Anda di halaman 1dari 8

Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Adab-Adab Tarbiyah

 Unknown  Saturday, June 11, 2016  Tarbiyah Islamiyah

Ada 2 pembahasan pokok dari materi adab tarbiyah:


1.      Adab-adab pada saat bermajelis
2.      Bagaimana adab seorang mutarabiyah kepada murabbiyah
Meskipun biasanya dalam buku-buku para ulama masih ada tambahan yakni adab-adab murabbi
terhadap mutarabbinya atau adab-adab murabbiyah pada saat bermajelis, namun cukup yang dijelaskan
kepada mutarabbiyah adalah 2 poin di atas, karena ini adalah konsumsi untuk para murabbi saja.
Pembahasan adab-adab tarbiyah diambil dari buku-buku ulama kita yang menukil tentang adab-adab
majelis dan adab para penuntut ilmu. Begitu banyak (belasan, puluhan bahkan ratusan) buku-buku ulama
yang membahas tentang hal tersebut. Bahkan boleh dikata tidaklah ulama yang membahas tentang ilmu
kecuali membahas persoalan adab-adab terutama para ulama hadits dalam buku-buku musthalah mereka
membahas persoalan yang sangat penting ini karena adab bermajelis adalah suatu sebab keberkahan
majelis tersebut kita dapatkan sehingga banyak ulama kita yang ketika mencoba mengamati keadaan
majelis-majelis salaf, apa inti perbedaan antara majelis-majelis kita dengan mereka. Sekarang materi-
materi yang kita bahas juga al Qur’an dan as Sunnah juga kita mau usahakan sesuai dengan pemahaman
salaf. Materinya insaya Allah sama (buku yang kita gunakan adalah buku yang juga digunakan oleh ulama-
ulama terdahulu), namun di antara sisi perbedaan yang sangat mencolok antara kita dengan mereka yakni
persoalan adab, sehingga banyak majelis-majelis sekarang di berbagai tempat yang kadang melupakan
persoalan ini. Sehingga keberkahan ilmu yang mereka miliki dulu tidak kita miliki di zaman sekarang ini.
Hal ini menunjukkan pentingnya persoalan adab-adab dalam bertarbiyah. Apalagi, para ulama salaf
memandang pembahasan adab adalah pembahasan yang paling awal sebelum kita terjun dalam
pembahasan ilmu syar’i.
à Sebab keberkahan majelis didapatkan
à Pembahasan paling pertama sebelum terlalu jauh membahas ilmu-ilmu yang lain.
Ø Al Imam Abu Abdullah Sufyan ats Tsauri rahimahullahu Ta’ala, seorang tabi’ut tabi’in berkata, “Ulama
salaf, mereka dulu tidak mengeluarkan/ mengutus anak-anak mereka untuk menuntut ilmu sampai
diajarkan adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah selama 20 tahun”
Jadi sebelum menuntut ilmu yang begitu banyak cabang-cabangnya dengan sangat detail para ulama salaf
(yakni yang disaksikan oleh Al Imam Sofyan Ats Tsauri dari kalangan tabi’tabi’in), mereka tidak
mengutus anaknya untuk menuntut ilmu kecuali telah selesai persoalan adab dan ibadah mereka yakni adab
sebelum menuntut ilmu.

