Anda di halaman 1dari 64

MODUL

PENGANTAR ILMU KOMUNIKASI

OLEH

MURIA ENDAH SOKOWATI


19760430200004 163068

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
Bab I
MENDEFINISIKAN KOMUNIKASI

A. DEFINISI

Komunikasi berasal dari bahasa latin, communicatio, yang berarti


pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Berkomunikasi dengan demikian bisa
diartikan sebagai kegiatan memberitahu atau pertukaran. Kata sifat dari
communication adalah communis, yang berarti bersama-sama atau umum.
Berdasarkan dari akar katanya, komunikasi secara umum bisa dipahami sebagai
upaya untuk memberitahukan atau mempertukarkan sesuatu kepada orang lain.

Tentu saja komunikasi lebih kompleks daripada itu. Ada banyak definisi
komunikasi yang disampaikan oleh para arti. Adanya perbedaan disiplin ilmu
yang menjadi latar belakang para scholar komunikasi menyebabkan beragam
pula definisi komunikasi. Penulis mengutip beberapa definisi sebagai berikut:

Everett M. Rogers & D. Lawrence Kincaid (1981)


Proses dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lainnya yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam.

David K. Berlo
Instrumen interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan memprediksi orang
lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan
keseimbangan dengan masyarakat.

Carl I. Hovland (1948)


Proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan
rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain

Wilbur Schramm (1954)


Saling berbagi informasi, gagasan, atau sikap

McQuail & Windahl (1993)


Dalam istilah yang paling umum, komunikasi melibatkan pengirim, channel,
pesan, penerima, relasi antara pengirim dan penerima, efek, konteks di mana
komunikasi berlangsung dan kisaran tertentu dari apa yang menjadi acuan dari
pesan. Komunikasi bisa berarti tindakan, pada pihak lain, interaksi dengan
orang lain, dan reaksi terhadap orang lain.

George Gebner (1967)


Komunikasi merupakan interaksi sosial lewat seperangkat pesan

1
Definisi-definisi tersebut merupakan sebagian kecil dari definisi-definisi
komunikasi yang dapat ditemukan dalam buku-buku teks komunikasi.

Dari enam definisi tersebut, meskipun menjelaskan komunikasi dengan


penjelasan yang berbeda, ada beberapa hal yang menjadi benang merah. Hal-hal
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi adalah suatu tindakan.
2. Komunikasi melibatkan pihak pertama yang disebut sebagai pengirim,
dan pihak kedua sebagai penerima.
3. Kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi dihubungkan lewat pesan
yang disalurkan via channel.
4. Relasi kedua pihak menghasilkan efek tertentu.
5. Dengan demikian, komunikasi merupakan suatu proses.

Benang merah yang menghubungkan definisi-definisi komunikasi tersebut


membantu kita untuk mendefinisikan apa itu komunikasi. Komunikasi adalah
suatu proses pengiriman pesan dari pengirim kepada penerima melalui
channel tertentu dengan efek tertentu.

Mengacu pada definisi komunikasi tersebut, maka ada beberapa prinsip-


prinsip penting dalam komunikasi yang perlu untuk diperhatikan.

Prinsip 1. Komunikasi sebagai suatu proses

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, proses dijelaskan sebagai (1)


runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu; (2) rangkaian
tindakan, pembuatan, pengolahan yang menghasilkan produk. Proses bisa
diartikan sebagai suatu urutan kejadian atau pelaksanaan sehingga akan
menghasilkan sesuatu.

Memahami komunikasi sebagai suatu proses sama seperti kita melihat


kerja sebuah mesin. Bisa diambil contoh mesin cuci. Mesin cuci berfungsi
membersihkan pakaian kotor. Pakaian yang kotor sebagai input atau masukan
yang bila dimasukkan ke dalam mesin cuci yang telah disetting untuk mencuci,
membilas hingga mengeringkan akan menghasilkan output atau keluaran
pakaian yang sudah bersih. Input berupa pakaian kotor hingga menghasilkan
output berupa pakaian bersih melalui suatu proses mencuci yang dilakukan oleh
mesin, urutannya kurang lebih: cuci, bilas, dan keringkan.

Komunikasi dipahami tak ubahnya seperti kerja mesin cuci. Ada input
maupun output yang dihasilkan lewat sejumlah rentetan kejadian atau
pelaksanaan. Input bisa berupa pengirim pesan yang menyampaikan
gagasannya. Gagasan tersebut diterjemahkan lewat bahasa tertentu yang
disampaikan dengan cara atau sarana tertentu yang menghasilkan output berupa
respon dari penerima. Respon ini adalah efek dari penyampaian pesan.

2
Prinsip 2. Sebagai Sebuah Proses, Efisiensi dan Akurasi Menjadi Penting

Masih mengunakan logika mesin cuci di atas, bisa dipahami bahwa proses
mencuci baju dengan mesin cuci dilandasi atas tujuan tertentu, yaitu
membersihkan pakaian, dari kotor menjadi bersih. Jika proses mencuci tidak
menghasilkan pakaian yang bersih, hal itu menunjukkan bahwa proses mencuci
tidak berjalan sebagaimana mestinya atau mesin cuci tidak berfungsi dengan
baik. Akibatnya proses mencuci dikatakan gagal, karena menghasilkan output
tidak seperti yang diharapkan.

Begitu juga dalam komunikasi, komunikasi sebagai sebuah proses


berlangsung ata dasar tujuan tertentu. Tujuan itu bisa menginformasikan,
menghibur, membujuk dan sebagainya (pembahasan tentang fungsi komunikasi
akan dibahas pada bagian lain). Jika respon penerima atau efek yang dihasilkan
dari proses tersebut tidak sesuai dengan tujuan komunikasi, maka komunikasi
bisa dikatakan gagal.

Untuk itu efisiensi dan akurasi menjadi penting. Seorang pengirim yang
menyampaikan pesan kepada penerima dengan tujuan membujuk penerima
untuk melakukan tindakan tertentu perlu memformulasikan gagasannya dalam
bentuk bahasa yang bisa dipahami dengan baik oleh penerima. Jika memerlukan
media tertentu, maka pilihan media termasuk kapan dan di mana pesan
disampaikan harus diperhatikan. Tujuannya agar pesan dapat diterima sesuai
dengan yang diinginkan oleh pengirim.

Prinsip 3. Efek Menjadi Hal Penting Dalam Komunikasi

Sampai atau tidaknya sebuah pesan bisa dilihat dari efek yang dihasilkan.
Seperti telah dijelaskan di atas, yang dimaksud efek adalah respon atau umpan
balik dari penerima. Efek menjadi indikator keberhasilan proses komunikasi.

Prinsip 4. Mutual Understanding menjadi Tujuan Berkomunikasi

Proses komunikasi akan selalu menghindari adanya kegagalan. Untuk itu


kesamaan pemahaman atau mutual understanding menjadi tujuan dari
komunikasi. Kesamaan pemahaman antara pengirim dan penerima akan
ditentukan dari adanya kesesuaian antara kerangka acuan (frame of reference)
yaitu koleksi pengalaman dan pemahaman dan bidang pengalaman (field of
experience) (Schramm, 1954). Semakin banyak kesamaan latar belakang
pendidikan, budaya, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, keyakinan dan
sebagainya antara pengirim dan penerima, maka semakin besar kemungkinan
terjadinya keberhasilan dalam komunikasi. Begitu pula sebaliknya, semakin
besar kesenjangan pengalaman dan kerangka acuan antara pihak-pihak yang
terlibat dalam komunikasi akan menimbulkan kesukaran memahami satu sama
lain yang berdampak pada kegagalan komunikasi.

3
Prinsip 5. Pengirim Memegang Peranan Penting

Kegagalan komunikasi menjadi hal yang dihindari dalam berkomunikasi.


Untuk itu, pengirim sebagai pihak yang berinisiatif mengirimkan pesan,
memegang peranan penting dan menentukan keberhasilan dalam
berkomunikasi. Pengirim harus menjalankan serangkaian strategi dalam
merumuskan pesan, memanfaatkan media, atau menentukan waktu dan tempat
di mana komunikasi berlangsung. Pengirim harus menyesuaikan dengan kondisi
penerima, sehingga pesan yang disampaikan dapat efektif dan akurat. Misalnya
saja seorang pengirim dalam menyampaikan pesan yang disampaikan untuk
tujuan menghibur atau membujuk memiliki strategi pesan dan media yang
berbeda. Begitu pula ketika pengirim akan menyampaikan pesan pada anak-anak
atau orang dewasa, tentu saja menggunakan formulasi pesan dan media yang
tidak sama.

B. ELEMEN ELEMEN KOMUNIKASI

Layaknya sebuah mesin, proses komunikasi sangat ditentukan oleh


beberapa komponen yang menunjangnya. Komponen-komponen ini
mempengaruhi proses tersebut sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan memahami komponen-komponen atau elemen-elemen komunikasi, kita
akan dapat membangun strategi berkomunikasi yang baik.

Schramm (1954) menjelaskan setidaknya ada tiga elemen komunikasi


yang mempengaruhi kerja komunikasi, yaitu: Pengirim, Pesan dan Penerima.
Sementara Lasswell (1948) di dalam artikelnya yang berjudul “The Structure and
Function of Communication in Society" menjelaskan bahwa cara terbaik untuk
mendeskripsikan komunikasi adalah dengan menjawab 5 pertanyaan, yaitu (1)
Who (2) Says What (3) In Which Channel (4) To Whom (5) With What Effect yang
kemudian dikenal sebagai Formula Lasswell.

FORMULA LASSWELL

4
Pertanyaan “Who says what in which channel to whom with what effect?”
jika diterjemahkan berarti: siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada
siapa dengan efek apa? Hal tersebut menjadi definisi komunikasi seperti yang
telah dijelaskan di bab I (Komunikasi adalah suatu proses pengiriman pesan dari
pengirim kepada penerima melalui channel tertentu dengan efek tertentu).
Berdasarkan Formula Lasswell, setidaknya ada 5 hal penting yang disebutkan,
yaitu Pengirim (Who), Pesan (Says What), Saluran (In Which Channel), Penerima
(To Whom), Efek (With What Effect). Kelima hal itulah yang menjadi elemen-
elemen komunikasi yang akan dijelaskan sebagai berikut:

PENGIRIM

Yang dimaksud pengirim adalah pihak yang mengirimkan pesan. Istilah


lain yang juga bisa digunakan adalah komunikator, sender, produsen pesan atau
produser, dan sumber (source). Pihak pengirim menyampaikan pesan dengan
tujuan tertentu yang akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan elemen-elemen
yang lain.

PESAN

Pesan adalah sesuatu yang disampaikan dalam proses komunikasi. Pesan


menjadi faktor yang menentukan apakan tujuan komunikasi pengirim akan
tercapai atau tidak. Seorang pengirim akan membuat strategi pesan tertentu
agar tujuannya tercapai. Misalnya pesan dibuat disesuaikan dengan karakteristik
penerimanya.

SALURAN

Saluran, channel, medium atau media merupakan sarana yang digunakan


untuk menyampaikan pesan. Penggunaan saluran juga menentukan keberhasilan
sebuah pesan yang disampaikan. Contoh-contoh saluran komunikasi antara lain
adalah buku, papan pengumuman, telepon, kaos, majalah, surat kabar, radio,
televisi, facebook, youtube, surat, sms dan lain sebagainya.

PENERIMA

Penerima merupakan pihak yang menjadi sasaran pesan yang


disampaikan oleh pengirim. Istilah lain yang bisa digunakan adalah komunikan,
receiver, atau konsumen pesan. Jika penerima pesan jumlahnya besar disebut
sebagai khalayak atau audiens.

5
EFEK

Efek merupakan respon, tanggapan, umpan balik, atau feedback yang


diberikan kepada penerima yang menjadi indikator keberhasilan pesan yang
disampaikan, apakah tujuan komunikasi sudah tercapai atau belum. Jika
pengirim mengirimkan pesan dengan tujuan menerangkan sesuatu, maka respon
penerima akan menunjukkan apakah penerima telah memahami informasi yang
disampaikan oleh penerima atau tidak.

Selain kelima elemen tersebut, ada beberapa eleman lain yang juga perlu
dibahas dalam buku ini mengingat elemen-elemen tersebut juga mempengaruhi
proses komunikasi. Elemen-elemen lain tersebut adalah:

TUJUAN

Seperti telah dijelaskan, pengirim memiliki tujuan tertentu saat


mengirimkan pesannya. Tujuan-tujuan komunikasi bisa berarti memberitahukan
atau menerangkan (to inform), mengekspresikan pendapat (to express opinion),
mendidik (to educate), memberikan nasehat (to advise), menghibur (to
entertain/amuse), memperingatkan (to warn), atau membujuk (to persuade) dan
sebagainya. Menurut Mulyana (2012: 33), pada hakekatnya komunikasi
bertujuan untuk mempengaruhi. Jika seseorang menerangkan sesuatu pada
orang lain, ia sedang mempengaruhi lawan bicaranya untuk mempercayai apa
yang ia sampaikan. Ketika seseorang sedang menghibur, ia sedang berusaha
mengajak lawan bicaranya untuk melupakan masalah-masalahnya.

Desain pesan yang disampaikan oleh pengirim selalu ditentukan oleh


tujuan pengirim pesan. Bentuk pesan untuk tujuan menginformasikan tentu
berbeda dengan pesan yang ditujukan untuk menghibur penerima.

HAMBATAN

Proses komunikasi seringkali tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ada


beberapa hal yang menjadi hambatan (barriers) dalam komunikasi. Besarnya
kesenjangan kerangka acuan dan pengalaman antara pihak-pihak yang terlibat
dalam komunikasi menjadi hambatan dalam komunikasi. Besarnya kesenjangan
terlihat dari perbedaan bahasa atau penggunaan istilah-istilah yang digunakan,

Hambatan lain dalam proses komunikasi adalah gangguan komunikasi


atau noise. Gangguan berpotensi mempengaruhi akurasi penerimaan pesan.
Gangguan komunikasi bisa bermacam-macam bentuknya.

1. Internal Noise
Internal noise merupakan gangguan komunikasi yang berasal dari dalam diri
pengirim dan penerima. Ada dua bentuk internal noise, yaitu physiopogical
noise dan psychological noise. Physiological noise menurut West and Turner

6
(2009: 13) merupakan pengaruh biologis yang berpengaruh pada pesan
diterima. Misalnya problem artikulasi, problem pendengaran dan visual, juga
kesehatan fisik pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Sedangkan
psychological noise dijelaskan West and Turner (2009: 13) mengacu pada
bias komunikator, prasangka buruk, atau perasaan tertentu pada lawan
bicara; bahkan kepada pesan. Contohnya adalah ketika seseorang pernah
mendengar orang lain tersinggung akibat penggunaan kata-kata tertentu,
maka ketika ia mendengar kata-kata yang sama yang ditujukan pada dirinya
bisa jadi dia merasa tidak nyaman. Hal tersebut dapat berpengaruh pada
proses komunikasi yang berlangsung.

2. Semantic Noise
Gangguan ini merupakan gangguan bahasa. Gangguan ini terjadi ketika
pihak-pihak yang berkomunikasi memahami makna yang berbeda pada
pesan yang sama. Hal ini tentu saja memungkinkan terjadinya salah paham
(miss-understanding).

3. External Noise
Gangguan ini merupakan gangguan yang berasal dari lingkungan. West and
Turner (2009: 13) menyebutnya sebagai physical noise. Sesuai dengan
namanya, gangguan ini berupa rangsangan-rangsangan (stimuli) yang
berasal dari lingkungan atau di luar pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi. Misalnya suara-suara berisik yang mempengaruhi kejelasan
pesan, gangguan layar monitor presentasi, mikrofon yang tidak dapat
berfungsi, sinyal yang bermasalah dan lain sebagainya.

KONTEKS

Konteks merupakan situasi di mana komunikasi berlangsung. Menurut


Dimbleby dan Burton (1998: 21) konteks mengacu pada pemahaman bahwa
setiap proses komunikasi berlangsung dalam kondisi dan situasi tertentu. Bisa
berupa konteks fisik (physical context), misalnya komunikasi yang berlangsung
di ruang kelas, atau di rumah; bisa juga berupa konteks sosial (social context), di
mana komunikasi yang terjadi melibatkan sekelompok orang; atau konteks
kultural (cultural context) yaitu komunikasi yang melibatkan konteks yang lebih
luas, seperti keyakinan atau ideologi tertentu.

Konteks mencakup waktu, tempat, periode historis, relasi dan latar


belakang budaya komunikator dan komunikan. Hal-hal tersebut tak bisa
dipungkiri sangat berpengaruh dalam proses komunikasi. Seorang pengirim atau
komunikator dalam mengirimkan pesan, untuk mencapau kesamaan
pemahaman dengan komunikan atau penerima hendaknya mempertimbangkan
konteks. Pesan yang sama disampaikan pada penerima yang sama di tempat dan
waktu yang berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda.

7
C. ENCODING DAN DECODING DALAM PROSES KOMUNIKASI

Komunikasi sebagai sebuah proses tidak bisa dilepaskan dari proses


encoding (menyandi) dan decoding (menyandi balik). Encoding merupakan
proses menerjemahkan gagasan, ide yang dilakukan oleh pengirim ke dalam
bahasa sehingga menjadi pesan. Seseorang yang akan mengirimkan pesan, di
dalam kepalanya tersimpan gagasan tertentu yang harus diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa sehingga menjadi pesan. Ia harus memilih kata tertentu
atau menggunakan gambar tertentu yang mampu mewakili gagasan tersebut.
Tidak hanya itu, pemilihan saluran atau media untuk mengirimkan pesan yang
sesuai dengan gagasan juga menjadi pertimbangan pengirim.

Setelah pesan disampaikan dan diterima oleh penerima, pesan tersebut


diterjemahkan penerima dan disesuaikan dengan field of experience dan frame of
reference-nya. Proses inilah yang disebut dengan decoding. Jadi decoding
merupakan upaya menginterpretasi atau memahami pesan yang disampaikan.

Pada prinsipnya, berkomunikasi adalah menyesuaikan field of experience


dan frame of reference pihak-pihak yang berkomunikasi sehingga tercipta mutual
understanding. Dalam melakukan encoding, pengirim harus mampu
memformulasikan gagasannya dalam bentuk pesan yang bisa dipahami oleh
penerima, sehingga penerima yang melakukan decoding mampu
menginterpretasi gagasan penerima yang tersampaikan lewat pesan.

BAB II

8
PANDANGAN TRANSMISI DALAM KOMUNIKASI

A. KONSEP TRANSMISI

Kata transmisi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris transmission.


Berdasarkan The Oxford English Dictionary, terdapat dua definisi yang
menjelaskan kata transmission. Definisi yang pertama adalah “The action of
transmitting or fact of being transmitter; conveyance from one person or place to
another; transference.” Sedangkan definisi yang kedua, “Confeyance or passage
through a medium, as of light, heat, sound, etc.; spec. in Radio, Television; also, a
series of electric signals or electromagnetic waves transmitted, a broadcast.”

