Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Komunikasi berasal dari kata "communicare" yang berarti berpartisipasi atau
memberitahukan dan "communis" yang berarti milik bersama. Menurut Liliweri A,
2008, Komunikasi mengandung beberapa pengertian komunikasi, yaitu:
a. Pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti
serta saling percaya demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang
dengan orang lainnya.
b. Pertukaran fakta gagasan, opini atau emosi antar dua orang atau lebih.
c. Suatu hubungan yang dilakukan melalui surat, kata-kata, simbol atau pesan yang
bertujuan agar tiap manusia yxrg terlibat dalam proses dapat saling tukar menukar
anti dan pengertian terhadap sesuatu.
Komunikasi adalah suatu hubungan kontak antar manusia baik individu maupun
kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi menjadi
bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Dari semenjak seorang manusia dilahirkan
ke dunia, sudah berkomunikasi dengan lingkungannya berupa tangisan dan gerakan.
Komunikasi memiliki peranan yang penting dalam hidup manusia. Komunikasi
menyentuh segala aspek kehidupan kita. Sebuah penelitian (Applboum,1974:63)
menyebutkan bahwa tiga perempat (70%) waktu bangun kita digunakan untuk
berkomunikasi membaca menulis dan mendengarkan. Secara lebih detail dan spesifik,
komunikasi memiliki beberapa definisi, antara lain yaitu :
a. Proses pengiriman ide atau pikiran dari satu orang kepada orang lain, dengan
tujuan untuk menciptakan pengertian dalam diri orang lain yang menerimanya
(BROWN).
b. Proses pengiriman dan penerimaan berita atau sinyal (CHAPLIN).
c. Proses penyaluran informasi dan pengertian dari satu orang ke orang lain
(DAVTS).

1
Dalam menjalin sosialisasi dan rasa kemanusiaan yang akab diperlukan saling
pengertian antara sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini faktor komunikasi
memainkan peranan penting, terutama bagi manusia modem. Kegiatan rasional
berdasarkan logika akan terselenggara dengan baik akibat adanya komunikasi.
Berhasilnya suatu komunikasi adalah apabila kita mengetahui dan mempelajari unsur-
unsur yang terkandung dalam proses komunikasi. Unsur-unsur itu adalah sumber
(resource), pesan (message), saluran (channel) dan penerima (receiver/audience).
Dalam proses komunikasi diusahakan adanya tukar menukar pendapat, penyampaian
pesan informasi, serta perubahan sikap dan perilaku. Diluar unsur-unsur yang telah
disebutkan sebelumnya, hal yang penting lainnya adalah unsur pengaruh (effects) dan
umpan balik (feedback). Efek yang diharapkan dalam komunikasi adalah adanya
perubahan yang terjadi pada penerima (komunikan atau khalayak), sebagai akibat
pesan yang diterima baik langsung maupun tidak langsung. Komunikasi dikatakan
efektif yaitu bila pendengar (penerima berita) menangkap dan menginterpretasikan
ide yang disampaikan dengan tepat seperti apa yang dimaksud oleh pembicara
(pengirim berita).
Sesuai dengan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa secara sederhana,
komunikasi juga memiliki beberapa ciri sendiri, yaitu :
a. Komunikasi melibatkan ORANG dan memahami bagaimana orang berhubungan.
b. Komunikasi meliputi PERTUKARAN ARTI (Shared Meaning).
c. Komunikasi adalah SIMBOL (gerak-gerik, suara, angka kata-kata).
Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang atau beberapa orang,
kelompok, organisasi, dan masyakat menciptakan, dan menggunakan informasi agar
terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara
lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada
bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya komunikasi masih dapat
dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu,
misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini
disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

2
Berikut adalah gambar clad model komunikasi yang pating sederhana yaitu
komunikasi satu tahap, yang memungkinkan terjadinya komunikasi satu arah.
Pengirim ........ ^OP Pesan Penerima
Model ini menunjukkan 3 unsur esensi komunikasi. Bila salah satu saja unsur diatas
hilang, maka komunikasi tidak dapat berlangsung. Sebagai contoh seorang dapat
mengirimkan pesan, tetapi bila tidak ada yang menerima atau yang mendengar,
komunikasi tidak akan terjadi. Dari model komunikasi diatas, dengan unsur-unsur
pentingnya, memaparkan proses komunikasi sebagai sumber mempunyai gagasan,
pemikiran atau kesan yang diterjemahkan atau disandikan ke dalam kata-kata dan
symbol-simbol (encoding), kemudian disampaikan atau dikirimkan sebagai pesan
kepada penerima-penerima menangkap simbol-simbol dan diterjemahkan kembali
atau diartikan kembali menjadi suaur gagasan (decoding) dan mengirimkan berbagai
bentuk umpan balik kepada pengirim.
Sumber (source) atau pengirim mengendalikan berbagai pesan yang dikirim,
susunan yang digunakan, dan saluran mana yang akan digunakan untuk mengirim
pesan tersebut. Mengubah pesan ke dalam berbagai bentuk simbol-simbol verbal atau
nonverbal yang mampu memindahkan pengertian, seperti kata-kata percakapan atau
tulisan, angka gerakan dan sebagainya.
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindak lanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana,2003). Komunikasi
yang efektif terjadi bila pendengar (penerima berita) menangkap dan
menginterpretasikan ide yang disampaikan dengan tepat seperti apa yang dimaksud
oleh pembicara (pengirim berita). Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan
untuk mengupayakan proses komunikasi yang efektif, yaitu antara lain :
a. Sensitifitas kepada penerima komunikasi. Sensitivitas ini sangatlah penting dalam
penentuan cara komunikasi serta pemilihan media komunikasi. Hal-hal yang
bersifat penting dan pribadi paling baik dibicmakan secara langsung atau tatap
muka, dan dengan demikian mengurangi adanya kecanggungan serta kemungkinan
adanya miskomunikasi.

