, person’s reasoning ability.
Countries dapat dikembangkan menjadi negara, wilayah, kawasan, state, nation. Brain
growth dapat dikembangkan menjadi pertumbuhan otak, perkembangan otak, brain
development. Dari pengembangan kata kunci tersebut, kami mulai menelusuri dan
menemukan literatur dengan menggunakan boolean logic dengan mengkombinasikan antara
OR dan AND. Misalnya yaitu (kecerdasan intelektual OR person intelligence OR person’s
reasoning ability) AND (negara OR state OR nation) AND (pertumbuhan otak OR brain

2
development OR perkembangan otak). Selain itu, kami juga mengaitkan beberapa kata kunci
menjadi sebuah kalimat yang merujuk pada informasi yang ingin kami peroleh, misalnya
pengaruh perkembangan otak yang berbeda dalam menentukan rata-rata IQ di berbagai
wilayah.
Bahwa jurnal yang kami bahas merupakan jurnal/terbitan berkala ilmiah. Dari keempat
tinjauan literatur terstruktur yang kami telaah tidak ada manuskrip yang tidak dipublikasi,
karena keempat artikel yang kami bahas memuat faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan IQ di tiap negara. Cakupan dalam jurnal tidak berdasarkan lokasi geografis
tertentu dikarenakan penulis sebisa mungkin memakai banyak negara sebagai perbandingan.
Beberapa universitas menyelenggarakan penelitian mengenai kasus ini dengan berbagai cara
diantaranya menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data IQ dari
192 negara di dunia. Literatur yang kami bahas dikeluarkan oleh badan maupun lembaga
terpercaya. Bunga rampai pada literatur yang kami bahas diantaranya penelitian perbedaan
cara berpikir warga di suatu negara memungkinkan laporan ini tidak akurat karena hanya
berfokus pada perbedaan, padahal tidak hanya berpacu pada hal tersebut, data belum
memungkinkan mengukur fenomena eksternal karena belum menunjukkan data yang
temporalitas, masih harus diteliti lebih dalam karena diperlukan penelitian lebih detail.
Setelah membaca seluruh sumber literatur, kami dapat menentukan problem statement
dari topik yang ditelaah. Pertama, adalah tentang adanya hubungan spesifik penyakit
infeksius dengan rata-rata kecerdasan kognitif antarnegara dan apakah hal tersebut
memberikan pengaruh yang besar pada perbedaan rata-rata IQ dunia. Teori bahwa penyakit
menular mempengaruhi perkembangan otak untuk mempengaruhi kecerdasan telah ada
selama beberapa dekade. Jika tubuh harus melawan infeksi yang ganas, maka ada
kemungkinan bahwa otak harus mengorbankan energi untuk perkembangannya demi sistem
imunitas. Karena itulah kami bertujuan mencari tahu korelasi antara level intensitas penyakit
infeksius di tiap negara dan membandingkannya dengan IQ rata-rata dari negara tersebut.
Kami juga mendapatkan pertanyaan “Apa saja faktor yang menyebabkan perbedaan IQ antar
negara?” yang merupakan konsep inti dari tulisan ini. Jika pernyataan bahwa tingkat
intensitas penyakit infeksius yang diderita warga setiap negara merupakan faktor penyebab
perbedaan IQ, apakah faktor lain seperti temperatur dan warna kulit turut mempengaruhi
perbedaan IQ? Peneliti Lynn and Rushton menyatakan bahwa manusia yang tinggal di daerah
beriklim dingin mempunyai IQ yang lebih tinggi dibandingkan manusia yang tinggal di
daerah tropis atau beriklim panas. Apakah teori mereka tentang temperatur dan teori
Kanazawa tentang kebaruan evolusi kecerdasan umum dapat dibuktikan secara saintifik?

