Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA

IN VITRO

OLEH :

KELOMPOK 7

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LAPORAN PRAKTIKUM
PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA
INVITRO

OLEH :

KELOMPOK 7

POPPY SUGIHARTI D1A017049


SITI KHOTIMATUL K D1A017059
FAUZI ANWAR D1A017097
SEPTIANI AYU V D1A017111
FAUZAN ATTAREKH N D1A017123
ELSA NURADSYAH D1A017173
MUHAMMAD YUMNA I D1A017193
ALYA RAIHAN F D1A017222
MUHAMMAD TOFAN P D1A017250
MUHAMMAD VETTO W D1A016115

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FALKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM
PAKAN DAN NUTRISI RUMINASIA

OLEH :

KELOMPOK 7

POPPY SUGIHARTI D1A017049


SITI KHOTIMATUL K D1A017059
FAUZI ANWAR D1A017097
SEPTIANI AYU V D1A017111
FAUZAN ATTAREKH N D1A017123
ELSA NURADSYAH D1A017173
MUHAMMAD YUMNA I D1A017193
ALYA RAIHAN F D1A017222
MUHAMMAD TOFAN P D1A017250
MUHAMMAD VETTO W D1A016115

Diterima dan disetujui


Pada tanggal…………………
Koordinator Asisten Pendamping
Pakan dan Nutrisi Ruminansia Pakan dan Nutrisi Ruminansia

RIZKI IKHBAR W P USWATUN KHASANAH


D1A016253 D1A016162

Koordinator Umum

AULIA RIZALDI HAFIZ H


D1A016131
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum Pakan dan Nutrisi
Ruminansia ini dengan lancar. Kami banyak mendapatkan bantuan dan dukungan
baik moril maupun materil dari pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
turut berperan dalam proses penyusunan. Penyusun mengcapkan terimakasih kepada:
1. Staf Pengajar mata kuliah Pakan dan Nutrisi Ruminansia, yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama praktikum berlangsung.
2. Para asisten praktikum mata kuliah Pakan dan Nutrisi Ruminansia, yang telah
mendampingi dan membimbing selama berlangsungnya kegiatan praktikum.
3. Orang tua yang telah memberikan dukungan berupa moril dan materil.
4. Rekan seperjuagan praktikan shift 2 dan kelompok 7 yang telah bekerjasama.

Laporan praktikum Pakan dan Nutrisi Ruminansia ini disusun berdasarkan


praktikum yang telah dilaksanakan sebelum laporan ini dibuat. Laporan praktikum
ini bertujuan memberikan wawasan kepada pembaca tentang pencernaan, dan laporan
praktikum Pakan dan Nutrisi Ruminansia ini juga merupakan syarat penilaian dan
memenuhi tugas penyelesaian praktikum Pakan dan Nutrisi Ruminasia..

Kami menyadari bahwa masih terdapat sejumlah kekeliruan dari penyusunan


laporan ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran diperlukan demi terwujudnya
laporan praktikum Pakan dan Nutrisi yang lebih baik diwaktu mendatang.

Purwokerto, November 2019


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi
keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan makanan ternak akhir-akhir
ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga
bahan baku makanan ternak, dan semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan
produksi hijauan akibat penggunaan lahan untuk keperluan pangan dan tempat
pemukiman. Sehingga dengan adanya hal tersebut perlu adanya usaha dalam
pengadaan bahan pakan alternatif yang mudah, murah dan memiliki kandungan
nutrisi tinggi.
Bahan pakan ternak ruminansia sangat berbeda dengan bahan pakan non
ruminansia. Hal ini sangat erat kaitanya dengan mikroorganisme yang menghuni
saluran pencernaan pada ternak ruminansia (rumen). Spesifikasi bahan pakan sumber
karbohidrat dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi berikatan
dengan lignin sehingga sangat sulit untuk dicerna mikroba. Maka perlu dilakukan
pengolahan pakan sebelum pakan diberikan ke ternak. Ada beberapa pengolahan
yang dapat dilakukan yaitu pengolahan biologis, dan kimiawi, masing-masing teknik
fermentasi dan teknik amoniasi untuk membuat silase. Salah satu limbah pertanian
yang dapat dimanfaatkan adalah jerami padi.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak mengalami beberapa kendala
antara lain, nilai nutrisinya yang rendah dibandingkan dengan rumput segar terutama
dalam kandungan protein kasar dan mineral serta kecernaannya (Soejono, 1987).
Sutrisno et al. (2009) menyatakan bahwa kandungan protein kasar jerami padi rendah
(3-5%), serat kasarnya tinggi (>34%), kekurangan mineral, ikatan lignoselulosanya
kuat dan kecernaannya rendah. Menurut Preston dan Leng (1987), rendahnya nilai
nutrisi jerami padi disebabkan oleh kadar protein, kecernaan, mineral esensial dan
vitamin yang rendah, serta kadar serat kasar yang tinggi.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas jerami padi dapat dilakukan
dengan meningkatkan nilai cernanya melalui pemecahan ikatan kompleks
lignoselulosa baik secara kimia, fisika, biologi maupun kombinasinya (Doyle et al.,
1986). Teknik amoniasi termasuk perlakuan alkali yang dapat meningkatkan daya
cerna jerami padi. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk melemahkan ikatan
lignoselulosa dan silika yang menjadi faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami
padi. Nitrogen yang berasal dari urea yang meresap dalam jerami mampu
meningkatkan kadar amonia di dalam rumen sehingga tersedia substrat untuk
memperbaiki tingkat dan efisiensi sintesis protein oleh mikroba. Amoniasi
merupakan salah satu perlakuan alkali untuk meningkatkan nilai cerna jerami padi.
Menurut Sudana (1984) jerami padi yang diberi perlakuan urea 4% dan disimpan
selama 4 minggu terjadi peningkatan daya cerna dari 35% menjadi 43,6% dan
kandungan nitrogen total dari 0,48% menjadi 1,55%.
Teknik in vitro pada prinsipnya adalah meniru proses pencernaan dalam
rumen. Jhonson (1996) menyatakan bahwa tehnik in vitro dapat digunakan untuk
penelitian terhadap beberapa masalah diantaranya mengukur hilangnya bahan kering,
bahan organik, VFA dan produksi gas, N-NH3 yang digunakan sebagai parameter in
vivo. Penggunaan tongkol jagung sebagai sumber hijauan dengan penambahan
berbagai karbohidrat fermentabel dalam ransum komplit diuji secara in vitro untuk
mengetahui fermentabilitas serta besar produksi biomassa mikroba.