3
b. Kesadaran dan pengertian terhadap makna simbolis. Hal ini menjadi penting dalam
seseorang mengerti komunikasi yang disampaikan. Komunikasi seringkali
disampaikan secara non verbal atau lebih dikenal dengat body language.
Pengertian akan body language, yang bisa berbeda sesuai dengan kultur, ini akan
memberikan kelebihan dalam komunikasi.
c. Penentuan waktu yang tepat. Hal ini sangatlah penting terutama dalam
mengkomunikasikan keadaan yang bersifat sensitif.
d. Umpan balik. Umpan balik menjadikan komunikasi lebih efektif karena dapat
memberikan kepastian mengenai sejauh mana komunikasi yang diadakan oleh
seseorang sumber (source) dapat diterima oleh komunikan (receiver).
e. Komunikasi tatap muka. Komumikasi semacam ini memungkinkan kita untuk
melihat dengan baik lawan bicara kita melihat body language, melihat mimik
lawan bicara, serta menghilangkan panjangaya rantai komunikasi yang
memungkinkan terjadinya miskomunikasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. Teliti tujuan sebenamya dalam setiap berkomunikasi.
b. Pertimbangkan keadaan fisik dan psikis orang lain dalam berkomunikasi.
c. Perhatikan tekanan nada dan eksperesi wajah sesuai dengan isi pesan yang
disampaikan.
d. Perhatikan konsistensi dalam berkomunikasi.
e. Jadilah pendengar yang baik dalam berkomunikasi.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan
oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan
komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus
diluruskan. Sebenamya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang
efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat
mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya
sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan
pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga

4
akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa sernua yang
dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut
dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan
waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena
dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam
pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien
merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen
pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan
untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun
komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan
perlunya memberikan pedoman untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi
dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting
dalam pengembangan komunikasi dokter pasien diharapkan di perubahan sikap dalam
hubungan dokter pasien. Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya
adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk
dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan
efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998). Menurut Kutzt (1998), dalam dunia kedokteran
ada dua pendekatan komunikasi
yang digunakan:
1. Disease centered communication style atau doctor centered communication stye.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis,
termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
2. Illness centered communication style atau patient centered communication style.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang
secara individu pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatiran,
harapannya, apa yartg menjadi kepentingannya serta apa yag dipikirkannya.

5
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan
serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenamya tidak
memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered commonication style.

6
BAB II
RUANG LINGKUP

Pada sebuah organisasi khususnya rumah sakit, proses komunikasi adalah


proses yang pasti dan selalu terjadi. Komunikasi adalah sarana untuk mengadakan
koordinasi antara berbagai sub bagian dalam organisasi. Organisasi yang berfungsi
baik, ditandai oleh adanya kerjasama secara sinergis dan harmonis dari berbagai
komponen. Suatu organisasi dikonstruksi dan dipelihara dengan komunikasi. Artinya
ketika proses komunikasi antar komponen dapat diselenggarakan secara harmonis,
maka organisasi tersebut semakin kokoh dan kinerja organisasi akan meningkat.
Secara umum, jenis komunikasi antar petugas yang dapat terjadi di suatu
organisasi layanan kesehatan yang besar antara lain :
1 . Komunikasi antara dokter/petugas kesehatan dengan pasien
2. Komunikasi antara dokter dengan petugas kesehatan lain
3. Komunikasi antara direksi dengan staf dibawahnya
4. komunikasi antar petugas kesehatan.
Jenis-jenis komunikasi tersebut tentunya bisa lebih banyak lagi bergantung
kepada besarnya organisasi dan banyaknya jenis pelayanan yang diberikan. Semakin
banyak jenis komunikasi yang ada pada suatu organisasi tersebut, kemungkinan
terjadinya gangguan komunikasi juga lebih besar. Pemahaman terhadap jenis
komunikasi di organisasi layanan kesehatan, bagaimana komunikasi dilaksanakan,
identifikasi masalah komunikasi, penyebab hambatan komunikasi dan bagaimana
mengatasi hambatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan.
Pada banyak proses pelayanan di rumah sakit, komunikasi sangat berperan
penting dalam peningkatan keselamatan pasien. Proses transfer pasien, proses operan
antara perawat, proses pemberian instruksi dokter, dan masih banyak lagi proses-
proses di rumah sakit yang memerlukan komunikasi efektif yang melibatkan petugas
kesehatan dan pemberi asuhan lainnya.

