Anda di halaman 1dari 9

METODE PENGUKURAN KECERNAAN SECARA IN VITRO

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

Peralatan dan Teknik Analisis Laboratorium

yang dibina oleh ibu Prof. Dr. Ir. Hartutik, MP

oleh

Gita Maulidya

155050100111012

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

FAKULTAS PETERNAKAN

Maret 2016

1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………..3

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………….3

1.3 Tujuan…………………………………………………………………………………...3

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..4

2.1 Kecernaan secara In Vitro……………………………………………………………….4

2.2 Alat dan Reagensia dalam Pengukuran Kecernaan secara In Vitro……………………..4

2.3 Metode Pengukuran Kecernaan secara In Vitro…………………………………………5

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………………………..…9

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………...9

3.2 Saran……………………………………………………………………………………..9

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….10

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan ternak merupakan komponen biaya produksi terbesar dan menjadi kendala bagi
peternak. Oleh karena itu pengetahuan tentang pakan dan pemberiannya perlu mendapat
perhatian yang serius. Ransum yang diberikan kepada ternak harus diformulasikan dengan baik
dan semua bahan pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum harus mendukung produksi
yang optimal dan efisien. Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian pakan ternak adalah
kebutuhan nutrisi ternak, komposisi nutrisi bahan pakan penyusun ransum dan bagaimana
beberapa bahan dapat dikombinasikan untuk mencukupi kebutuhan ternak.

Kualitas produksi ternak sangat erat hubungannya dengan kualitas pakan tersedia,
sehingga pemanfaatan sumber pakan secara optimal dapat menentukan produktivitas yang
maksimal pula. Namun, setiap bahan pakan memiliki kualitas dan kecernaan yang berbeda-beda.
Untuk menghasilkan ransum dengan formulasi yang tepat, perlu diketahui kecernaan pada
masing-masing bahan pakan. Pengukuran kecernaan bahan pakan bisa dilakukan secara in vitro,
yaitu dengan menggunakan alat-alat laboratorium, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah,
cepat, dan terkontrol. Namun, untuk menghasilkan data yang akurat, diperlukan metode yang
tepat. Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas metode pengukuran kecernaan secara in vitro
dengan tepat agar menghasilkan data yang akurat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari pengukuran kecernaan bahan pakan secara in vitro?
2. Apa alat dan reagensia yang diperlukan dalam pengukuran kecernaan secara in vitro?
3. Bagaimanakah metode pengukuran kecernaan secara in vitro yang tepat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengukuran kecernaan bahan pakan secara in vitro.
2. Untuk mengetahui alat dan bahan yang diperlukan dalam pengukuran kecernaan secara
in vitro.
3. Untuk mengetahui metode pengukuran kecernaan secara in vitro yang tepat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kecernaan secara In Vitro

Kecernaan adalah bagian dari nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses melainkan
yang diserap oleh tubuh ternak. Bahan pakan yang baik adalah yang memiliki kecernaan tinggi
sehingga dapat meningkatkan konsumsi pakan, dan kebutuhan nutrien ternak dapat terpenuhi,
sehingga produksi ternak bisa optimal. Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan BK
(bahan kering) dan sebagai suatu koefisien atau presentase. (McDonald et al., 2002). Kecernaan
in vitro adalah teknik pengukuran degradabilitas dan kecernaan evaluasi ransum secara biologis
dapat dilakukan secara laboratorium dengan meniru seperti kondisi sebenarnya (Mulyawati,
2009).

Menurut Crowder dan Cheda dalam Zakariah (2012), faktor yang mempengaruhi metode
pengukuran kecernaan secara in vitro antara lain adalah pencampuran pakan, cairan rumen,
pengontrolan temperatur, variasi waktu, dan metode analisis. Pengukuran kecernaan yang terjadi
dalam rumen secara in vitro menyesuaikan dengan kondisi rumen yaitu selama 48 jam. Variasi
populasi mikroba disebabkan karena perbedaan dalam pemberiaan pakan pada ternak, waktu
putar cairan rumen, dan metode penanganan serta proses cairan rumen sebelum digunakan.
Keberhasilan metode in vitro tergantung pada koreksi terhadap berbagai kesalahan yang berasal
dari populasi mikrobia, pH medium, preparasi sampel dan cara kerja.

2.2 Alat dan Reagensia dalam Pengukuran Kecernaan secara In Vitro

2.2.1 Alat:

 Sapi berfistula rumen


 Termos kapasitas 500ml
 Tabung fermentor kapasitas 80ml, berskala 50 ml dengan penutup karet yang dilengkapi
dengan katup pembebas udara (bunsen valve)
 Water bath atau incubator dengan suhu 38-39◦C
 Storage flask 5L
 Sentifuse dengan kecepatan 2500 rpm
 Penyemprot otomatis (automatic syringe)
 Motor stirrer, untuk pencampuran cairan rumen dan larutan penyangga dengan
kecepatan rendah
4
 Kain nilon (dengan tenunan halus, untuk menyaring cairan rumen)
 Kain halus (kelembutan mendekati 200 serabut per cm2 untuk menyaring cairan rumen)
 Tabung gas CO2 yang dilengkapi dengan alat bubbling (jarum suntik di bagian ujung)
 Penyaring dengan pompa vakum
 Kertas saring Whatman no. 41 untuk membantu filtrasi
 Labu ukur
 Pipet 10 ml
 pH meter
 Termometer
 Oven 105◦C
 tanur 600◦C
 Cawan porselen
 Eksikator
 Timbangan analitis