1.2. Tujuan
1.2.1. Mengetahui Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
1.2.2. Mengetahui Produksi Gas total melalui Analisis Gas Test
1.2.3. Mengetahui Kecernaan Protein melalui Analisis VFA dan N-NH3

1.3. Waktu dan Tempat


Praktikum Pakan Dan Nutrisi Ruminansia Acara Invitro dilaksanakan pada
tanggal 12 sampai 15 November 2019 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengukuran KBK dan KBO


Kecernaan dapat dijadikan salah satu indikator dalam menentukan kualitas
ransum. Persentase kecernaan bahan kering maupun bahan organik yang dihasilkan
menunjukkan seberapa besar nutrien dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh mikroba
dalam rumen (Sutardi, 2009). Pengukuran kecernaan bahan organik dilakukan karena
peran bahan organik dalam memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok maupun
produksi (Rahmawati, 2010).
Suwandyastuti dan Suparwi (1991) menyatakan bahwa pakan yang
mempunyai kandungan nutrien sama akan memungkinkan kecernaan bahan organik,
mengikuti kecernaan bahan keringnya. Abu mengandung mineral yang tidak
mempunyai energi, sehingga kecernaan bahan organik mempunyai hubungan yang
erat dengan kandungan energi yang tersedia dalam pakan yang dimakan dan nutrien
yang terdapat dalam feses adalah jumlah nutrien yang dapat dicerna (Alwi,2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain faktor pakan, ternak
dan pengolahan bahan pakan (Cole and Ronning, 1974), komposisi dalam pakan,
umur panen tanaman, ukuran pakan, bentuk pakan, spesies ternak, frekuensi
pemberian pakan dan adaptasi terhadap ransum (Ranjhan, 1977), suhu lingkungan,
variasi antar individu, jumlah pakan yang diberikan serta kemampuan
mikroorganisme rumen dalam memanfaatkan pakan (Maynard et al., 1979).
Kecernaan bahan pakan juga tergantung pula pada keserasian nutrien dalam pakan
(Tillman dkk, 1989).

2.2 VFA dan N-NH3


N-NH3 saat berada dibawah standar maka membuat sintesis protein akan sulit
dilakukan dalam proses pencernaan sedangkan saat kadar N-NH3 melebihi kapasitas
kebutuhan saliva dalam saluran pencernaan ternak ruminansia akan mengakibatkan
overflow sehingga terdapat urea dengan jumlah yang banyak dalam urin dan
terkonversi kedalam susu. Uji kadar N-NH3 pada prinsipnya yaitu mengikat N-NH3
dengan asam borat sehingga terbentuk NH4 yang kemudian dititrasi dengan asam
sulfat dengan normalitas 0,01. Beberapa asam amino dapat langsung digunakan oleh
bakteri untuk sintesis protein tubuhnya, tetapi amonia merupakan jumlah nitrogen
larut yang utama dalam cairan rumen yang dibutuhkan oleh bakteri rumen untuk
sintesis protein tubuhnya sepanjang kerangka karbon dari karbohidrat yang mudah
dicerna seperti pati atau gula tersedia (Ranjhan, 1981).
VFA berdasarkan prinsipnya yaitu menguapkan asam lemak atsiri dengan
teknik penyulingan dan mengikat basa sehingga terbentuk garam, sebagian basa yang
belum terbentuk menjadi garam akan dititrasi dengan asam. Kadar VFA yang terlalu
sedikit akan mengakibatkan kekurangan energi dalam tubuh ternak sedangkan apa
bila kadar VFA terlalu berlebihan akan mengakibatkan ternak mengalami kembung
(bloat). Asam asetat dan butirat merupakan sumber energi untuk oksidasi yang
bersifat ketogenik, sedangkan asam propionat digunakan untuk proses
glukoneogenesis atau bersifat glukogenik (Chuzaemi, 1994).