Ø  Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala (seorang tabi’I tabi’in), beliau menceritakan tentang diri
beliau sendiri tentang metodenya dalam menuntut ilmu (Beliau adalah salah seorang ulama yang
mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain. Beliau adalah sumber
rujukan, di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah, infak, jihad, dst.) bagaimana metode beliau
sehingga bisa mencapai tingkatan yang sangat mulia, beliau mengatakan: 
“Saya menuntut adab selama 30 tahun,dan menuntut ilmu hanya 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari
adab sebelum menuntut ilmu”
 Jadi ternyata metode beliau bukanlah metode yang beliau buat sendiri, tetapi merujuk dari orang-orang
terdahulu yang berarti bahwa memang mereka (salaf) mendahulukan adab dibandingkan ilmu, bahkan
ketika kita lihat lamanya, imam Abdullah bin Mubarak lebih lama belajar adab dibanding ilmu.
Ø  Muhammad bin Sirrin (seorang tabi’in) berkata;
“Mereka dulu mempelajari adab sebagaimana mempelajari ilmu”
Jangan sampai kita sendiri lupa dengan adab-adab yang kita ajarkan kepada mutarabbi kita.
§  Adab-adab Bermajelis
1.      Memilih majelis
Untuk dijelaskan kepda mutarabbi, bahwa kita harus memilih majelis (tidak semua majelis yang dibuat
manusia sekarang ini perlu untuk kita hadiri dan kita semarakkan)
Kita perlu mengajarkan mereka dari awal untuk selektif dalam memilih majelis dan itu telah dijelaskan
sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Abu Musa Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim;
“Perumpamaan antara teman duduk yang baik dengan teman duduk yang buruk seperti perumpamaan
penjual minyak wangi dan tukang besi atau semacamnya”.
Intinya, ketika berteman dangan teman penjual minyak wangi (teman yang shalih) maka kita akan
mendapatkan 3 kebaikan:
1.      Ia akan menghadiahkan kepada kita minyak wanginya, (ia akan memberikan kita faedah tanpa diminta)
2.      Kita akan membeli dari dia minyak wanginya karena dia teman kita; tidak membeli di tempat lain; dimana
kalau kita beli dari teman maka ada harga khusus. Maksudnya tidak begitu sulit bagi kita untuk meminta
faidah darinya, contohnya nasehatnya, dll, tanpa terlalu banyak permintaan.
3.      Kita akan mendapatkan darinya bau yang harum artinya mungkin ia tidak langsung memberikan atau
menghadiahi nasehat kepada kita dan kita mungkin yang agak segan langsung memintanya tetapi paling
tidak posisi kita yang dekat dengannya itu bisa membantu diri kita untuk bisa istiqamah. (tidak mau
macam-macam selama berada di sisinya).
Jadi, sangat penting untuk mengkondisikan kita berkumpul dan bermajelis bersama dengan orang yang
beriman dengan majelis yang baik.
Hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang itu sangat bergantung pada agama temannya, maka perhatikanlah kepada siapa kamu
berteman”
Dalil tersebut jelas memerintahkan kepada kita untuk memilih teman (tidak sembarang dalam memilih
teman dalam bermajelis) pilih teman yang bisa membantumu untuk istiqamah.
Di antara yang harus dijelaskan adalah untuk lebih selektif. Tapi kita harus menjelaskan kepada mereka
dengan cara yang lembut, sehingga kita tidak dikatakan sebagai orang yang ashabut tahdzir.
Agar mereka tidak sembarangan memilih majelis. Bukan dengan melihat penampilan saja, seperti majelis-
majelis yang banyak melucu, dst.
Berinfak dalam bermajelis
Hal ini tidak didapatkan dalam buku-buku tentang adab, sehingga berinfak dalam majelis bukan
merupakan bagian dari adab tetapi bagian dari kebutuhan dan pelengkap karena dalil yang digunakan
dahulu itu adalah dalil umum. Sehingga infak bisa disebutkan dalam sisi lain namun bukan disebutkan
dalam sisi adab.
Perintah berinfak dalam QS al Mujadilah dikhususkan bagi Rasulullah, jadi tidak disebutkan sebagai salah
satu adab dalam bermajelis.
2.      Memperbanyak dzikir kepada Allah
Ini perlu kita lakukan agar majelis kita tidak berubah fungsinya menjadi sekedar pertemuan melepaskan
kerinduan yang akhirnya bahan obrolannya tidak karuan kesana kemari dan lupa berdzikir. Sehingga kita
perlu mengkondisikan diri kita dan mutarabbiyah kita untuk senantiasa berdzikir kepada Allah.
Imam Abu Daud, Imam At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abdullah Bin Umar Radiyallahu Anhuma
berkata,
“Kami dulu biasa menghitung dalam satu majelis saja yang diadakan yang Rasulullah biasa membacanya
sebanyak 100 kali. Beliau membaca Rabbigfirli watublayya innaka antattawwaburrahim.”
Ancaman majelis yang kosong dengan dzikir disebutkan Imam Abu Daud dalam sunannya hadits riwayat
Abu Hurairah
“Tidaklah dari suatu kaum yang berdiri dari suatu majelis tapi majelisnya tidak ada zikirnya kecuali
mereka yang bangkit adalah bangkai-bangkai keledai, bagi mereka adalah kerugian.”
Dan tentu saja kita tidak sepemahaman dengan dzikir berjamaah.