7
BAB III
TATA LAKSANA

A. Komunikasi Efektif antara Dokter/Petugas Kesehatan dengan Pasien


Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan
melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri
dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan
berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih. Carma L. Bylund &
Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication in
Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomtunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi
berikut:
1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a
physician
cognitive capacity to understand patient's needs)
2. Menunjukkan efektifitas sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an
affective
sensitivity to patient's feelings)
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan
empatinya kepada pasien. Sementara Bylund & Makoul (2002)
mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem.
Berikut adalah contoh aplikasi empati tersebut :
Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien
- Mengacuhkan pendapat pasien
- Membuat penyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti
"Kalau stress ya, mengapa datang ke sini?" Atau "Yang lebih baik
operasi saja sekarang."
Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

8
- "A ha", tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan
badan, menyiapkan alat, dan lain-lain
Level 2 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit
- . Pasien, "Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja"
- . Dokter, "Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?
Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien
- "Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau
menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?"
Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien
- "Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha
Anda untuk menyempatkan berolah raga"
Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien
- "Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua.
Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian
setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir"
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut
pandang pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit. Sikap Profesional
Dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan dengan tugasnya, yang berarti
mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai peran dan fungsinya; mampu
mengahargai diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagian tugas profesi
dengan tugas-tugas pribadi yang lain; dan mampu menghadapi berbagai
macam tipe pasien serta marnpu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang
lain. Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini penting
untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada dokter, yang
merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif
(Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya dijalin terus-menerus
sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung, dan di akhir
konsultasi.

9
Pada dasamya komunikasi efektif bagaimana menyatukan sudut
pandang pasien maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi dokter-pasien
menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Di dunia kedokteran model komunikasi tersebut telah dikembangkan
oleh Van Dalen (2005) menjadi sebuah model yang sangat sederhana dan
aplikatif.
1 3
2 3

Kotak I : pasien memimpin pernbicaraan melalui pertanyaan terbuka yang


dikemukakan oleh dokter.
Kotak 2 : dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan
tertutup/terstruktur yang telah disusunnya sendiri
Kotak 3: kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan
negosiasi kedua belah pihak
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan
melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati dapat diraih
melalui kecukupan dokter akan dapat diraih melalui latihan.
Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua tahap yang penting:
1. Tahap pengumpulan informasi dimulai dengan tahap penggalian informasi
yang terdiri dari:
a. Mampu mengenali alasan kedatangan pasien.
b. Menggali riwayat pasien
2. Tahap penyampaian informasi
Setelah tahap pengumpulan informasi dilakukan dengan akurat, maka dokter
masuk ketahap penyampaian informasi. Tanpa informasi yang akurat ditahap
pengumpulan informasi, dokter dapat terjebak kedalam kecurigaan yang tidak
beralasan.

10
Secara ringkas ada 6 (enam) hal penting yang harus diperhatikan agar efektif
dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu:
1. Materi informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik ( kemungkinan rasa tidak nyaman /
sakit saat pemeriksaan)
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis. Berbagai tindakan
medis yang akan dilakukan untuk menentukan diagnosis (manfaat, resiko,
efek samping/ komplikasi)
c. Hasil dan interpretasi tindakan medis yang telah dilakukan untuk
d. menegakkan diagnosis
e. Diagnosis jenis atau tipe
f. Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan
masing-masing cara)
g. Prognosis
h. Dukungan yang tersedia
2. Siapa yang diberi informasi
a. Pasien kalau pasiennya menghendaki dan kondisinya memungkinkan
b. Keluarga atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali / pengampu dan
bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak memurgkinkan
untuk berkomunikasi sendiri secara langsung
3. Berapa banyak atau sejauh mana
a. Untuk pasien : sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu
dengan memperhatikan kesiapan mental pasien
b. Untuk keluarga : sebanyak yang pasien / keluarga kehendaki dan sebanyak
yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya
4. Kapan penyampaian informasi
a. Segera jika kondisi dan situasinya memungkinkan
5. Dimana penyampaiannya
a. Di ruang praktik dokter