2.3 Gas Test


Tahap uji in vitro pengukuran produksi gas total dapat dilakukan dengan
metode uji menurut Menke 1979. Metanogenesis pada sistem pencernaan rumen
hewan ruminansia merupakan salah satu alur reaksi fermentasi makromolekul.
Fermentasi tersebut menghasilkan gas CH₄ melalui reduksi CO₂ dengan gas hidrogen
yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan bakteri metanogenik.
Tujuan dari uji gast test yaitu untuk mengukur total produksi gas oleh
mikroba rumrn pada sampel yang diujikan. Penurunan produksi gas metan (CH₄) dari
ternak ruminansia merupakan sarana untuk meningkatkan efisiensi pakan. Oleh
karena itu perlu suatu upaya manipulasi guna mengoptimalkan keuntungan dan
mengurangi efek negatif yang ditimbulkan (Sajati, 2012).
III Materi dan Cara Kerja

3.1. MATERI DAN CARA KERJA KBK KBO

3.1.1. Alat

1.Cawan porselin berpori


2.Glasswool
3.Shaker water bath
4.Oven
5.Tannur
6.Tabung glass
7.Timbangan analitik

3.1.2. Bahan

1.Cairan rumrn
2.CO2
3.HgCl2 jenuh
4.Pepsin HCL
5.Larutan Mc Dougalls

3.1.3. Cara Kerja


Fermentatif
Dimasukan 2 gram BK sampel ke dalam 6 tabung

Ditambah 24 ml mc dougalls dan dialiri CO2


Diinkubasi pada suhu 39ᵒC dalam shaker water bath

Ditambah 16 ml cairan rumen dan dialiri CO2

Diinkubasi 24 jam pada suhu 39ᵒC dalam shaker water bath

Ditetesi HgCl2 jenuh 2 tetes

Disaring menggunakan cawan berpori yang dilapisi glasswool (supernatan digunakan


untuk mengukur VFA dan N-NH3 sedangkan residu untuk degradasi BK)

Hidrolitis

Ditambahkan 4 ml pepsin HCL ke dalam 3 tabung hasil fermentasi yang belum


disaring

Diinkubasi 24 jam pada suhu 39ᵒC dalam shaker water bath

Disaring menggunakan cawan porselin berpori yang dilapisi glasswool


Supernatan dibuang, residu dioven pada suhu 105ᵒC selama 8 jam, hitung BK

Ditannur pada suhu 600ᵒC selama 4-6 jam, hitung BO

3.2 Volatile Fatty Acids (VFA)

3.2.1 Alat :
1.Pipet
2.Satu set alat destilasi uap (labu didih, pipa penghubung dan pendingin
Liebig)
3.Labu Erlenmeyer
4.Buret Makro (25 – 50 ml)

3.2.2 Bahan :

1.Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)


2.H2SO4 15 % (15 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquadest hingga
volumenya 100 ml)
3.NaOH 0,5 N (20 g NaOH dilarutkan dalam aquadest hingga volume 1 liter)
4.HCl 0,5 N (41,667 ml HCl pekat dilarutkan dalam aquadest hingga
volumenya 1 liter)
5.Indikator phenolptialin

3.2.3 Cara Kerja

Destilator dididihkan
Dicuci tempat sampel dengan aquadest

Ditambahkan 5 ml supernatan ke tempat sampel dan ditambahkan 1 ml H2SO4 15%

Destilasi ditampung pada erlenmeyer yang telah berisi 5 ml NaOH 0,5 N hingga
volume destilat mencapai 100 ml

Ditambahkan 2 tetes indikator phenolptialin pada destilat

Dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai berubah warna bening

3.3 Teknik Pengukuran Gas In Vitro (GasTest)

3.3.1 Alat :

1.Piston
2.Tabung Menke
3.Oven Ishotermal
4.Thermos
5.Water dispenser
6.Kain saring
7.Corong

3.3.2 Bahan :

1.Sampel bahan pakan


2.Cairan rumen
Larutan medium, terdiri dari 200 ml larutan makromineral, 0,1 ml larutan
mikromineral, 1 ml larutan resazurin, 200 ml larutan penyangga, 40 ml larutan
pereduksi dan 400 ml aquadest

3.3.3 Cara Kerja

Piston diolesi dengan vaseline

Sampel 0,2 g dimasukan ke tabung menke

Tabung ditutup dengan piston sampai skala 0

Ditambahkan larutan medium 20 ml dan cairan rumen 10 ml

Diinkubasi 24 jam dengan suhu 390 C menggunakan oven

Diamati 4 jam sekali perubahan gasnya. Dicatat


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1Pengukuran KBK dan KBO
Tabel 1. Hasil Pengukuran KBK dan KBO
Kelompok Sampel KBK % KBO % Degradasi BK

45,885 92,18 35,44


6 Indigofera
85,25 93,40 30,36

11,695 96,56 31,57

20,575 44,90 9,32


7 Jerami
0,1 -20,83 11,685

21,2 10,51 5,35

-81,54 -96,152 15,27


8 Lamtoro
19,99 12,55 16,945

62,41 21,409 17,845

15,16 -255,44 10,5


9 Rumput Raja
4,09 93,98 11,065

8,725 258,215 13,055

Rumput Raja -10,69 93,34 9,31


10 +
9,605 64,75 20,075
Jerami
-15,74 301,37 13,45
4.1.2. Pengukuran Gas In-Vitro
Tabel 4. Hasil Gas test

Kelompo 06.30 10.30 14.30 18.30 22.30 02.30 06.30


k WIB WIB WIB WIB WIB WIB WIB
6 30 40 41 46 51 555 58
7 30 37 41 44 49 54,5 59,5
8 30 45 47 52 52 56 58
9 30 31 45 50 54 59,5 64,5
10 30 41 43 49 55 61 66
Blangko 30 38 41 44 45 46 47

4.1.3.Pengukuran Kadar VFA Total


y = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko
z = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi destilat

Table 3. Hasil VFA


Kelompok Sampel VFA Titran VFA Hasil

3,46 214
6 Indigofera
3,2 240

3,34 236

3,84 176
7 Jerami
4,04 156

3,94 166

3,58 202
8 Lamtoro 4,34 126

3,96 164

3,86 174
9 Rumput Raja
4,28 192

4,02 152

Rumput Raja 4,24 136


10 +
4,32 128
Jerami
4,26 134

4.1.4. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3)