3
Pada artikel yang kami baca, ada beberapa variabel yang dapat diidentifikasi. Di artikel
berjudul “Parasite Prevalence and the Worldwide Distribution of Cognitive Ability”,
variabelnya adalah adalah kecerdasan rata-rata nasional, tingkat penyakit menular untuk
setiap negara (menggunakan kecacatan yang disesuaikan dengan tahun hidup yang hilang
[DALY] karena penyakit menular (WHO 2004b), suhu tinggi musim dingin rata-rata , tingkat
melek huruf, pendaftaran di sekolah menengah, penyelesaian sekolah menengah, dan rata-
rata tahun pendidikan, data PDB per kapita dalam dolar AS, serta jarak dari Afrika tengah,
atau lingkungan adaptasi evolusioner manusia. Pada literatur selanjutnya, “Educational and
ecological correlates of IQ: A cross-national investigation” menyatakan skor IQ yang terkait
dengan masing-masing negara, jumlah bayi dengan berat lahir rendah, pentingnya pertanian
dalam perekonomian dinilai dari segi proporsi pekerja yang dipekerjakan di pertanian pada
tahun 1976, dan variabel dummy untuk geografi benua (Afrika, Asia, Amerika, Eropa, dan
Oseania). Literatur ketiga yang kami baca, “Temperature, skin color, per capita income, and
IQ: An international perspective”, menggunakan variabel IQ rata-rata dan PDB riil per kapita
dari 129 negara diperoleh dari Lynn dan Vanhanen (2002). Kemudian suhu tinggi rata-rata
Januari, suhu rendah rata-rata Januari, suhu tinggi rata-rata Juli, dan suhu rendah rata-rata Juli
untuk semua 129 negara diperoleh dari Panduan Cuaca Dunia Fodor (Pearce & Smith, 1998).
Terakhir adalah artikel berjudul “Temperature and Evolutionary Novelty as Forces Behind
the Evolution of General Intelligence”. Peneliti menggunakan suhu sebagai variabel bebas
menggunakan data suhu rata-rata tahunan dari Lynn dan Vanhanen, variabel dependen
mereka menggunakan data IQ nasional (IQ rata-rata populasi nasional) dari Lynn dan
Vanhanen (2006). Untuk teori kebaruan evolusi Kanazawa, peneliti mengukur variabel
independen berupa garis lintang, garis bujur, dan jarak dari tiga lokasi yang dipilih secara
acak untuk lingkungan leluhur. Variabel terikat untuk Kanazawa juga sama dengan Lynn dan
Rushton.
Menurut literatur yang sudah kami baca, dijelaskan bahwa IQ digunakan sebagai suatu
standar kemampuan kognitif manusia, yang diukur berdasarkan berbagai tes yang menjadi
standar. Sejak puluhan tahun yang lalu, IQ telah digunakan sebagai alat untuk mengukur
kecerdasan. Melihat rata-rata IQ tiap negara yang berbeda, kami ingin mengetahui selain
faktor genetik, apakah faktor eksternal juga berpengaruh dalam perbedaan tersebut? Seluruh
artikel yang kami baca menganalisis tentang pengaruh suhu, tingkat pendidikan, tingkat
penyakit infeksius, ekologi, dan evolusi terhadap IQ. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi perbedaan rata-rata IQ di tiap negara, harapannya adalah kami dapat

4
lebih mengetahui tentang perkembangan otak dan fungsi kognitif manusia, dan mencegah
hal-hal yang dapat menyebabkan terhambatnya brain growth.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian menggunakan data kuantitatif dari beberapa dataset atau sumber yang telah
dipublikasikan. Data yang didapat kemudian dianalisis untuk mengetahui hubungan variabel
independen dengan variabel terikat apakah memiliki korelasi positif, negatif, atau tidak ada
korelasi sama sekali.
Karakteristik Sampel
Dalam penelitian negara-negara yang diteliti IQ nya berjumlah 192 negara di dunia
dengan menggunakan data IQ nasional dari Lynn dan Vanhanen (2006). IQ tersebut dihitung
rata-rata dari data primer dengan memperkirakan dari sumber yang tersedia. Negara yang
diteliti setidaknya memiliki penduduk 40.000 jiwa dan menghasilkan produk nasional bruto
(GNP) sebesar $2514.
Variabel
a. Variabel Terikat
Variabel terikat yang digunakan adalah skor IQ nasional masing-masing negara. Rata-
rata nilai IQ nasional tiap negara adalah 76,84+13,08 SD. Nilai ini dikaitkan pada
standar IQ Inggris yakni 100 dengan standar deviasi 15 karena IQ Inggris berada diatas
rata-rata dunia. Hal ini berarti IQ rata-rata negara di dunia dibawah 100. Dalam
melakukan perhitungan Lynn dan Vanhanen menyesuaikan efek Flynn dimana skor IQ
diamati meningkat pada tingkat 2-3 poin per dekade.
b. Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan adalah tingkat penyakit menular untuk setiap
negara (menggunakan tahun-tahun hidup yang hilang yang disesuaikan dengan
disabilitas karena penyakit menular diambil dari WHO 2004), suhu tinggi musim
dingin rata-rata (diambil dari Templer dan Arikawa, 2006), tingkat melek huruf
(diambil dari Bank Dunia, 2008), pendaftaran di sekolah menengah, penyelesaian
sekolah menengah, dan rata-rata tahun pendidikan (diambil dari Barro & Lee, 2001),
data PDB per kapita dalam dolar AS (diambil dari World Factbook, CIA 2007), jarak
dari Afrika tengah, atau lingkungan adaptasi evolusioner manusia (dihitung
menggunakan Teorema Pythagoras, seperti yang dilakukan oleh Kanazawa, 2008), rata-
rata suhu tinggi Januari, rata-rata suhu rendah Januari, rata-rata suhu tinggi Juli, dan