11
b. Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat
c. Di ruang diskusi
d. Ditempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama pasien / keluarga dan
dokter.
Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian, perumusan
diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Tahap pengkajian
Pengakajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit yang
dilakukan oleh petugas registrasi / admisi dan perawat untuk mengumpulkan
data pasien. Data tersebut diperlukan sebagai dasar pelaksnaan proses
keperawatan pada tahap selanjutnya.
2. Tahap perumusan diagnosis
Data dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap pengkajian.
Perumusan diagnosis keperawatan merupakan hasil penilaian perawat dengan
melibatkan pasien dan keluarganya tenaga kesehatan lain yang berkenaan
dengan masalah yang dialami pasien. Diagnosis keperawatan yang tepat
memerlukan sikap komunikatif perawat dan sikap kooperatif pasien.
3. Tahap perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien diperlukan
interaksi dan komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk menentukan alternatif
rencana keperawatan yang akan diterapkan. Misalnya sebelum memberikan
makanan kepada pasien, perawat harus terlebih dahulu mengetahui makanan
yang sesuai bagi pasien. Rencana tindakan yang dibuat oleh perawat
merupakan media komunikasi antar tenaga kesehatan yang berkesinambungan
sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara teratur dan efektif.
4. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi
dengan pasien. Terdapat dua kategori umum aktivitas perawat dalam
berkomunikasi, yaitu masalah psikologis.

12
Petugas Rumah Sakit berkewajiban untuk melakukan edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien sehingga pasien dan keluarga pasien bisa memahami pentingnya
mengikuti proses pengobatan yang telah ditetapkan.
1. Tahap assesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, pertama-tama petugas menilai kebutuhan edukasi
pasien dan keluarga pasien berdasarkan formulir assesmen kebutuhan edukasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
b. Kemampuan membaca tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan
c. Hambatan emosional dan motivasi
d. Keterbatasan fisik dan kognitif
e. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi
2. Tahap penyampaian informasi dan edukasi yang efektif
Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif tergantung pada hasil
asesmen pasien, yaitu :
a. Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang maka
proses komunikasi edukasinya bisa langsung dijelaskan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan edukasinya.
b. Jika pasien memiliki hambatan fisik (tuna rungu dan tuna wicara) maka
proses komunikasi edukasinya dapat disampaikan dengan menggunakan
media cetak seperti brosur yang diberikan kepada pasien dan keluarga
sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau saudara sekandung) dan
menjelaskannya kepada mereka.
c. Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien marah atau depresi) maka
proses komunikasi edukasinya juga dapat disampaikan dengan
menggunakan media cetak seperti brosur dan menyarankan pasien untuk
membacanya. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien bisa
menghubungi perawat jaga admisi dan registrasi petugas yang kompeten.

13
3. Tahap verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan keluarga mengenai
kejelasan dan pemahaman materi edukasi yang diberikan.
a. Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam kondisi baik dan senang
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kembali edukasi
yang telah diberikan.
b. Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka verifikasinya dapat
dilakukan dengan cara menanyakan kepada keluarganya dengan pertanyaan
yang sama, yaitu " Apakah Bapak/Ibu bisa memahami materi edukasi yang
kami berikan?"
c. Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional (marah atau depresi)
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kepada pasien
mengenai sejauh mana pasien telah mengerti tentang materi edukasi yang
diberikan melalui brosur. proses pertanyaan ini bisa melalui telepon atau
datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.
d. Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan komunikasi
yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Apabila
pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit, diharapkan mempercepat
proses penyembuhan pasien.

B. Komunikasi Efektif antara Dokter dengan petugas Kesehatan Lain


Dalam memberikan pelayanan di Rumah Sakit Jati Husada Karanganyar,
antar pemberi layanan melakukan komunikasi dengan teknik SBAR. SBAR
merupakan suatu teknik komunikasi yang dipergunakan dalam melakukan
identifikasi terhadap pasien sehingga mampu meningkatkan kemampuan
komunikasi antara dokter dengan tenaga kesehatan lain. Dengan komunikasi
SBAR ini maka perawat dapat memberikan laporan mengenai kondisi pasien
lebih informatif dan terstruktur. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan
suatu kebijakan dan atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk
mencatat perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah,

14
kemudian penerima perintah membacakan kembali perintah atau hasil
pemerikasaan dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca
ulang adalah akurat. Perhatian dan tindakan segera. Teknik SBAR terdiri atas
Situation, Background, Assesment, Recommendation. pada prinsipnya SBAR
merupakan komunikasi standar yang ingin menjawab pertanyaan yaitu : apa yang
terjadi, apa yang diharapkan oleh perawat dari dokter yang dihubungi dan kapan
dokter harus mengambil tindakan.
Empat (4) Unsur SBAR:
l. Situation
Menjelaskan kondisi terkini dan keluhan yang terjadi pada pasien. Misalnya :
penurunan
tekanan darah, gangguan irama jantung, sesak nafas, dan lain- lain.
2. Background
Menggali informasi mengenai latar belakang klinis yang menyebabkan
timbulnya keluhan klinis. Misalnya : riwayat alergi obat-obatan, hasil
pemeriksaan laboratorium yang sudah diberikan, hasil pemeriksaan penunjang,
dan lain- lain.
3. Assessment
Penilaian/pemeriksaan terhadap kondisi pasien terkini sehingga perlu
diantisipasi agar kondisi pasien tidak memburuk.
4. Recommendation
Merupakan usulan sebagai tindak lanjut, apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah pasien saat ini. Misalnya : menghubungi dokter,
mengarahkan pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang, dan lain- lain.
Dalam berkomunikasi di rumah sakit, petugas dan tenaga medis harus melakukan
proses verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan dengan cepat, baca
kembali dan konfrmasi ulang (CABAK), yaitu:
1. Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau dapat melalui sarana
komunikasi seperti telepon. Pemberi pesan harus memperhatikan kosa kata