Kadar N-NH3 = ( Ml titran x N H2SO4 x (1000/1)) mM
Kelompok Sampel N-NH3 Titran N-NH3 Hasil

9,94 46,3
6 Indigofera
14,18 88,7

13,44 81,3

5 -3,1
7 Jerami
5,04 -2,7

4,96 -3,5

4,66 -6,5
8 Lamtoro
4,1 -12,1
4,3 -8,1

4,28 -10,3
9 Rumput Raja
4,16 -11,3

4,8 -5,1

Rumput Raja 5,02 -2,9


10 +
4,42 -8,9
Jerami
4,32 -9,9

4.2 Pembahasan
4.2.1 .Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering Jerami berkisar


20 – 21 % berbeda nyata (P< 0,05). Nilai kecernaan tersebut termasuk rendah.
Menurut pernyataan Widodo (2012) bahwa kecernaan bahan kering jerami adalah
sekitar 60-68%. Kecernaan bahan kering melalui dua tahap, yaitu proses pencernaan
fermentatif dan proses pencernaan hidrolitik. Proses pencernaan fermentatif
dilakukan oleh mikroba rumen dan dilanjutkan dengan proses pencernaan hidrolitik.
Semakin banyak SPD terfermentasi akan semakin sedikit residu yang dihasilkan,
akibatnya semakin tinggi pula nilai kecernaan bahan keringnya.

Proses pencernaan bahan kering sangat membutuhkan protein pakan sebagai


sumber nutrien esensial bagi ternak dan ketersediaannya yang cukup dapat
meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroba, sehingga proses pencernaan
meningkat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suparwi (2017) Pertumbuhan dan
aktivitas mikroba selulolitik sangat membutuhkan sumber energi, nitrogen, mineral
dan vitamin. Sumber protein yang berasal dari pakan sebagian dihidrolisis menjadi
peptida dan asam amino oleh mikroba rumen. Sebagian asam amino mengalami
degradasi menjadi asam organik, ammonia dan karbon dioksida. Pencernaan protein
di dalam rumen dilakukan oleh mikroba rumen yang berpengaruh terhadap kecernaan
bahan kering pakan.

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik Jerami


padi adalah 44,9%, antar perlakuan berbeda nyata (P>0,05). Kecernaan bahan organik
erat hubungannya dengan kecernaan bahan kering, karena bahan kering terdiri atas
bahan organik, perbedaan keduanya hanya terletak pada kadar abu. Kecernaan bahan
organik menggambarkan ketersediaan nutrien pakan. Hal tersebut sesuai dengan
Arora (1995) bahwa Kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik
mempunyai hubungan yang erat karena nutrien yang terkandung di dalam bahan
organik, terkandung pula dalam bahan kering. Kecernaan bahan organik tersebut
tidak jauh berbeda dengan kecernaan bahan kering, karena kecernaan bahan organik
erat hubungannya dengan kecernaan bahan kering.

Menurut hasil yang didapatkan kecernaan bahan organik dan bahan kering
berbeda. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Tillman et. Al (1998) bahwa
Kecernaan bahan organik pakan perlakuan yang relatif sama diduga disebabkan oleh
kandungan BO pakan perlakuan yang juga relatif sama. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti kualitas bahan pakan, komposisi bahan
pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya,
perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan.

4.2.2 Pengukuran VFA

Hasil pengukuran VFA pada masing masing bahan pakan yang digunakan
berbeda-beda, hasil tertinggi yaitu indigofera U1=214 mM, U2=240 mM,dan U3= 226
mM sedangkan jerami yaitu U1=156 mM, U2= 166 mM, dan U3=202 mM.
Simanihuruk, dkk (2010) melaporkan nilai nutrisi tepung daun indigofera adalah
sebagai berikut: protein kasar 27,97%; serat kasar 15,25%, Ca 0,22% dan P 0,18%.
Menurut Wanapat et al., (2013) kandungan protein kasar pada jerami padi sekitar 2-
5%. Jerami padi mempunyai karakteristik kandungan protein kasar rendah serta serat
kasar yang tinggi antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika . Data tersebut
menunjukkan bahwa indigofera lebih fermentable dibanding jerami, jerami kurang
fermentable karena kandungan serat kasar yang tinggi dan protein rendah sehingga
hanya sebagian kecil yang dapat tercerna oleh mikroba. Widodo , dkk (2012)
Menyatakan bahwa produksi VFA yang relatif sama antar perlakuan selain
dipengaruhi SK dan BETN juga dipengaruhi oleh kandungan PK pada pakan
perlakuan yang relatif sama. Protein kasar juga berpengaruh terhadap VFA, karena
VFA yang dihasilkan selain berasal dari fermentasi karbohidrat, juga berasal dari
fermentasi protein dalam rumen. Protein kasar yang relatif sama menghasilkan VFA
yang juga relatif sama. Hal ini dikarenakan protein yang terkandung dalam pakan
perlakuan mudah terdegradasi menjadi asam amino, selanjutnya asam amino tersebut
akan mengalami deaminasi menjadi NH3 dan asam α keto. Asam α keto diubah
menjadi VFA, yang berupa iso butirat, iso valerat dan 2 metil butirat yang digunakan
sebagai kerangka karbon bagi sintesis protein mikrobia rumen. Tinginya kandungan
PK pada indigofera menghasilkan VFA yang lebih tinggi dibanding dengan jerami.