5
rata-rata suhu rendah Juli (diperoleh dari Fodor's World Panduan Cuaca oleh Pearce &
Smith, 1998), suhu rata-rata tahunan (diambil dari Lynn dan Vanhanen, 2006), dan
tingkat ekonomi pertanian dinilai dari segi proporsi pekerja yang dipekerjakan di
pertanian pada tahun 1976 (diambil dari Bank Dunia, 1990).
c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol yang digunakan adalah proporsi bayi berat lahir rendah (didefinisikan
sebagai berat lahir di bawah 2500 g, Bank Dunia, 2004) dikarenakan berat lahir rendah
merupakan prediksi IQ rendah (Saigal, den Ouden, & Wolke, 2003) dan ini akan
cenderung menurunkan IQ di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.
d. Variabel Dummy
Variabel dummy digunakan untuk geografi benua (Afrika, Asia, Amerika, Eropa, dan
Oseania) untuk memprediksi beberapa wawasan tentang apakah varians yang dijelaskan
dalam regresi berada di dalam, atau di antara, benua.
Teknis Analisis
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik JMP 8.0.2.
Analisis regresi berganda dipilih untuk mengetahui hubungan antar variabel. Kemudian
masing-masing prediktor dimasukkan dalam kuadrat terkecil biasa model regresi. Untuk
mengetahui jarak dihitung secara matematis menggunakan Teorema Pythagoras. Analisis
korelasional mengungkapkan korelasi besar di antara beberapa prediktor variabel. Korelasi
ini meningkatkan multikolinearitas dalam regresi analisis. Multikolinearitas membuat error
terms menjadi tidak eksak, sehingga tingkat signifikansi statistik tes terdistorsi (baik ke atas
atau ke bawah). Hubungan sebab-akibat dapat dikaburkan ketika salah satu variabel menekan
pengaruh variabel terkait dalam analisis. Ini melibatkan penghitungan faktor inflasi varians
untuk setiap prediktor berdasarkan kelipatan r dari prediktor itu dengan semua yang lain
dalam analisis. Akar kuadrat dari indeks inflasi varians kurang dari 2,00 dalam setiap kasus,
menunjukkan bahwa multikolinearitas tidak masalah. Selain itu, penelitian ini sebagian besar
didasarkan pada data yang diperoleh sebelumnya melalui penelitian sebelumnya.
Data yang dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui
karakteristik masing-masing variabel dan diinterpretasikan dalam bentuk grafik sehingga
dapat diketahui hubungan antar variabel. Nantinya dari tabel dan grafik tersebut dapat
diperoleh hasil faktor penyebab perbedaan IQ antar negara.
.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Terdapat hubungan negatif antara penyakit menular dan IQ secara statistik signifikan di
tingkat nasional baik di seluruh dunia dan dalam lima wilayah dunia (Murdock, 1949).
Korelasi orde nol antara DALY karena penyakit menular dan IQ nasional rata-rata lebih
tinggi daripada variabel lain yang ada penjelasan kausal yang diusulkan sebelumnya.1
2. Stres gizi juga berkorelasi dengan rata-rata IQ nasional, tetapi begitu efek penyakit
menular dikeluarkan dari persamaan, itu menjadi tidak signifikan. Ini karena,
mengingat biaya energik penyakit menular, individu yang dibebani dengan PARASIT
mungkin lebih mungkin terpengaruh oleh kekurangan gizi.1
3. Negara-negara di mana sejumlah besar orang mencari nafkah dari pertanian memiliki
skor IQ yang lebih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan yang diterima masyarakat
agraris berarti semakin kecil peluang kemampuan akademik untuk berkembang.2
4. Skor IQ lebih tinggi di negara-negara dengan pendidikan lanjutan yang diindeks oleh
pendaftaran sekolah menengah. Jika IQ meningkat dengan tahun pendidikan, tidak
heran bahwa negara-negara dengan pendidikan tingkat kedua yang ekstensif harus
mendapat skor lebih tinggi pada tes kecerdasan.2
5. Negara dengan tingkat buta huruf yang tinggi juga mengalami penurunan nilai IQ. Dari
perspektif ini, agak menarik bahwa buta huruf memiliki efek negatif yang kuat dan
konsisten pada IQ, bahkan dengan sekolah yang dikendalikan. Mungkin tingkat buta
huruf yang tinggi dalam suatu masyarakat memiskinkan tingkat stimulasi intelektual
secara keseluruhan dengan efek depresi pada skor IQ.2
6. Sebagian besar perbedaan skor IQ lintas negara mungkin ditentukan oleh ekologi,
dengan masyarakat pertanian yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah
juga memiliki skor yang jauh lebih rendah pada tes IQ.2
7. PDB riil per kapita adalah satu-satunya variabel independen yang secara signifikan ( p
<0,001) meningkatkan prediksi di luar warna kulit. Dengan variabel kedua ini, R naik
dari 0,917 menjadi 0,922, dan R2 naik dari 0,841 menjadi 0,850.3
8. Korelasi IQ dengan warna kulit, 0,92, secara signifikan ( p <0,001) lebih tinggi dari
korelasi IQ dengan suhu tinggi musim dingin rata-rata, secara signifikan ( p <0,001)
lebih tinggi dibandingkan korelasi IQ dengan suhu rendah musim dingin rata-rata, dan
secara signifikan ( p < 0,001) lebih tinggi dari korelasi IQ dengan PDB riil per kapita.
Alasan yang mungkin mengapa warna kulit berkorelasi lebih tinggi daripada suhu
dengan IQ adalah karena itu adalah refleksi multigenerasi dari sejarah iklim.3