Di antara dzikir yang penting yakni memperbanyak shalawat. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,
“Tidaklah duduk suatu kaum dalam majelis lalu di dalamnya mereka tidak berdzikir kepada Allah dan
tidak bershalawat kepada nabi mereka kecuali bagi mereka kerugian. Kalau Allah menginginkan Allah
siksa mereka dan kalau Allah menginginkan Allah mengampuni dosa-dosa mereka.”
Karena itu hal yang perlu kita ingatkan kepada mutarabbiyah kita terutama dengan adanya syubhat-syubhat
dzikir berjamaah mereka yang menyebarkan pemahaman dzikir berjamaah kebanyakan membawa hadits…
Padahal kita perlu memahamkan kembali dan menegaskan kepada para mutarabbiyah kita bahwa majelis
ilmu itu adalah maje0lis dzikir. Oleh karena itu, Atho bin Rabah, muftinya orang Mekkah mengatakan
tentang majelis dzikir yang disebutkan dalam banyak hadits, beliau berkata yang dimaksud adalah majelis
ilmu. Jadi hendaknya tidak menghadiri majelis yang tidak sesuai dengan sunnah.
3.      Berpenampilan yang sebaik-baiknya
Perlu juga diajarkan di awal kepada para mutarabbiyah kita agar penampilannya dalam menghadiri majelis
yang di dalamnya ada tarbiyah tsaqafiyah berbeda ketika ia menghadiri majelis tarbiyah jasadiyah. Apalagi
bila majelisnya di masjid.
QS. 7 : 3
Wahai Bani Adam pakailah pakaian terindahmu ketika engkau memasuki masjid
Sebagai salah satu dalil yang digunakan untuk menutup aurat ketika shalat. Dalam hal ini tidak hanya
mengkhususkan persoalan pakaian.
Hadits Jibril alaihis salam (hadits ke 2 dalam hadits Arbain Annawawiyah) ketika beliau datang
mengunjungi para sahabat untuk menjelaskan persoalan bagaimana cara bermajelis yang baik. Di
antaranya penampilan Jibril yang patut untuk menjadi perhatian kita adalah apa yang disifatkan oleh Umar
bin Khattab, beliau mengatakan, “Berpenampilan yang terbaik, pakaian yang sangat putih, rambut yang
sangat hitam………”
Dalam buku-buku ulama ada yang sangat detail dalam menyebutkan persoalan ini, di antaranya memotong
kuku, merapikan janggut dsb pada saat menghadiri majelis ilmu. Tapi tanpa menjelaskan lebih detail para
mutarabbiyah dapat mengambil manfaat atau pelajaran dari murabbiyahnya. Karena murabbiyah itu
adalah  contoh yang terbaik bagi mutarabbiyahnya.