Kadar VFA pada lamtoro lebih rendah dibanding dengan jerami, yaitu pada
lamtoro U1=126 mM, U2=164 mM, dan U3=174 mM. Kandungan nutrien lamtoro
adalah protein kasar (PK) 23,7%, serat kasar (SK) 18% dan lemak kasar (LK) 5,8%
(Hartadi dkk., 2005). Berdasarkan literatur seharusnya kadar VFA pada pada lamtoro
lebih tinggi dibanding jerami. Menurut Wijayanti (2012) tinggi rendahnya
konsentrasi VFA dipengaruhi oleh tingkat fermentabilitas pakan, jumlah karbohidrat
yang mudah larut, pH rumen, kecernaan bahan pakan, jumlah pakan, serta jenis
bakteri yang ada di dalam rumen. Karbohidrat non struktural (pati, pektin, dan gula
sederhana) sangat cepat difermentasi dibandingkan dengan karbohidrat non struktural
(selulosa, hemiselulosa dan lignin). Faktor tersebut juga yang menyebabkan
perbedaan kadar VFA pada bahan pakan yang diuji saat praktikum.

Konsentrasi VFA pada rumput raja hasil praktikum yaitu U 1=192, U2=152,
dan U3=136. Hasil U3 tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Yulianti
(2010)bahwa rata-rata konsentrasi total VFA pada sapi PFH dengan ransum berupa
konsentrat protein tinggi dengan pakan basal rumput raja (131,132 mmol per L).
indikator produksi VFA yang sering digunakan adalah perbandingan C2 dengan C3
karena dapat diketahui efisiensi penggunaan asam lemak. Asam asetat merupakan
senyawa non glukogenik dan hampir semua jaringan tubuh mampu mengoksidasinya
karena sesudah diserap tidak ditimbun namun langsung dioksidasi. Akibat proses
oksidasi tersebut menimbulkan heat increament yang tinggi sehingga nilai
efisiensinya rendah. Sebaliknya C3 merupakan senyawa sugar precursor atau bakalan
glukogenik utama (Pamungkas dkk., 2009).

VFA yang dihasilkan dari berbagai bahan pakan yang diuji banyak yang
melebih kisaran normal pada indigofera >200 mM dan U3 jerami 220 mM. Sutardi
(1980), bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba
rumen berkisar 80 – 160 mM. tingginya kadar VFA bisa menyebabkan bloat, hal
tersebut sesuai dengan Yanuartono, dkk (2018) pakan dengan kandungan bijian yang
tinggi dianggap dapat mengakibatkan terjadinya bloat. Pakan yang mengandung
gandum dalam jumlah yang banyak sering dianggap menyebabkan bloat. Konsumsi
pakan konsentrat yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan kecepatan
fermentasi oleh bakteri rumen, produksi berlebihan asam lemak volatil (VFA),
peningkatan asam laktat, dan penurunan pH dalam rumen. Hal tersebut
mengakibatkan kapasitas absorbsi rumen terlampaui, kontraksi rumen terhambat dan
terjadi akumulasi gas di rumen bagian dorsal .

4.2.3 Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gas Test)


Gas Test adalah cerminan dari terfermentasinya substrat atau bahan pakan.
Prinsip dari gas test adalah estimasi kecernaan bahan organik berdasarkan
hubungannya dengan produksi gas in vitro (CO2 dan CH4) apabila bahan pakan
diinkubasi dengan cairan rumen selama 24 jam. Metode yang digunakan yaitu
Menke 1979. Hal ini sesuai dengan Citra (2012) yang menyatakan bahwa Selain
menggunakan metode Tilley and Terry 1963, KBO juga dapat diukur dengan metode
Menke 1979 yaitu tentang produksi gas test. Metode ini merupakan hubungan
kecernaan in vivo dengan produksi gas (CO2 dan CH4) yang diproduksi dari inkubasi
in vitro pakan dengan cairan rumen selama 24 jam. Metode ini mencoba
menyempurnakan sistem kerja dari metode In vitro sebelumnya, dengan mengukur
volume gas yang dihasilkan sebagai parameter untuk menilai kecernaan bahan
organik dan energi metabolis dalam bahan makanan dan ransum.
Kelebihan dari gas test yaitu menggambarkan kualitas bahan pakan
berdasarkan bahan organik, menggambarkan aktivitas antinutrisi dalam menghambat
pencernaan dan menggambarkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan.
Menurut Citra (2012) kelebihan gas test selain dapat menghitung kecernaan bahan,
juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi yang termetabolis (EM)
serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak atsiri (volatile) atau VFA.
Kelebihan lain dari metode ini adalah dapat mengetahui aktivitas zat anti-nutrien
yang dapat menghambat proses pencernaan zat makanan. Seperti halnya pengujian
bahan pakan hijauan dari legum (kacang-kacangan) yang memiliki kadar tanin yang
relatif tinggi. Dalam proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-
bahan yang mengandung protein tinggi. Melalui pemakaian gas test ini, aktivitas
tannin dapat diketahui pengujian menggunakan penambahan PEG (polyethylene
glycol) sebagai determinannya (Jayanegara dan Sofyan, 2008).
Sampel yang digunakan dalam praktikum gast test adalah jerami padi.
Berdasarkan hasil praktikum dihasilkan perhitungan gas test sebesar 26,67 mg.
Produksi gas terakhir pada hasil praktikum yaitu 59,5. Substrat kelomok 9
menghasilkan gas tertinggi dari keseluruhan (6 kelompok). Sehingga yang memiliki
nilai kecernaan paling tinggi yaitu kelompok 9. Menurut Khairulli (2013) Produksi
gas merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dan dapat menggambarkan
banyaknya bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang semakin tinggi
menunjukkan bahan pakan semakin baik dalam arti kecernaannya tinggi. Produksi
gas dalam fermentasi secara umum proporsional terhadap hasil metabolisme mikroba,
sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kecernaan.
Faktor yang mempengaruhi gas test yaitu cairan rumen yang berkaitan dengan
jumlah mikroba, jenis pakan dan lama inkubasi (semakin lama semakin sedikit
pertambahan gas yang dihasilkan. Menurut Khairulli (2013) Produksi gas merupakan
hasil fermentasi di dalam rumen dan dapat menggambarkan banyaknya bahan organik
yang tercerna. Produksi gas yang semakin tinggi menunjukkan bahan pakan semakin
baik dalam arti kecernaannya tinggi. Produksi gas dalam fermentasi secara umum
proporsional terhadap hasil metabolisme mikroba, sehingga dapat digunakan untuk
mengestimasi kecernaan. Tingkat degradasi bahan pakan yang diberikan sangat
tergantung pada komposisi fisik dan kimia bahan pakan yang akan didegradasi,
aktivitas mikroba rumen, dan ada tidaknya faktor-faktor pembatas seperti senyawa
antinutrisi. Setiap bahan pakan yang berbeda komposisi fisik dan kimia akan
memberikan nilai degradasi bahan kering dan produk fermentasi yang berbeda pula,
tergantung pula oleh daya adaptasi mikroba rumen terhadap substrat yang masuk ke
rumen, sehingga mikroba dapat bertahan hidup dan menunjang pertumbuhannya.
Produksi gas merupakan parameter aktivitas mikroba rumen dalam
mendegradasi pakan. Hasil penelitian menunjukkan semakin lama waktu inkubasi
produksi gas semakin meningkat. Hal ini menunjukkan aktivitas mikroba rumen
dalam mendegradasi pakan semakin meningkat. Menurut Prihartini (2008) Produksi
gas yang tinggi menunjukkan aktivitas mikroorganisme dan kaya nutrisi dalam
rumen. Produksi gas semakin cepat mencapai puncak bila fraksi yang larut dan
mudah terdegradasi semakin banyak.