15
yang digunakan, intonasi, kekuatan suara (tidak besar tidak kecil), jelas,
singkat dan padat.
a. Penerima pesan mencatat isi pesan tersebut (CATAT)
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka penerima pesan
harus mencatat pesan yang diberikan secara jelas. Dokumentasi ditulis
diform CPPT (RM 7)
b. Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima pesan (BACA)
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus membacakan kembali pesan
tersebut kepada pemberi pesan agar tidak terjadi kesalahan dan pesan
dapat diterima dengan baik.
c. Penerima pesan mengkonfirmasi kembali isi pesan kepada penerima
pesan. (KONFIRMASI)
Pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang dibacakan oleh penerima
pesan dan memberikan perbaikan bila pesan tersebut masih ada yang
kurang atau salah. penerima perintah memberikan cap verikasi yang diisi
tanggal, jam, nama dan tanda tangan penerima perintah.
d. Pemberi perintah melakukan verifikasi kelengkapan perintah lx24 jam
dengan mernbaca kernbali perintah, kalau sudah benar kcrnudian
memberikan tanda tangan pada cap verifikasi. Diisi nama, tanggal dan jam
saat verfikasi
Sistem CABAK dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Komunikasi via telepon merupakan suatu proses penyampaian informasi dari
seseorang kepada orang lain melalui telepon dengan tujuan agar komunikasi
berjalan dengan baik.
Prosedur menerima telepon :
1. Ucapkan salam dan sebutkan Unit Kerja....Nama (Contoh :
Assalamu’alaikum, Ruang"A" dengan petugas ,'A" ada yang bisa saya
bantu)? / (Jika dering panjang.. dari luar RS Jati Husada Karanganyar
ada yang bias saya bantu?)

16
2. Tanyakan keperluan penelepon, bila perlu catat hal-hal yang penting
(siapkan bolpoint dan kertas dekat pesawat telepon)
3. Jawablah dengan tepat dan benar, sesuai dengan yang penelpon
tanyakan
Bila diperlukan, tulis informasi dari penelfon dan lakukan konfirmasi tentang
yang ditulis Penelpon
1. Jawab salam dan sebutkan nama dan unit kerja (Contoh :
Wa'alaikumsalam,
Dengan petugas 'A" dari ruangan ,'A',)
2. Beritahukan keperluan menelepon dengan kata-kata yang jelas, sopan
dan mudah dimengerti oleh penerima telepon.
3. Berikan konfirmasi terkait informasi yang disampaikan.
4. Jika semua sudah selesai tutup pembicaraan telepon dengan ucapkan
salam.
Yang perlu diperhatikan saat proses komunikasi via telepon:
1. Jangan menerima telepon pada saat komunikasi dengan orang lain
2. Tidak boleh terlalu lama melakukan komunikasi via telepon, karena
kemungkinan
ada penelepon lain yang ingin menghubungi lagi.
3. Bila penelepon memerlukan berbicara dengan orang lain selain penerima
telepon,
sampaikan kepada orang yang dituju dengan secepatnya(bila orang yang
dituju berada dekat dari jangkauan) atau jawab " Mohon telepon lagi
karena orang yang dituju tidak ada" (bila orang yang diluar jangkauan
kita /tidak diruang).

C. Komunikasi antara Manajemen dengan Stafnya


Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan
organisasi didalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi.
Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri

17
dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di
dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan
dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-
surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang
disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada
anggotanya secara individual.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada
peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam
mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk
komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang
dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa
yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan
suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis
organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan
situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
Robert Bonnington dalam buku Modem Business: A Systems Approach,
(1994) menyatakan fungsi komunikasi dalam organisasi adalah sebagai berikut:
1. Fungsi informatif
Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi.
Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat
memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu.
Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat
melaksanakan peketannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam jajaran
manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan
organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi.
Sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi untuk
melaksanakan pekerjaan, di samping itu juga informasi tentang jaminan
keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti, dan sebagainya.

18
2. Fungsi regulatif
Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu
organisasi. Terdapat dua hal yaag berpengaruh terhadap fungsi regulatif,
yaitu:
a. Berkaitan dengan orang-orang yang berada dalam jajaran manajemen,
yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua
informasi yang disampaikan. Juga memberi perintah atau intruksi supaya
perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya
b. Berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasamya berorientasi
pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang
pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan.
3. Fungsi persuasif
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan
selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini,
maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya
daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela
oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar disbanding
kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya.
4. Fungsi integratif
Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan
karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua
saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu:
a. Saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus daram organisasi
tersebut dan laporan kemajuan organisasi.
b. Saluran komunikasi informal seperti perbincangan antar pribadi selama
masa istirahat ketempat pertandingan olahraga ataupun kegiatan
darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan
untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap
organisasi.