2.2.2 Reagensia:

 Larutan penyangga phospat bikarbonat yang terdiri dari 3 larutan dalam air destilasi
sampai 1L ( 46,5gr Na2HPO4.12HO, 49,0gr Na HCO3, 35gr NaCl, 85gr KCl; (b)
Larutan % MgCl2; (c) Larutan 4% CaCl2
 Larutan HCl-pepsin: 2gr pepsin (merk no. 790, 1:0.000) dan 1L HCl 0,1 M
 Larutan Na-karbonat
 Larutan Na-karbonat 10%
 Gas CO2

2.3 Metode Pengukuran Kecernaan secara In Vitro

2.3.1 Prinsip

Menurut Hartutik (2012), pengukuran kecernaan secara in vitro adalah penentuan


kecernaan pakan yang dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan tabung fermentasi di
labotatorium dengan meniru proses pencernaan yang terjadi di dalam tubuh ternak ruminansia.
Pengukuran kecernaan secara in vitro ini terdiri dari dua fase, yaitu: (1) fase pencernaan
fermentatif di dalam rumen oleh mikroba, dibantu dengan larutan penyangga Mc Dougalls atau
saliva buatan dengan pH 6,9, kondisi anaerob, suhu 39◦C selama 48 jam dan (2) fase poencernaan
hidrolitis di dalam pascarumen (abomasum dan usus halus) dengan kondisi aerob, suhu 39◦C dan
penambahan HCl-pepsin, selama 48 jam. Selama fase pencernaan fermentative, fermentor
dikocok dengan shaker atau secara manual dikocok sehari 2 kali dengan maksud meniru gerakan
rumen. Sisa sampel bahan pakan yang tidak larut setelah proses fermentative dan hidrolitis
5
(endapan residu) merupakan bahan yang tidak dicerna. Selisih berat sampel awal dengan berat
endapan yang tidak larut tersebut disebut kecernaan sampel yang diuji.

2.3.2 Prosedur

Menurut Hartutik (2012), prosedur pengukuran kecernaan bahan pakan secara in vitro
meliputi pengambilan cairan rumen, penyiapan sampel pakan yang akan diuji, dan inkubasi
sampel beserta sampel standar. Berikut adalah prosedur pengukuran kecernaan secara in vitro:

a. Pengambilan cairan rumen

1) Ternak ruminansia yang akan diambil cairan rumen

Sebelum pengambilan cairan rumen, selama 4 hari berurutan ternak diberi pakan
yang cukup yaitu kandungan PK 10% (rumput dan konsentrat), jumlah konsentrat 1% dari
berat badan dan air minum ad libitum. Waktu pengambilan cairan rumen sebaiknya pagi
hari ( agar mikroba tidak mengalami banyak cekaman),4 jam setelah pemberian pakan agar
mendapatkan cairan rumen yang perkembangan populasi mikrobanya cukup dan
kandungan amoniak melebihi 5 mg.

2) Perlakuan terhadap peralatan

Sebelum digunakan, dimasukkan semua peralatan yang akan menyentuh cairan


rumen ke dalam incubator dengan suhu 39◦C.

3) Tempat cairan rumen

Diiisi termos sampai penuh dengan air hangat (suhu 50-70◦C). Dibuang 1/3 bagian
air dalam termos, ditambahkan dengan air dingin sampai suhu air dalam termos 39◦C.
Apabila cairan rumen sudah siap dimasukkan ke dalam termos, dibuang semua air dan
diisi dengan cairan rumen dalam termos sampai penuh.

b) Penyiapan sampel pakan yang akan diuiji

Semua bahan yang akan diuji kecernaannya baik hijauan, butiran, dan sebagainya dalam
kondisi kering udara, digiling halus (diameter 1 mm), kemudian dimasukkan ke dalam toples
plastic atau botol yang diberi kode dan ditutup rapat.