4.2.4. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3)


Prinsip kerja pengukuran nitrogen-amonia yaitu menangkap uap N-NH3
dengan asam borat sehingga terbentuk NH4 kemudian dititrasi dengan H2SO4.
Metode yang digunakan yaitu teknik mikrodifusi conwey. Cara kerjanya yaitu cawan
conwey diolesi dengan vaselin, bagian tengah diisi dengan larutan asam borat 1 ml
yang akan menangkap NH3, bagian kanan diisi dengan Na2CO3 jenuh sebanyak 1 ml
untuk menguapkan NH3, kemudian bagian kiri diisi dengan supernatan 1 ml sebagai
sumber NH3 ditutup cawan conwey secara perlahan lalu diputar angka 8 supaya
homogen. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang, lalu dititrasi menggunakan
H2SO4 0.01N supernatan didapat dari hasil KBK dan KBO. Sesuai dengan Widodo
(2012) bahwa supernatan diperoleh dari hasil pengukuran KBK dan KBO.
Hasil praktikum kadar NH3 pads U1, U2 dan U3 yang diperoleh yaitu -3,1 mM,
-2,7 mM dan 20,8 mM. Produksi NH3 dalam penelitian Widodo (2012) berkisar
antara 3,27-3,57 mM, produksi NH3 tersebut kurang mendukung sintesis protein
mikrobia dalam rumen. Sesuai dengan pendapat Rahmadi et al. (2010), bahwa
konsentrasi NH3 yang dibutuhkan untuk mendukung sintesis protein mikrobia adalah
3,57-7,14 mM. Berdasarkan hasil penelitian Mayangsari (2011), pakan komplit
dengan PK 13% dan TDN 63% menghasilkan produksi NH3 antara 7,25-8,47 mM.
Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan Widodo (2012), Rahmadi et al. (2010),
Mayangsari (2011). Perbedaan kandungan NH3 dapat dikarenakan perbedaan pakan
yang diberikan, kesalahan dalam pengujian dan perhitungan. Widodo (2012)
menambahkan produksi NH3 yang relatif sama antar perlakuan diduga disebabkan
oleh kandungan PK pakan perlakuan yang relatif sama.
Kandungan NH3 rumen merupakan pencerminan dari aktivitas degradasi
protein pakan dan endogenous protein oleh mikrobia rumen melalui mekanisme
keseimbangan N dari tubuh ternak. Protein pakan didalam rumen akan dihidrolisis
oleh enzim proteolitik mikrobia rumen menghasilkan oligopeptida yang kemudian
mengalami pencernaan lebih lanjut menjadi peptida, sebagian lolos degradasi rumen
dan sebagian lagi dihidrolisis menjadi asam amino. Asam amino akan mengalami
deaminasi menjadi asam α keto dan NH3 (Kamal, 1994). Arora (1995) menambahkan
bahwa hidrolisis protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk
membebaskan amonia. Kandungan urea (sumber N) yang sama diduga menjadi
penyebab samanya produksi NH3. Urea merupakan sumber NPN bagi mikrobia untuk
berkembangbiak secara optimal. Urea oleh mikrobia rumen akan diubah menjadi
amonia dan CO2. Amonia yang terbentuk didalam rumen sebagian besar digunakan
oleh mikrobia untuk membentuk protein tubuhnya (Soebarinoto et al., 1991).
Kelebihan NH3 pada rumen tidak baik bagi ternak karena akan dibuang
melalui hati yang diubah menjadi urea kemudian dibuang bersama feses dan urin.
Konsumsi N yang semakin meningkat tidak selalu diikuti oleh peningkatan N
balance. Titik balik pada N balance dapat terjadi ketika dimana kelebihan N
(konsumsi N) akan digunakan sebagai sumber energi yaitu apabila ternak mengalami
defisiensi energi dalam pakannya maka terjadi perombakan nitrogen dalam tubuh
yang digunakan untuk membentuk energi melalui proses glukoneogenesis.
Ketidakseimbangan N dan energi dapat diketahui dari konsumsi N yang semakin
meningkat diikuti dengan N urin yang semakin meningkat pula (Huntington dan
Archibeque, 1999). Kandungan protein dan energi harus seimbang untuk mencapai N
balance. Penurunan NH3 ini terjadi karena meningkatnya pertumbuhan mikroba
sebagai akibat peningkatan karbohidrat yang pada akhirnya memerlukan ketersediaan
NH3 lebih banyak (Herdian, 2011).
Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein
mikroba (Sakinah, 2005). Konsentrasi NH3 yang optimum berkisar antara 5-8 mg/100
ml cairan rumen. Kekurangan sumber N dapat menurunkan produksi mikroba per unit
kerbohidrat tercerna. Sebaliknya, apabila kelebihan NH3 akan diserap melalui dinding
rumen dan dibawa ke hati untuk sintesis urea (Susanti dkk., 2011). Menurut Astuti
dkk. (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat penting mengingat
bahwa prekusor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon, makin
tinggi kadar NH3 di rumen maka kemungkinan makin banyak protein mikroba yang
terbentuk sebagai sumber protein tubuh.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Hasil yang diperoleh dari % KBK dan % KBO pada U1, U2 dan U3 adalah
sebesar 20,575 %, 0,1 %, 21,2 % dan 44,90 %, -20,829 % , 10,51 %.
2. Hasil pengukuran VFA bahan pakan jerami pada U1, U2 dan U3 sebesar 176
mM, 156 mM, dan 166 mM. Hal ini menunjukan tingginya kecernaan
karbohidrat, protein dan lemak. Faktor keberhasilan dalam mengukur VFA
yaitu jumlah mikroba rumen, proses fermentasi oleh mikroba rumen.
3. Hasil gas test yang diperoleh adalah 26,67 mg BK dengan faktor yang
mempengaruhi yaitu cairan rumen, lama inkubasi dan jenis bahan pakan.
4. Hasil yang diperoleh dari N-NH3 pada U1, U2 dan U3 yaitu -3,1 mM, -2,7 mM
dan -3,5 mM. Hasil tersebut kurang mendukung hasil sintesis mikroba rumen.