19
Komunikasi atasan bawahaa dalam sebuah organisasi memiliki pengertian
yaitu infomrasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang
berotoritas lebih rendah (pace & Fautes, 2000). Komunikasi kebawah menunjukkan
arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pemimpin kepada bawahannya.
Kebanyakan komunikasi ke bawahan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
yang berkenaan dengan pengarahan, tujuan, disiplin, perintah, pertanyaan dan
kebijakan umum. Tujuan komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan,
untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan
yang timbul karena sarah informasi, mencegah kesarahpahaman karena kurang
informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan (Muhammad, 2004).
Jenis informasi yang dikomunikasikan ke bawah Menurut Katz dan Kahn
dalam Purwanto (2003), komunikasi dari atas ke bawah mempunyai lima tujuan
pokok, yaitu:
a. Memberikan pengarahan atau instruksi keda tertentu. Tipe informasi ini
memusatkan pada apa yang harus karyawan takukan dan bagaimana
melakukannya. Instruksi kerja yang berbentuk perintah, pengarahan,
penjelasan dan deskripsi pekerjaan merupakan cara untuk menyampaikan
informasi jenis ini.
b. Memberikan informasi mengapa suatu peke{aan harus dilaksanakan. Tipe
informasi ini bertujuan agar karyawan mengetahui bagaimana pekerjaan
mereka berhubungan dengan tugas-tugas dan posisi lainnya dalam organisasi
dan mengapa mereka melakukan pekerjaannya. Dengan kata lain, tipe
informasi ini membantu karyawan mengetahui bagaimana pekerjaan mereka
membantu organisasi dalam mencapai tujuannya.
c. Memberikan informasi tentang prosedur dan praktik organisasional.
Karyawan diberikan informasi mengenai jumlah jam kerja gaji, progam
pensiun, asuransi kesehatan, liburan dan ijin cuti, program insentif, penalti
dan hukuman.
d. Memberikan umpan balik pelaksanaan kerja kepada para karyawan.

20
Informasi mengenai hasil kerja karyawan sangat penting dalam
mempertahankan operasional perusahaan. Karyawan sering mengeluh, seperti
mereka tidak tahu bagaimana atasan melihat performans mereka.
e. Menyajikan informasi mengenai aspek ideologi dalam membantu organisasi
menanamkan pengertian tentang tujuan yang ingin dicapai.
Bentuk komunikasi yang digunakan dalam komunikasi ke bawah (Muhammad,
2004):
1. Bentuk lisan: rapat, diskusi, interview, telepon sistem interkom. Kontak
interpersonal, laporan lisan, ceramah.
2. Bentuk tulisan: surat, memo, telegram, majalah, surat kabar, deskripsi
pekerjaan, panduan pelaksaan pekerjaan, laporan tertulis, pedoman
kebijaksanaan.
3. Bentuk gambar: grafik, poster, slide.

D. HAMBATAN DAN MASALAH KOMUNIKASI


Hambatan adalah segala sesuatu yang menghalangi, membingungkan,
mengacaukan dan menggangu proses komunikasi. Gangguan ini bisa muncul pada
setiap tahap dalam proses komunikasi, namun demikian gangguan terbanyak timbul
pada tahap Encoding & Decoding.
Dalam kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai individu terdapat beberapa
gangguan daram komunikasi, seperti beberapa contoh dibawah ini :
1. Mata rantai yang terlalu panjang, yang bisa menyebabkan terjadinya gangguan
(distortion).
2. Terlalu banyak informasi dalam saluran komunikasi, yang bisa menyebabkan
overload atau
terjadinya gangguan.
3. Lingkungan yang menimbulkan kesulitan dalam komunikasi.
4. Hambatan Organisasi yaitu tingkat hirarkhi, wewenang manajerial dan spesialisasi.
Tingkat