7
9. Korelasi antara jauh lebih rendah untuk negara-negara Afrika Hitam. Afrika Hitam dan
negara-negara lain masing-masing adalah 3,46 dan 7,56 dalam IQ, 0,45 dan 1,42 dalam
warna kulit, $1769,37 dan $8444,85 dalam PDB riil, 5,94 dan 10,84 pada suhu rendah
musim dingin, 4,23 dan 11,68 pada suhu tinggi musim dingin, 3,8 dan 5,39 pada suhu
rendah musim panas , dan 3,87 dan 5,71 pada suhu tinggi musim panas.3
10. Korelasi antara IQ dan warna kulit di masing-masing negara mungkin jauh lebih lemah
karena warna kulit tidak terlalu bervariasi di satu negara seperti secara global.3
11. Teori Lynn dan Rushton, IQ nasional secara signifikan berkorelasi negatif dengan suhu
rata-rata tahunan (r =−.6311, p b.0001).4
12. Teori Kanazawa berkorelasi positif signifikan dengan garis lintang (r =.6765, p b.0001),
garis bujur (r =.2277, p b.0001), dan jarak ( r = .4538, p b.0001).4
13. Suhu rata-rata tahunan secara signifikan berkorelasi negatif dengan garis lintang (r
=−.8842, p b.0001), seperti yang diharapkan, tetapi berkorelasi positif secara signifikan
dengan garis bujur (r = .1981, p b .01).4
14. Korelasi parsial antara suhu rata-rata tahunan dan IQ nasional hampir nol (parsial r =
.0858), sedangkan garis lintang dan garis bujur berkorelasi kuat dan positif dengan IQ
nasional (parsial r = .7133 dengan garis lintang dan .4311 dengan garis bujur).4
15. Suhu rata-rata tahunan memiliki pengaruh negatif yang signifikan bahkan ketika garis
lintang alternatif dikendalikan (b =−.6777, p b.0001, beta =.4733). Garis lintang
alternatif (derajat dari 30S) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap IQ
nasional (b =.1183, p b.01, beta =.2342).4

Pembahasan
Dari empat jurnal yang kami analisis, terdapat hubungan positif antara pengaruh IQ
terhadap berbagai faktor, seperti penyakit yang menular, perbedaan dalam edukasi di negara,
iklim cuaca, dan juga faktor evolusi. Sejauh ini, bukti menunjukkan bahwa penyakit menular
adalah penyebab utama variasi global dalam kecerdasan manusia. Karena ini adalah
penyebab perkembangan, bukan penyebab genetik, ini adalah kabar baik bagi siapa saja yang
tertarik untuk mengurangi ketidaksetaraan global yang terkait dengan IQ. Jika faktor
utamanya adalah genetik, seperti yang dikatakan beberapa orang, IQ akan sangat sulit diubah.
Inkonsistensi sebagian besar diskusi yang dikemukakan dalam literatur ini adalah
tentang hubungan negatif antara penyakit menular dan IQ, tetapi dapat ditemukan bahwa
beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara IQ dan penyakit autoimun
(dimediasi oleh penyakit menular). Analisis pertama tanpa kontrol regional menemukan efek