5.2 Saran

1. Waktu pengerjaan kuis lebih diperlama


2. Pemberian materi sebaiknya disamakan setiap asisten
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Y. 2009. Pemanfaatan Inokulum Feses Sapi Dalam Uji Kecernaan In Vitro
ADF dan NDF Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Jurnal Ilmiah
Ilmu Ilmu Peternakan. 12(2):72-75

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikrobia Pada Ruminansia. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Astuti, D. A., B. Sastradipraja., Kiranadi dan E. Budiarti. 1993. Pengaruh Pernalkuan


Jerami Jagung dengan Asam Asetat terhdap Metabolisme in vitro dan in vivo
pada Kambing Laktasi. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chuzaemi, S. 1994. Potensi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak Ditinjau dari Kinetik
Degradasi dan Retensi Jerami di Dalam Rumen. Disertasi Doktor.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Citra, Dwi Fitriani. 2012. Karakteristik In Vitro dan Produksi Gas Test Serat Kelapa
Sawit yang Difermentai dengan Pleurotus ostreatus untuk Pakan
Hijauan Alternatif. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Doyle, P.T., C. Devendra and G.R. Pearce. 1986. Rice straw as a feed for ruminants.
International Development Program of Australia Universities and Collages
ltd., Canberra.

Hartadi, H., S. Reksohadiprojo, dan A.D. Tillman. (2005). Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Herdian, L., A. Istiqomah., Febrisiantosa., Dan D. Setiabudi. 2011. Pengaruh


Penambahan Daun Morinda citrifolia sebagai Sumber Saponin terhadap
Karakteristik Fermentasi, Defaunasi Protozoa, Produksi Gas dan Metana
Cairan Rumen secara In Vitro. JITV 16(2): 99-104.

Huntington, G.B., and S.L. Archibeque. 1999. Practical Aspects of Urea and
Ammonia Metabolism in Ruminants. Proceedings of the American Society of
Animal Science.

Jayanegara, A. & A. Sofyan. 2008. Penentuan Aktivitas Biologis Tannin Beberapa


Hijauan secara In Vitro Menggunakan Hohenheim Gas Test dengan
Polietilen glikol sebagai Determinan. Med. Pet. 31: 44-52.

jjjj08886668433
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak 1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Khairulli, Gumilang. 2013. Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan In Vitro Pakan
dengan Penambahan Mineral Organik Hasil Inokulasi dengan
Saccharomyces cerevisiae dan Suplementasi Hijauan Bertanin. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Mayangsari, D. 2011. Pengaruh Substitusi Daun Gamal (Glyricidia sp.) dengan Daun
Mimba (Azadiractha indica) terhadap Fermentabilitas Pakan Ruminansia
secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.

Pamungkas, D. Anggraeni, Y. N., Kusmartono, Krisna, N. H. 2009. Produksi asam


lemak terbang dan amonia rumen sapi Bali pada imbangan daun lamtoro (L.
Leucocephala) dan pakan lengkap yang berbeda. Seminar nasional teknologi
peternakan dan veteriner.