4.      Penghormatan / Mengucapkan salam kepada hadirin pada saat tiba di majelis dan pada saat pulang
Ucapan salam adalah ucapan yang disyariatkan pada saat menghadiri majelis (ketika masuk dan pada saat
meninggalkannya). Dan ini tidak bertentangan dengan pendapat sebagiannya. Para ulama memandang
tidak mesti mengucapkan salam pada saat memulai majelis dzikir karena mungkin telah dating lebih
dahulu dan telah mengucapkan salam pada saat  memasuki majelis.
Tetapi tidak masalah ketika kita memulai majelis dengan salam, namun perlu diingat hadits-hadits yang
menunjukkan disyariatkannya salam hanya pada saat masuk dan ketika hendak meninggalkan majelis.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Jika salah seorang diantara kalian masuk majelis maka ucapkanlah salam, dan apabila mau duduk
maka dipersilahkan, dan jika ia berdiri ingin pulang maka hendaklah ia memberi salam.salam yang
pertama tidak lebih berhak dari salam yang kedua.”
Rasulullah masuk masjid pada saat sudah mau khutbah, maka pada saat masuk majelis beliau langsung
mengucapkan “ Assalamu ‘alaikum” lalu beliau duduk, adzan dan ketika selesai adzan beliau memulai
ceramahnya tanpa mengucapkan salam kembali karena sebelumnya beliau telah salam pada saat masuk
majelis. Dan mengakhiri khutbahnya beliau tidak salam karena memang beliau belum mau pergi (masih di
masjid), beliau mengucapkan salam pada saat  mau meninggalkan masjid.
Salam kepada hadirin peserta tarbiyah boleh tetapi boleh juga kepada orang-orang yang di dekatnya saja
(kalau dikhawatirkan akan mengganggu jika setiap orang yang baru datang mengucapkan salam).
Satu  sunnah yang juga perlu diangkat adalah berjabat tangan, hadits-hadits yang menunjukkan syariat
berjabat tangan yang hanya pada saat kita bertemu dan tidak ada hadits yang tegas pada saat berpisah,
hanya ada sebuah hadits saja yaitu:
“ Kesempurnaan ucapan salam adalah berjabat tangan.”
Hadits ini dihasankan oleh sebagian ulama kita, dan syaikh Al Albani berkata hadits ini sanadnya lemah
tapi maknanya benar sehingga beliau memandang tidak mengapa, bahkan baik, beliau anjurkan saat
berpisah kita mengucapkan salam.
Faedahnya: eratnya hubungan, menghilangkan dengki dan merupakan salah satu menambah rasa cinta
kepada saudara kita.
5.      Dimakruhkannya membangunkan atau menyuruh berdiri seseorang dari majelis tempat duduknya
kemudian ia duduk di tempat temannya tersebut.
Hukum makruh dalam hal ini kemungkinannya ada 2, makruh yang memang makruh atau makruh yang
haram. Untuk amannya kita gunakan makruh saja. Bisa saja hukumnya haram, ataukah sangat dibenci.
Dari ibnu Umar, “ Tidaklah boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri lalu ia mengambil tempat
duduknya, ”
Kalau kita mau maka kita minta dilapangkan. Kecuali jika seseorang memberikan kita kesempatan
sebelumnya kepada kita tanpa kita menyuruh dia.

6.      Berlapang-lapang dalam majelis


Ada kaitannya dengan point yang ke-3 dari terakhir, sebaik2 majelis yang paling luas, yang paling lapang.
-          Kita berusaha mencari t4 yang paling ,uas yang memuat banyak hadirin. Karena masalah kelapangan
majelis mempengaruhi kondisi hati kita.
-          Hanya saja jika tempatnya memang tidak muat maka pada saat itu kita harus berlapang-lapang dalam
majelis (memberi kesempatan kepada saudari kita untuk bermajelis). Inilah maksud dari QS. Al
Mujadilah : 3.
Hal yang perlu untuk diingat:
Jika ada seseorang yang bangkit dari tempat duduknya kemudian dia akan kembali di tempat duduk itu,
maka ia lebih berhak untuk duduk di majelis tersebut.
Ada kebiasaan ikhwah kita bila berdiri dari majelis dan berniat kembali lagi mereka menyimpan barang
(mis. songkok) sebagai tanda bahwa ia akan kembali. Namun hal ini kita belum mendapat adanya dalil
tentang ha tersebut, dalam artian tidak harus begitu.
Abdullah bin Umar setiap melihat seseorang keluar dari majelis beliau tidak mau mengambil tempat
duduknya, walaupun beliau tidak tahu orang tersebut akan kembali atau tidak. Inilah sikap kehati-hatian.
Atau sebaiknya bila ada yang mau keluar, kita tanya terlebih dahulu apakah ia akan kembali atau tidak.
Tetapi kalau tidak ada jawaban maka jalan hati-hati adalah jangan mengambil tempat duduknya.

7.      Anjuran untuk berkumpul di dalam sebuah majelis dan tidak berpencar pada saat bermajelis.
Hadits Riwayat Imam Muslim ”Ketika nabi Shallallahu ’alaihi wasallam melihat halaqah yang
banyak,Nabi berkata:
”Mengapa kalian berpencar pada saat bermajelis?”
Hal ini kadang terjadi pada saat majelisnya agak luang.
Ada riwayat yang insya Allah shahih yang menceritakan tentang sahabat mengatakan bahwa, karena
rapatnya sebuah majelis jika sekiranya ada daun jatuh maka daunnya tidak akan jatuh menyentuh tanah.
Berarti tidak adanya tempat yang kosong dalam majelisnya.
Tadi dikatakan bahwa mencari majelis yang lapang, yang bisa memuat sebanyak-banyak hadirin.
Maksudnya bahwa masing-masing lapang dalam mengisi ujung majelis. Ada kebiasaan yang tidak baik,
yaitu masing-masing mencari tiang. Seakan tiang untuk para senior, dan bagian depan diisi oleh yang
muda. Ini adalah kebiaaan yang tidak perlu untuk dilestarikan.
Hal ini memberikan kesan menandakan eratnya ukhuwah, terutama rapatnya dalam shaf ketika shalat.
Ketika berjauhan sepeertnya ada masalah antara kita dengan saudara kita.