8
negatif yang signifikan dari pekerja pertanian, berat badan lahir rendah, dan buta huruf serta
efek positif yang signifikan dari partisipasi sekolah menengah. Tak satupun dari studi asli
mengklaim didasarkan pada sampel nasional. Mereka memiliki dua atau lebih sampel di
negara yang sama, kemudian dirata-ratakan tanpa pembobotan untuk ukuran sampel.
Sementara itu, validitas skor IQ sebagai indeks kecerdasan konseptual di luar masyarakat
industri maju. Pengetahuan khusus budaya, jauh lebih penting bagi orang-orang dalam
budaya itu daripada pengetahuan tentang fakta dan keterampilan pemecahan masalah yang
dievaluasi dalam tes kecerdasan yang dikembangkan Barat. Kurangnya data yang lebih
mendukung dari artikel lain untuk variabel independen teori Kanazawa mengapa ketiga
faktor tersebut digunakan.
Limitasi dalam literatur yang kami baca yaitu perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui
penyebab tentang hubungan antara penyakit menular dan distribusi kemampuan kognitif (IQ)
serta dapat diketahui bahwa tidak ada penjelasan dan kesimpulan yang konkrit tentang
penyebab masalah ini. Kedua, perlu diuji lebih lanjut untuk menentukan apakah bentuk lain
dari stimulasi intelektual modern (seperti radio, televisi, dan video game, yang sedikit
datanya tersedia pada tahun 1976) dapat memodifikasi skor IQ nasional dengan cara yang
sistematis dan perbedaan geografis. Ketiga, perlu diuji lebih lanjut pada 5 dari 55 data rata-
rata IQ yang didasarkan pada tes berbeda dan diberikan di era berbeda dalam pencapaian
pendidikan serta pada negara-negara tertentu dengan warna kulit tidak seragam. Terakhir,
juga perlu diuji lebih lanjut mengenai perbedaan skor IQ antar negara karena hal ini tentu
dapat terjadi perbedaan besar antara satu lokasi dengan lokasi lainnya meskipun secara
teoritis seharusnya benar.

KESIMPULAN
Literature review yang dilakukan ini bertujuan untuk menelaah kembali tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya IQ pada suatu populasi. Faktor-faktor tersebut
menjadi variabel independen dalam artikel ini yaitu, antara lain: tingkat penyakit menular,
rata-rata suhu pada setiap musim, tingkat melek huruf, pendaftaran dan penyelesaian sekolah
menengah, rata-rata tahun pendidikan, Produk Domestik Bruto (PDB), lingkungan adaptasi
evolusioner manusia, serta tingkat ekonomi pertanian yang dinilai dari segi proporsi pekerja.
Dan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Adanya hubungan positif antara tingkat melek huruf, tingkat ekonomi pertanian
proporsi pekerja, pendaftaran dan penyelesaian sekolah menengah, serta rata-rata tahun
pendidikan dengan tingkat tinggi-rendah IQ pada suatu populasi. Hal ini terjadi karena

9
dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang diterima seseorang, maka akan linear
dengan IQ yang dimilikinya.
2. Adanya hubungan negatif antara rata-rata suhu setiap musim, lingkungan adaptasi
evolusioner manusia, dan penyakit menular dengan tingkat tinggi-rendah IQ pada suatu
populasi. Hal ini dikarenakan penyakit menular tidak memberikan pengaruh yang
signifikan pada tingkat IQ seseorang, melainkan tingkat stress gizi. Sementara untuk
suhu, semakin rendahnya suhu pada suatu wilayah, berdasarkan data hasil analisa
jurnal, maka semakin tinggi IQ yang dimiliki masyarakat pada wilayah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Eppig, C., Fincher, C. L., & Thornhill, R. (2010). Parasite prevalence and the
worldwide distribution of cognitive ability. Proceedings of the Royal Society B:
Biological Sciences, 277(1701), 3801–3808. https://doi.org/10.1098/rspb.2010.0973
2. Barber, N. (2005). Educational and ecological correlates of IQ: A cross-national
investigation. Intelligence, 33(3), 273–284. https://doi.org/10.1016/j.intell.2005.01.001
3. Templer, D. I., & Arikawa, H. (2006). Temperature, skin color, per capita income, and
IQ: An international perspective. Intelligence, 34(2), 121–139.
https://doi.org/10.1016/j.intell.2005.04.002
4. Kanazawa, S. (2008). Temperature and evolutionary novelty as forces behind the
evolution of general intelligence. Intelligence, 36(2), 99–108.
https://doi.org/10.1016/j.intell.2007.04.001

10

Anda mungkin juga menyukai