21
hirarkhi bila suatu organisasi tumbuh, dan strukturnya berkembang, akan
menimbulkan berbagai masalah komunikasi. Karena pesan harus melalui tingkatan
(jenjang) tambahan, yang memerlukan waktu yang lebih lama barulah pesan itu
sampai. Wewenang Manajerial artinya,
kekaburan wewenamg bagi setiap tingkatan pada jabatan tertentu akan membuat
pesan tidak sampai ke seluruh bagian yang ada dalam organisasi tersebut.
Spesialisasi artinya adalah prinsip organisasi, tetapi juga menimbulkan masalah-
masalah komunikasi, apalagi mereka yang berbeda keahlian bekerja sating
berdekatan. Perbedaan fungsi dan kepentingan dan istilah-istilah dalam pekerjaan
mereka masing dapat menghambat, dan membuat kesulitan dalam memahami,
sehingga akan timbul salah pengertian dan sebagainya.
Ada 3 penyebab yang dapat berdampak terhadap hubungan antar petugas kesehatan,
yakni :
l. Role stress
2. Lack of interprofessional understanding
3. Autonomy struggles
Konflik antar petugas kesehatan sangat panting karena pada gilirannya akan
mempengaruhi kualitas pelayanan kepada pasien. Menghadapi pasien setiap hari
bukanlah suatu hal yang mudah. Petugas kesehatan hampir setiap hari harus
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan nyawa seseorang, misalnya menentukan
diagnosis penyakit fatal, menjelaskan pengobatan yang kadang-kadang tidak
menjanjikan kesembuhan, menginformasikan prognosis yang tidak baik atau harus
memberikan obat yang harganya sulit dijangkau oleh pasien. Hal-hal ini sedikit
banyak akan mempengaruhi suasana hati dokter dan dapat mempengaruhi komunikasi
verbal dan non-verbalnya dengan sesama petugas. Pengendalian emosi dan stres
sangat dibutuhkan dalam pekerjaan sehari-hari tenaga medis di rumah sakit. Kita
mengharapkan semua petugas kesehatan memahami perannya masing-masing dalam
lingkungan kerjanya. Dalam praktiknya ternyata tidak demikian. Walaupun telah ada
kemajuan dalam memahami peran petugas lainnya" kebingungan atau kesalah

22
tafsiran tentang peran dari masing-masing petugas masih sering terjadi. Itulah yang
disebut dengan Lack of interprofessional understanding.
Faktor ketiga adalah masalah otonomi, yakni "the freedom to be selfgoverning
or self-directing". Pentingnya otonomi digaris bawahi oleh Conway, yang
menyatakan bahwa kapasitas untuk melakukan otonomi sangat penting agar petugas
dapat memenuhi peran profesinya. Tingginya professional autonomy berhubungan
dengan membaiknya job morale dan job performance.
Perbedaan tingkat otonomi pada petugas kesehatan dapat memacu ketegangan
interpersonal. Perawat misalnya sering menyatakan kekesalannya karena rendahnya
otoritas mereka untuk pengambilan keputusan yang sederhana tetapi penting bagi
keamanan atau kenyamanan pasien. Di dalam menghadapi tantangan globalisasi,
setiap petugas kesehatan memerlukan otonomi sesuai dengan tugas dan kewajibannya
masing-masing.
Masalah komunikasi merupakan penyebab yang paling umum dalam
terjadinya medical error. Diantaranya addah kegagalan komwrikasi baik verbal
ataupun tertulis, miskomunikasi staf antar shift, informasi tidak didokumentasikan
dengan baik atau hilang, masalah komunikasi dalam satu lokasi, antar berbagai
lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis dan antar staf dengan pasien.
Arus informasi yang tidak adekuat juga merupakan masalah yang umum
terjadi, misalnya ketersediaan informasi yang terbatas saat akan merumuskan
keputusan penting, komunikasi yang tidak tepat waktu saat pemberian hasil
pemeriksaan yang kritis, kurangnya koordinasi instruksi obat saat transfer antara unit,
informasi penting yang tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit lain atau dirujuk
ke rumah sakit lain.
Setiap komunikasi yang terjalin wajib dicatat dalam berkas rekam medis
pasien, baik komunikasi antar petugas kesehatan (dokter dengan dokter, dokter
dengan perawat, dokter dengan tenaga medis lainnya perawat dengan perawat,
perawat dengan tenaga medis lain) ataupun komunikasi antar petugas kesehatan
dengan pasien atau keluarga pasien (dokter dengan pasien atau keluarga pasien,
perawat dengan pasien atau keluarga pasien).

23
a. Masalah Komunikasi Dokter dengan Pasien
Dokter dan pasien adalah dua subyek hukum yang terkait dalam hukum
kedokteran. Dari keduanya akan terbentuk suatu hubungan, baik hubungan medik
maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter
dan pasien adalah suatu hubungan yang obyeknya adalah pemeliharaan kesehatan
(rehabilitatif dan pelayanan kesehatan khusunya kuratif. Peran dokter dalam
pelayanan medik adalah sebagai pelaksanaan suatu profesi medik dengan
pemberian pertolongan medik berdasarkan keahlian, keterampilan, dan ketelitian
terhadap pasien.
Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum, adalah hubungan
antara subyek hukum dengan subyek hukum. Dilihat dari hubungan hukumnya,
antara dokter dan pasien terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan
(verbintenis).
Menurut C. Asser's, perikatan diartikan sebagai "hubungan hokum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih berdasarkan dimana orang yang
satu terhadap orang yang lainnya berhak atas suatu penuaian/prestasi dan orang
lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas penuaian/prestasi itu". Ciri khas
perikatan ini menurut C. Asser's adalah bahwa perikatan merupakan hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan.
Doktrin ilmu hukum mengenal dua macam perikatan, yaitu perikatan ikhtiar
(inspanning verbintenis) dan perikatan hasil (resultaat verbintenis). Pada perikatan
ikhtiar maka prestasi yang diberikan dokter kepada pasien adalah berupa upaya
semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, prestasi yang harus
diberikan dokter adalah berupa hasil tertentu. Dasar dari perikatan antara dokter
dan pasien dikenal dengan istilah perjanjian atau transaksi terapeutik. Perjanjian
atau transaksi terapeutik antara dokter dan pasien ini adalah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, yakni antara dokter dan pasien bebas menentukan isi dari
perjanjian/kontrak yarg mereka sepakati bersama, dengan syarat tidak
bertentangan dengan undang-undang, kepatutan, kepantasan dan ketertiban. Di
dalam transaksi terapeutik terdapat dua pihak, yaitu dokter sebagai pemberi