8.      Tidak memisahkan antara 2 orang kecuali meminta izin kepada keduanya.


Hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:
”Tidak halal bagi seseorang, memisahkan dua orang kecuali atas izin keduanya” Meskipun ada tempat
yang agak lowong di antara keduanya.Dengan kata lain kita harus meminta izin kepada keduanya. Jika
mereka berkeberatan maka tidak boleh ita duduk di antara mereka. Hal ini adalah hal yang diharamkan.
Kita duduk di tempat pemberhentian majelis atau akhir dari majelis. Jangan kita mau lompat ke depan.
Dari Abu Dawud berkata:
”Kami para sahabat jika kamu mendatangi Rasulullah, salah seorang di antara kami duduk di tempat
perhentiannya.”
Maka sunnah, barangsiapa yang datang di awal mengambil posisi di depan.

9.      Bolehnya ke depan bagi yang melihat di depannya ada tempat yang lowong tanpa menyakiti orang lain.
Dari hadits riwayat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam HR Imam Bukhari tentang kisah tiga orang
pemuda yang datang melewati majelis Rasulullah tersebut. Tiga orang tersebut adalah:
-          Melihat tempat/majelis Rasulullah langsung bergabung dan melihat yang kosong maka ia langsung ke
depan.
-          Bergabung juga di tempat lowong  tapi ia agak malu-malu, maka ia menyelinap di majelis dengan agak
malu-malu.
-          Yang tidak peduli dengan majelis ilmu, dia melihat majelis Rasulullah tapi ia tidak mempunyai keinginan
dan minat dengan majelis tersebut.
Nabi ketika menjelasakn ketiga orang tersebut mengatakan:
Orang pertama adalah orang yang berlindung kepada Allah, maka Allah melindunginya, orang yang kedua
bergabung dalam majelis tapi malu-malu, maka Allah juga malu terhadapnya, sedangkan orang yang
ketiga ia berpaling maka Allah juga bepaling darinya.
Imam Bukhari ketika menjelaskan hadits ini memberikan judul bolehnya ke depan jika melihat ada lowong
di depan, tetapi sekali lagi jangan sampai menyakiti orang lain sebagaimana ketika Nabi melihat adanya
orang yang mau ke depan, beliau berkata: ”Duduk saja, kamu telah menyakiti banyak orang”.

10.  Menjauhkan diri dari duduk yang dilarang


Duduk yang paling bagus adalah duduk iftirasy atau seperti duduknya Jibril alaihis salam di hadapan
Rasulullah ketika datang untuk menjelaskan konsep keimanan kepada para sahabat.
Duduk yang dilarang oleh Rasulullah pada saat bermajelis adalah ada dua, yaitu:
-          Duduk di mana seseorang meletakkan tangan kirinya ke belakang lalu ia bersandar pada tangan kirinya
tersebut atau bertopang dengannya.
Hadits Rasulullah dari Sunan Abu Dawud dari Syahid bin Fulaid, beliau berkata ”Rasulullah melewati
aku dan pada waktu itu aku duduk di sini, saya meletakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan
saya bertopang dengannya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Apakah kamu
mau duduk dengan duduknya orang yang Allah murkai?”
Syaikh Utsaimin mengatakan:
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita menggunakan tangan kanan maka itu tidak mengapa atau kedua-
duanya jika kita memiliki hajat namun tidak untuk dilakukan terus-menerus, dan pada saat diperlukan saja.
-          Duduk di tempat yang sebagian badannya terkena matahari dan sebagian lainnya terlindungi.
Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, Abul Qasim Shallallahu ’alaihi wasallam
bersabda: ”Jika salah seorang diantara kamu berada di matahari dan sebagian lainnya dinaungi, maka
ia harus bangkit darinya.”
Wallahu a’lam ketika dalam hal darurat.