Definisi pertama menjelaskan bahwa transmisi merupakan tindakan


mentransmisikan atau ada sesuatu yang ditransmisikan, atau pemindahan
seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam bahasa Indonesia transmission
diterjemahkan sebagai pengiriman. Definisi pertama ini mengacu pada adanya
suatu tindakan yang memindahkan sesuatu. Sedangkan dalam definisi kedua,
transmisi merupakan pemindahan atau peralihan sesuatu lewat medium, seperti
cahaya, panas, suara dan sebagainya; atau radio, televisi dan serangkaian sinyal-
sinyal elektrik atau gelombang elektromagnetik yang ditransmisikan atau
disiarkan. Definisi kedua merupakan definisi yang lebih konkret dengan
menjelaskan sarana-sarana pengiriman.

Kedua definisi menjelaskan satu hal yang sama atas konsep transmisi.
Transmisi identik dengan transportasi. Transportasi atau pengangkutan sendiri
merupakan tindakan memindahkan seseorang atau sesuatu dari satu tempat ke
tempat lain.

Komunikasi yang dipahami sebagai suatu transmisi juga dijelaskan dalam


buku-buku teks komunikasi. Lewis dan Slade (2000:8) mengutip definisi yang
dijelaskan oleh Rue dan Bars bahwa komunikasi merupakan “transmittal of
understanding”; atau Dessler, yang menyatakan bahwa komunikasi adalah “the
exchange of information”. Lewis dan Slade merangkum kedua definisi
komunikasi tersebut dengan menyebutnya sebagai communication as a form of
delivery. Hal tersebut dilandasi oleh adanya asumsi bahwa dalam komunikasi,
ada sesuatu yang dikirimkan.

Pemahaman komunikasi berdasarkan pendekatan transmisi ini


mendominasi definisi komunikasi yang terdapat di kamus-kamus. Contoh-
contoh berikut merupakan definisi komunikasi yang terdapat dalam beberapa
kamus bahasa Inggris terkemuka, seperti Merriam-Webster Dictionary, The
Oxford English Dictionary dan Cambridge Dictionary. Kata communication
dijelaskan sebagai berikut:

9
Sumber: Merriam-Webster Online

Sumber: The Oxford English Dictionary Online

10
Sumber: Cambridge Dictionary Online

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata komunikasi juga didefinisikan dengan


pendekatan transmisi.

Sumber: Kamus Bahasa Indonesia (2008)

Pendekatan transmisi dalam definisi komunikasi juga mendominasi


kajian komunikasi. Tokoh-tokoh yang berkontribusi pada kajian komunikasi
seperti Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Claude Shannon, Warren Weaver,
David Berlo, atau Carl Hovland menyumbangkan gagasannya tentang konsep
komunikasi yang mengacu pada pendekatan transmisi.

B. JAMES CAREY: TRANSMISI, TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI

B.1. Pendekatan Budaya dalam Komunikasi

James Carey (1934-2006) adalah seorang profesor di bidang komunikasi


dan jurnalisme asal Amerika. Sesungguhnya banyak tokoh lain yang juga berjasa
dalam mengembangkan kajian komunikasi. Namun nama Carey secara khusus
perlu dijelaskan dalam buku ini karena buah pikirannya yang mampu
menjembatani keluasan kajian komunikasi. Salah satu buku klasiknya yang
fenomenal berjudul Culture As Communication: Essays on Media and Society terbit

11
pada tahun 1989 dan direvisi kembali pada tahun 2009 sebagai bentuk tribute
untuk James Carey yang wafat pada bulan Mei 2006.

Dalam buku tersebut, Carey menjelaskan pemikirannya yang fenomenal


dengan melibatkan pendekatan budaya dalam kajian komunikasi. Carey
menjelaskan bahwa komunikasi bukanlah semata-mata dilihat sebagai aktivitas
pengiriman pesan, namun juga berkaitan dengan pemaknaan simbol. Pada
bagian pertama buku tersebut yang berjudul A Cultural Approach To
Communication, Carey membagi dua konsep komunikasi. Yang pertama adalah a
space-based metaphor of communication atau transmissional view yang akan
dijelaskan pada bagian ini; dan yang kedua adalah a time-based metaphor atau
ritual view (Bastos, 2010: 244-245). Bagian kedua akan dijelaskan pada bagian
lain dari buku ini.

B.2. Konsep Transmissional View dan Fungsi Kontrol

Transmissional view atau komunikasi berdasarkan pandangan transmisi


kerap identik dengan budaya industri di Amerika. Istilah komunikasi
didefinisikan dengan kata-kata mengirimkan (imparting, sending, transmitting)
atau memberikan informasi pada orang lain (giving information to others).
Komunikasi menjadi metafora geografis atau transportasi. Artinya pergerakan
barang atau manusia dan pergerakan informasi dilihat sebagai hal yang sama,
dan itulah komunikasi (Carey, 2009:12).

Gagasan Carey dilatarbelakangi oleh pergerakan barang, manusia dan


informasi yang terjadi di abad 19. Pergerakan-pergerakan tersebut dipahami
sebagai transmisi sinyal yang melalui jarak tertentu dan memiliki tujuan untuk
mengontrol. Tujuan kontrol dari komunikasi merupakan salah satu impian
manusia yang paling kuno.

Pada tradisi di Mesir atau Eropa, komunikasi dan transportasi menjadi


salah satu hal yang tidak terpisahkan. Pesan-pesan yang telah ditulis atau dicetak
dengan mesin cetak oleh sumber pesan didistribusikan oleh kurir dengan

12
menggunakan moda-moda transportasi, seperti kuda, perahu, atau kereta.
Penemuan telegraph menjadi solusi atas persoalan jarak. Samuel Morse pada
tanggal 24 Mei 1844 pesan elektronik “What hath God wrought?” dari
Washington ke Baltimore.

Adanya telegraph yang mengatasi masalah jarak dalam pengiriman pesan


memperbaharui gagasan tentang komunikasi. Komunikasi dipahami sebagai
proses di mana pesan-pesan dikirimkan dan didistribusikan dalam ruang
tertentu untuk mengontrol jarak dan orang-orang (communication is a process
whereby messages are transmitted and distributed in space for the control of
distance and people) (Mumford dalam Carey, 2009: 13).

B.3. Dari Tradisi Religi Menuju Kepentingan Teknologi

Pesan pertama yang dikirimkan oleh Morse, yaitu “What hath God
wrought?” atau “Apa yang Tuhan Lakukan?” adalah hal yang terkait religiusitas.
Hal ini relevan dengan argument Carey (2009: 13) bahwa akar pandangan
transmisi adalah berasal dari tradisi religi.

Menurut Carey, motif utama dari adanya perpindahan manusia dari satu
wilayah menuju wilayah lain dilatarbelakangi oleh alasan-alasan religi. Hasrat
untuk melepaskan diri dari batas-batas wilayah Eropa, membangun kehidupan
baru, menemukan komunitas baru, membuat wilayah-wilayah kehidupan baru di
Amerika adalah motif utama di balik gerakan peradaban Eropa putih yang belum
pernah terjadi sebelumnya di hampir seluruh dunia. Komunitas-komunitas
agama di Eropa terus menjalin kontak dengan komunitas-komunitas di tanah
baru (Amerika, misalnya) yang tak beragama lewat sarana transportasi.
Hadirnya telegraph dalam kehidupan mereka mempermudah upaya tersebut.
Telegraph banyak dimanfaatkan untuk mengirimkan pesan-pesan dakwah.

Jika transportasi membawa misi-misi religius, misalnya untuk


kepentingan misionaris atau menyebarkan agama Kristen; maka komunikasi
membawa misi yang sama. Teknologi komunikasi yang bermunculan juga
menjadi sarana andalan untuk menyebarluaskan pesan-pesan keagamaan secara
cepat dan mampu menjangkau orang-orang yang tersebar secara geografis.
Teknologi dinilai sebagai wahana ideal dalam mengatasi persoalan ruang dan
populasi (Miller dalam Carey, 2009: 14).

Di masa kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan sekularisasi,


pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan religius tidak lagi mendominasi.
Saat itu, teknologi komunikasi dikatakan menjadi center of thought .

Yang dimaksud teknologi komunikasi sebagai center of thought adalah,


teknologi komunikasi telah menjadi sarana transmisi pemikiran atau gagasan
siapa saja, mulai dari guru, jurnalis, pendakwah, dan sebagainya. Akibatnya
pemahaman komunikasi bergeser menjadi suatu proses dan sebuah teknologi
yang digunakan untuk kepentingan agama, menyebarkan, mengirimkan dan
meluaskan pengetahuan, ide-ide, dan informasi lebih luas dan lebih cepat dengan

13
tujuan untuk mengontrol ruang dan orang-orang (Communication was viewed as
a process and a technology that would, sometimes for religious purposes, spread,
transmit, and disseminate knowledge, ideas, and information farther and faster
with the goal of controlling space and people) (Carey, 2009:14).

C. THE CONDUIT METAPHOR (METAFORA KANAL)

Pandangan transmisi dalam komunikasi kerap dijelaskan lewat metafora


transportasi, misalnya Carey seperti yang telah dipaparkan di atas, atau Shannon
dan Weaver (1949) yang akan dijelaskan di bagian lain. Ada metafora lain yang
juga digunakan untuk menjelaskan komunikasi. Michael Reddy (1979)
menjelaskan bagaimana bahasa Inggris digunakan lewat the conduit metaphor
atau metafora kanal yang relevan dengan deskripsi proses komunikasi.

Metafora kanal dijelaskan oleh Lakoff dan Johnson (dalam Chandler,


1994) sebagai berikut, “The speaker puts ideas (objects) into words (containers)
and sends them (along a conduit) to a hearer who takes the idea/objects out of the
word/containers.” Maka dapat dipahami bahwa metafora kanal menjelaskan
bagaimana seorang pembicara ‘memindahkan’ gagasannya ke dalam kata-kata
atau kontainer dan mengirimkannya (sepanjang kanal/conduit) kepada
pendengar yang kemudian ‘mengambil’ gagasan tersebut dari kata-kata yang
berfungsi sebagai kontainer.

Memahami proses komunikasi layaknya kanal mengandung beberapa


implikasi: (1) bahasa berfungsi seperti kanal yang mengirimkan pemikiran dari
seseorang kepada orang lain; (2) dalam tulisan dan pembicaraan, komunikator
’memasukkan’ gagasan atau perasaannya ke dalam kata-kata; (3) kata-kata
menyelesaikan ‘tugas’nya: sebagai perantara gagasan dan perasaan dan
menyampaikannya kepada komunikan; (4) saat mendengar atau membaca,
komunikan mengambil gagasan dan perasaan yang terdapat dari kata-kata
(Chandler, 1994).

Dengan demikian, aktivitas membaca atau mendengarkan merupakan


aktivitas yang pasif. Hal ini disebabkan karena pembaca atau pendengar tidak
lebih merupakan aktivitas yang hanya mengekstrak atau mengambil pesan atau
gagasan yang ditampung oleh kata-kata. Menariknya, Chandler (1994)
berargumen bahwa yang diambil oleh pendengar atau pembaca hanyalah kata-
kata semata, bukan informasi. Bagi Chandler, informasi atau makna hanya akan
diperoleh jika pendengar atau pembaca secara aktif melakukan interpretasi.

Dalam pandangan transmisi, makna memang diabaikan. Yang lebih


dipentingkan adalah konten atau isi pesan. Bahkan istilah makna dan isi pesan
seringkali dianggap sama. Misalnya saja, dalam pandangan transmisi
mementingkan adanya kesamaan pemahaman atau mutual understanding yaitu
adanya kesamaan atau keselarasan antara makna yang dibangun oleh pengirim
dan penerima. Sesungguhnya bukanlah makna yang dimaksud, namun isi pesan,

14
karena makna sifatnya adalah relatif. Yang disebut mutual understanding adalah
kesamaan dalam memahami isi pesan (bukan makna).

D. REALITAS DALAM PANDANGAN TRANSMISI

Realitas berasal dari bahasa Inggris reality yang berarti kenyataan. Reality
dalam The Oxford English Dictionary didefinisikan: (1) The state of things as they
actually exist, as opposed to an idealistic or notional idea of them, (2) The state or
quality of having existence or substance. Singkatnya realitas adalah sesuatu yang
memang sudah ada dan nyata.

Realitas menjadi hal penting mengingat yang perlu dibahas mengingat


komunikasi sendiri menjadi sarana untuk menjelaskan tentang realitas. Bahkan
aktivitas komunikasi sendiri merupakan suatu realitas.

Carey (2009: 20) menyebutkan dua poin yang menjelaskan konsep


tentang realitas berdasarkan pandangan transmisi. Yang pertama adalah realitas
merupakan real world of objects/events/processes that we observe atau obyek,
peristiwa atau proses yang disaksikan oleh manusia. Kedua, bahasa dan simbol
mengacu pada obyek, peristiwa atau proses-proses tertentu dan menciptakan
deskripsi yang kurang lebih sama. Itulah realitas yang kemudian dipercaya
manusia sebagai fakta. Hal-hal yang tidak real atau tidak nyata merupakan
fantasi. Kata-kata (atau bahasa) adalah duplikasi dan substansi dari acuannya.
Ketika bahasa mendistorsi, mengaburkan dan membingungkan persepsi
manusia atas hal-hal di luar dirinya, manusia kerap mengabaikannya. Artinya,
manusia menerima bahasa sebagai sesuatu yang taken for granted. Pada
akhirnya, bagi pandangan transmisi, realitas adalah sesuatu yang obyektif,
kebenaran yang tidak terbantahkan.

15
BAB III
MODEL KOMUNIKASI TRANSMISI

Model komunikasi mengacu pada suatu model konseptual yang


digunakan untuk menjelaskan proses komunikasi antar manusia. Yang dimaksud
sebagai model konseptual adalah suatu sistem representasi yang terdiri dari
seperangkat konsep untuk membantu orang lain mengetahui dan memahami
subyek yang direpresentasikan.

Lebih jelasnya, yang disebut sebagai model komunikasi adalah suatu


model yang mengacu pada representasi simbolis dari suatu ide atau proses
komunikasi. Sebuah model komunikasi merepresentasikan ide-ide dan proses
komunikasi. Model komunikasi bisa berbentuk gambar atau bagan yang
menganalogikan fenomena komunikasi. Model komunikasi diperlukan agar kita
dapat memahami fenomena komunikasi dengan lebih mudah.

Model komunikasi sangat berbeda dengan teori komunikasi. Jika teori


komunikasi merupakan penjelasan atas fenomena komunikasi, maka model
komunikasi hanyalah gambar atau bagan yang merepresentasikan fenomena
komunikasi. Model komunikasi menunjukkan elemen-elemen yang terlibat
dalam proses komunikasi. Namun, model komunikasi tidak mampu menjelaskan
relasi dan alur elemen-elemen tersebut. Teorilah yang akan menjelaskannya.

Dengan demikian, hubungan model dan teori memang sangat dekat. B.


Aubrey Fisher (dalam Mulyana, 2012:132) menyatakan bahwa model adalah
analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan unsur, sifat
dan komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Mulyana
(2012) lalu menjelaskan model menjadi gambaran informal untuk menjelaskan
dan menerapkan teori. Model merupakan teori yang disederhanakan.

Model komunikasi merupakan representasi dari proses komunikasi.


Dengan demikian model komunikasi mewakili pandangan transmisi dalam
komunikasi. Model komunikasi transmisi merupakan semacam peta yang
menggambarkan jalur-jalur berlangsungnya komunikasi, dan mengasumsikan
informasi, pemahaman dan pemikiran berjalan sepanjang jalur-jalur tersebut
(Lewis dan Slade, 2000:8). Lewis dan Slade menjelaskan lebih lanjut dalam
model komunikasi transmisi menekankan pada dua hal, yaitu fungsi dan proses
dalam komunikasi.

Model komunikasi yang menekankan fungsi menggambarkan pentingnya


efek dalam komunikasi. Sedangkan model komunikasi yang menekankan proses,
mengidentifikasi komunikasi sebagai serangkaian tahapan atau siklus dari pesan
yang ditransmisikan, diterima, diinterpretasi yang diikuti dengan respon dari
penerima (Lewis dan Slade, 2000:10).

16
Ada ratusan model komunikasi. Buku ini hanya membahas tiga model
secara komprehensif. Ketiga model ini menjadi model yang cukup populer dalam
buku-buku teks komunikasi. Ketiga model tersebut adalah sebagai berikut:

A. SHANNON DAN WEAVER (1949): PENDEKATAN INFORMATIF

Model komunikasi pertama yang dibahas adalah model yang dibuat oleh
Claude Elwood Shannon dan Warren Weaver. Model keduanya terdapat dalam
buku klasik karya mereka yang berjudul Mathematical Model Of Communication
(1949). Gagasan keduanya diterima sebagai sumbangan gemilang saat kajian
komunikasi sedang tumbuh dan berkembang. Model komunikasi karya mereka
menjelaskan komunikasi sebagai transmisi pesan.

Shannon dan Weaver selama masa Perang Dunia II bekerja di Bell


Telephone Laboratories, Amerika. Perhatian utama keduanya adalah pada
bagaimana saluran komunikasi bisa bekerja dengan efektif. Saluran komunikasi
yang dimaksud pada saat itu adalah kabel telepon dan gelombang radio. Pada
akhirnya mereka membuat teori untuk menjawab persoalan pengiriman
informasi semaksimal mungkin melalui saluran yang ada, dan bagaimana
mengukur kapasitas saluran yang membawa informasi (Fiske, 1990:6).

Teori tersebut mementingkan faktor saluran dan kapasitas. Hal ini tentu
saja relevan dengan latar belakang kelimuan keduanya, yaitu matematika dan
teknik. Meski demikian, keduanya menyatakan bahwa teori mereka bisa
menjawab problem-problem yang terjadi dalam komunikasi antar manusia.

Secara sederhana, model ini menjelaskan komunikasi sebagai proses


mengirimkan dan menerima pesan, atau mentransfer informasi dari satu pihak
(pengirim) ke pihak lainnya (penerima). Untuk itu, Chandler (1994) menyebut
model ini sebagai informational approach to communication.

Sumber: Shannon & Weaver (1949)

17
Model tersebut menggambarkan adanya lima elemen yang menjelaskan
proses komunikasi. Kelima elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Information source, atau sumber informasi, yaitu pihak yang
memproduksi pesan
2. Transmitter, yang menyandikan (encode) pesan menjadi sinyal-sinyal.
3. Channel, di mana sinyal-sinyal ditransmisikan.
4. Receiver, yang menyandi balik (decode) sinyal-sinyal menjadi pesan.
5. Destination, di mana pesan yang dikirimkan telah diterima.

Ada satu elemen tambahan, yaitu noise sebagai dysfunctional factor atau faktor
yang membuat proses komunikasi tidak dapat berfungsi. Noise adalah setiap
gangguan terhadap pesan yang bergerak sepanjang saluran yang bisa
mengakibatkan sinyal yang diterima berbeda dengan yang sinyal yang
dikirimkan.

Model Shannon dan Weaver dapat dianalogikan pada pemakaian telepon.