Preston, T. R. dan R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production and Systems


with Available Resources in the Tropics and SubTropics. Penambul Books,
Armidale

Prihartini, Indah; S.Chuzaemi dan O. Sofjan. 2017. Parameter Fermentasi Rumen


dan Produksi Gas In Vitro Jerami Padi Hasil Fermentasi Inokulum
Lignochloritik. Jurnal Protein, 15 (1).

Rahmadi, D., J. Sunarso., E. Achmadi., A Pangestu., M. Muktiani., C. Surono., dan


Surahmanto. 2010. Ruminologi Dasar. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro, Semarang.

Rahmawati. 2010 . Evaluasi Kecernaan Silase Rumput Kumpai (Hymenachne


acutigluma) dengan Penambahan Legum Turi Mini (Sesbania
rostrata). Indralaya : Universitas Sriwijaya.

Ranjhan, S. K. 1981. Animal Nutrition in Tropics. 2nd Revised Edition. Vikas


Publishing House. New Delhi.

Sajati, G. 2012. Pengaruh Ekstrusi dan Proteksi dengan Tanin pada Tepung Kedelai
Terhadap Produksi Gas Total dan Metan secara In Vitro. Idonesian Jurnal
Of Food Technology. 1(1) : 79-94.

Sakinah, D. 2005. Kajian Suplementasi Probiotik Bermineral terhadap Produksi


VFA, NH3 dan Kecernaan Zat Makanan pada Domba. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simanihuruk,., Rijanto., dan H. Husitat. 2010. Potensi Indigofera Sp. Sebagai Pakan
Kambing: Produksi, Nilai Nutrisi Dan Palatabilitas. Jurnal Pasture. 1(2):52-
60.

Soebarinoto., S. Chuzaemi., dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Animal


Husbandary Project, Universitas Brawijaya, Malang.

Soejono, M. 1987. Pengaruh lama peram pada amoniasi jerami padi terhadap
kecernaan in vivo. Prosiding Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaat
Lainnya. Editor M Soejono, dkk. Bioconversion Project Second Workshop.
Grati.

Sudana. 1984. “Straw Basal Diet for Growing Lambs” (A Thesis Submitted to the
Degree of Master of Science). The Department of Biochemistry and
Nutrition, the University of New England, Armidale, N. S. W., 23451,
Australia.

Suparwi. 2017. Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik, Kadar Amonia Dan
Vfa Totalin Vitro Suplemen Pakan Domba. Zootek. 1(1) : 1- 9

Susanti, S., S. Chuzaeni., dan Soebarinoto. 2002. Pengaruh Pembarian Konsentrat


yang Mengandung Bungkil Biji Kapok terhadap Kecernaan Ransum, Produk
Fermentasi dan Jumlah Protozoa Rumen Sapi Perah PFH Jantan. BIOSAIN 1
(3): 42 – 49.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sutardi, T. 2009. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui penggunaan ransum


berbasis limbah perkebunan dan suplemen mineral organik. Buletin
Peternakan. 40(2): 124-132.

Sutrisno, C. I., Sulistyanto, Widyati S., Nurwantoro., Mukodiningsih, S., Surahmanto,


dan Tristiarti. 2009. Peningkatan Kualitas Jerami sebagai Pakan. Jurnal
Teknjk Pertanian. Vol 5(2) : 13-17

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo dan S.


Lebdosoekojo. 1998. Cetakan ke-6. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Tillman, A.D., Hartadi, H., Reksohadiprojo, S., Prawirokusumo, S., dan


Lebdosoekojo, S. 2001. Ilmu Makanan Ternak Kasar. UGM Press,
Yogyakarta.
Wanapat, M., Kang, S., Hankla, N., and Phesatcha, K. 2013. Effect of rice straw
treatment on feed intake, rumen fermentation and milk production in
lactating dairy cows. Afr. J. Agric. Res. 8(17):1677-1687.

Widodo, F. Wahyono, Sutrisno. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan


Organik, Produksi Vfa Dan Nh3 Pakan Komplit Dengan Level Jerami Padi
Berbeda Secara In Vitro. Indonesian Journal of Food Technology. 1(1) : 1-
15

Widodo, F., dan S. Wahyono. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan
Organik, Produksi VFA Dan NH3 Pakan Komplit dengan Level Jerami Padi
Berbeda Secara In Vitro. Animal Agricultural Journal 1 (1): 215 – 230.

Widodo., F. wahyono., dan sutrisno. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan


Bahan Organik, Produksi Vfa Dan Nh3 Pakan Komplit Dengan Level Jerami
Padi Berbeda Secara In Vitro. Indonesian Jurnal Of Food Technology . 1(1) :
1-15.

Wijayanti, E., F. Wahyono., dan Surono. 2012. Kecernaan nutrien dan fermentabilitas
pakan komplit dengan level ampas tebu yang berbeda secara in vitro.
Journal Animal Agriculture. 1 (1) : 167 – 179.

Yanuartono., Soedarmanto. I., A. Nururrozi., H. Purnamaningsih., dan S. Raharjo.


2018. Review: Peran pakan pada kejadian kembung rumen. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 28 (2): 141 – 157.

Yulianti, A. 2010. Kinetika Volatile Fatty Acid (VFA) cairan rumen dan estimasi
sintesis protein mikrobia pada sapi perah dara Peranakan Friesian Holstein
yang diberi pakan basal rumput raja, jerami jagung, dan jerami padi yang
disuplementasi konsentrat protein tinggi. Jurnal Teknologi Pertanian. 6 (1) :
25-33.

Anda mungkin juga menyukai