11.  Menutup majelis dengan doa kafaratul majelis.


Menutup majelis dengan membaca Subhanakallahumma wabihamdika Asyahadu anla ilaha ilal anta wa
astagfiruka wa atubu ilaik.
Doa ini merupakan khatam dan penghapus dosa dalam majelis.
Jadi tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa do’a penutup majelis adalah
subhanakallahumma Rabbana...karena ini merupakan doa ruku’ dan sujud.
Adapun  membaca ”Subhana Rabbika Rabbil izzati amma yasifuun.... ” dilemahkan sanadnya.
Abdullah bin Umar Radiyallahu Anhuma mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali atau
jarang berdiri dari majelisnya kecuali membaca doa ” Allahummagfirlana minkhasyatika....”

§  Adab-adab mutarabbi kepada murabbinya


1.      Menjaga kehormatannya
Hadits dari Ubadah bin Qamud :
  ”Bukanlah golongan kami orang yang tidak memuliakan/menghormati orang tua dari kami, dan tidak
menyayangi orang yang muda, dan orang yang tidak tahu memberi hak kepada orang yang alim diantara
kami”.[HR Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al Albani]
Orang alim di sini termasuk juga murabbi.
Abdullah bin Abbas pernah memegang tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit, kemudian Zaid bin
Tasbit merasa risih akan hal ini karena Abdullah bin Abbas walaupun masih kecil tapi ia adalah seorang
alim dan seorang ahlul bait sampai beliau (Zaid bin Tsabit) mau turun tapi Abdullah bin Abbas
mengatakan kami diperintahkan bersikap baik kepada ulama dan orang tua kami.
Ini sebagai bentuk rasa terima kasih atau syukur kita akan ilmu yang telah mereka sampaikan. 