Pengirim menyampaikan pesannya melalui telepon yang berfungsi sebagai
transmitter, yang mengubah pesan menjadi sinyal dalam bentuk arus eletronik.
Kabel telepon berfungsi sebagai channel atau saluran. Telepon penerima
berfungsi sebagai receiver yang mengubah sinyal menjadi pesan. Pada akhirnya
pesan diterima oleh pihak penerima. Noise bisa terjadi sepanjang kabel telepon,
misalnya kabel yang rusak atau putus. Dalam percakapan, mulut komunikator
berfungsi sebagai transmisi. Sinyalnya adalah gelombang udara, dan telinga
komunikan berfungsi sebagai receiver. Noise bisa terjadi selama percakapan
berlangsung.

Berkaitan dengan noise, Shannon dan Weaver mengidentifikasi adanya


tiga level problem dalam proses komunikasi, yaitu:
1. Level A (Problem teknis), yaitu persoalan akurasi pesan-pesan yang
dikirimkan
2. Level B (Problem semantik), yaitu ketepatan makna yang disampaikan
3. Level C (Problem efektivitas), yaitu keefektifan makna yang diterima
sehingga berefek pada perilaku.

Fiske (1990:7) menjelaskan problem-problem tersebut sebagai berikut:


1. Problem teknis di level A adalah problem yang paling sederhana. Problem
inilah yang kemudian dikembangkan menjadi model komunikasi.
2. Problem semantik juga mudah diidentifikasi, namun agak sulit untuk
diatasi. Shannon dan Weaver menyarankan untuk memperhatikan proses
encoding untuk meningkatkan akurasi semantik.
3. Problem efektivitas menunjukkan gagasan Shannon dan Weaver yang
melihat komunikasi sebagai manipulasi atau propaganda. Pesan yang
disampaikan oleh komunikator secara efektif akan direspon oleh
komunikan seperti yang diinginkan oleh komunikator.

Shannon dan Weaver menjelaskan bahwa ketiga level problem tersebut


berkaitan dan saling tergantung satu sama lain. Model yang dikembangkan oleh
Shannon dan Weaver mampu menggambarkan ketiga problem tersebut. Intinya

18
adalah bahwa ketiga level problem dalam komunikasi berkaitan dengan
persoalan akurasi dan efisiensi.

Setelah memahami model komunikasi dari Shannon dan Weaver, ada


beberapa hal yang menjadi catatan penting yang perlu untuk didiskusikan lebih
lanjut. Catatan-catatan ini bisa menjadi kelebihan atau justru kelemahan dari
model komunikasi Shannon dan Weaver. Catatan-catatan itu adalah sebagai
berikut:

1. Menggambarkan proses komunikasi satu arah (one way


communication)

Model Shannon dan Weaver disebut juga sebagai model komunikasi yang
linear. Artinya, model ini memisahkan komunikator dan komunikan.
Komunikator adalah pihak yang menjadi pengambil keputusan yang
menentukan makna dari pesan, sementara komunikan atau destination menjadi
pihak yang pasif. Komunikan hanya menjadi pihak yang menyerap informasi.

Model komunikasi linear dari Shannon dan Weaver mengambarkan


proses komunikasi yang mekanis. Dengan menitikberatkan pada problem teknis,
model ini semakin menguatkan aspek mekanis tersebut.

Komunikasi yang melibatkan dua orang, bukanlah komunikasi yang


bersifat satu arah. Padahal pada prktiknya, dua pihak yang berkomunikasi akan
saling mengirim dan menerima pesan secara terus menerus. Model Shannon dan
Weaver tidak menjelaskan tentang adanya umpan balik dalam proses
komunikasi.

2. Menganggap semua problem dalam komunikasi sebagai noise

Shannon dan Weaver menjelaskan bahwa menyelesaikan problem level A


akan memperbaiki problem level lainnya (dalam Chandler, 1994). Keduanya juga
menyebut istilah engineering noise untuk menyebut problem di level A dan
semantic noise untuk problem level B (dalam Fiske, 1990:8). Semantic noise
didefinisikan sebagai distorsi makna yang terjadi dalam proses komunikasi yang
tidak dimaksudkan oleh komunikator namun mempengaruhi penerimaan pesan.
Dengan demikian, Shannon dan Weiver menganggap perbedaan makna yang
dalam pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sebagai
gangguan atau hambatan dalam komunikasi.

3. Mengabaikan adanya faktor kultural

Menganggap gangguan semantik sebagai gangguan dalam komunikasi


menunjukkan bahwa model Shannon dan Weaver mengabaikan bahwa
persoalan semantik terkait dengan faktor budaya. Sebuah kata tidak memiliki
makna yang tetap, namun tergantung pada konteks budaya. Misalnya kata
“semalam”, bisa berarti “tadi malam” atau “kemarin”.

19
Mengulang yang telah dijelaskan dalam poin 2, Shannon dan Weaver
justru menganggap masalah gangguan semantik bisa diatasi jika masalah teknis
sudah berhasil diatasi. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:
But a larger part of the significance comes from the fact that the analysis of
Level A discloses that this level overlaps the other levels more than one could
possibly naively suspect. Thus the theory of Level A is, at least to a significant
degree, also a theory of levels B and C. (1949:4-6]

Untuk itu, model ini kerap dikritik sebagai model yang menyesatkan
dalam komunikasi antar manusia. Komunikasi antar manusia dianalogikan
dengan konsep matematika, interaksi antar manusia seolah-olah serupa dengan
model hitung-hitungan matematis.

4. Mengabaikan Makna dalam Pesan

Berdasarkan penjelasan poin 3, model Shannon dan Weaver memang


menganggap faktor makna bukanlah hal penting dalam komunikasi. Keduanya
memang tidak menafikan bahwa dalam pesan terkandung makna, namun tidak
secara khusus membahasnya. Hal itu dijelaskan oleh Weaver sebagai berikut:
An engineering communication theory is just like a very proper and discreet
girl accepting your telegram. She pays no attention to the meaning whether it
be sad, or joyous, or embarrassing. But she must be prepared to deal with all
that come to her desk (Weaver, 1949).

5. Merupakan model komunikasi yang sederhana, bersifat general dan


bisa dihitung

Dengan latar belakang teknis dan matematika, maka bisa dipahami jika
model komunikasi yang dibuat oleh Shannon dan Weaver menjadi bersifat
matematis, di mana efektivitas komunikasi dapat diketahui lewat hitung-
hitungan matematis. Lewat angka-angka hasil perhitungan tersebut, maka
proses komunikasi bisa diprediksi.

Kesederhanaan dan kepopuleran model komunikasi ini menyebabkan


model ini menarik bagi disiplin akademik lain. Banyak teori-teori komunikasi
berkembang dari model komunikasi ini.

B. S-M-C-R MODEL DARI DAVID BERLO (1960)

David Berlo adalah seorang doktor komunikasi dari University of Illinois,


Amerika dan penulis buku The Process of Communication: An Introduction To
Theory And Practice (1960). Dalam buku itu, dia menjelaskan model komunikasi
yang disebutnya sebagai SMCR (Sender-Message-Channel-Receiver) Model.

20
Berlo melihat cara orang berkomunikasi satu sama lain, yaitu hubungan
antara orang yang bercakap-cakap dan orang yang mendengarkannya. Tujuan
model ini mencoba untuk membantu mempelajari cara yang lebih efektif untuk
memahami saat berkomunikasi (Berlo, 1960). Berlo melihat komunikasi sebagai
proses yang terkoordinasi dan tersinkronisasi dan terkait dengan lingkungan.
Dia percaya bahwa komunikasi adalah pertukaran gagasan yang berpengaruh
pada budaya seseorang. Pengaruh komunikasi bergantung pada efektivitas
pengirim dan penerima informasi dan kemampuan untuk mengatasi gangguan
atau penghalang pesan yang disampaikan.

Model yang dibuatnya merupakan kelanjutan dari model komunikasi


Shannon dan Weaver. Berlo mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi
elemen-elemen dalam komunikasi untuk membuat komunikasi menjadi efisien.
Model ini juga memfokuskan pada proses encoding dan decoding.

Model komunikasi Berlo menjelaskan empat komponen dalam proses


komunikasi: Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), dan Receiver
(Penerima). Masing-masing komponen dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Sumber: Berlo (1960)

1. SOURCE (SUMBER/KOMUNIKATOR)

Sumber sebagai pengirim pesan dipengaruhi beberapa faktor berikut:

a. Communication Skills (Keahlian Komunikasi)


Keahlian komunikasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
proses komunikasi. Jika seorang komunikator memiliki keahlian
berkomunikasi - antara lain mampu memahami karakter khalayak; mampu
berbicara, mempresentasikan gagasan, membaca, menulis, mendengarkan
dan sebagainya – maka pesan akan dapat disampaikan dan diterima oleh
komunikan sebagaimana tujuan dari komunikator.

21
b. Attitude (Sikap)
Sikap komunikator dan komunikan akan menghasilkan efek terhadap pesan.
Sikap seseorang atas dirinya, penerima dan lingkungan berpengaruh
terhadap makna dan efek dari pesan.

c. Knowledge (Pengetahuan)
Seorang komunikator yang menguasai materi berkaitan dengan pesan yang
disampaikan bisa menghasilkan efek seperti yang diharapkan. Pengetahuan
komunikator berpengaruh pada pengiriman pesan secara efektif.

d. Social System (Sistem Sosial)


Sistem sosial terdiri dari nilai-nilai, keyakinan, hukum-hukum, aturan-
aturan, kepercayaan/agama, dan faktor-faktor sosial lainnya. Hal-hal
tersebut berpengaruh pada proses komunikasi. Masalah waktu dan situasi
juga menjadi bagian dari sistem sosial. Menyampaikan pesan yang sama
pada waktu dan situasi berbeda, akan menghasilkan efek yang berbeda.

e. Culture (Budaya)
Perbedaan budaya membuat pesan memiliki efek yang berbeda. Seseorang
dari budaya tertentu bisa jadi merasa tersinggung atas suatu pesan,
sementara orang lain dari budaya yang berbeda akan merasa biasa saja.

2. MESSAGE (PESAN)

Pesan merupakan sesuatu yang dikirimkan oleh komunikator kepada


komunikan. Pesan bisa berbentuk kata-kata, suara, tulisan, gambar, video
dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pesan adalah:

a. Content (Isi)
Isi pesan merupakan keseluruhan pesan dari awal hingga akhir.

b. Elements
Yang dimaksud elemen-elemen adalah hal-hal yang bersifat non verbal yang
mengikuti isi pesan, seperti gesture atau isyarat, tanda-tanda, bahasa dan
sebagainya.

c. Treatment (Perlakuan)
Perlakuan yang dimaksud adalah cara bagaimana pesan disampaikan kepada
penerima.

d. Structure (Struktur)
Struktur pesan atau pengaturan pesan berpengaruh pada efektivitas
komunikasi

e. Code (Kode)
Kode dalam hal ini adalah bentuk-bentuk pengiriman pesan. Contohnya
pesan yang dikirimkan lewat bahasa tertentu, tulisan, video dan sebagainya.

22
3. CHANNEL (SALURAN)

Saluran berarti medium yang digunakan untuk mengirimkan pesan. Panca


indera manusia, seperti pendengaran (hearing), penglihatan (seeing),
sentuhan (touching), aroma (smelling), dan rasa (tasting) merupakan saluran
komunikasi.

4. RECEIVER (PENERIMA/KOMUNIKAN)

Penerima dapat menerima pesan seperti yang diinginkan oleh pengirim


pesan jika ia memiliki faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut sama
seperti faktor-faktor yang dimiliki oleh pengirim pesan.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari
model komunikasi SMCR, yaitu:

1. Seperti model komunikasi Shannon dan Waever yang menginspirasi


model SMCR, model ini menunjukkan proses komunikasi satu arah yang
linear. Akibatnya, model ini mengabaikan adanya umpan balik atau
feedback. Efek bukan menjadi pertimbangan utama dalam model ini.
2. Berbeda dengan model Shannon dan Weaver, model ini tidak
memasukkan unsur gangguan dan hambatan yang terjadi dalam proses
komunikasi. Efektivitas diperoleh dengan memperhatikan faktor-faktor
masing-masing elemen dalam komunikasi. Hal inilah yang menyebabkan
model ini menjadi kompleks.
3. Untuk mencapai efek komunikasi yang diinginkan, baik komunikator
maupun komunikan harus memiliki kesamaan faktor-faktor. Hal ini justru
kerap menjadi sasaran kritik karena adanya kesamaan faktor antara
pengirim dan penerima adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam
realita komunikasi.

C. MODEL KOMUNIKASI INTERAKTIF DARI WILBUR SCHRAMM (1954)

Dalam artikel yang berjudul How Communication Works yang


dipublikasikan pada tahun 1954, Wilbur Schramm membuat tiga model
komunikasi. Berbeda dengan dua model sebelumnya, model komunikasi
Schramm menggambarkan proses komunikasi dua arah. Proses komunikasi dua
arah memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi dapat saling
bertukar peran sebagai komunikator dan komunikan, atau saling mengirim dan
menerima pesan secara bergantian.

23
Sumber: Schramm (1954)

Model yang pertama mirip dengan model Shannon dan Weaver, namun
dia merombaknya. Perhatikan anak panahnya. Jika model Shannon dan Weaver
menjelaskan komunikasi satu arah, model pertama Schramm justru
menggambarkan sebaliknya.

Pada model kedua, Schramm memperkenalkan gagasan tentang


kesamaan field of experience antara source dan destination (signal). Source atau
pengirim pesan menyampaikan informasi pada penerima. Ia menerjemahkan
gagasannya dalam bentuk pesan berdasarkan latar belakang pengetahuan,
pengalaman, nilai, aturan, budaya atau keyakinan tertentu, yang disebut
Schramm sebagai field of experience (ruang lingkup pengalaman). Penerima
menginterpretasi pesan tersebut sesuai dengan field of experience-nya.

Adanya kesamaan field of experience antara pengirim dan penerima pesan


berimplikasi pada komunikasi yang efektif. Komunikasi antara dua orang yang
berasal dari daerah yang sama, menggunakan bahasa yang sama dan memiliki
tingkat pendidikan yang sama memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan komunikasi antara orang-orang yang berbeda latar belakangnya.

Model Schramm ini memiliki tiga komponen utama dalam proses


komunikasi: Pengirim, Pesan, dan Penerima. Dalam model tersebut, posisi
pengirim dan penerima dapat saling dipertukarkan sehingga tidak disebutkan
bagian mana yang menjadi pengirim dan penerima. Schramm justru menyebut
istilah interpreter yang sekaligus menjadi encoder dan decoder untuk kedua
pihak. Hal ini menunjukkan bahwa Schramm melihat proses encoding dan
decoding sebagai hal yang penting dalam proses komunikasi. Baik encoding
maupun decoding merupakan aktivitas menginterpretasi.

24
Sumber: Schramm (1954)

Pada awal proses pengiriman pesan, encoder mengubah data menjadi


informasi, atau memindahkan gagasan menjadi pesan. Decoder menerima pesan
dan menginterpretasinya. Selanjutnya, sebagai hasil dari pemahaman tersebut,
ia memberikan umpan balik. Saat itulah posisinya berganti menjadi encoder.
Model ini menggambarkan komunikasi sebagai proses saling bertukar pesan
yang berlangsung terus menerus.

Proses encoding dan decoding adalah elemen penting bagi Schramm. Ia


meyakini bahwa latar belakang partisipan dalam proses komunikasi memainkan
peranan penting. Komunikasi merupakan aktivitas encoding dan decoding yang
dilakukan secara simultan.

Model Schramm kerap dianggap lebih baik daripada model komunikasi


linear. Hal ini disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

1. Model komunikasi sirkular menggambarkan adanya feedback yang berarti


memberikan kesempatan yang sama pada pihak-pihak yang terlibat
dalam komunikasi untuk bertukar pesan. Partisipan memilini posisi yang
sama-sama aktif.
2. Model ini dianggap cukup menggambarkan dinamika komunikasi antar
manusia
3. Meskipun tidak menyebutkan noise, namun model Schramm dapat
dipahami soal adanya kemungkinan terjadinya semantic noise ketika ada
perbedaan field of experience di antara partisipan komunikasi.
4. Konsep interpretasi menjadi nilai tambahan bagi model ini.

Meskipun demikian, model ini juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

25
1. Model ini mereduksi proses komunikasi, yang seolah-olah hanya
melibatkan dua orang saja. Akibatnya model ini tidak dapat menjelaskan
proses komunikasi yang lebih kompleks.
2. Sama seperti kedua model yang dibahas sebelumnya, model ini
menyederhanakan proses komunikasi dengan mengabaikan adanya
interpretasi yang berbeda.

26
BAB IV
FUNGSI KOMUNIKASI

A. MANFAAT KOMUNIKASI BAGI MANUSIA

Fungsi dalam komunikasi merupakan penjelasan atas pertanyaan


mengapa kita berkomunikasi? Apa pentingnya komunikasi dilakukan dalam
kehidupan manusia? Apa yang terjadi pada manusia tanpa komunikasi? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menggambarkan fungsi dari komunikasi.

Manusia berkomunikasi untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan


manusia atas komunikasi menjadikan komunikasi menjadi sangat penting
dilakukan. Kebutuhan-kebutuhan itulah yang menjadi fungsi dari komunikasi.
Setidaknya ada 5 fungsi komunikasi, yaitu:

1. FUNGSI RELATIONSHIP (MEMBINA HUBUNGAN)

Pernahkah anda membayangkan bagaimana kehidupan anda tanpa


melakukan komunikasi dengan orang lain? Jika kita belum pernah
mengalaminya, apa yang diceritakan dalam film Cast Away (2000) bisa menjadi
gambaran apa yang akan terjadi jika kita tidak bisa berkomunikasi. Film yang
diproduksi oleh 20th Century Fox dan DreamWorks dan dibintangi oleh aktor
pemenang Oscar, Tom Hanks, menceritakan seorang karyawan perusahaan
pengiriman barang yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni karena
pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di wilayah pasifik.

Chuck Noland-yang diperankan oleh Tom Hanks-harus bertahan hidup di


pulau tersebut dengan tidak membawa apapun. Ia harus berusaha sendiri
memenuhi kebutuhannya, seperti membuat api dari ranting kering, makan ikan
mentah, atau mengambil kelapa dari pohon untuk diminum airnya. Ia juga
menggambar bola voli seperti wajah manusia, dan menamainya Wilson yang
diajaknya terus berbicara seolah-olah teman hidupnya di pulau terpencil
tersebut. Keberadaan Wilson atau si bola voli menunjukkan kebutuhan manusia
akan keberadaan orang lain dan komunikasi di dalam kehidupannya.

Film tersebut mengajarkan pada kita, sebagai makhluk sosial, senantiasa


butuh berinteraksi dengan orang lain untuk bertahan hidup. Manusia tidak bisa
hidup sendiri, ia akan selalu bergantung pada manusia lainnya. Segala kebutuhan
hidupnya tidak akan bisa dipenuhi tanpa melibatkan orang lain. Misalnya saja,
ketika seseorang lapar, ia perlu makanan untuk dimakan. Makanan yang
dimakan terdiri dari beberapa bahan dan bumbu-bumbu, yang dimasak dengan
alat-alat tertentu. Bahan, bumbu dan alat masak diperolehnya dengan
membelinya dari orang lain. Jual beli tidak akan bisa dilakukan tanpa
komunikasi.

27
Menjalin hubungan dengan sesama manusia menjadi kebutuhan hidup
yang mendasar. Dalam menjalin hubungan itulah, komunikasi memainkan
peranan pentingnya. Hubungan yang dimaksud adalah setiap koneksi,
keterlibatan ataupun pergaulan antara dua orang atau lebih (Wilson, Hantz, dan
Hanna dalam Steinberg, 2006: 25). Hubungan yang terjalin tidak terbatas pada
hubungan saudara, atau rekan kerja, teman sekolah, tetangga; namun juga
mencakup pada hubungan yang lebih luas.

Lewat komunikasi, hubungan antar manusia menjadi lebih dekat, nyaman


dan memupuk rasa bahagia. Hubungan dengan kerabat, teman, atau orang tua
akan mengajarkan dan memberikan pengalaman kepada kita tentang simpati,
rasa hormat, kasih sayang, toleransi, empati, bahkan rasa benci, iri hati, dendam
dan sebagainya.

Dalam menjalin relasi dengan sesama manusia, seorang individu


terkadang melakukan komunikasi dengan tujuan berbasa-basi. Salah satu
contohnya adalah apa yang disebut dengan phatic communication. Komunikasi
ini berbentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, karena tujuannya
memang untuk berbasa-basi, sekedar bertegur sapa; bukan untuk
menyampaikan informasi.

Pada saat kita bertemu teman kita sedang makan siang di kantin, kita
menyapanya, “Hai, sedang makan ya? Enak sekali pasti”. Pertanyaan itu diajukan
bukan karena kita sedang memastikan apakan ia sedang makan atau tidak, dan
apakah makanan itu enak atau tidak. Pertanyan itu hanya basa–basi untuk
menyapa teman kita yang sedang makan. Itulah phatic communication.

Lewat interaksi dan komunikasi, manusia dapat membangun konsep


dirinya (Mulyana, 2012:8). Konsep diri merupakan penjelasan tentang siapa diri
kita (Who I Am). Kita menjelaskan siapa diri kita berdasarkan profil diri kita
(jenis kelamin, status, latar belakang pendidikan, ekonomi, agama, suku bangsa
dan lain sebagainya), identitas, sifat atau karakter, prinsip hidup, keyakinan,
kesukaan, cita-cita dan lain sebagainya. Mulyana (2012: 8) menjelaskan bahwa
konsep diri dipengaruhi oleh informasi yang diberikan oleh orang lain kepada
kita dan juga dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di sekitar kita atau
significant other.

Seseorang merasa dirinya seorang perempuan, mahasiswa, ramah,


penyuka seni, dan berbagai identitas lainnya lewat komunikasi dengan orang
lain. Informasi diperoleh dari orang terdekat, seperti orang tua, dan anggota
keluarga lainnya; lalu teman-teman, guru, tetangga, kekasih, bos dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep diri bukanlah sesuatu yang
tetap dan tidak bisa berubah, namun sangat cair dan fleksibel. Konsep diri akan
selalu berkembang mengikuti pengharapan dan kesan yang diperoleh dari orang
lain lewat komunikasi.

Komunikasi juga menjadi sarana untuk mengaktualisasikan diri kita, atau


sebagai pernyataan atas eksistensi diri (Mulyana, 2012: 14). Keberadaan diri kita

28
hanya bisa diakui lewat komunikasi. Dalam sebuah diskusi, seseorang yang tidak
terlibat dalam pembicaraan tidak akan diperhatikan oleh teman-temannya.

Adanya hambatan psikologis atau tidak adanya kesempatan menjadi


penghalang seseorang menunjukkan eksistensinya. Perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi menjadi solusi atas persoalan tersebut. Lewat media
sosial, seseorang lebih percaya diri dan memiliki banyak kesempatan untuk
menyatakan eksistensinya.

2. FUNGSI INFORMATIF

Manusia berkomunikasi untuk berbagi informasi. Informasi yang


disampaikan manusia merupakan hasil mengolah rangsangan yang berasal dari
lingkungan, diterima lewat panca indera, dikirimkan oleh saraf menuju otak
untuk diolah sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Informasi ini
kemudian akan disampaikan kepada orang lain. Tujuannya adalah untuk
menyampaikan atau memberitahukan.

Informasi menjadi hal yang sangat berharga dalam hidup. Informasi


menjadi penting karena informasi bisa mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan (Shannon dan Weaver, 1949). Sebelum menentukan
langkah apa yang akan diambil, seseorang terlebih dahulu mencari informasi. Ia
bisa bertanya pada orang lain, membaca buku, atau menjelajah di situs Google.

Fisher (1986) menjelaskan bahwa informasi berkaitan dengan situasi


ketidakpastian. Dalam kondisi yang tidak pasti, informasi bisa mengurangi
ketidakpastian tersebut atau memberikan kejelasan. Semakin besar kemampuan
informasi dalam mengurangi ketidakpastian, maka semakin berharga informasi
tersebut.

Manusia tidak akan merasa nyaman dalam kondisi serba tidak pasti.
Misalnya saja saat ia merasakan gejala-gejala tidak lazim dalam tubuhnya: perut
sakit, kepala pusing, dan tidak nafsu makan. Ia akan merasa gelisah karena tidak
tahu apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Ia perlu informasi untuk memastikan
penyebab dari gangguan tersebut. Ia pergi ke dokter untuk mendapat kepastian
apa yang terjadi. Setelah diperoleh informasi dari dokter bahwa ia terkena
gangguan pencernaan, dan juga informasi tentang penyembuhannya, maka ia
menjadi lebih tenang.

Informasi memang berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian. Namun


jika informasi yang kita terima terlalu banyak, informasi justru menimbulkan
kecemasan. Inilah yang disebut sebagai paradoks informasi. Paradoks
merupakan kontradiksi. Informasi yang semula menjadi solusi atas
ketidakpastian, pada titik tertentu informasi justru menjadi penyebab
ketidakpastian. Teknologi informasi dan komunikasi menyediakan informasi
yang tak terbatas bagi manusia. Namun, banyaknya informasi justru

29
menimbulkan kebingungan, informasi mana yang layak dipercaya, mana yang
hoax atau kebohongan semata.

3. FUNGSI EKSPRESIF

Kebutuhan manusia lainnya adalah kebutuhan untuk mengekspresikan


perasaan, emosi atau isi hati. Manusia ingin mengungkapkan rasa senangnya,
rasa cinta, kemarahan, ketakutan ataupun perasaan-perasaan lainnya bisa
disampaikan pada orang lain. Seseorang bisa merasa tertekan jika tidak mampu
mengutarakan perasaannya.

Untuk mengungkapkan perasaan, kata-kata verbal tidak cukup untuk


mengungkapkannya. Kata-kata verbal lebih berfungsi informatif. Jika seseorang
mengatakan ia sedang sedih, kata-kata yang ia ucapkan lebih bersifat informatif,
menyampaikan informasi bahwa ia sedih. Namun untuk bisa menunjukkan
perasaan sedihnya, mimik wajahnya yang menunjukkan raut kesedihanlah yang
mengkomunikasikannya.

Bahasa non verbal seperti mimik wajah, gerakan tangan, benda-benda


tertentu, warna-warna, pakaian, aroma dan sebagainya menjadi sarana untuk
mengkomunikasikan perasaan dan emosi. Mengucapkan kata, “I love you” tak
akan pernah cukup tanpa bunga mawar merah jambu. Umpatan kemarahan tak
ada artinya tanpa wajah yang memerah, mata melotot atau suara keras.

4. FUNGSI PERSUASIF

Komunikasi memiliki banyak tujuan, seperti menginformasikan,


mengedukasi, menghibur, mempengaruhi, menasehati dan sebagainya. Tujuan-
tujuan tersebut pada intinya adalah upaya untuk mempengaruhi (Mulyana,
2012: 33). Seseorang yang berkomunikasi untuk menginformasikan sesuatu,
sesungguhnya ia sedang berusaha untuk mempengaruhi lawan bicaranya agar
mempercayai apa yang ia sampaikan. Ketika seseorang berkeluh kesah dengan
sahabatnya, ia sedang berupaya untuk mempengaruhi agar sahabatnya dapat
mengurangi kegalauannya.

Setiap manusia memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya. Agar


tujuan tersebut tercapai, ia harus dapat mempengaruhi orang lain untuk
mendukung tujuannya. Untuk itu, seseorang dituntut untuk memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik agar ia berhasil mempengaruhi orang lain.
Kemampuan berkomunikasi menjadi kunci keberhasilan seseorang. Fungsi
persuasif dari komunikasi ini menjelaskan peran dominan seorang komunikator
sebagai pengirim pesan yang bertujuan untuk mempengaruhi komunikan.

30
5. FUNGSI RITUAL

Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa menjadi bagian dari


kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut terbagi
berdasarkan agama, suku bangsa, usia, jenis kelamin, kelas sosial-ekonomi,
tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Di dalam kelompok-kelompok tersebut,
terdapat kesepakatan atas nilai, norma, keyakinan, dan aturan-aturan tersebut
yang mengikat anggota-anggotanya. Hal-hal yang mengikat kelompok tersebut
dikomunikasikan lewat ritual-ritual tertentu.

Couldry (2003: 3) menjelaskan tiga pengertian ritual secara antropologis.


Pertama, ritual berarti tindakan yang menjadi kebiasaan; kedua, tindakan yang
diformalkan; ketiga, tindakan yang melibatkan nilai-nilai transenden. Ritual
adalah hal penting bagi manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian
dari kelompok sosial.

Untuk itu, ritual dilakukan secara kolektif sebagai penanda atas


kelompok-kelompok tertentu. Kaum muslim melakukan sholat lima waktu
dengan menghadap ke arah ka’bah, menunaikan ibadah haji dengan pakaian
ihram berwarna putih adalah contoh ritual yang dilakukan umat Islam.
Seseorang yang melakukan ritual tersebut akan dengan mudah dikenali sebagai
umat muslim. Ritual-ritual tersebut bukanlah sekedar kebiasaan yang dilakukan
berulang, namun ada makna yang dilekatkan. Sholat menghadap kiblat
melambangkan kesatuan umat Islam. Pakaian ihrom putih adalah simbol
kesamaan derajat di antara umat muslim, tak ada perbedaan antara si kaya dan
si miskin, si presiden dan rakyat jelata, orang tua dan orang muda.

Setiap suku memiliki ritual-ritual tertentu yang mengkomunikasikan


nilai-nilai secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Misalnya dalam upacara pernikahan suku Jawa, terdapat ritual menginjak telur
di mana mempelai laki-laki menginjak telur tantan alas kaku, sementara
mempelai wanita berlutut membersihkan kaki mempelai laki-laki yang kotor.
Ritual tersebut merupakan simbol kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah
bagi keluarganya. Sementara perempuan harus mengabdi kepada suami dengan
tulus dan ikhlas. Ritual tersebut menjadi suatu komunikasi yang menyampaikan
pesan yang merupakan keyakinan masyarakat Jawa yang kental dengan ideologi
patriakhis sejak jaman dahulu dan diharapkan akan terus dijalankann oleh
generasi-generasi berikutnya.

Menurut Mulyana (2012: 33), ritual akan menjadi kebutuhan manusia


untuk memenuhi jati dirinya sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan
sebagai unsur alam semesta. Walaupun seterusnya ritual tidak akan
terhindarkan, bentuknya bisa berubah-ubah mengikuti tuntutan dan pengaruh
jaman. Akan selalu ada modifikasi-modifikasi, ada yang ditinggalkan, atau ada
ritual-ritual baru.

31
B. MEMAHAMI FUNGSI KOMUNIKASI: TUJUAN DAN EFEK

Kata “fungsi” adalah terjemahan dari kata function dalam bahasa Inggris.
Dalam Cambridge Dictionary, function bisa berarti (1) the natural purpose of
something (tujuan alamiah dari sesuatu); (2) something that results from
something else, or is the way it is because of something else (hasil dari
sesuatu/akibat dari suatu hal). Berdasarkan dua definisi tersebut, fungsi dapat
dipahami sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Suatu proses diakukan karena ada tujuan-tujuan tertentu. Proses tersebut


akan memberikan suatu hasil yang merupakan konsekuensi atau efek diinginkan
atau tidak diinginkan. Suatu proses dikatakan berfungsi jika memberikan efek
yang diinginkan. Efek yang diinginkan merupakan tercapainya tujuan kita.
Sementara jika suatu proses justru menghasilkan efek yang tidak diinginkan,
maka proses tersebut tidak berfungsi, atau mengalami disfungsi.

Berdasarkan pemaparan tersebut, fungsi selalu terkait dengan tujuan dan


efek. Adanya kesesuaian antara tujuan dan efek menunjukkan suatu proses
menjalankan fungsinya dengan baik, dan sebaliknya. Komunikasi sebagai suatu
proses akan mampu menjalankan fungsinya jika komunikasi memberikan efek
yang diinginkan.

Untuk itulah, dalam berkomunikasi, seorang komunikator perlu


melakukan strategi-strategi tertentu dalam mengirimkan pesan agar mampu
menghasilkan efek yang diinginkan. Dalam berkomunikasi, seorang komunikator
pasti memiliki tujuan tertentu. Tercapainya tujuan dilihat dari efek yang
dihasilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi menjalankan
fungsinya secara optimal jika terdapat kesesuaian antara tujuan dan efek.

Komunikasi berdasarkan pendekatan transmisi menekankan pentingnya


aspek fungsi komunikasi. Untuk itu, efek pendekatan transmisi memfokuskan
pada persoalan efek dalam komunikasi. Secara umum, efek komunikasi dapat
dinagi menjadi tiga: kognitif, afektif dan konatif (Fishbein dan Ajzen, 1975). Efek
konatif juga kerap diistilahkan dengan efek behavioral. Efek kognitif adalah efek
yang bersifat informatif. Seseorang yang menerima pesan, efek kognitifnya
adalah jika ia mengetahui sesuatu, mendapat pengetahuan, mengenal sesuatu,
atau menyadari sesuatu. Efek afektif memiliki tingkat yang lebih tinggi karena
melibatkan perasaan, seperti rasa suka, benci, takut, jijik, kasihan dan
sebagainya. Sementara ada di tingkat tertinggi adalah efek konatif atau perilaku.
Efek ini melibatkan tindakan-tindakan atau kegiatan tertentu.

Ketiga efek komunikasi ini dikenal sebagai hierarchy of effect model.


Model hirarki efek adalah model komunikasi yang menggambarkan tipe-tipe
efek komunikasi yang berada dalam jenjang tertentu. Ada bermacam-macam
model hirarki efek. Di antaranya dapat dilihat pada bagan berikut:

32
Model AIDA, DAGMAR, DOI dan Lavidge & Steiner menjelaskan hirarki
efek-efek komunikasi yang merupakan variasi dari efek kognitif-afektif-
konatif/behavioral. Model AIDA adalah singkatan dari Attention-Interest-Desire-
Action. Istilah AIDA diperkenalkan oleh seorang praktisi iklan dan pemasaran
Amerika, E. St. Elmo Lewis. Model ini banyak digunakan di bidang pemasaran
dan iklan untuk mendeskripsikan tahap-tahap yang dialami oleh konsumen pada
saat pertama kali mengenal merek atau produk tertentu hingga akhirnya
konsumen memutuskan untuk membelinya. Tahap-tahap tersebut adalah
perhatian (attention), tertarik (menyukai), berhasrat (desire) dan bertindak
(action).

Sebagai contoh, ketika seorang calon konsumen terpapar iklan di televisi


menyebutkan sebuah merek baru (sebut saja X) produk sabun mandi, maka ia
mulai mengenal bahwa ada produk sabun mandi baru yang bermerek X. Tahap
ini adalah tahap attention. Beberapa hari kemudian ia menyaksikan iklan sabun
X yang menonjolkan citra-citra tertentu, seperti kecantikan dan kemewahan
dengan menampilkan model seorang selebritis perempuan yang terkenal. Citra-
citra tersebut membuat konsumen tertarik dengan sabun X. Tahap ini dikenal
dengan tahap interest. Saat ia berada di department store, ia melihat poster dan
banner yang mempromosikan sabun X, bahkan seorang penjual memberikan
sampel agar konsumen dapat mencoba. Di tahap ini konsumen yang mencoba
bisa merasa sangat berhasrat untuk menggunakan sabun X. Inilah tahap desire.
Pada kunjungan berikutnya ke department store, di etalase yang memajang
produk sabun X, seorang penjual menjelaskan tentang sabun X dan keuntungan-
keuntungan yang didapat jika ia membeli sabun X saat itu juga, seperti mendapat
kupon undian dengan hadiah menarik, atau potongan harga, sehingga konsumen

33
membeli sabun X. Inilah akhir tahap efek komunikasi, yaitu action, di mana
konsumen akhirnya membeli produk.

Model DAGMAR (Defining Advertising Goals for Measured Advertising


Results) dijelaskan oleh Russel H. Colley. Sama seperti AIDA, model ini banyak
dimanfaatkan dalam bidang iklan dan komunikasi pemasaran. Model ini juga
terdiri dari empat tahap, yaitu Awareness (kesadaran), Comprehension
(Pemahaman), Conviction (Keyakinan), dan Action (Tindakan).

Model lain yang juga kerap digunakan untuk pemasaran adalah model
Lavidge & Steiner (1961) dalam tulisannya yang berjudul A Model of Predictive
Measurements of Advertising Effectiveness, menjelaskan enam tahap efektivitas
kampanye periklanan. Yang pertama adalah tahap Awareness, yaitu tahap ketika
calon konsumen yang menjadi target sasaran iklan menyadari keberadaan
produk lewat iklan. Pada tahap Knowledge, calon konsumen mendapat
pengetahuan tentang produk lewat internet, brosur atau kemasan produk. Tahap
Liking merupakan tahap ketika calon konsumen mulai menyukai produk. Calon
konsumen selanjutnya lebih menyukai produk dibandingkan produk lain yang
sejenis di tahap Preference. Untuk tahap Conviction, calon konsumen mulai
berhasrat untuk membeli produk tersebut, hingga akhirnya memutuskan
membelinya di tahap Purchase.

Meskipun ketiga model pada awalnya merupakan model aktivitas iklan


dan untuk kepentingan komunikasi pemasaran, model ini juga berguna untuk
merancang sejumlah kampanye komunikasi lainnya, seperti kampanye politik,
sosialisasi program pemerintah, kampanye anti rokok, edukasi program
lingkungan hidup dan lain sebagainya. Untuk mengkomunikasikan ide-ide atau
inovasi baru, model DOI atau Innovation Diffusion menjadi model yang penting
untuk diaplikasikan. Model ini dikembangkan oleh ahli komunikasi terkemuka,
Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion Of Innovations yang terbit pertama
kali pada tahun 1962.

Dalam buku itu Rogers menjelaskan bahwa difusi adalah suatu proses di
mana inovasi atau sesuatu yang baru dikomunikasikan dalam jangka waktu
tertentu kepada partisipan atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu
sistem sosial. Intinya adalah proses difusi merupakan suatu proses di mana
sebuah agagsan atau teknologi baru diperkenalkan dan diadopsi oleh pihak-
pihak tertentu. Proses difusi melalui lima tahap pengambilan keputusan. Kelima
tahap tersebut adalah: Knowledge, Persuassion, Decision, Implementation dan
Confirmation.

Ketika sebuah inovasi diperkenalkan, belum banyak informasi yang


diketahui oleh individu. Di tahap Knowledge ini, khayalak belum memiliki
keinginan untuk mengetahui lebih banyak. Selanjutnya di Tahap Persuassion,
individu tertarik dengan inovasi dan berusaha mencari informasi terkait dengan
inovasi. Pada tahap Decision, individu mulai menimbang untung dan rugi,
perubahan-perubahan yang akan terjadi sehingga mempertimbangkan untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Individu yang memutuskan untuk menerima
inovasi mencoba mengadopsinya untuk memastikan apakan inovasi memang

34
bermanfaat untuknya. Kondisi ini terjadi di tahap Implementation. Sedangkan
tahap Confirmation merupakan tahap di mana individu akhirnya benar-benar
mengadopsi inovasi.

Ke empat model hirarki efek yang telah dijelaskan memberikan panduan


bagi komunikator dalam merancang program atau strategi komunikasi. Setiap
program komunikasi harus ditentukan tujuannya, apakah akan menghasilkan
efek attention, knowledge, preference, action dan sebagainya. Dengan
menentukan tujuan, maka pesan, media, pembiayan, waktu dan tempat dapat
dirancang sedemikian rupa agar menghasilkan efek seperti yang diinginkan.

35
BAB V
KONTEKS-KONTEKS KOMUNIKASI

A. KOMUNIKASI INTRAPERSONAL

Proses komunikasi senantiasa melibatkan pengirim dan penerima pesan


melalui saluran-saluran tertentu, dan menghasilkan respon. Proses tersebut
tidak selalu memerlukan dua atau lebih partisipan. Komunikasi intrapersonal
merupakan proses komunikasi yang hanya menyertakan satu orang yang
menjalankan fungsi sebagai komunikator, komunikan, sekaligus saluran.

Kata “intrapersonal” berarti di dalam diri seseorang. Proses komunikasi


intrapersonal berlangsung di dalam diri seseorang. Contohnya adalah seseorang
yang berpikir, dan seseorang yang berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Kemampuan seseorang untuk bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, atau
memikirkan kata-kata merupakan bagian dari pengalaman manusia. Misalnya
saja kita berpikir untuk memutuskan akan memakai pakaian apa atau makan apa
dan lain sebagainya. Sejak di usia dini, seseorang didorong oleh lingkungannya
untuk berpikir, merenung, atau introspeksi.

Ketika seseorang berpikir, ia melakukan komunikasi intrapersonal. Ia


menginisiasi pesan, memprosesnya, dan menerimanya sekaligus. Manusia
tumbuh melalui aktivitas ini. Kemampuan untuk berpikir dan berkomunikasi
dengan diri sendiri diperlukan agar seseorang mampu memahami dirinya dan
membangun konsep atas dirinya, seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.

Proses komunikasi interpersonal sendiri berarti dua hal. Yang pertama


komunikasi intrapersonal identik dengan monolog atau berbicara dengan diri
sendiri. Berbicara dengan diri sendiri bisa berarti melamun (berkhayal atau
membayangkan sesuatu), merenung, berkontemplasi, meditasi, berdoa atau
melakukan introspeksi.

Berbicara dengan diri sendiri atau self-talk. Self-talk menurut Vocate


(1994:7) bisa berarti berbicara dengan diri sendiri dalam hati atau bersuara
yang kemungkinan bisa didengar oleh orang lain. Vocate lebih lanjut
menjelaskan empat atribut dalam self-talk. Pertama adalah self awareness atau
kesadaran diri. Kesadaran diri terkait dengan pemahaman atas diri dan orang
lain. Sikap, kepercayaan dan nilai atas sesuatu sebagai bagian dari kesadaran
diri, menjadi hal yang mempengaruhi proses self-talk. Kedua adalah proses self-
talk itu sendiri. Ketiga, stimulus yang memicu proses self-talk. Yang keempat
adalah respon atau feedback.

Perut yang lapar menjadi stimulus pada seseorang untuk berbicara pada
dirinya sendiri untuk memutuskan apakah dia harus makan atau melanjutkan
bekerja. Ketika dia memutuskan untuk makan dan menghentikan pekerjaannya
atau sebaliknya, merupakan respon atau hasil dari proses komunikasi
intrapersonal. Keputusan yang diambil tersebut terkait dengan self awareness.

36
Jika ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum makan,
bisa jadi terkait dengan pemahaman dan pengalamannya bahwa urusan yang
berkaitan dengan kepentingan orang banyak (pekerjaan) harus didahulukan
daripada urusan pribadi (makan). Jika dia memutuskan untuk mendahulukan
kebutuhan perutnya baru bekerja, didasari oleh pemahamannya atas pentingnya
kesehatan. Menunda makan akan bermasalah bagi kesehatan, sehingga bisa
mengganggu pekerjaan.

Yang kedua, komunikasi intrapersonal berarti proses berpikir yang


berpengaruh pada cara seseorang mengirimkan atau menerima pesan. Dengan
kata lain proses encoding dan decoding merupakan bentuk komunikasi
intrapersonal. Vygotsky (dalam Vocate, 1994:7) menyebutnya sebagai inner
speech. Istilah inner speech sendiri bisa berarti self-talk dan proses memahami
bahasa. Proses memahami bahasa inilah yang terkait dengan proses encoding
dan decoding dalam komunikasi interpersonal, kelompok, ataupun publik.

Untuk itu, komunikasi intrapersonal merupakan fondasi dari bentuk-


bentuk komunikasi lainnya. Wenberg and Wilmot (dalam Honeycutt et. al.,
1989:168), menyatakan, “...intrapersonal communication provides the basis for all
other communication arenas”. Komunikasi intrapersonal berlangsung ketika
seseorang menerjemahkan gagasan atau perasaannya ke dalam bahasa verbal
maupun non verbal; juga ketika seseorang yang menerima pesan melakukan
pemahaman atas simbol-simbol verbal maupun non verbal yang datang
kepadanya. Roloff dan Berger (dalam Honeycutt et. al., 1989:168) menyebutkan
bahwa komunikasi intrapersonal melibatkan penggunaan sistem
representasional (terkait dengan tanda dan pemaknaan yang akan dibahas pada
bagian ketiga), yang memfokuskan pada aspek interaksi dan berdampak pada
perilaku. Apa yang dijelaskan oleh Roloff dan Berger menunjukkan pentingnya
komunikasi interpersonal dalam pengambilan keputusan.

Bentuk lain dari komunikasi intrapersonal adalah solo-written, yaitu


menulis sesuatu yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Contohnya antara lain
adalah aktivitas menulis buku harian, membuat catatan pengingat, jadwal dan
lain sebagainya.

Komunikasi intrapersonal bisa dilakukan seseorang dengan sengaja


(misalnya menilai sesuatu, berpikir untuk memutuskan sesuatu dan sebagainya)
maupun tidak disengaja (misalnya saat terkejut, kita secara reflek mengatakan
sesuatu). Apapun itu, komunikasi merupakan proses yang sangat penting. Bukan
hanya sebagai fondasi atas tingkatan komunikasi lainnya, namun juga
merupakan proses untuk memahami diri kita dan juga orang lain yang menjadi
kunci sukses berkomunikasi.

B. KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Manusia senantiasa berkomunikasi dengan manusia lainnya setiap hari.


Komunikasi yang dilakukan dalam relasi yang bersifat personal dengan orang

37
lain dikenal dengan istilah komunikasi interpersonal. Ada beberapa definisi
komunikasi interpersonal, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. The Production and processing of verbal and nonverbal messages between two
or a few persons (Produksi dan pemrosesan pesan-pesan verbal dan nonverbal
antara dua atau beberapa orang) (Braithwaite dan Schdrodt, 2015).
2. A distinctive, transactional form of human communication involving mutual
influence, usually for the purpose of managing relationships (Bentuk
komunikasi antar manusia yang khas dan bersifat transaksional, yang
melibatkan upaya saling mempengaruhi, biasanya untuk tujuan-tujuan
membina hubungan (Beebe, Beebe, dan Redmond, 2008).
3. The process of message transaction between people to create and sustain
sharing meaning (Proses transaksi pesan di antara orang-orang untuk
menciptakan dan berbagi makna) (West dan Turner, 2011: 10).

Berdasarkan tiga definisi tersebut ada beberapa hal yang menjadi prinsip dalam
komunikasi interpersonal, yaitu:

1. Komunikasi interpersonal merupakan sebuah proses transaksional

Komunikasi interpersonal bukan sekedar bentuk komunikasi dua arah


yang memungkinkan terjadinya umpan balik secara langsung. Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi transaksional. Transaksional berarti
pertukaran. Proses transaksional dalam komunikasi merupakan proses
pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus menerus
dalam suatu episode komunikasi. West dan Turner (2000)-mengutip Barnlund-
menjelaskan, komunikasi bersifat transaksional berarti komunikasi bersifat
kooperatif. Artinya baik komunikator maupun komunikan terlibat dalam
efektivitas komunikasi yang terjadi. Keduanya akan mencari adanya kesamaan
pemahaman. Beebe, Beebe dan Redmond (2008:5) menyebut keterlibatan semua
pihak tersebut sebagai mutual influence (saling mempengaruhi).

2. Komunikasi interpersonal menekankan komunikasi yang berkualitas.

Komunikasi interpersonal merupakan bentuk komunikasi antar manusia


yang paling efektif. Hal ini disebabkan adanya relasi yang bersifat personal di
antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Ketika individu terlibat
relasi dengan individu lainnya, maka sesuatu yang disampaikan akan
berpengaruh pada orang lain (Beebe, Beebe dan Redmond, 2008:5). Relasi yang
bersifat personal terkait dengan adanya kesamaan tujuan untuk mencapai
kesamaan pemahaman. Dalam komunikasi interpersonal, ada kesempatan untuk
saling mengkonfirmasi, mengklarifikasi, dan mengevaluasi, sehingga
kesalahpahaman dapat diminimalisir.

38
3. Komunikasi interpersonal melibatkan dua atau beberapa orang.

Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa komunikasi interpersonal


melibatkan dua orang atau lebih. Namun tidak disebutkan secara pasti berapa
jumlah maksimal. Yang menjadi batasan adalah sejauh mana pihak-pihak yang
terlibat dalam komunikasi dapat saling bertukar peran dalam relasi yang setara.
Dalam proses komunikasi interpersonal, pihak-pihak yang berkomunikasi saling
bertukan peran sebagai komunikator dan komunikan secara bergantian.
Akibatnya, siapa yang menjadi komunikator dan komunikan menjadi tidak jelas.
Tidak ada dominasi dari salah satu individu atas individu lainnya. Inilah yang
menjadi ciri khas dari komunikasi interpersonal dibandingkan bentuk-bentuk
komunikasi antar manusia lainya.

4. Komunikasi interpersonal memproses dan memproduksi pesan-pesan


verbal dan non verbal

Dalam komunikasi interpersonal, pesan-pesan yang dipertukarkan


merupakan pesan verbal dan non verbal. Dalam percakapan tatap muka, bukan
hanya pesan verbal disampaikan komunikator kepada komunikan. Gesture,
mimik wajah, dan intonasi mengiringi pesan verbal. Komunikan juga memahami
pesan verbal dan non verbal tersebut. Dalam percakapan bermedia, emoticon
sebagai simbol emosi tertentu menjadi pesan non verbal yang juga menjadi
bagian dari pesan verbal yang disampaikan.

Komunikasi interpersonal bisa terjadi secara tatap muka (face to face


communication) maupun bermedia (mediated communication). Seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi, terdapat banyak bentuk komunikasi
interpersonal bermedia, seperti telepon, e-mail, text message (sms), chat
messenger (whatsapp, line, we chat dan sebagainya), atau video call (skype,
facetime dan sebagainya). Media-media komunikasi interpersonal tersebut ada
yang bersifat synchronous dan asynchronous.

Jika komunikasi bermedia hanya berlangsung ketika komunikator dan


komunikan sama-sama siap, maka media tersebut yang bersifat synchronous.
Contohnya adalah komunikasi menggunakan telepon dan video call. Komunikasi
tidak akan berlangsung atau pesan tidak akan tersampaikan jika komunikan
tidak siap untuk menerima pesan. Komunikator yang menggunakan telepon akan
gagal mengirim pesan jika komunikan tidak menjawab telepon. Hal yang sama
juga terjadi pada komunikasi lewat video call.

Komunikasi interpersonal bermedia yang bersifat asynchronous justru


sebaliknya. Komunikasi tetap bisa berlangsung, artinya pesan tetap bisa terkirim
walaupun komunikan sedang tidak siap, contohnya adalah text message, email,
atau chat messanger. Media-media tersebut menjadikan komunikan menjadi
pihak yang sama berdayanya dengan komunikator, karena ia juga bebas untuk
mengkonsumsi bahkan membalas kapan saja ia mau. Pola asynchronous tentu

39
saja berbeda dengan delayed feedback. Jika komunikasi via email misalnya tidak
memberikan pesan balasan langsung pada pengirim pesan, bukan berarti
delayed feedback. Secara teknis, direct feedback tetap saja bisa dilakukan, namun
penerima pesan bisa memberikan feedback kapan saja dia bersedia.
Asynchronous menawarkan peran berdaya (empower) penerima atau
komunikan, sedangkan delayed feedback justru menjadikan penerima atau
komunikan sebagai pihak yang pasif.

C. KOMUNIKASI KELOMPOK

Kajian tentang komunikasi kelompok dimulai ketika Robert Bales,


seorang ahli di bidang psikologi sosial mempublikasikan hasil-hasil
penelitiannya tentang diskusi dalam kelompok di tahun 1950an. Bales
melakukan penelitian dengan metode analisis isi atas diskusi kelompok
tentang problem-problem yang terjadi dalam hubungan antar manusia.

Komunikasi kelompok atau (small) group communication oleh Beebe dan


Masterson (2006) disebut sebagai komunikasi interpersonal dalam kelompok.
Meskipun demikian, antara komunikasi kelompok dan komunikasi interpersonal
jelas berbeda. Lebih lanjut Beebe dan Masterson (2006) mendefinisikan
komunikasi kelompok sebagai berikut:
“Small group communication is interaction among a small group of people
who share a common purpose or goal, who feel a sense of belonging to the
group and who exert mutual influence on one another.”

Komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang melibatkan sekelompok kecil


orang di mana dalam komunikasi tersebut, sekelompok orang tersebut memiliki
tujuan yang sama, dan memiliki ikatan satu sama lain sebagai kelompok, dan
orang-orang tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain.

Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dalam komunikasi kelompok.


Pertama, terkait dengan jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok. Tidak
ada jumlah pasti berapa orang yang menjadi partisipan. Satu hal yang pasti
adalah, dalam komunikasi kelompok melibatkan minimal tiga orang. De Vito
(1997: 303) menyebutkan dalam komunikasi kelompok terdiri dari 5-12
partisipan, sementara Kumar (2002: 331) justru menyebutkan 15-25 orang.
Dengan demikian, berapa jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok
bukanlah hal yang penting untuk memahami karakteristik dalam komunikasi
kelompok.

Mengacu pada definisi di atas, sesungguhnya yang penting adalah dalam


komunikasi kelompok terdapat interaksi yang antara partisipan di dalam
kelompok. Artinya, setiap partisipan mampu mendengar dan melihat partisipan
lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam komunikasi kelompok
terjadi komunikasi dua arah. Jadi, apakah jumlahnya 20 atau 30 partisipan,
selama masing-masing partisipan masih mampu melakukan umpan balik secara
langsung, komunikasi yang terjadi bisa disebut sebagai komunikasi kelompok.

40
Jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok bisa mempengaruhi
komunikasi yang terjadi (Ellis dan Fisher, 1994: 66-74). Semakin banyak peserta
yang terlibat menyebabkan topik yang akan dibahas semakin terencana dan
terkoordinasi. Materi diskusi harus sudah dipersiapkan sebelum komunikasi
berlangsung. Jumlah peserta juga mempengaruhi aliran pesan yang disampaikan
dalam diskusi. Semakin banyak peserta tentu saja menyebabkan tidak semua
peserta akan dapat menyampaikan gagasan-gagasannya karena terbatasnya
waktu. Umpan balik tidak dapat dilakukan oleh semua partisipan.

Prinsip kedua terkait dengan istilah “kelompok”. Apa yang disebut


kelompok dalam konteks komunikasi kelompok? Komunikasi kelompok
merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Tentu perlu
dibedakan komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi yang akan dibahas
pada bagian berikut. Kelompok yang dimaksud bukanlah organisasi di mana
masing-masing anggotanya terikat dalam sebuat ikatan yang jelas dan
terstruktur. Kelompok dalam konteks komunikasi kelompok tidak diikat oleh
ikatan terstruktur. Anggota kelompok dalam komunikasi kelompok diikat oleh
kepentingan dan tujuan yang sama. Dalam definisi Beebe dan Masterson
dijelaskan sebagai, “ … a small group of people who share a common purpose or
goal, who feel a sense of belonging to the group…”. Hal tersebut menyebabkan,
ketika tujuan dan kepentingan yang mengikat itu telah tercapai, maka kelompok
tersebut akan bubar dengan sendirinya.

Penulis mengambil contoh yang terjadi dalam diskusi kelompok pecandu


narkoba sebagai salah satu bagian dari terapi untuk menghilangkan
ketergantungan terhadap narkoba. Saat diskusi berlangsung, semua yang hadir
dalam komunikasi tersebut merupakan bagian dari kelompok. Mereka memiliki
tujuan dan kepentingan yang sama, yaitu melepaskan diri dari ketergantungan
narkoba. Begitu diskusi selesai, maka kelompok tersebut akan membubarkan diri
karena kepentingan dan tujuan mereka telah tercapai. Contoh lainnya dapat
dijelaskan dalam diskusi umum dan terbatas dengan topik “Mengatasi
Penyebaran Hoax lewat Media Sosial”. Semua orang yang terlibat dalam diskusi
tersebut dikatakan sebagai kelompok karena mereka diikat oleh kepentingan dan
tujuan yang sama, yaitu memperoleh wawasan dan informasi tentang cara
mengatasi penyebaran hoax. Begitu acara diskusi selesai, maka bubarlah
kelompok diskusi tersebut.

Hal lain yang membedakan kelompok dan organisasi adalah soal struktur.
Dalam kelompok yang tidak terstruktur menyebabkan tidak ada pemimpin dalam
kelompok. Yang ada adalah pemimpin diskusi atau pemimpin dalam komunikasi.
Pemimpin diskusi atau pemimpin dalam komunikasi biasanya adalah orang yang
lebih dominan dalam menyampaikan informasi atau seseorang yang dianggap
memiliki wawasan lebih luas dibanding partisipan lainnya dalam hal topik yang
dibahas. Orang inilah yang juga akan bertindak sebagai pembuat keputusan
dalam diskusi (Ellis dan Fisher, 1994: 74).

Pemimpin ini bertindak sebagai komunikator. Sementara peserta lainnya


posisinya menjadi komunikan. Walaupun umpan balik akan terjadi, namun posisi
partisipan lainnya tetap sebagai komunikan. Hal inilah yang membedakan

41
komunikasi kelompok dan komunikasi interpersonal. Keduanya memungkinkan
partisipan untuk memberikan umpan balik secara langsung. Jika dalam
komunikasi interpersonal, posisi komunikator dan komunikan tidak jelas karena
partisipan dapat bertukar peran; maka dalam komunikasi kelompok posisi siapa
komunikator dan komunikannya menjadi jelas.

Sama seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok tidak hanya


terjadi secara tatap muka. Kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan
komunikasi kelompok dilakukan lewat media, baik synchronous maupun
asynchronous. Teleconference melalui Skype, komunikasi kelompok via messenger
(media pengirim pesan), seperti Whatsapp, Facebook Messenger, Black Berry
Messanger, Line dan sebagainya, atau grup dalam media sosial, seperti Facebook
dan sejenisnya merupakan beberapa contoh aktivitas komunikasi kelompok
bermedia.

D. KOMUNIKASI ORGANISASI

Komunikasi organisasi merupakan komunikasi yang berlangsung di


dalam ruang lingkup organisasi. Komunikasi tersebut berlangsung di dalam
organisasi, melalui organisasi atau di luar organisasi. Untuk memahami konsep
komunikasi organisasi, Manning (1992: 10) memaparkannya berdasarkan empat
elemen yang terkait, yaitu informasi, organisasi, komunikasi dan komunikasi
organisasi.

1. Informasi merupakan suatu hal yang dapat mengurangi ketidakpastian.


Informasi dihasilkan oleh seseorang yang didapatkan lewat pengalaman
sosialnya. Manning (1992: 10) menjelaskan suatu organisasi formal
merupakan suatu lingkungan kognitif di mana makna-makna yang detail
atau akurat dibangun, diproses, diajarkan dan dipelajari. Informasi-
informasi tersebut disandikan dan disandi-balik untuk menjaga
keberlangsungan organisasi.

2. Organisasi secara umum merupakan organisasi yang bersifat formal, di


mana peran, tugas, hirarki dan struktur otoritas didefinisikan dan
dipraktikkan. Suatu organisasi bersifat permanen dan cukup kompleks.
Kompleksitasnya terkait dengan adanya norma, nilai, peran, tugas, dan
interaksi yang terkait dengan kehidupan organisasi.

3. Komunikasi berdasarkan perspektif individual merupakan proses


pengiriman pesan seseorang kepada orang lain. Namun menurut
perspektif organisasi, komunikasi adalah sekumpulan ide-ide kolektif.
Pesan-pesan yang dikirimkan, dipertukarkan, diproses dan diterima
memungkinkan anggota-anggota suatu organisasi memahami lingkungan
internal dan eksternal organisasi (Kreps dalam Manning, 1992:10).

4. Komunikasi Organisasi merupakan sebuah aktivitas komunikasi yang


terkait dengan kepentingan organisasi.

42
Pemahaman organisasi dan kelompok dalam konteks komunikasi menjadi
sangat berbeda. Jika kelompok tidak dibentuk oleh ikatan-ikatan formal dan
struktur tertentu sehingga bersifat temporer, maka organisasi adalah
kebalikannya. Organisasi mengikat anggota-anggotannya secara formal dan
bersifat permanen.

Ada beberapa bentuk komunikasi organisasi berdasarkan aliran pesan


yang disampaikan oleh komunikator dan komunikan. Komunikasi organisasi
dapat terjadi di dalam lingkungan internal maupun eksternal. Di dalam
lingkungan internal, terdapat komunikasi vertikal, horizontal, maupun diagonal.
Ketiga bentuk tersebut dijelaskan berdasarkan struktur organisasi yang dimiliki.
Struktur organisasi merupakan bagaimana pekerjaan-pekerjaan dalam suatu
organisasi dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal (Robbins
dan Judge, 2008: 214). Struktur organisasi merupakan sebuah gambaran
bagaimana struktur wewenang suatu organisasi bekerja. Misalnya struktur
organisasi berikut:

Sumber: Struktur Organisasi Direktorat Riset dan Inovasi Institut Pertanian Bogor

Komunikasi vertikal dapat berlangsung secara upward (dari atas ke


bawah) dan downward (dari bawah ke atas). Komunikasi vertikal dari atas ke
bawah berlangsung antara atasan ke bawahan. Berdasarkan struktur organisasi
di atas, komunikasi vertikal dari atasan ke bawahan adalah komunikasi antara
Direktur Riset dan Inovasi kepada Kasubdit Agenda Riset dan Publikasi; atau
antara Kasubdit HKI dan Inovasi kepada Koordinator HKI dan Inovasi.
Sedangkan komunikasi vertikal dari bawahan ke atasan adalah sebaliknya,
komunikasi dari bawahan ke atasan, misalnya komunikasi Koordinator Agenda
Riset dan Publikasi kepada Kasubdit Agenda Riset dan Publikasi.

Komunikasi horizontal berlangsung antara pihak-pihak yang berada di


level yang sama, misalnya komunikasi antara Kasubdit Agenda Riset dan
Publikasi dengan Kasubdit HKI dan Inovasi, atau Kasubdit Akselerasi Inovasi.
Komunikasi diagonal berlangsung lintas bagian, misalnya antara Kasubdit

43
Agenda Riset dan Publikasi dengan Koordinator Akselerasi Inovasi; atau antara
Koordinator Agenda Riset dan Publikasi kepada Kasubdit Akselerasi Inovasi.

Komunikasi dengan pihak eksternal organisasi berlangsung antara


organisasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan organisasi, seperti
pemerintah, lembaga konsumen, media, pemegang saham, dan pihak-pihak
terkait lainnya. Komunikasi dengan pihak-pihak luar organisasi perlu dijalin
untuk menjaga keberlangsungan sebuah organisasi.

Bentuk-bentuk komunikasi organisasi bisa bermacam-macam, secara


tatap muka maupun bermedia. Bentuk komunikasi organisasi tatap muka
menghasilkan umpan balik yang bersifat langsung, misalnya rapat, gathering,
konferensi pers, perjamuan makan, dan sebagainya. Untuk komunikasi
organisasi bermedia bentuknya bisa majalah, bulletin, atau newsletter, film
company profile, website dan sebagainya. Target sasaran media-media tersebut
adalah anggota sebuah organisasi. Umpan baliknya seringkali tertunda.

Komunikasi organisasi tidak melulu bersifat formal, namun juga informal.


Gosip antar karyawan yang membicarakan kebijakan organisasi merupakan
contoh komunikasi organisasi yang bersifat informal.

D. KOMUNIKASI PUBLIK

Komunikasi publik juga disebut sebagai komunikasi kelompok besar


(large group organization). Secara umum, komunikasi publik merupakan proses
komunikasi yang ditujukan kepada banyak orang. LIliweri (2002: 22)
mendefinisikan bahwa komunikasi publik adalah komunikasi yang dilakukan
oleh seseorang kepada sejumlah orang dalam situasi pertemuan, seperti
simposium, rapat akbar, seminar, lokakarya.

Istilah “publik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1222)


didefinisikan: “orang banyak (umum); sekalian orang yang datang (menonton,
mengunjungi, dsb)”. Publik merupakan sekumpulan orang banyak yang hadir
dalam kegiatan tertentu.

Komunikasi publik yang merupakan komunikasi kelompok besar,


memiliki beberapa kesamaan dengan komunikasi kelompok. Sebagai sebuah
kelompok, audiens atau sejumlah besar pihak penerima pesan terikat dalam
sebuah ‘kelompok’, artinya audiens diikat oleh adanya kesamaan kepentingan
atau tujuan. Yang terjadi dalam sebuah tabligh akbar misalnya, audiens yang
hadir terikat oleh tujuan dan kepentingan yang sama, yaitu mendengarkan pesan
keagamaan tentang topik tertentu yang disampaikan oleh ustadz. Begitu pula
ketika sejumlah penonton konser menghadiri pertunjukan seorang penyanyi
terkenal. Penonton memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yaitu
menikmati pertunjukan yang disuguhkan oleh sang penyanyi.

44
Sebagai sebuah komunikasi yang melibatkan kelompok besar sudah
barang tentu tidak memungkinkan adanya suatu umpan balik yang bersifat
langsung. Komunikasi berlangsung satu arah. Hal ini tentu berbeda dengan
komunikasi kelompik kecil yang masih memungkinkan adanya umpan balik
secara langsung.

Kehadiran sejumlah besar orang dalam ruang atau lokasi yang sama
menyebabkan konteks komunikasi ini tidak memerlukan media untuk
menyampaikan pesan. Berkumpulnya publik dalam lokasi yang sama
memudahkan pengirim pesan menyampaikan pesannya kepada mereka.

Lalu siapakah komunikator dalam komunikasi publik? Dalam beberapa


literatur, pengirim pesan dalam komunikasi adalah pihak yang menjadi penyaji
dalam kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh publik. Dalam acara tabligh akbar
misalnya, ustadz menjadi sang komunikator; dalam orasi kebudayaan, pembicara
atau orang yang berpidato merupakan pengirim pesan.

Menurut penulis, komunikator dalam komunikasi publik tidak hanya


terpusat pada sosok pembicara saja. Sebuah kegiatan yang merupakan konteks
komunikasi publik melibatkan banyak pihak. Sebuah acara, sebut saja tabligh
akbar, kampanye atau konser musik, merupakan sebuah event besar yang tidak
mungkin hanya melibatkan pengisi acara. Pesan yang akan didistribusikan
kepada audiens bukanlah pesan yang bersifat spontan, namun direncanakan
secara matang dan detil. Pihak-pihak di belakang layar, mulai dari koordinator
acara, seksi-seksi acara, hingga pengisi acara merupakan komunikator. Pesan
yang disampaikan oleh pengisi acara merupakan hasil dari koordinasi seluruh
pihak yang terlibat dalam acara tersebut.

F. KOMUNIKASI MASSA

Penjelasan komunikasi massa mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Istilah ‘Massa’
Sama seperti komunikasi publik, komunikasi massa juga melibatkan
sejumlah orang yang disebut sebagai massa. Istilah massa dijelaskan oleh
Blummer (dalam McQuail, 2010: 54) sebagai sekumpulan orang dalam
jumlah yang sangat besar yang tersebar luas. Massa memiliki anggota yang
tidak saling mengenal satu sama lain, kurang memiliki kesadaran diri dan
kurang memperhatikan identitas dirinya. Mereka juga tidak mampu
bergerak secara serentak. Komposisi massa selalu berubah-ubah dan berada
dalam batas wilayah yang juga selalu berubah. Massa tidak bertindak dengan
sendirinya, namun digerakkan atau dikendalikan. Anggota massa bersifat
heterogen, artinya berasal dari berbagai lapisan sosial. Namun demikian
mereka memiliki perhatian dan sikap yang cenderung homogen, sehingga
kerap menjadi obyek manipulasi.

45
2. Penggunaan Media Massa
Komunikasi massa bisa dijelaskan sebagai bentuk komunikasi yang
melibatkan sekelompok orang yang memiliki karakteristik massa seperti
yang dijabarkan di atas. Untuk itu, untuk berkomunikasi dengan massa,
maka diperlukan media yang disebut sebagai media massa. Media-media
yang mampu menjangkau massa dan menyampaikan pesan secara serentak
ada bermacam-macam, mulai dari media cetak, seperti majalah, surat kabar,
dan buku; dan media elektronik, misalnya radio, televisi, dan film.

3. Komunikator Terlembaga
Media massa memang dibuat untuk menjangkau banyak orang yang tersebar
luas. Sebagai komunikasi yang ditujukan untuk banyak orang, maka pesan
yang ditransmisikan sudah pasti harus direncanakan dengan baik. Untuk itu
produksi pesan melibatkan sejumlah pihak. Bertindak sebagai komunikator
atau pengirim pesan adalah sekelompok individu yang terorganisasi. Surat
kabar yang menyajikan beragam berita-berita yang dalam produksinya
melibatkan banyak pihak, mulai dari pemilik surat kabar, pemimpin redaksi,
wartawan, editor, hingga lay-outer. Sebuah film dihasilkan oleh tim produksi,
seperti produser, sutradara, kameramen, penulis skenario, termasuk editor,
penata kostum, make up artist, penata musik, aktor dan banyak pihak
lainnya. Begitu juga dengan media-media lainnya. Untuk itulah, komunikasi
massa dikatakan sebagai komunikasi yang berbiaya besar karena
memerlukan perencanaan yang matang dan melibatkan banyak pihak.
Besarnya biaya juga diakibatnya oleh penggunaan perangkat teknologi yang
canggih.

4. Umpan Balik Tertunda


Komunikasi lewat media massa adalah komunikasi yang bersifat satu arah,
di mana umpan balik yang terjadi adalah umpan balik yang tertunda.
Khalayak tidak bisa memberikan respon atas pesan yang disalurkan oleh
media massa secara langsung. Jika penonton acara televisi merasa keberatan
dengan konten acara tersebut, maka penonton bisa menyampaikan
keberatannya lewat surat pembaca di surat kabar. Itu menjadi salah satu
contoh umpan balik yang tertunda. Contoh lainnya adalah jika pihak
komunikator ingin mengetahui efek dari pesan yang disampaikan, maka
komunikator dapat melakukan penelitian tentang efek pesan. Umpan balik
yang sifatnya tertunda ini menunjukkan posisi khalayak massa yang pasif.
McQuail (2010: 52) menjelaskan bahwa relasi komunikator dan komunikan
dalam komunikasi massa adalah relasi yang tidak berimbang. Komunikator
lebih dominan karena memiliki otoritas, lebih bergengsi dan terdiri dari
orang-orang yang memiliki keahlian.

5. Standarisasi Pesan
Pesan-pesan yang disalurkan oleh media massa, sebagai pesan yang sudah
terencana dengan matang, juga bersifat umum, disampaikan secara serentak,
cepat dan selintas (berlaku untuk media elektronik, media cetak
terdokumentasi) (Mulyana, 2012: 84). McQuail (2010: 53) menyebutkan ciri
lain dari pesan yang ditujukan untuk massa ini adalah standarisasi. Artinya,
pesan yang didistribusikan lewat media massa adalah pesan yang diulang

46
dengan cara-cara yang identik, atau kurang lebih sama. Akibat repetisi
tersebut, pesan telah kehilangan keunikan dan originalitasnya.

6. Filtered Communication
Pesan yang ditransmisikan kepada khalayak merupakan pesan yang telah
diseleksi (filtered communication). Proses seleksi ini dikenal dengan istilah
gatekeeping. Sebuah berita yang dimuat di surat kabar atau disiarkan di
saluran televisi telah melewati proses seleksi oleh beberapa pihak, mulai
dari reporter atau jurnalis, sub-editor, news editor hingga editor.

PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI BAGI TATANAN


KOMUNIKASI

Konteks-konteks atau level-level komunikasi yang telah dijelaskan, mulai


dari komunikasi intrapersonal hingga komunikasi massa dapat dipetakan dalam
bentuk segitiga sebagai berikut:

Komunikasi intrapersonal berada di puncak segitiga. Hal tersebut menjelaskan


bahwa komunikasi intrapersonal hanya melibatkan satu orang saja. Semakin ke
bawah menjelaskan semakin banyak pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Komunikasi massa yang berada di dasar segitiga merupakan kegiatan
komunikasi yang melibatkan paling banyak orang. Semakin banyak orang yang
terlibat menyebabkan umpan balik semakin sulit dilakukan secara langsung.
Komunikasi publik dan komunikasi massa yang melibatkan banyak orang
menyebabkan umpan balik yang diterima oleh komunikator adalah umpan balik
yang bersifat tertunda.

47
Konteks-konteks komunikasi yang telah tertata tersebut mendapatkan
tantangan seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi berbasis
internet dan komputer semakin masif. Teknologi komunikasi dan informasi
berbasis internet dan komputer telah menciptakan berbagai platform media
baru, seperti media sosial (Facebook, Youtube, Twitter, Instagram dst.), situs-
situs online, blog, dan sejenisnya. Media-media tersebut mampu menjangkau
khalayak secara global dengan seketika, namun mampu memberikan umpan
balik secara langsung. Dengan demikian segitiga tatanan komunikasi menjadi
tidak lagi relevan bagi media-media baru berbasis internet dan komputer.

Komunikasi-komunikasi melalui media berbasis internet dan komputer


memiliki karakteristik yang membedakannya dengan media-media konvensional
(media massa). Rogers (1986) melihat media-media tersebut mampu
menggabungkan karakteristik komunikasi interpersonal dan komunikasi massa.
Mengutip Dominick (1983), Rogers menyebutnya dengan istilah machine assisted
interpersonal communication (1986:3). Media-media tersebut mampu mengatasi
persoalan jarak dalam berkomunikasi dengan memberikan umpan balik yang
langsung layaknya komunikasi interpersonal. Penjelasan Rogers pada saat itu
mengacu pada telepon. Namun untuk konteks masa kini di mana semakin
banyak media baru bermunculan, istilah tersebut masih relevan untuk
digunakan. Media-media tersebut tidak hanya mampu mengatasi persoalan jarak
dan waktu, namun mampu melibatkan banyak pihak secara global dalam
berkomunikasi. Sementara Lister et. al. (2009) menyebut media-media tersebut
sebagai media baru (new media).

Rogers (1986:4-6) menyebutkan setidaknya ada tiga karakteristik yang


membuat media-media berbasis internet dan komputer. Ketiganya adalah
sebagai berikut:

1. Seluruh teknologi komunikasi baru memiliki derajat interaktivitas


tertentu. Interaktivitas adalah kemampuan teknologi komunikasi untuk
‘berbicara balik’ (to talk back) kepada penggunanya, seperti dua orang
yang melakukan percakapan secara langsung. Sesuatu dapat dikatakan
interaktif, menurut Rafaeli (dalam Rogers, 1986:4) jika media tersebut
dapat memungkinkannya terjadinya ‘third message’ (pesan ketiga) yang
menunjukkan adanya mutual responsiveness.
2. Media baru adalah de-massified, yaitu tak massal atau personal.
Dampaknya adalah berpindahnya kontrol pesan dari produser pesan
kepada konsumen media. Layaknya komunikasi interpersonal,
komunikan dapat berpindah peran sebagai komunikator. Atas
kemampuannya tersebut, istilah khalayak bagi media baru menjadi tidak
lagi relevan. Istilah pengguna atau user (Lister et. al., 2009) atau
partisipan menjadi lebih tepat.
3. Teknologi komunikasi baru adalah asynchronous. Artinya media tersebut
memiliki kapabilitas untuk mengirimkan dan menerima pesan kapan saja
kita menginginkannya. Kemampuan ini memberikan keleluasaan bagi
komunikan untuk mengkonsumsi pesan kapan saja komunikan
menginginkannya.

48
Media baru oleh Lister et. al. (2009:30-58) didefinisikan sebagai media
yang berbeda dengan media-media lama atau konvensional. Kebaruannya
tersebut tersebut terletak pada karakteristik berikut:

1. Digitallity

Media baru sering mengacu pada media digital atau media baru digital.
Dalam proses digital, seluruh data harus diubah dalam bentuk angka-angka
numerik. Data-data berupa teks, diagram, gambar, grafik diproses dan
disimpan secara numerik dan outputnya dapat disimpan dalam bentuk-
bentuk seperti digital disk atau memory drive (disebut dengan hard copy).
Dalam media yang menggunakan proses digital data input berupa perangkat-
perangkat fisik , gelombang cahaya dan suara tidak dikonversikan ke dalam
obyek lain, namun ke dalam angka-angka numerik.

Di sini, proses dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol matematis.


Implikasi dari proses tersebut adalah : (1) teks media adalah de-materialized,
artinya teks terpisah dari bentuk fisiknya, seperti cetakan foto, buku, roll film
dsb., (2) data dapat di-compress dalam ruang yang sangat kecil, (3) data dapat
diakses dalam kecepatan yang sangat tinggi dan non-linear., (4) Data dapat
dimanipulasi dengan jauh lebih mudah.

2. Interactivity

Seperti telah dijelaskan di atas, media digital memungkinkan kita untuk


melakukan manipulasi dan intervensi terhadap media. Adanya kesempatan
tersebut merupakan potensi interaktivitas dari media baru. Interaktivitas
dipahami sebagai salah satu kelebihan dari media baru. Media menawarkan
konsumsi yang pasif, sementara media baru menawarkan interaktivitas.
Interaktivitas ini memungkinkan: (1) pengguna menjadi memiliki kekuatan
untuk terlibat dengan teks media, (2) pengguna mempunyai hubungan yang
lebih independen dengan sumber-sumber, (3) penggunaan media yang
bersifat personal, (4) pengguna memiliki lebih banyak pilihan.

Interaktivitas berarti bahwa pengguna dapat melakukan intervensi secara


langsung dan merubah image dan teks yang mereka akses. Ini menjadi alasan
lain mengapa istilah pengguna lebih tepat digunakan daripada khalayak.
Khalayak menawarkan konsumsi pasif, sementara pengguna menjelaskan
konsumsi yang lebih aktif.

3. Hypertext

Hypertext adalah istilah yang menggambarkan teks yang mampu


menghubungkan dengan teks lain yang berada di atas atau di luar teks
tersebut. Kata hypertext sendiri dapat berarti intertekstualitas, karena
pengguna mampu mengkonsumsi teks dengan banyak cara dan pilihan.

49
Bentuk teks seperti ini jelas berbeda dengan teks yang kita temukan di
media lama yang menggunakan bentuk yang linear. Bentuk hypertext atau
non-linear ini memungkinkan pengguna dapat membaca teks tanpa harus
berurutan. Ia dapat memulai teks dari mana saja yang ia inginkan.

4. Dispersal

Satu kunci lain yang membedakan media baru dengan media-media di era
sebelumnya adalah sistem media yang terpisah. Dalam media baru, baik
produksi maupun konsumsi menjadi terdesentralisasi (tak terpusat), sangat
individu dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Konsumsi
Pada periode tahun 1980-2000an, bermunculannya berbagai media yang
menawarkan beragam teks telah menyebabkan khalayak menjadi terpecah-
pecah (fragmented). Hal inilah yang membedakan media baru dengan media
massa konvensional. Media massa konvensional memiliki mass audience.
Dalam media baru tak lagi berlaku logika media konvensional di mana
pesan hanya dikirimkan secara terbatas pada mass audience yang homogen.
Beragamnya pesan dan sumber yang dimiliki oleh media baru menyebabkan
pengguna menjadi lebih selektif. Yang terjadi adalah pengguna yang semakin
tersegmentasi, dan adanya hubungan yang bersifat personal antara pengirim
dan penerima.

Produksi
Semakin fleksibel dan informalnya interaksi konsumen dengan produser
teks, merubah pola produksi media yang selama ini terpusat
(tersentralisasi). Konsekuensi dari perubahan ini, seorang produser teks,
harus menguasai teknologi baru tersebut, atau seseorang yang menguasai
teknologi tersebut sangatlah mampu untuk menjadi seorang produser.
Untuk itu, produser atau pengirim pesan tak hanya terpusat di satu tempat,
namun tersebar, ada di mana-mana. Konsekuensi kedua adalah persoalan
proximity (kedekatan). Adanya peralatan-peralatan yang canggih,
memungkinkan kita mendokumentasikan kejadian-kejadian di sekitar kita
dan menunjukkannya kepada seluruh audiens yang menginginkannya.
Semua itu dimungkinkan dengan adanya ‘home page’. Home Page adalah
sebuah contoh yang pas untuk menggambarkan bahwa batas atau perbedaan
antara produser dan konsumen teks telah runtuh. Liester menyebut home
page sebagai everyday identity in global networks.

5. Virtuality
Beberapa tahun belakangan, istilah virtual reality (VR) menjadi sangat
populer. Liester menjadi VR sebagai berikut : “…the immersive, interactive
experience provided by new forms of image and simulation technology, and the
metaphorical ‘places’ and ‘spaces’ created by or within communications
networks.” Dalam hal ini istilah VR digunakan untuk menjelaskan dua hal.
Pertama, untuk mendeskripsikan pengalaman dalam sebuah lingkungan

50
yang dikonstruksi oleh grafis komputer dan video digital di mana pengguna
berinteraksi. Kedua, adalah sebuah ruang di mana partisipan yang berada
dalam komunikasi online merasakan dirinya menjadi yang diinginkan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka media-media baru atau media-


media yang memiliki kemampuan dan karakteristik seperti yang dijelaskan oleh
Rogers dan Lister et. al. tidak dapat dikatakan sebagai media massa dan dengan
demikian komunikasi berbasis media-media tersebut tidak lagi relevan
dikategorikan sebagai salah satu bentuk komunikasi yang berada dalam segitiga
yang disebutkan di atas.

51
BAB VI
JENIS JENIS KOMUNIKASI

A. KOMUNIKASI VERBAL

Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan pesan-


pesan verbal atau pesan-pesan yang berupa kata-kata baik secara lisan maupun
tertulis. Pesan-pesan verbal merupakan terjemahan dari pemikiran, gagasan,
ungkapan perasaan dan emosi, ataupun informasi, penilaian, pendapat dan
sebagainya. Dengan demikian, seperti yang telah dijelaskan di bab-bab
sebelumnya, pesan-pesan verbal adalah hasil dari proses encoding.

Untuk itu dalam komunikasi verbal, bahasa memainkan peranan yang


sangat penting. Bahasa merupakan suatu sarana berkomunikasi antar manusia
dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda untuk mewakili obyek-
obyek tertentu. Bayangkanlah, bagaimana manusia dapat berkomunikasi satu
sama lain tanpa bahasa. Bagaimana seseorang dapat menjelaskan sesuatu tanpa
bahasa. Untuk itulah perlu diciptakan suatu cara berkomunikasi yang disebut
dengan bahasa. Maka dibuatlah simbol-simbol atau tanda-tanda tertentu untuk
mewakili suatu obyek, gagasan, atau fenomena tertentu.

Relasi antara simbol atau tanda dengan obyek yang diwakilinya bersifat
arbitrer. Simbol atau tanda yang mewakili obyek tersebut kita kenal dengan
kata-kata. Sebagai contoh kata ‘anjing’ mewakili obyek binatang berkaki empat
yang berbulu dan menggonggong; kata ‘meja’ mewakili obyek benda yang
berfungsi untuk meletakkan sesuatu. Hubungan antara kata ‘anjing’ dan ‘meja’
dengan obyek yang diwakili adalah hubungan yang bersifat arbitrer atau
semena-mena, maksudnya tidak ada hubungan tertentu antara kata dan obyek.
Tidak ada alasan tertentu mengapa binatang berkaki empat yang berbulu dan
menggonggong diwakili dengan istilah ‘anjing’; atau benda yang berfungsi untuk
meletakkan sesuatu dinamakan ‘meja’. Para pengguna kata ‘anjing’ dan ‘meja’
juga kata-kata lainnya menerima dan menggunakannya dalam berkomunikasi
sehari-hari (taken for granted).

Meskipun bersifat arbitrer, penggunaan bahasa atau simbol tersebut


diatur dalam sistem tertentu yang disepakati sehingga simbol atau tanda
tersebut dapat dipahami oleh para penggunanya. Kata-kata dijelaskan lewat
suatu kalimat yang diatur dalam sistem tata bahasa tertentu. Sistem berbahasa
tersebut diistilahkan dengan kode.

Untuk kebutuhan berkomunikasi antar manusia, jumlah kata-kata yang


diciptakan untuk mewakili obyek, gagasan dan fenomena yang ada akan selalu
bertambah. Kita bisa melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi revisi setiap
tahun akan semakin banyak jumlah halamannya. Dalam Kamus tersebut, setiap
kata-kata akan dijelaskan apa itu artinya, akan dijabarkan definisinya. Namun
perlu digarisbawahi bahwa yang tercantum dalam kamus itu adalah ARTI,
sebagai konvensi atau kesepakatan atas kata-kata dengan obyek yang diwakili,
bukan MAKNA.

52
Makna merupakan pemahaman atau kesan atas sesuatu yang sifatnya
sangat personal dan sangat dipengaruhi oleh pengalaman kultural seseorang.
Kata ‘anjing’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai binatang
yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya. Itu
adalah arti kata ‘anjing’. Namun kata ‘anjing’ yang dipahami seseorang adalah
sangat personal. Kesan atas kata ‘anjing’ tiap-tiap orang bisa jadi berbeda-beda.
Seseorang yang pernah memiliki pengalaman digigit anjing akan memiliki
kesan atau konsep tentang anjing yang berbeda dengan seseorang yang sejak
kecil menganggap anjing adalah bagian dari keluarganya. Itulah makna dari
kata ‘anjing’. Jika seseorang berkata pada temannya, “Sebelum saya bertemu
kamu, motor saya hampir saja menabrak anjing.” Bagaimana kedua orang
tersebut memaknai kata ‘anjing’ yang diucapkan bisa jadi sangat berbeda.
Orang pertama bisa jadi memaknai anjing sebagai binatang yang menjijikkan,
namun orang kedua bisa saja memiliki kesan atau pemahaman tentang anjing
sebagai binatang yang menggemaskan.

Sistem berbahasa adalah suatu sistem yang sangat kompleks. Ferdinand


De Saussure (1961) menjelaskan perbedaan antara langue dan parole dalam
berbahasa. Langue mengacu pada tanda-tanda yang memiliki penjelasan yang
universal dan diatur lewat konvensi sosial. Jika langue bersifat universal, maka
parole justru bersifat personal. Parole merupakan contoh nyata dari penggunaan
bahasa baik lisan maupun tertulis. Parole sangat bergantung pada pengalaman
personal seseorang dalam menggunakan berbahasa. Selain bersifat personal,
parole juga bersifat relatif, dipengaruhi oleh ruang, waktu, dan kelompok-
kelompok sosial. Sebagai contoh, dua orang mahasiswa sedang beristirahat
setelah kuliah usai. Salah satu dari mahasiswa tersebut mengeluarkan bekalnya.
Sebelum makan, dia berkata kepada temannya, “Mari makan”, sambil
menyodorkan makanannya. Sang teman menjawab, “Iya, terima kasih”, tanpa
mengambil makanan tersebut. Secara konvensi, kata “Mari makan” merupakan
ajakan untuk makan bersama. Inilah yang disebut sebagai langue. Namun yang
terjadi bukanlah ajakan untuk makan. Kalimat “Mari makan” adalah sebuah
ungkapan basi basi. Inilah yang disebut sebagai parole.

Dengan demikian, proses komunikasi yang berlangsung tidak hanya


sekedar menyampaikan suatu gagasan atau perasaan tertentu lewat bahasa
verbal. Namun proses komunikasi juga menghasilkan makna lewat kata-kata
yang dipertukarkan. Kompleksitas sistem berbahasa yang menghasilkan makna-
makna yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam menggunakan
bahasa, menyebabkan adanya konsekuensi-konsekuensi dalam komunikasi.
Mulyana (2012) menyebutnya sebagai keterbatasan dalam berbahasa.
Keterbatasan atau konsekuensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Terbatasnya jumlah kata-kata yang mewakili obyek, gagasan atau


fenomena

Larry L Barker (dalam Mulyana, 2012) menyebutkan tiga fungsi bahasa,


yaitu penamaan (labeling), interaksi dan transmisi informasi. Berkaitan dengan

53
pembahasan ini, fungsi pertama, yaitu penamaan menjadi fungsi yang penting.
Mengapa bahasa menjadi kebutuhan penting bagi manusia? Bahasa diperlukan
untuk menjelaskan obyek, pikiran, perasaan atau kejadian sehari-hari. Mulailah
obyek, gagasan dan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia diberi nama.
Penamaan sendiri merupakan upaya untuk mengidentifikasi obyek sehingga
dapat membedakannya dengan satu obyek dengan obyek yang lainnya. Begitu
pula dengan tindakan, gagasan, perasaan atau peristiwa.

Seperti dijelaskan di atas, kata-kata itu bersifat arbitrer. Saussure (1961)


mengatakan bahwa relasi antara suara dari pengucapan kata-kata dengan
artinya bersifat arbitrer. Suatu obyek diberi nama secara semena-mena. Tidak
ada hubungan tertentu antara kata-kata atau simbol bahasa dengan obyek yang
diwakilinya. Mengutip DeVito (1997:490), kata-kata atau bahasa sesungguhnya
tidak mempunyai makna, namun justru manusia yang memberikan makna
terhadap bahasa atau kata-kata yang dibunyikan. Tidak ada relasi antara kata-
kata dan makna, namun manusialah yang menciptakan relasi tersebut.

Ilustrasi berikut merupakan sebuah obyek yang disepakati dengan kata


‘meja’. Tidak ada hubungan tertentu antara kata ‘meja’ dengan obyek yang
tampak dalam ilustrasi tersebut. Tidak ada alasan tertentu kenapa dinamai
‘meja’, dan bukan ‘jema’, atau ‘maje’ dan sebagainya. Itulah yang disebut dengan
arbitrer.

Sumber: https://batikbarangantik.wordpress.com/

Untuk itu, perlu digarisbawahi bahwa makna bukan terletak pada kata-kata yang
disampaikan dalam proses komunikasi, namun pada orang menggunakan kata-
kata tersebut.

Semakin lama, jumlah obyek yang perlu dijelaskan semakin banyak. Maka
kemudian kita temukan kata-kata baru. Jumlah halaman sebuah kamus akan
semakin tebal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2017, ditemukan
banyak kosa kata baru, seperti ‘derau’, ‘pelantang’, ‘peladen’, ‘pranala’ dan
sebagainya. ‘Derau’ berarti rebut atau suara-suara pengganggu (noise dalam
bahasa Inggris). Kata ‘pelantang’ menjelaskan obyek yang dalam bahasa Inggris
diistilahkan sebagai microphone. Kata ‘peladen’ menggantikan istilah server yang
merupakan bahasa Inggris yang selama ini sering dipakai. Sedangkan kata
‘pranala’ berarti hyperlink atau istilah dalam dunia Teknologi Informasi yang

54
menjelaskan suatu kata dalam format digital yang bisa menghubungkan ke kata-
kata dalam halaman digital lainnya.

Kata-kata baru tersebut terasa aneh dan janggal, karena tidak ada
hubungan apapun dengan obyek yang diwakilinya. Hingga nanti kita mulai
terbiasa menggunakan kata-kata tersebut dalam percapakan sehari-hari, maka
kita akan merasakan adanya hubungan antara kata dan obyeknya. Yang terjadi
sebenarnya adalah kitalah yang membuat hubungan tersebut akibat kita terbiasa
dengan istilah-istilah baru tersebut.

Bahasa bersifat arbitrer dan berlaku secara sosial atau disepakati secara
sosial. Inilah yang disebut sebagai konvensi atau kesepakatan sosial. Bahasa
tidak disepakati secara formal lewat forum-forum tertentu. Namun demikian,
para pengguna bahasa akan tunduk pada konvensi tersebut tanpa disadari.
Sebagai contoh, di kalangan remaja beberapa waktu yang lalu muncul istilah
‘baper’ yang merupakan singkatan dari ‘terbawa perasaan’. Kata-kata ini
kemudian menjadi populer dan tidak hanya digunakan di kalangan remaja saja.
Inilah yang dimaksud bahwa pengguna bahasa akan tunduk pada kesepakatan
sosial tentang bahasa tanpa disadari.

Begitu banyaknya kata-kata tidak cukup untuk menjelaskan obyek,


gagasan, peristiwa maupun tindakan-tindakan yang ada. Bahasa yang ada tidak
akan pernah cukup untuk menjelaskan realitas. Kita semua tentu pernah merasa
bahwa penjelasan kita atas sebuah kejadian tidak pernah bisa selengkap apa
yang ada di kepala kita. Masih ada bagian-bagian yang tertingal di kepala kita
yang tidak bisa kita sampaikan. Itu adalah akibat yang kita alami saat kita merasa
kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat atas obyek atau tindakan
tertentu. Sebagai contoh, bisakah anda mendefinisikan apa itu ‘hitam’? Paling
tidak anda mengatakan bahwa ‘hitam’ adalah warna yang gelap. Tentu saja itu
bukan penjelasan yang spesifik, karena warna gelap bukan hanya ‘hitam’. Anda
bisa saja menjawab ‘hitam’ adalah warna yang bukan putih. Itu juga bukan
jawaban yang konkrit, karena warna yang bukan putih juga bukan hanya ‘hitam’.
Tidak ada kata-kata yang mampu menjelaskan secara pasti kata ‘hitam’.

Meskipun kosa kata baru terus diciptakan, kata-kata yang tersedia tidak
akan pernah cukup untuk menjelaskan semua realitas yang perlu dijelaskan.
Inilah yang menjadi keterbatasan bahasa yang pertama.

2. Bahasa bersifat ambigu dan kontekstual

Kata-kata memiliki sifat yang ambigu atau bermakna jamak. Sebuah kata
memiliki pengertian yang tidak tunggal. Kata ‘panas’, misalnya, berikut adalah
beberapa definisi dari kata ‘panas’:

55
Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia

‘Panas’ bisa berarti hal-hal yang berkaitan dengan suhu atau temperatur yang
tinggi; atau hal-hal yang negatif.

Untuk membuat makna dari kata ‘panas’ menjadi lebih pasti, maka
diperlukan konteks. Yang dimaksud konteks bisa frase, kalimat, atau paragraph;
bisa juga dengan melihat siapa yang berbicara, kapan dan di mana pembicaraan
berlangsung. Perhatikan kalimat-kalimat berikut:

(a) Udara hari ini panas sekali, hingga saya berkeringat.

(b) Musim panas tahun ini menyebabkan mata air menjadi kering.

(c) Hatinya terasa panas mendengar orang0orang menertawakan


ceritanya.

(d) Adegan panas di film itu sangat mengganggu pikirannya.

(e) Ia baru saja mendengar bahwa koleganya menerima uang panas dari
kliennya.

Kata ‘panas’ dalam lima kalimat tersebut memiliki pengertian yang berbeda.
Kalimat-kalimat tersebut membuat kepastian atas makna dari kata ‘panas’. Kata
‘panas’ di kalimat (a) mengacu pada kondisi bersuhu udara tinggi. Pengertian
yang berbeda terdapat pada kalimat (b) di mana ‘panas’ berarti musim yang
ditandai oleh kurangnya curah hujan. Pada kalimat (c) kata ‘panas’ bisa berarti
rasa marah; sedangkan kalimat (d) adegan ‘panas’ adalah adegan yang
menimbulkan hawa nafsu; sementara kalimat (e) yang dimaksud uang ‘panas’
adalah uang yang tidak diterima secara halal atau sah.

Banyak contoh kata-kata lain yang memiliki makna yang tidak tunggal.
Hal ini disebabkan karena kata-kata mewakili apa yang menjadi persepsi dan
interpretasi para penggunanya. Sementara masing-masing individu pengguna
bahasa memiliki latar belakang pengalaman sosial dan kultural yang berbeda.
Makna dari sebuah kata menjadi berkembang.

56
Untuk itu, dalam berkomunikasi, untuk meminimalisir kesalahpahaman,
hal-hal yang menjadi konteks dalam komunikasi perlu menjadi perhatian, baik
untuk komunikator maupun komunikan. Bagi komunikator, hindarilah berbicara
tanpa kalimat yang menjelaskan secara jelas maksud dari kata-kata yang akan
diucapkan.

3. Bahasa memiliki bias budaya

Terkait dengan ambiguitas dalam bahasa, bahasa juga memiliki bias


budaya. Tiap individu memiliki latar belakang pengalaman sosial kultural yang
berbeda. Pengalaman tersebut mempengaruhi bagaimana sebuah kata dipahami
oleh masing-masing individu. Kata ‘semalam’, misalnya, ada yang memahami
bahwa ‘semalam’ itu berarti tadi malam; sementara ada orang lain yang
menganggap ‘semalam’ berarti kemarin. Bayangkan jika dua orang yang berbeda
dalam memahami kata ‘semalam’ membicarakan tentang kejadian ‘semalam’.
Kesalahpahaman dan kebingungan pasti akan terjadi.

Pernahkah anda mengalami salah paham saat berkomunikasi soal warna


dengan teman anda? Ketika anda meminta teman anda untuk mengambilkan
kain berwarna biru di lemari anda, namun teman anda justru mengambilkan
kain yang menurut anda justru berwarna hijau. Hal tersebut kerap dialami oleh
banyak orang. Persoalannya bukan pada kesalahan mata anda atau teman anda.
Yang terjadi adalah adanya perbedaan konsep tentang ‘biru’ antara anda dan
teman anda. Anda punya konsep sendiri tentang warna ‘biru’, sementara konsep
warna ‘biru’ menurut teman anda berbeda dengan anda. Mengapa bisa begitu?
Anda dan teman anda memiliki pengalaman tentang warna ‘biru’ yang berbeda.
Orang tua, guru dan lingkungan sekitar kitalah yang memberikan kita
pemahaman tentang warna ‘biru’. Warna biru sendiri tidaklah tunggal, tapi
bergradasi hingga ke warna-warna lainnya. Untuk itu konsep tentang ‘biru’
antara satu orang dengan orang yang lain juga tak akan pernah sama. Hal yang
sama juga berlaku untuk kata-kata yang lain.

Tiap orang memiliki perbedaan jenis kelamin, usia, ras, etnis, agama, dan
sebagainya. Perbedaan identitas tersebut berimplikasi pada bias makna dalam
berbahasa. Antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan memahami
makna ‘perhatian’. Dalam konteks hubungan suami istri, seorang suami merasa
sudah memberikan perhatian pada istrinya jika ia sudah memenuhi
kewajibannya kepada istri, misalnya menafkahi. Namun bisa jadi bagi istri itu
belum cukup, karena perhatian berarti peduli pada hal-hal remeh temeh, seperti
menanyakan sudah makan atau belum, mengingatkan untuk selalu berhati-hati
dan sebagainya.

4. Bahasa mencampuradukkan fakta, penilaian dan penafsiran

Adanya keterbatasan kata-kata yang mewakili realitas, ambiguitas dan


bias dalam bahasa menyebabkan adanya problomatika dalam hal penyampaian
fakta. Manusia terkadang berkomunikasi untuk menjelaskan fakta atau

57
menyampaikan realitas apa adanya sesuai yang dia saksikan. Tugas sebagai
wartawan atau menjadi saksi suatu peristiwa mengharuskan seseorang
menjelaskan apa yang dia saksikan sesuai dengan apa adanya. Bagaimana
menjelaskannya? Tentu saja lewat bahasa. Padahal seperti yang sudah
dipaparkan di atas bahwa bahasa memiliki banyak keterbatasan. Dengan
demikian, apakah seorang saksi mata suatu peristiwa bisa menjelaskan apa itu
fakta?

Kita seringkali mengatakan bahwa apa yang ditulis seorang wartawan di


surat kabar, yang dijelaskan oleh saksi mata kepada polisi, penjelasan seorang
ahli sejarah adalah sebagai fakta. Namun jika mempertimbangkan beberapa
keterbatasan bahasa, maka sesungguhnya apa yang disampaikan oleh wartawan,
saksi mata ataupu ahli sejarah bukanlah fakta, namun merupakan penafsiran
atau interpretasi semata.

Apa yang disebut sebagai realitas atau fakta yang benar-benar


mencerminkan realitas tidak akan pernah mampu diungkapkan oleh individu.
Seorang saksi mata yang menyaksikan sebuah kejadian akan merekamnya di
dalam memori. Namun saat ia harus menjelaskannya lewat bahasa, keterbatasa
berbahasa menyebabkan apa yang ia jelaskan hanya mewakili realitas. Yang
dijelaskan hanyalah representasi, bukan realitas.

B. KOMUNIKASI NON VERBAL

Komunikasi nonverbal memegang peranan penting dalam berkomunikasi


sehari-hari, terutama dalam komunikasi tatap muka. Justru komunikasi
nonverbal lebih banyak dipergunakan oleh manusia saat berkomunikasi, baik itu
disengaja maupun tidak disengaja. Saat anda menyapa seorang teman, anda
tidak hanya mengatakan, “Hai, apa kabar?” atau “Selamat pagi”, namun
komunikasi nonverbal juga terjadi di saat yang bersamaan. Saat anda menyapa,
anda tersenyum, tersenyum melambaikan tangan, atau menyentuh bahunya. Itu
merupakan bentuk komunikasi nonverbal.

Komunikasi nonverbal merupakan proses mengirimkan dan menerima


pesan-pesan dalam bentuk non kata-kata; misalnya ekspresi wajah, nada bicara,
gestur, gerakan tangan dan sebagainya. Komunikasi nonverbal mendominasi
percakapan yang dilakukan oleh manusia. Riset klasik dari Mehrabian (1972),
seorang pakan komunikasi nonverbal, menyebutkan bahwa bahasa tubuh
merupakan sarana berkomunikasi yang paling berpotensi dalam menarik
perhatian lawan bicara, yaitu sebesar 55%, sarana berikutnya adalah nada bicara
sebesar 38%. Kata-kata verbal hanya mempunyai kemungkinan sebesar 7%.
Data tersebut menunjukkan bahwa pesan-pesan nonverbal justru memainkan
peranan yang lebih penting dalam berkomunikasi.

Paling tidak pesan-pesan nonverbal mempunyai beberapa karakteristik


dibandingkan pesan-pesan verbal. Yang pertama adalah pesan-pesan nonverbal
mampu mengambarkan perasaan dan sikap seseorang. Mengungkapkan perasaa
atau emosi atau sikap seseorang tidak cukup hanya menggunakan kata-kata.

58
Justru pesan nonverbal yang bisa melakukannya. Jika anda mencintai seseorang,
ungkapan “aku cinta padamu” tidak cukup menjelaskan apa yang anda rasakan.
Namun tatapan mata, sentuhan, atau senyuman mampu mengungkapkan itu
dengan lebih baik. Jika anda membenci seseorang, anda mungkin tidak
mengatakan kebencian anda lewat kata-kata. Namun intonasi suara ketika
berbicara, pandangan mata hingga ekspresi wajah cukup menjelaskan kebencian
anda pada orang tersebut.

Karakteristik kedua adalah sifat pesan nonverbal yang spontan dan sulit
untuk dikontrol. Saat anda merasa bosan, ekspresi wajah anda secara langsung
mengungkapkan hal itu, yang bisa jadi tidak anda sadari. Saat anda berbohong
pada orang tua anda, terkadang bahasa tubuh anda tidak mendukung dan justru
mengatakan hal yang sebaliknya tanpa anda mampu mengontrolnya. Hal inilah
yang menyebabkan seseorang justru lebih mempercayai pesan-pesan nonverbal
dibandingkan kata-kata ketika dalam komunikasi keduanya tidak konsisten. Saat
dosen anda menanyakan apakah anda sudah paham dengan materi yang telah
dijelaskan, dan anda mengatakan sudah jelas, namun dengan intonasi yang tidak
jelas atau kening anda berkerut, maka dosen anda akan menyimpulkan bahwa
sesungguhnya anda tidak paham materi tersebut.

Ketiga, sebuah pesan nonverbal tidak berdiri sendiri, namun didukung


pesan-pesan nonverbal lainnya. Verderber (2005) menyebutnya sebagai multi-
channeled. Saat anda sedang berbahagia, anda akan tersenyum, berbinar-binar,
bersiul-siul. Jika anda berbicara dengan kekasih anda, jarak intim, sentuhan, dan
kontak mata akan mendukung hal tersebut.

Meskipun demikian, sama halnya dengan komunikasi verbal, komunikasi


nonverbal juga memiliki keterbatasan. Komunikasi nonverbal juga bersifat
ambigu dan kontekstual. Jika anda mengacungkan ibu jari, bisa berarti suatu
pujian, atau anda meminta tumpangan. Kontekslah yang akan menegaskan
maksud dari pesan nonverbal anda. Jika anda mengacungkan ibu jari saat lawan
bicara anda menceritakan keberhasilannya, maka maknanya adalah sebuah
pujian. Namun jika anda mengacungkan ibu jari di pinggir jalan, berarti anda
sedang meminta tumpangan.

Selain itu, pesan nonverbal juga memiliki bias budaya. Pesan nonverbal
yang sama bisa memiliki pemahaman yang berbeda bagi orang-orang yang
memiliki latar belakang pengalaman yang berbeda. Kontak mata yang dilakukan
oleh anak muda kepada orang yang lebih tua, bagi generasi yang lebih tua bisa
berarti tindakan yang tidak sopan. Namun bagi generasi yang lebih muda, itu
bisa berarti sebuah kekaguman.

Ada banyak sekali bentuk-bentuk komunikasi nonverbal. Bentuk-bentuk


tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Bahasa Tubuh (Body Language) atau kinesik,


Bahasa tubuh meliputi pengunaan ekspresi wajah, gerakan tubuh, isyarat
tubuh (gesture), eye contact, dan postur tubuh. Kinesik biasanya digunakan
untuk menggantikan kata atau frase, misalnya kata ‘ya’ digantikan dengan

59
anggukan kepala, ‘tidak’ dengan gelengan kepala, kata ‘bagus’ dengan
mengacungkan ibu jari dan sebagainya. Kinesik juga bisa mengekspresikan
perasaan, seperti ekspresi wajah dengan bibir cemberut menunjukkan
kekesalan, mata berbinar-binar sebagai ekspresi kebahagiaan dan
sebagainya. Kinesik juga kerap digunakan untuk mengendalikan percakapan,
lewat gerakan tangan misalnya.

2. Lingkungan Fisik (Physical Environment), yang meliputi hal-hal berikut:


a. Proxemik atau penggunaan ruang
Proxemik merupakan ruang atau jarak yang digunakan dalam
komunikasi. Saat anda sedang berkomunikasi dengan orang lain, jarak
antara anda dan lawan bicara mengkomunikasikan sesuatu. Semakin
dekat jaraknya menunjukkan kedekatan, atau relasi yang bersifat
personal. Anda dapat memahami relasi orang-orang yang sedang
berkomunikasi, apakah mereka memiliki hubungan keluarga, sepasang
kekasih, guru dan murid, teman akrab, teman biasa dan sebagainya.
b. Warna, Temperatur, Penerangan

3. Atribut Personal
Yang termasuk dalam atribut personal adalah penampilan fisik, isyarat vokal
dan sentuhan.
a. Penampilan fisik meliputi segala elemen yang digunakan oleh
komunikator untuk menunjang penampilannya, misalnya gaya
berpakaian, barang-barang yang dimiliki (gawai, mobil, perhiasan dan
sebagainya), gaya rambut, parfum yang digunakan dan sebagainya.
b. Isyarat vokal meliputi intonasi dalam berbicara atau dikenal dengan
istilah parabahasa (paralanguage). Nada suara yang keras atau lemah,
pengucapan yang cepat atau lambat dengan jeda, dan kualitas suara
menjadi bagian dari pesan nonverbal.
c. Sentuhan atau haptik bisa berupa jabat tangan, genggaman tangan,
tepukan di bahu atau punggung, ciuman, belaian rambut dan sebagainya.
Sentuhan mampu menyampaikan perasaan dari pelaku, dan bisa
mengakibatkan perasaan tertentu bagi penerima.

5. Kronemik atau penggunaan waktu


Kronemik berkaitan dengan penggunaan waktu dalam komunikasi
nonverbal. Penggunaan waktu tersebut bisa berupa durasi yang biasa
dilakukan saat melakukan aktivitas tertentu atau jumlah kegiatan yang
dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Bagaimana seseorang
memanfaatkan waktu dalam beraktivitas menjadi salah satu pesan
nonverbal, apakah ia orang yang tepat waktu, atau suka mengulur waktu.

DAFTAR PUSTAKA

60
Bastos, Marco T. (2010). “Transmission, Communion, Communication”.
MATRIZes, 3(2), pp 243-248

Beebe, Steven A. dan Masterson, John T. (2006). Communicating in Small Groups:


Principles and Practices, USA: Pearson

Beebe, Steven A., Susan J., Beebe, dan Mark V., Redmond. (2008). Interpersonal
Communication: Relating to Others, USA: Pearson

Berlo, David K. (1960). The Process of Communication: An Introduction To Theory


and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Braithwaite, Dawn O. dan Schdrodt, Paul. (2015). Engaging Theories in


Interpersonal Communication: Multiple Perspectives. USA: Sage

Carey, James. (2009). Culture As Communication: Essays on Media and Society.


New York: Routledge

Chandler, Daniel. (1994). The Transmission Model Of Communication. Dalam


http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/short/trans.html#E, diakses
tanggal 20 November 2017.

Couldry, Nick. (2003). Media Rituals: A Critical Approach. London dan New York:
Routledge.

De Vito, Joseph. (1997), Komunikasi Antarmanusia. Professional Books: Jakarta

Dimbleby, Richard dan Burton, Graeme. (1998). More Than Words: An


Introduction to Communication. New York: Routledge

Dominick, Joseph R. (1983). The Dynamics of Mass Communication. New York:


McGraw-Hill.

Ellis, Donald G. dan Fisher, Aubrey. (1994). Small Group Decision Making:
Communication and the Group. USA: McGraw-Hill

Fisher, Aubrey. (1986). Teori-Teori Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Fishbein, M. dan Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An


Introduction to Theory and Research. Reading, MA: Addison-Wesley.

Fiske, John. (1990). Introduction To Communication Studies. London dan New


York: Routledge

61
Gebner, George. (1967). “Mass Media and Human Communication”. Dalam Dance,
Frank E.X., Human Communication Theory: Original Essays. New York: Holt,
Rinehart and Winston, pp. 40-60

Honeycutt, J. M., Zagacki, K. S., & Edwards, R. (1989). Intrapersonal


Communication, Social Cognition and Imagined Interactions. Dalam Roberts,
C. V. dan Watson, K. W., Intrapersonal Communication Processes: Original
Essays (pp. 167-184). Scottsdale, AZ: Gorsuch Scarisbric

Hovland, Carl I. (1948). “Social Communication”. Proceedings of the American


Philosophical Society, 92(5), pp. 371-375.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen


Pendidikan Nasional

Kumar, Arvind. (2002). Encyclopaedia of Mass Media and Communication. New


Delhi: Anmol

Lavidge, Robert J. dan Steiner, ary A. (1961). “A Model for Predictive


Measurements of Advertising Effectiveness”. Journal of Marketing, 25(6), pp.
59-62.

Lewis, Glen dan Slade, Christina. (2000). Critical communication. Australia:


Pearson

LIliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.


Yogyakarta: LKIS

Lister, M., Dovey J., Giddings S., Grant I., Kelly K. (2009). New Media: A Critical
Introduction, London dan New York: Routledge.

Manning, Peter. (1992). Organizational Communication. New York: A. de Gruyter.

McQuail, Dennis dan Windahl, Swen. (1993). Communication Models for The
Study of Mass Communication. New York: Routledge.

McQuail, Dennis. (2010). Mass Communication Theory. USA: Sage Publication

Mehrabian, Albert. (1972). Nonverbal Communication. USA: Routledge

Mulyana, Dedy. (2012). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya

Reddy, Michael. (1979). “The Conduit Methapor - A Case of Frame Conflict In Our
Language About Language”. Dalam Ortony, Andrew, Methapor And Thought.
Cambridge: Cambridge University Press

Robbins, SP. dan Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba

62
Rogers, Everett M. dan Kincaid, D. Lawrence. (1981). Communication Network:
Toward A New Paradigm For Research. New York: Free Press

Rogers, Everett M. (1986). Communication Technology: The New Media in Society.


New York: The Free Press.

Saussure, Ferdinand D. (1961). Course in General Linguistics. UK dan USA:


Bloombury Academic.

Schramm, Wilbur. (1954). The Process and Effect of Mass Communication. Illinois:
Urbana University of Illinois Press.

Shannon, Claude E. dan Weaver, Warren. (1949). The Mathematical Theory of


Communication. Urbana and Chicago: Universty of Illinois Press.

Steinberg, Sheila. (2006). An Introduction To Communication Studies. Cape Town:


Jutta and Co.

Verderber, Rudolph F. (2005). The Challenge of Effective Speaking. USA:


Wadworth Publishing

Vocate, Donna R. (1994). “Self-Talk and Inner Speech: Understanding the


Uniquely Human Aspects of IntrapersonaI Communication”. Dalam Vocate,
Donna R., Intrapersonal Communication: Different Voices, Different Minds.
Hillsdale, N.J.: Erlbaum

West, Richard dan Turner, Lynn H. (2009). Introducing Communication Theory:


Analysis and Application. USA: McGraw-Hill

63

Anda mungkin juga menyukai