c) Inkubasi sampel yang diuji dan sampel standar


6
 Ditimbang 0,5 sampel (sampai 4 angka dibelakang koma) dan sampel standar yang sudah
diketahui kecernaan in vivo-nya dimasukkan ke dalam fermentor atau tabung sentrifus,
kemudian dipanaskan dalam incubator atau water bath pada suhu 38-39◦C.
 Dipersiapkan 4L larutan buffer phosphate-bikarbonat yang sudah tercampur homogen.
 Kemudian pH ditentukan sampai mencapai 6,9 (bila pH terlalu tinggi di-bulbing dengan
gas CO2 selama 20 menit).
 Selanjutnya 4L larutan buffer phosphate-bikarbonat dipanaskan dalam water bath pada
suhu 38-39◦C. Satu liter cairan rumen yang telah dialiri gas CO 2 diampur dengan 4L
larutan buffer ke dalam storage flask (labu Erlenmeyer 5L) berpengaduk (stirrer) sambil
dialiri gas CO2.
 Diambil 50ml campuran cairan rumen dan buffer phosphate-bikarbonat, dimasukkan
dengan menggunakan automatic syringe ke dalam fermentor yang sudah diisi dengan
sampel (sebelumnya fermentor telah berisi sampel dimasukkan dalam incubator selama 1
jam) dan segera ditutup dengan sumbat karet yang ber-bunsen valve dengan cepat sambil
digoyangkan, kemudian dimasukkan ke dalam water bath bersuhu 38-39◦C. Blanko
dibuat dengan cara yang sama tetapi tanpa diisi dengan sampel yang diuji.
 Sesudah 1 jam, diisi tabung fermentor dan dicampur dengan seksama dan hati-hati agar
tidak ada partikel-partikel pakan padat yang masih menempel di dinding tabung.
 Selanjutnya tabung yang berisi sampel, campuran rumen dan buffer diinkubasi selama 48
jam (selama inkubasi, isi dalam tabung fermentor dicampur dan digoyang 4 jam sekali).
 Dihentikan aktivitas mikroba dengan menambahkan 5 ml larutan Na2CO3 10% atau 0,2ml
HgCl jenuh pada masing-masing tabung atau direndam dalam air es.
 Fraksi sampel yang tidak tercerna diendapkan dengan menggunakan sentrifus dengan
kecepatan 2500 rpm selama 15 menit.
 Disaring cairan supernatan dengan hati-hati menggunakan kain nilon yang dibantu alat
pompa vakum (dengan catatan sampel masih dalam tabung fermentor).
 Sampai tahap ini fase fermentative di rumen dianggap telah selesai dan dilanjutkan fase
hidrolitis di dalam abomasum dan usus halus.
 Partikel yang masih menenmpel di kain nilon selanjutnya dialirkan ke dalam tabung
fermentor dengan larutan HCl-pepsin.
 Partikel yang masih menempel di dinding kaca fermentor, dihilangkan dengan cara dibilas
dengan larutan HCl-pepsin (pemberian HCl-pepsin sebanyak 50ml).
 Tabung yang berisi sampel yang tidak tercerna dan HCl-pepsin, diletakkan kembali dalam
water bath tanpa dialiri gas CO2 (situasi aerob), suhu 39◦C, tanpa penutup bunsen valve
diinkubasi selama 48 jam.

7
 Selama masa inkubasi 48 jam pada fase kedua ini tabung fermentor digoyang 2 kali
sehari.
 Setelah 48 jam sampel dalam tabung fermentor disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm
selama 15 menit (tabung fermentor yang digunakan sebaiknya berukuran sama dengan
tabung sentrifus).
 Endapan dalam tabung fermentor disaring dengan menggunakan kain nilon yang dibantu
dengan alat penyaring dengan pompa vakum (bisa dengan kertas saring Whatman no. 41
yang diketahui berat keringnya, serta dicuci dengan aquadest 1ml/tabung).
 Residu atau endapan yang terdapat pada kain nilon selanjutnya dituangkan kembali dalam
tabung fermentor bersama dengan aquadest (residu harus benar-benar tidak terdapat lagi
pada kain nilon).
 Residu dan aquadest yang terdapat dalam tabung fermentor disaring dengan alat
penyaring alumina thermal (thermal alumina crucible), sebelumnya telah dipanaskan
dalam tanur 550◦C selama 1,5 jam dan ditimbang.
 Cawan penyaring beserta residu dikeringkan dalam oven 105C, kemudian diambil dan
dimasukkan desikator atau eksikator, lalu ditimbang dengan neraca analitis untuk
penetapan BK.
 Diteruskan dengan pengabuan pada tanur 550◦C selama 4 jam, stelah itu diambil dan
dimasukkan desikator, lalu ditimbang untuk penetapan kandungan BO.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kecernaan adalah bagian dari nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses melainkan
yang diserap oleh tubuh ternak. Bahan pakan yang baik adalah yang memiliki kecernaan tinggi
sehingga dapat meningkatkan konsumsi pakan, dan kebutuhan nutrien ternak dapat terpenuhi,
sehingga produksi ternak bisa optimal. Kecernaan in vitro adalah teknik pengukuran
degradabilitas dan kecernaan evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara
laboratorium dengan meniru seperti kondisi sebenarnya

3.2 Saran

Saran dalam makalah ini adalah agar penelitian yang menggunakan metode in vitro untuk
pengukuran kecernaan bahan pakan bisa dilakukan dengan tepat dan menghasilkan data yang
valid.

8
DAFTAR PUSTAKA

Hartutik. 2012. Metode Analisis Mutu Pakan. Malang: UB Press.

McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition.


Prentice Hall. London.

Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral Dienkapsulasi. Skripsi.


Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Zakariah, M.A. 2012. Evaluasi Kecernaan Beberapa Bahan Pakan pada Ternak Peranakan
Ongole (PO) dan Peranakan Frisien Holstein (PFH). Skripsi. Fakultas Peternakan,
Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai