Oleh :
KELOMPOK 5
Oleh :
KELOMPOK 5
Anggota :
1. Chika Kumarant (D1A017027)
2. Bagas Arya Satya Prayoga (D1A017038)
3. Alif Widi Wahyu Imam (D1A017072)
4. Maimunah Husniatus Sa’adah (D1A017227)
5. Syifa Salsabilah (D1A017139)
6. Muhammad Rifqi Fadhiila (D1A016103)
7. Gigih Pambudhiharjo (D1A017188)
8. Evalita Kusuma (D1B019010)
9. Aldi Indratama (D1A017047)
10. Agung Gumelar (D1A017225)
Oleh :
1. Chika Kumarant (D1A017027)
2. Bagas Arya Satya Prayoga (D1A017038)
3. Alif Widi Wahyu Imam (D1A017072)
4. Maimunah Husniatus Sa’adah (D1A017227)
5. Syifa Salsabilah (D1A017139)
6. Muhammad Rifqi Fadhiila (D1A016103)
7. Gigih Pambudhiharjo (D1A017188)
8. Evalita Kusuma (D1B019010)
9. Aldi Indratama (D1A017047)
10. Agung Gumelar (D1A017225)
Koordinator Umum
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Waktu dan Tempat 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik .
(KBK & KBO) 3
2.2 Volatil Fatty Acid (VFA) 4
2.3 Teknik Penyulingan Gas In Vitro (Gas test) 5
2.4 Pengukuran Nitrogen-Amonia (N-NH3) 5
III. MATERI DAN CARA KERJA 7
3.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik
(KBK & KBO) 7
3.1.1.Alat 7
3.1.2.Bahan 7
3.1.3. Cara Kerja 7
3.2. Volatil Fatty Acid ( VFA ) 8
3.2.1. Alat 8
3.2.2.Bahan 8
3.2.3. Cara Kerja 8
3.3. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gas Test) 9
3.3.1. Alat 9
3.3.2. Bahan 9
3.3.3. Cara Kerja 9
3.4. Pengukuran Nitrogen-Amonia (N-NH3) 10
3.4.1. Alat 10
iii
3.4.2. Bahan 10
3.4.3. Cara Kerja 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11
4.1. Hasil 11
4.1.1. Kecernaan Bahan Kering (KBK) 11
4.1.2. Kecernaan Bahan Organik (KBO) 12
4.1.3. Volatil Fatty Acid VFA 14
4.1.4. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gast Test) 15
4.1.5. Pengukuran Nitrogen-Amonia (N-NH3) 16
4.2. PEMBAHASAN 17
4.2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik
(KBK & KBO) 17
4.2.2. Volatil Fatty Acid (VFA) 19
4.2.3. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gas Test) 21
4.2.4. Pengukuran Nitrogen-Amonia (N-NH3) 22
V. PENUTUP 24
5.1 Kesimpulan 24
5.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Degredasi Bk............................................................................................18
Tabel 2 Kadar KBK................................................................................................19
Tabel 3 Kadar KBO (%)..........................................................................................19
Tabel 4 Hasil KBK Dan KBO...................................................................................21
Tabel 5 Hasil Gas Test...........................................................................................21
Tabel 6 Hasil N-NH3.............................................................................................23
Tabel 7Hasil VFA...................................................................................................24
v
I. PENDAHULUAN
1
untuk mengetahui total VFA yang dihasilkan oleh suatu bahan pakan. Prinsip dari
uji ini yaitu menguapkan asam lemak atsiri (VFA) dengan teknik penyulingan dan
mengikat dengan larutan basa sehingga terbentuk garam. Kelebihan basa yang
tidak terbentuk garam dititrasi dengan asam.
Uji N-NH3 memiliki tujuan untuk mengetahui kadar N-NH3 yang
dihasilkan dari suatu bahan pakan. Prinsip dari uji N-NH3 yaitu menangkap uap
N-NH3 dengan asam borat sehingga terbentuk NH4 kemudian dititrasi dengan
H2SO4. Berdasarkan uraian diatas untuk mengetahui setiap uji maka perlu
praktikum invitro.
1.2 Tujuan
Mengetahui persentase KBK KBO pada rumput raja.
Mengetahui total VFA pada rumput raja.
Mengetahui kadar gas total pada rumput raja.
Mengetahui kadar N-NH3 pada rumput raja.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik (KBK &
KBO)
Uji bahan pakan secara biologis salah satunya dengan metode in vitro
yaitu metode penelitian bahan pakan dengan mengadopsi keadaan yang sama
pada tubuh ternak, namun dilakukan di laboratorium dengan menggunakan
tabung fermentasi serta rumen ternak. Parameter yang diamati adalah kecernaan
bahan kering dan bahan organik secara in vitro. Nilai kecernaan perlu diukur
untuk mengetahui seberapa besar zat pakan yang mampu diserap oleh tubuh
ternak (Dewi dkk, 2012).
Proses pencernaan makanan dalam rumen terutama dilakukan oleh
mikroba. Rumen membutuhkan kondisi optimum agar bakteri mampu melakukan
aktivitas fermentasi dengan baik. Pada kondisi tersebut, kecernaan ransum yang
dikonsumsi akan meningkat baik kecernaan bahan kering maupun kecernaan
bahan organik. Kecernaan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam
alat pencernaan sampai terjadinya penyerapan (Wahyuni dkk, 2014). Uji
kecernaan dibutuhkan untuk menentukan potensi pakan yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak.
Kecernaan pakan sangat penting diketahui karena dapat digunakan untuk
menentukan mutu pakan tersebut.Tingkat kecernaan suatu bahan pakan yang
semakin tinggi dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan pakan antara lain komposisi kimia bahan pakan,
komposisi ransum, bentuk fisik ransum, tingkat pemberian pakan dan faktor
internal ternak (McDonald et al., 2010). Bahan pakan mempunyai kecernaan
tinggi apabila bahan tersebut mengandung zat-zat nutrisi mudah dicerna.
Nilai kecernaan adalah tanda awal ketersediaan nutrien dalam bahan
pakan ternak tertentu.Kecernaan yang tinggi menunjukkan besarnya nutrien yang
disalurkan pada ternak, sedangkan kecernaan yang rendah menunjukkan bahan
pakan tersebut belum bisa memberikan nutrien bagi ternak baik untuk hidup
3
pokok ataupun untuk produksi.Kecernaan dapat dinyatakan dalam bentuk bahan
kering dan organik sehingga dalam prosentase dapat disebut koefisien cerna
(Jovitry, 2011).
4
di hasilkannya gas. Semakin besar bahan organik yang digunakan oleh mikrobia
rumen maka akan semakin tinggi pula gas yang dihasilkan produksi gas
menunjukkan aktivitas mikrobia rumen dalam mendegradasi pakan. Produksi gas
semakin cepat mencapai puncak bila fraksi yang larut dan mudah terdegradasi
semakin banyak (Zakariah dkk, 2016).
Teknik in vitro gas merupakan salah satu metoda dalam mengevaluasi
pakan. Gas yang dihasilkan selama inkubasi merupakan produk buangan dari
fermentasi substrat didalam tabung fermentor seperti gas metan,
karbondioksida, oksigen dan gas lainnya. Gas ini akan memberikan gambaran
intensitas fermentasi yang terjadi didalam tabung. Selama inkubasi akan
diperoleh informasi mengenai profil gas seperti total produksi gas, laju produksi
gas, lag time. Informasi ini juga erat kaitannya dengan proses fermentasi dan
degradasi substrat didalam tabung fermentor selama inkubasi. Produksi gas lebih
tinggi bila menggunakan cairan rumen dibandingkan cairan rectum (Alwi, 2009).
Tinggi produksi gas, menunjukkan semakin tinggi pula aktivitas mikrobia
di dalam rumen dan dapat menggambarkan bahan organik yang tercerna
sehingga mencerminkan kualitas bahan pakan tersebut. Semakin tinggi produksi
gas yang dihasilkan maka semakin baik kualitas bahan pakan tesebut, dalam arti
kecernaanya tinggi. Jumlah gas yang dihasilkan jika bahan pakan diinkubasi
secara in vitro dengan cairan rumen mempunyai hubungan erat dengan nilai
kecernaannya dan nilai energi bahan pakan tersebut untuk ruminansia (Gusasi,
2014).
5
Menurut Haryanto (1994) tinggi rendahnya konsentrasi amonia
ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas,
lamanya pakan berada dalam rumen dan pH rumen.Kadar amonia yang optimum
di dalam rumen adalah berkisar antara 4-12 milimol. Kadar NH3 yang terlalu
tinggi dalam rumen akan berakibat tidak baik bagi kesehatan ternak karena dapat
menyebabkan overflow.
Pengukuran konsentrasi NH3 digunakan teknik mikrodifusi Conway (Sandi
dkk, 2015).Bibir cawan Conway diolesi dengan vaselin.Supernatan diambil
sebanyak 1 ml kemudian diletakkan di kiri sekat cawan Conway dan larutan
Na2CO3 jenuh diambil sebanyak 1 ml lalu diletakkan di kanan sekat. Cawan kecil
di bagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom
kresol hijau sebanyak 1 ml. Cawan Conway ditutup rapat kemudian digoyang-
goyangkan membentuk angka 8 agar supernatan bercampur dengan Na 2CO3 lalu
didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar. Amonia yang terikat oleh asam borat
6
III. MATERI DAN CARA KERJA
3.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik (KBK &
KBO)
3.1.1.Alat
1. Erlenmeyer 7. Cawan berpori
2. Shaker waterbath 8. Kompor
3. Tutup berpentil 9. Dispenser
4. Timbangan analitik 10. Glasswool
5. Tanur 11. Oven
6. Tabung oksigen
1. Larutan Mc. Dougalls 24 ml
3.1.2.Bahan
2. Cairan rumen 16 ml 3.1.3. Cara Kerja
3. HgCl2 jenuh Pencernaan Fermentatif
4. Pepsin HCl 0,5 %
2 gram sampel dimasukkan kedalam tabung glass.
3.2.1. Alat
1. Destilator
2. Erlenmeyer
3. Pipet tetes
7
4. Buret
3.2.2.Bahan
1. Supernatan 5 ml 4. NaOH 0,5 N
2. H2SO4 15 % 1 ml 5. Indikator PP 2 tetes
3. Akuades secukupnya 6. HCl 0,5 N
Destilator dididihkan.
Ditampung hasil destilat pada erlen meyer yang berisi NaOH 0,5 N, sampai
volume 100 ml.
3.3.1. Alat
1. Piston 5. Spatula
2. Tabung Menkey 6. Dispenser
3. Timbangan analitik 7. Penjepit
4. Oven
3.3.2. Bahan
1. Sampel 0,2 gram
2. Larutan medium 20 ml
3. Cairan rumen 10 ml
4. Vaselin putih
8
3.3.3. Cara Kerja
Ditimbang sampel sebanyak 0,2 gram.
3.4.1. Alat
1. Cawan Conway
2. Pipet 1 ml
3. Oven
4. Buret
3.4.2. Bahan
1. Asam borat berindikator 1 ml
2. Supernatan 1 ml
3. Na2CO3 jenuh1 ml
4. H2SO4 0,01 N
5. Vaselin putih
10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
11
U1 = 2 – ( [20,8421 – 19,3424] – 0,034 ) x 100%
2
2 – 1,4667 x 100%
2
26,665%
BO Awal : 1,7980
BO Residu Blanko : 0,0102
%KBO = BO Awal – (BO Residu – BO Residu Blanko x 100%
BO Awal
U1 = 1,7980 – (1,3706 – 0,0102 x 100%
1,7980
12
1,7980 – 1,3604 x 100%
= 1,7980
=24,34%
U2 = 1,7980 – (1,2647 – 0,0102 x 100%
1,7980
=1,7980 – 1,2545 x 100%
=1,7980
=30,23%
U3 = 1,7980 – (1,3948 – 0,0102 x 100%
1,7980
=1,7980 – 1,3846 x 100%
=1,7980
=22,99%
13
5 U1 26,665 24,34
U2 34,5 30,23
U3 26,565 22,99
14
4.1.4. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gast Test)
Tabel 6 Hasil Gas
Kel. 1 2 3 4 5 Blanko
Jam jerami lamtoro indigovera R. odot R. raja
07.00 30 30 30 30 30 30
11.00 30,5 30,5 21 31 31,5 30,5
15.00 31 31 23 32 33 31
19.00 31 31,5 23,5 32,5 33 31
23.00 31 31,5 23,5 32,5 33 31
03.00 31 32 24 32,5 33 32,5
07.00 31 32 25 33 33 32,5
15
Kadar N-NH3 titran U2= (1,42 x 0,01 x (1000/1) )
= 0,0142 x 1000
= 14,2 ml
Kadar N-NH3 titran U3= (1,3 x 0,01 x (1000/1) )
= 0,013 x 1000
= 13 ml
16
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik (KBK
& KBO)
Pengukuran kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik
(KBO) memiliki prinsip, yaitu mengukur kecernaan dengan menganggap bahwa
proses pencernaan telah berjalan sempurna selama 24 jam fermentatif dan 24
jam hidrolitis. Pengukuran KBK dan KBO dapat dilakukan secara in vitro. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Dewi dkk (2012) bahwa uji bahan pakan
secara biologis adalah salah satunya metode in vitro dengan parameter yang
diamati adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro.
Pengukuran KBK dan KBO dilakukan dengan menggunakan metode Tilley dan
Terry 1963. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Badarina dkk (2014) bahwa
kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik (KBO) in vitro
dievaluasi menurut metoda Tilley dan Terry 1963.
Pengukuran KBK dan KBO menggunakan alat-alat berupa tabung gelas,
shaker waterbath, glasswool, cawan porselen berpori, oven (105o C) dan tanur
(600o C) dan timbangan analitik. Bahan-bahan yang digunakan berupa sampel
yaitu rumput raja, cairan rumen, gas CO 2, larutan HgCl2 jenuh, larutan Mc
Dougalls, dan larutan pepsin HCl 0,5%. Larutan HgCl2 jenuh berfungsi untuk
membunuh mikroba, gas CO2 untuk menciptakan suasana anaerob, larutan Mc
Dougalls untuk saliva dan glasswool untuk penyaring. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Suningsih dkk (2017) bahwa larutan Mc Dougalls dibuat sebagai
saliva yang terdiri dari beberapa larutan yaitu 9,8 gr NaHCO3, 10 gr Na2HPO4 12
H2O, 0,57 gr KCl, 0,47 gr NaCl, dan 0,12 gr MgSO 4 7 H2O. Larutan pepsin HCl
memiliki fungsi, yaitu pertama HCl akan mengaktifkan pepsinogen untuk
menghasilkan pepsin dan yang kedua pepsin akan mengubah protein menjadi
protease, pepton dan polipeptida.
Rumput raja merupakan hijauan yang memiliki kandungan selulosa dan
hemiselulosa pada dinding selnya sehingga bisa dikatakan bahwa rumput raja
adalah karbohidrat non fermentable sehingga lebih lama untuk dicerna di dalam
rumen. Karbohidrat non fermentabel didalam rumen akan dicerna dengan
17
bantuan mikroba rumen, yaitu bakteri selulolitik dan hemiselulolitik. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Siswanto dkk (2016) bahwa dinding sel tanaman
rumput raja terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna
terutama bila beri katan dengan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat
diuraikan oleh mikroba rumen, tetapi kecepatan pencernaan dan waktu yang
diperlukan oleh suatu partikel dalam rumen bervariasi. Degradasi bahan kering
(BK) merupakan proses pencernaan secara fermentatif yang terjadi dari mulut
hingga rumen. Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan proses
pencernaan hidrolitis yang terjadi dari mulut sampai abomasum.
Pencernaan fermentatif dalam in vitro diawali dengan 2 gram sampel
dimasukkan kedalam tabung gelas, kemudian tambahkan 24 ml larutan Mc
Dougalls dan di inkubasi dengan shaker water bath pada suhu 39o C dengan rpm
60-70. Cairan rumen ditambahkan sebanyak 16 ml dan dialiri CO2kemudian
tabung ditutup dengan tutup berpentil atau bersedotan dan diinkubasi kembali
selama 24 jam. Inkubasi selesai kemudian ditambahkan 2 tetes HgCl2 jenuh dan
disaring pada cawan porselen berpori yang dilapisi glasswool. Hasilnya berupa
residu untuk degradasi BK dan supernathan untuk pengukuran VFA dan N-NH3.
Pencernaan fermentatif merupakan perombakan bahan pakan dengan bantuan
mikroba rumen dan memiliki hasil akhir yang berbeda dengan substrat awalnya.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Muslim dkk (2014) bahwa amonia
merupakan salah satu produk dari aktivitas fermentasi dalam rumen, yakni dari
degradasi protein yang berasal dari pakan dan sumber nitrogen yang cukup
penting untuk sintesis mikroba rumen.
Pencernaan hidrolitis dalam in vitro diawali dengan tabung dari
percobaan fermentatif yang belum disaring, ditambahkan 4 ml pepsin HCl 0,5%
kemudian diinkubasi selama 24 jam di shaker waterbath 39o C dengan rpm 60-70
selama 24 jam secara aerob. Inkubasi selesai kemudian disaring dengan cawan
porselen berpori yang dilapisi glasswool. Supernatan dibuang dan residu dikering
kan dalam oven (105o C) selama 8 jam dan catat BK. Hasil oven kemudian ditanur
(600o C) selama 4-6 jam dancatat BO. Proses pencernaan hidrolitis dibantu
dengan bantuan enzim yang ada di abomasum berupa HCl yang akan
18
mengaktifkan pepsinogen untuk membentuk pepsin yang akan mengubah
protein menjadi pepton dan polipeptida. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Usman (2013) bahwa protein tersebut akan mengalami perombakan secara
hidrolitis oleh enzim menjadi peptide dan asam-asam amino, yang sebagian
besar akan didegradasi dan dideaminasi menjadi asam-asam organik yaitu VFA,
NH3, CO2, dan CH4.
19
populasi bakteri amilolitik akibat fase pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dan
adanya persaingan dengan protozoa dalam mencernapati. Penurunan populasi
bakteri amilolitik ini juga dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan
pada waktuinkubasi 48 jam.
Perbandingan VFA dalam rumen sapi yaitu 65% asama setat, 24% asam
propionat, 21% butirat (Arora, 1989).Namun, persentase diatas dapat berubah
sesuai pakan yang diberikan. Menurut McDonald et al. (2002), sekitar 75% dari
total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen masuk
kedarah, sekitar 20,5% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar
5% diserap di usus halus. Pernyataan tersebut kurang sesuai dengan pendapat
Parakkasi (1999), yang menyatakan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung
melalui dinding rumen, sedikit asetat, propionat dan sebagian besar butirat
termetabolisme dalam dinding rumen. VFA yang berfungsi sebagai sumber
energy bagi mikroba, digunakan untuk mensintesis protein mikroba karena VFA
merupakan sumber kerangka karbon pembentukan protein mikroba (Sutardi,
1977) dan pertumbuhan sel tubuh mikroba tersebut (Sakinah, 2005).
Hasil pengukuran kadar VFA dengan angka u1 – 20 mMol, u2 – 136 mMol,
u3 – 64 mMol sangatlah sedikit. Berbeda jika dibandingkan VFA dalam rumen
yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba berkisar antara 70-150 mM
(McDonald et al., 2002). Hartati (1998), menambahkan bahwa peningkatan
produksi VFA dapat mengindikasikan kemudahan suatu nutrient dalam pakan
terutama karbohidrat dan protein dikecernaan oleh mikroba rumen, sehingga
produksi VFA di dalam rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas
pakan yang berkaitanerat dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen.
Perubahan komposisi VFA di dalam rumen sangat berhubungan dengan bentuk
fisik pakan, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta
pengolahan.
20
selama inkubasi merupakan produk buangan dari fermentasi substrat didalam
tabung seperti gas CH4, CO2, O2, H2S dan gas lainnya. Produksi gas
menggambarkan tingkat proses fermentasi yang terjadi, sehingga diperoleh
informasi mengenai laju produksi gas sesuai dengan sifat kimia bahan pakan yang
diujikan. Informasi ini juga erat kaitannya dengan proses fermentasi dan
degradasi substrat didalam tabung fermentor selama inkubasi. Analisa dengan
teknik produksi gas merupakan salah satu cara untuk evaluasi kualitas pakan yang
cukup murah dan bermanfaat, pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat
Krishnamoorthy (2001) bahwa gas test dapat menentukan kualitas pakan.
Perbedaan sifat kimia pakan akan memberikan nilai produksi gas yang
berbeda. Pakan sumber karbohidrat akan menghasilkan produksi yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan pakan sumber protein. Uji gas test bisa
diprediksi keberadaan zat anti nutrisi yang selalu akan menghasilkan produksi gas
yang rendah, karena aktifitas mikroba tertentu terhambat, untuk itu dilakukan
penelitian melihat potensi pakan dari data produksi gas.
Pengukuran gas test pada sampel rumput raja praktikum in vitro dilakukan
setiap 4 jam yaitu pada jam 7.00, 11.00, 15.00, 19.00, 23.00, 03.00, dan 07.00.
Hasil yang didapatkan dari pengujian rumput raja pada masing masing jam
pengukuran berturut turut yaitu (dalam ml/200 gr BK) 30, 31.5, 33, 33, 33, 33,
dan 33. Pakan sumber energi, akhirnya menghasilkan produksi gas yang lebih
tinggi dibandingkan pakan sumber protein. Produksi gas merupakan gambaran
dari bahan organik yang difermentasi dengan baik di rumen, pernyataan tersebut
sesuai dengan pendapat Pellikaana et al (2011) bahwa produksi gas merupakan
gambaran dari bahan organic yang difermentasi.
Beberapa hal yang menyebabkan produksi gas rendah adalah peran zat
anti nutrisi yang terdapat didalam tanaman (Jayanegara, 2008). Kandungan lignin,
selulosa dan hemiselulosa pada rumput raja berturut turut adalah 8,16%,
20,33%, dan 33,03% (Suyitman, 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa rumput
gajah sebagai sumber energi memiliki kandungan zat polimer organik yang cukup
tinggi.
21
Selulosa adalah sumber organic terbarukan yang paling banyak melimpah
diBumi dan tersebar luas di tanaman, bakteri, ganggang laut, dan biomassa
lainnya yang lebih tinggi. Lignin adalah salah satu polimer organik yang paling
melimpah pada tanaman, tepat di bawah selulosa (Chen, 2014). Lignoselulosa
adalah komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan
organik yang dapat diperbaharui.Unsur utama dari lignoselulosa adalah selulosa,
hemiselulosa dan lignin (Anindyawati, 2010).Produksi gas yang rendah pada kulit
kopi dan kulit kacang tanah adalah karena jumlah kandungan lignin dan sellulosa
yang cukup tinggi, sehingga aktifitas mikroba jadi terbatas.
22
kandungan lignin yang rendah sehingga tingkat kecernaan serat kasarnya akan
lebih tinggi (Tillman, 2001).
N-NH3 merupakan sumber energy utama bagi ternak ruminansia dan
dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen. Banyak hal yang
mempengaruhi komposisi N-NH3, salah satunya adalah komposisi populasi
mikroba rumen. Populasi mikroba berkembang lebih cepat, sehingga proses
fermentasi di dalam rumen tidak optimal, hal ini sesuai dengan pendapat Fariani
et al (2008) bahwa apabila fermentasi di dalam rumen kurang optimal, maka N-
NH3 rumen yang dihasilkan cenderung rendah.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Di dapat kan hasil praktikum nilai Kecernaan Bahan Kering (KBK) yaitu dan
Kecernaan Bahan Organik yaitu
Sampel %KBK %KBO
U1 26,665 24,34
U2 34,5 30,23
U3 26,565 22,99
Hal ini membuktikan bahwa Peningkatan Kecernaan Bahan Organik sejalan
dengan meningkatnya Kecernaan Bahan Kering.
2. Produksi gas terakhir pada hasil praktikum yaitu2,4, gas yang dihasil kan
cukup tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa kecernaan nutrient pakan
cukup tinggi.
3. Hasil VFA yang didapat yaitu
U1 3,6 -20
U2 4,76 -136
U3 4,04 -64
Hal ini menunjukan kelebihan karbohidrat yang dapat menyebabkan ternak
mengalami kembung atau Bloat.
4. Hasil N-NH3 yang diperolehyaitu
BahanPakan Titran N-NH3 (ml) HasilTitrasi (mm)
U1 1,48 14,8
U2 1,42 14,2
23
U3 1,3 13
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi sintesis protein mikroba yang
sesuai standar.
5.2 Saran
Penggunaan alat- alat praktikum lebih hati-hati karena sebagian besar alat
yang digunakan adalah dalam bentuk gelas atau kaca sehingga mudah pecah.
Pembacaan skala pada tabung guna pengukuran gas test atau pun penimbangan
sampel dan saat titrasi harus lebih teliti dan cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Y. 2009. Pemanfaatan Inokulum Feses Sapi dalam Uji Kecernaan In Vitro
ADF dan NDF Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Jurnal Ilmiah Ilmu
Ilmu Peternakan. 12(2): 72-77.
Fariani. 2008. Pengaruh Tipe Konsentrat Sumber Energi dalam Ransum Sapi
Berproduksi Tinggi terhadap Produksi dan Komposisi Susu. Buletin
Peternakan. 21(1): 45-54.
Gusasi, A. 2014. Nilai pH, Produksi Gas, Konsentrasi Amonia dan VFA Sistem
Rumen In Vitro Ransum Lengkap Berbahan Jerami Padi, Daun Gamal dan
Urea Mineral Molases Liquid. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
24
Hartati, E. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru Dan Seng Ke Dalam Ransum
yang Mengandung Silase Pod Kakao Dan Urea untuk Memacu
Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hartoyo, R., Y. Fenitadan dan E. Sulistyowati. 2015. Uji In Vitro Kecernaan Bahan
Kering, Bahan Organik dan Produksi N-NH3 pada KulitBuah Durian
(Duriozibethinus) yang Difermentasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus
ostreatus) dengan Perbedaan Waktu Inkubasi. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia. 10(2): 87-94.
McDonald, P., Edwards, R.A., Greenhalgh, J.F.D., Morgan, C.A., Sinclair. L.A.
and Wilkinson, R.G. 2010. Animal Nutrition. Seventh Edition. Longman.
New York.
25
Using Fully Automated Equipment. Animal Feed Science And
Technology. 168:196- 205.
Sandi, S., A. I. M. Ali dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum
Komplit dengan Bahan Perekat yang Berbeda. Jurnal Peternakan
Sriwijaya. 4(2): 7-16.
Suningsih, N., S. Novianti, dan J. Andayani. 2017. Level Larutan McDougall dan
Asal Cairan Rumen pada Teknik In Vitro. Jurnal Sain Peternakan Indonesia.
12(3): 341-352.
Sutardi, TI. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi
Perah di Kayu Ambon, Lembang. BIPPPP. Direktorat Jenderal
Peternakan.
26
Ulya, 2007. Pengaruh Substitusi Konsentrat dengan Campuran Ampas Brem dan
Onggok dalam Ransum terhadap Performan Domba Lokal Jantan. Skripsi.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
27