Anda di halaman 1dari 9

TEORI SOSIOLOGI MODERN

Dosen Pengampu :
Dr. Argyo Demartoto, M.Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Biografi Ralf Dahrendorf


Dahrendorf adalah salah satu tokoh terkenal di Eropa dan Amerika Serikat. Nama lengkapnya
adalah Ralf Gustav Dahrendorf. Lahir pada tanggal 1 Mei 1929 di Hamburg, Jerman. Saat
berumur belasan tahun di Nazi German, Ralf Dahrendorf ikut pemusatan kemah dalam
menentang negaranya sehingga lama kelamaan ia masuk dalam dunia politik.
Dahrendorf menjadi anggota Parlemen Daerah dan menjadi Parlemen di Jerman Barat. Dia
pernah bekerja pada akademik di Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Beliau adalah seorang
tokoh sosiologi, philosophi dan tokoh politik. Beliau adalah seorang tokoh pemikir yang
memberikan kontribusinya pada masyarakat mengenai pengertiannya tentang dunia modern.
Pada tahun 1947-1952 dia belajar philosophi, philoshophy klasik dan sosiologi di Hamburg
dan London. kemudian dia menjadi doctor of Philosophy (dr. Phil ) dan menjadi 24 honorer
yang diterima kemudian mendapat gelar PhD di London School of Economic. 1952-1954
beliau mengajar di universitas Saabrucken kemudian masuk menjadi republik Federal
German sebelum diajukan belajar di pusat ilmu tingkah laku Palo Alto.
Pada tahun1958-1960 bergerak ke universitas Tubingan selama enam tahun. Pada tahun
1966-1969, beliau mengajar di universitas Konstanz. Tahun 1969-1970 beliau menjadi
anggota dari the European Economics Comunity di Brussel, Belgium. tahun 1974- 1984
beliau kembali lagi menjadi profesor ilmu sosial selama tiga tahun dan menjadi seorang
direktur pada sekolah tinggi ekonomi di London.
Kedudukannya mulai meningkat menjadi pengawas pada St. Antony’s Collage, Oxford
University dan sekarang menduduki Majelis Tinggi di Inggris. Sebagai seorang teoritisi
konflik maka Dahrendorf menyatakan dua perhatiannya pada konflik yaitu tentang teory
masyarakat yang dianggap sebagai dirinya yang merupakan sebuah contoh dari penjelasan
sosial. Dan yang kedua mengenai konflik itu sendiri yang dianggap sebagai konflik aktif yang
merupakan sebuah argument atas pemikirannya dan Marx.
Disamping menjadi penghias ksatria panglima perang, beliau juga mendapat award dari
pemerintahan Jerman Barat, Austria, Belgia, Luxemburg dan Senegal. Dahrendorf adalah
seorang penulis yang memberikan pengumuman umum bahwa dia bekerja tepat waktu
memberikan pembenaran asli dan penulis ilmu sosial dan politik yang menginspirasi.
Dahrendorf adalah seorang pemikir sosiologi modern yang terkenal akan teori konfliknya.
pada abad ke 18 beliau melakukan survey konflik sosial dan politik pada masyarakat barat
yaitu tentang kebebasan orang barat. Bukunya yang terkenal adalah ” Class and Class
Conflik in Industrial Society”.
Karya
Buku yang ia karang membuatnya dikenal oleh masyarakat yaitu ‘’Class and Class
Conflik in Industrial Society”. Buku ini berisi rangkaian argument dan beberapa kasus
tentang teory konflik yang dianggap berbeda dengan teori konsensus yang lebih kita kenal
dengan teori struktural fungsional. Dalam pandangan kaum fungsionalis konflik dianggap
merusak tatanan masyarakat seperti Durkheim, Merton dan Persons. Pandangan kaum
fungsionalis tadi sangat bertolak belakang dengan para penganut konflik yang menganggap
konflik adalah suatu pola interaksi yang dianggap perlu sebagai dasar dari adanya suatu
interaksi.
Karya-karya Dahrendorf pada umumnya banyak terinspirasi oleh karya- karya Marx dan
wujud dari protes Dahrendorf akan kaum Marxian, walaupun keduanya dianggap berlawanan.
Tetapi dalam buku yang ia karang Class and Class Conflik in Industrial Society dia
berargumen banyak tentang teory Marxian yang ia pertentangkan tetapi memiliki banyak
persamaan yang tidak mau ia akui.
Teori Konflik
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal
dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi
menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji
konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori
konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan
ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.
Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan
otoritas terhadap posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa
perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa
posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak
bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan
tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga
seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja
menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.
Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan
orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas
tiga tipe antara lain :
1. Kelompok Semu (quasi group)
2. Kelompok Kepentingan (manifes)
3. Kelompok Konflik
Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi
belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok
kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok
ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam dua
perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi
(bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf,
mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.
Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo
sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada
perubahan. Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser
dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan
perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal,
sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-
tiba. Menurut Dahrendorf,  Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu:
Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan (buruh
dan majikan, antar kelompok,antar partai dan antar  Adanya dominasi Adanya ketidakadilan
atau diskriminasi. agama).  kekuasaan (penguasa dan dikuasai).
Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam
konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima secara eksplisit dan diatur.
Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah menimbulkan perubahan
struktural sosial khususnya yang berkaitan dengan struktur otoritas, maka Dahrendorf
membedakan tiga tipe perubahan  Perubahan keseluruhan personel didalam posisi struktural
yakni: Perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi.
Penggabungan kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang
berkuasa. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain didalam
masyarakat antara lain  Munculnya kelas, Dekomposisi tenaga kerja, Dekomposisi modal:
menengah baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi masyarakat
dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum pemilik
modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan terhadap bentuk-bentuk
konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya
kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission), maka
jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan
melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi
karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh.
Dahrendorf memandang manusia sebagai makhluk abstrak dan artifisial yang dikenal dengan
sebutan “homo sociologious” dengan itu memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra
moral dan citra ilmiah. Citra moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik,
integral, dan bebas. Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan
sekumpulan peranan yang beragam yang sudah ditentukan sebelumnya. Asumsi Dahrendorf,
manusia adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan citra moral, maka
manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh posisi sosial
seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong membentuk manusia,
tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat. Sebagai homo sosiologis,
manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan peran dan
posisi sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh peran dan posisi sosialnya di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus
seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in Industrial Society”
dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori fungsionalisme
struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu untuk memahami
masalah perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.
Konflik yang terjadi antara pemilik pabrik rokok PT Gudang Garam dengan buruh
jika merujuk pada teori konflik Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa pemilik pabrik
rokok PT Gudang Garam merupakan pihak pemegang otoritas yang berada pada kelompok
atas (penguasa) yang ingin tetap mempertahankan status dan kebijakannya sedangkan buruh
pabrik yang bekerja di PT Gudang Garam tidak memiliki otoritas yang berada pada posisi
atau lapisan di bawah, yang dikuasai oleh pabrik PT Gudang Garam. Sehingga buruh pabrik
ingin melakukan perubahan. Dalam hal ini, buruh pabrik berada pada posisi ketidakbebasan
yang dipaksakan. Maka dari itu, pemilik barik rokok PT Gudang Garam memiliki
kewenangan atau kekuasaan untuk mengelola pabrik rokok tersebut.
Berdasarkan kasus konflik buruh pabrik dengan pemilik pabrik rokok PT Gudang
Garam, terdapat pemaksaan perlakukan yang dilakukan oleh pemilik pabrik rokok terhadap
buruh pabrik.
Misalnya, ketika para pedagang inpres II, III dan IV menolak rekonstruksi bangunan,
Pemko mengambil keputusan pemutusan sarana dan prasarana pasar seperti listrik (PLN) dan
air (PDAM). Tak hanya itu, dalam rencana pemagaran bangunan inpres II, III dan IV, 30
Agustus 2011 pun Pemko melibatkan kepolisian dan Satpol PP. Bahkan para aparat pun
diberi izin untuk melakukan tindak kekerasan bagi pedagang yang masih melawan hal ini
dapat dibuktikan dalam bentrokan yang terjadi saat pemagaran Inpres II, III dan Pasar Raya
Padang, 31 Agustus 2011 lalu.
Proses sosial yang ditekankan dalam model konflik berlaku untuk hubungan sosial
antara kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas
internal dan integrasi kelompok dalam (in-group) akan bertambah tinggi karena tingkat
permusuhan atau konflik dengan kelompok luar (out-group) bertambah besar. Dengan adanya
2 sisi tersebut terjadi suatu bentuk integrasi yang kuat antara kelompok pedagang sebagai
kelompok yang merasa dirugikan dengan pembuat kebijakan yaitu Dinas Pasar. Kelompok
pedagang ini melakukan perlawanan dengan cara memperkuat in groupnya agar dapat
melawan kebijakan dari Dinas Pasar.

Analisis Teori Konflik dalam Contoh Kasus Pasar Raya Padang


Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu menjadi dua tipe.
Kelompok semu (quasi group) merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau
jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok
kepentingan. Tipe yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group), terbentuk dari
kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi,
program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber
nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.
Pada konflik pedagang Pasar Raya Padang dengan Pemko Padang ini, terjadi harapan
peran yang disadari (kepentingan tersembunyi telah disadari). Kelompok kepentingan ini
telah memiliki struktur organisasi dan tujuan yang jelas. Para pedagang yang terdiri dalam
Asosiasi Pedagang Pasar menyadari kepentingan yang ia perjuangkan yakni mendapatkan
tempat yang layak dan representative untuk berdagang dengan gratis.
Penyebab Konflik
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat
dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih
baik bagi sebagain besar atau semua pihak yang terlibat. Penyebab konflik menurut
Dahrendorf adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi,
konflik bukan hanya materi (ekonomi saja).
Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial
dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan
mungkin terlibat konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang
menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial. Dahrendorf
menyimpulkan bahwa konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
itu. Contohnya, kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian
menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan
dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan membentuk sebuah rantai
yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif
maupun yang destruktif.
Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Ia
mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang
dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan
mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan
menjadi fakta tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki
kekuasaan.
Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama. Teori hubungan
masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras
dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik. Teori
kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan
dasar manusia baik fisik, mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan
dalam konflik.
Sementara itu, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang
tidak diselesaikan. Teori kesalahpahaman antarbudaya berpandangan berbeda, teori ini
berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dakan cara-cara komunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh masalah-masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai
masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Dinamika konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu
yang memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah
otoritas yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok
yang dikuasai. Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya
sedangkan kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.
Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai
kekuasaan. Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi. Dimana ada
relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku
kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.
Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual.
Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan
kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.
Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat mengenai pembangunan
kembali Pasar Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah rusak pascagempa tanggal 30
September 2009. Perbedaan kepentingan menjadi latar belakang munculnya konflik pasar.
Berbagai permasalahan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, terjadinya konflik antar
warga Pasar Raya dengan Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam
menentukan alternatif pembangunan Pasar Raya. Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang,
pertama kali melontarkan ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar
yang modern (mall). Tujuan dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih
nyaman untuk dijadikan tempat jual-beli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya Padang
semakin semrawut, saluran drainase tersumbat yang menyebabkan becek, sampah-sampah
menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus dan sebagainya.
Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh investor. Kata investor merupakan sosok
yang ditakuti oleh para pedagang. Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan
akan diganti dengan mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang
dibangun investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar. Para pedagang
takut jika mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern dibangun.
Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan konflik yang nyata antara
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan warga pasar sebagai pihak yang dikuasai.
Pemerintah ingin menggunakan otoritasnya sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan
bentuk bangunan Pasar Raya. Alasan Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah
pemasukan PAD menjadikan landasan untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern.
Tragedi Sentral Pasar Raya (SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa
tahun lalu nyatanya telah menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu
terulang lagi. Para pedagang takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan
membeli lahan di pasar yang baru. Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai oleh pemda
tidak lagi punya otoritas untuk menentangnya terlebih lagi untuk menagih janji. Warga pasar
sebagai yang dikuasai berusaha untuk melawan pemegang kekuasaan. Konflik pun muncul
ketika pemegang kekuasaan bertahan dalam menggunakan kekuasaannya.

Kesimpulan
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan
sosiologi dan merupakan teori dalam paradigma fakta sosial. Konflik mempunyai bermacam-
macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian
adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel
berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu
yang bisa menyebabkan konflik. Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling
ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai
sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru
melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling
bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol bahkan melakukan penekanan dan
juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk
menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok
lainnya.
Adapun asumsi yang mendasari teori sosial nonMarxian dibawa oleh Dahrendorf.
Ralf Dahrendorf mempunyai pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Bagi Dahrendorf,
konflik di masyarakat disebabkan oleh berbagai aspek sosial. Bukan melulu persoalan
ekonomi sebagaimana menurut Karl Marx. Aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat ini
kemudian terwujud dalam bentuk teratur dalam organisasi sosial. Konflik sosial merupakan
sesuatu yang endemik dalam pandangan Dahrendorf.
Teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai
andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan
konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial
didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak
mendominasi.Teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang
dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan
kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan
Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor
yang menentukan konflik sosial sistematis.
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Dia menyebut
otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber struktur konflik harus dicari
dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut
Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di
dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran
otoritas itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat
individual.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci adalam analisis Dahrendorf.
Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki
posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan
dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karena ciri-cri psikologis mereka sendiri.
Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka
yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas
adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan
merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-
kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat
dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk
menentukan atau memperlakukan yang lang lain.
Daftar Pustaka
Novri Susan, M.A. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta : Kencana,
2009
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group. 1997.

Anda mungkin juga menyukai