2.      Menulis apa yang dikatakan murabbi


Dari Abdullah bin Umar, dari Anas bin Malik dari Umar bin Khattab Rasulullah bersabda,
  ”Ikatlah ilmu dengan menulis” HR. Imam Baihaqi.
Asy Sya’di mengatakan  ”Bila kau mendengarkan satu ilmu maka tulislah walaupun itu di dinding atau di
tembok. Jangan pernah engkau meninggalkan suatu ilmu kecuali engkau telah menulisnya”
3.      Mendengarkan apa yang disampaikan oleh murabbi
Umar bin Khattab mengatakan:
”Jadilah kamu orang alim atau mutaallim atau mustami’ (pendengar) dan jika kamu menjadi yang ke
empat maka kamu celaka”.
Abu Darda mengatakan:
  ”Tidak apa-apa menjadi orang yang keempat, tapi orang yang keempat adalah simpatisan. Dan jangan
menjadi orang yang kelima karena kamu akan binasa. Mustami’ artinya mendengarkan murabbiyah
dengan kesan menempatkannya di tempat yang tinggi (menghormatinya).
Salah satu sikap tersebut adalah bersikap tawadhu seperti Abdullah bin Abbas yang begitu tawadhu
terhadap guru-gurunya,  meskipun gurunya sendiri kadang risih sebab mereka tahu bahwa Ibnu Abbas
lebih ’alim dari mereka, namun ibnu abbas sendiri tidak mau memberikan kesan seperti itu. Dan inilah
yang juga harus senantiasa diingatkan kepada mutarabbiyah-mutarabbiyah kita tentang bagaimana
menghormati murabbinya.
4.      Memuliakan dan bersungguh-sungguh dalam berkhikmat kepada murabbi
5.      Tidak mendahului dari ustadz-ustadznya (jangan menimpali jika ada yang disampaikan oleh murabbiyah),
Walaupun posisi Rasulullah tidaklah persis sama dengan posisi guru sekarang namun paling tidak seorang
murid tidak boleh mendahului ustadznya dalam segala sesuatu. Ini juga dicontohkan oleh sikap nabi Musa
terhadap nabi Khidr dimana beliau selalu meminta izin dulu, sampai-sampai ketika mau belajar kepada
nabi Khidr pun beliau meminta izin terlebih dahulu.
6.      Bermulazamah atau dekat kepada murabbiyah dengan tujuan :
·         Mengambil manfaat dari adabnya
·         Mengambil manfaat dari ilmunya
Kata imam Syafi’i, salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan banyak menemani ustadz dalam
waktu yang panjang. Ini yang seharusnya diajarklan kepada mutarabbiyah untuk banyak bermulazamah
dengan murabbinya, sehingga dia bisa mendapatklan banyak ilmu, baik ilmu yang disampaikan secara
langsung maupun ilmu berupa adab-adab Rasulullah yang dicontohkan langsung oleh seorang murabbiyah
dalam kehidupan sehari-harinya.
Ibrahim an Nasa’i pernah mengatakan ”kami mendatangi Masruq bin Ajra’ salah seorang murid dari
Abdullah bin Mas’ud (salah seorang tabi’in), lalu kami belajar dari akhlak dan budi pekertinya”.
Inilah di antara manfaat dekat dengan murabbi.
Abdullah bin Wahab (beliau termasuk perawi yang paling tsiqah terhadap Imam Malik)
mengatakan ”yang saya pelajari dari Imam Malik dari adabnya lebih banyak kemudian ilmunya”
 Padahal tentu saja begitu banyak ilmu Imam Malik yang bisa diserap tapi beliau mengatakan saya lebih
banyak belajar adabnya daripada ilmunya. Jadi beliau tidak belajar ilmu saja tetapi juga merekam
bagaimana adaba-adab yang diajarkan oleh guru tersebut.
Husain bin Ismail dari bapaknya, beliau menceritakan ”majelis Imam Ahmad dihadiri oleh sekitar lima
ribu lebih orang dan hanya sekitar lima ratus orang yang menulis ilmu yang disampaikan, dan selebihnya
hadir untuk sekedar mempelajari adab dan perilaku imam Ahmad”.
Kadang untuk mengenal adabnya Syeikh Utsaimin kita melihat siapa muridnya yang terdekat.
7.      Beradab pada saat duduk di depan murabbi dengan cara mengkonsentrasikan pemikiran kita kepadanya,
menghadirkan seluruh panca indra kita.
Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) pernah menasehati anaknya dengan mengatakan ”wahai anakku jika
engkau menghadiri majelis para ulama maka hendaknya engkau lebih bersemangat mendengar daripada
berbicara, jangan mengambil sikap diam dan jangan engkau memotong pembicaraan seseorang hingga
dia berhenti berbicara”.
Jadi hendaknya kita duduk dengan cara yang terbaik yang menunjukkan perhatian kita terhadap apa yang
disampaikan.
8.      Bersikap sabar terhadap murabbi dalam segala hal.
Termasuk dalam hal penyampaian ilmu dari murabbi, sebab terkadang ada murabbi yang menahan ilmunya
atau menunda penjelasannya meski tetap akan disampaikan. Ini dicontohkan dengan kesabaran Umar bin
Khattab ketika terjadi peristiwa Jibril. Beliau mengetahui tentang siapa yang datang setelah tiga hari,
padahal sebenarnya beliau sangat ingin mengetahuinya namun beliau bersabar hingga Rasulullah sendiri
yang menyampaikannya.
9.      Mendengarkan dengan baik
Satu perkataan dari Atha’ bin Abi Rabah (thabi’in yang hidup di Mekah) beliau
mengatakan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan hadits dari seseorang padahal aku lebih
mengetahuinya dari dia, namun aku menampakkan seolah-olah aku tidak mengetahui hadits tersebut sama
sekali”,
Dalam perkataan yang lain beliau menyampaikan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan seorang
pemuda berbicara tentang suatu hadits lalu saya memperhatikan perkataannya seakan-akan belum
pernah mendengarkan hadits itu sebelumnya padahal sya telah mendengarkan hadits itu sebelum anak
muda itu lahir.”
Ini perlu diajarkan kepada mutarabbiyah, kadang dalam tarbniyah murabbiyah menyampaikan sesuatu
yang mungkin sudah pernah ia dengar sebelumnya maka seorang mutarabbi jangan menunjukkan kesan
tidak membutuhkannya lagi.
Firman Allah, ”dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu selalu saja dibutuhkan oleh orang
yang beriman”.  

Anda mungkin juga menyukai