24
pelayanan medik dan pasien sebagai penerima pelayanan medik. Hak dokter disatu
pihak dan kewajiban pasien lain pihak secara timbal balik, serta prestasi yang
harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Oleh karena itu dalam transaksi
terapeutik antara dokter dan pasien, dapat dijumpai hak-hak pasien disatu pihak
dan pada pihak lain terdapat kewajiban-kewajiban dari dokter, dan demikian pula
sebaliknya.
Obyek dari hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam perjanjian atau
transaksi terapeutik ini adalah berbuat sesuatu yakni berupa upaya kesehatan
(kuratif) atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi isi perjanjian atau transaksi
terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya untuk mencari
terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter.
Dengan demikian, obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik adalah mencari
upaya kesehatan (kuratif) yang tepat bagi kesembuhan pasien. Jadi dokter tidak
menjanjikan kesembuhan bagi diri pasien, tetapi dokter berupaya semaksimal
mungkin untuk menyembuhkan pasien (perikatan ikhtiar).
Walaupun hubungan dokter-pasien merupakan suaru perjanjian dan upaya tetapi
upaya tersebut harus dilakukan oleh dokter dengan hati-hati dan usaha keras. Ada
standar profesi medis dan kode etik profesi medis serta itikad baik yang harus
dijadikan acuan oleh dokter dalam usaha melakukan penyembuhan pasien, yang
bilamana hasil pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien, maka dokter akan
mendapat perlindungan hokum dan terhindar dari tuduhan malpraktik.
Kurangrya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien menjadi pemicu
munculnya pengaduan malpraktik yang dilakukan dokter. Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKD) mengakui komunikasi yang gagal telah
menjadi masalah tersendiri. Akibatnya, walaupun dokter sudah menjalankan tugas
sesuai prosedur, namun pasien tetap merasa dirugikan karena hasil terapi tidak
sesuai harapan karena kurangnya komunikasi (Lack of Information).
Sampai dengan bulan Maret 2011, MKDKI telah melayani 127 pengaduan
kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi. Dari angka
terebut, sekitar 80 persen dipicu karena kurangnya komunikasi. Keterampilan

25
dokter dalam menyampaikan informasi menjadi kunci dalam situasi semacarn ini.
Jika dokter tidak cakap berkomunikasi, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman
yang berbuntut pada pengaduan oleh pasien baik ke MKDKI ataupun langsung ke
meja hijau. Komunikasi yang telah dirasakan baik oleh dokter belum tentu member
kepuasaan kepada pasien dan keluarga pasien. Banyak faktor yang menyebabkan
kegagalan komunikasi dokter dan pasien diantaranya dokter menjelaskan keadaan
medis pasien kepada banyak orang atau keluarga pasien, dalam hal ini informasi
yang diterima dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat penangkapan informasi
karena dokter menjelaskan dengan bahasa kedokteran sehingga sering
menimbulkan kesalahpahaman.
Pada hubungan dokter dan pasien telah mengalami pergeseran dari zaman ke
zaman. terdapat suatu pergeseran paradigma, dimana dokter bukan lagi dianggap
sebagai dewa atau orang suci tetapi telah menjadi figur manusia biasa. Hubungan
antara dokter dan pasien yang dulunya menganut paham paternalistic berubah
menjadi hubungan yang bersifat kontraktual. Kondisi dan situasi saat ini telah
menempatkan dokter dalam peran sebagai pelaku ekonomi yaitu sebagai penyedia
layanan jasa. Sehingga apabila jasa yang diberikan tidak memuaskan pasien, maka
pasien pun berhak untuk menyampaikan keluhan bahkan sampai pada tuntutan
hukum ke pengadilan.
Dalam hubungan dokter dan pasien ini tidak lepas dari komunikasi. Sejak
pasien datang untuk berobat kepada dokter telah terjadi jalinan komunikasi. Pasien
menjelaskan tentang penyakitnya, dokter memberi penjelasan dan informasi
tentang penyakit pasien. Komunikasi dokter-pasien yang efektif adalah terciptanya
rasa nyaman dengan terapi yang diberikan dokter pada pasien. Faktor prilaku
dokter terhadap pasiennya, kemampuan dokter untuk mendapatkan dan
menghormati perhatian pasien, tersedianya informasi yang tepat dan timbulnya
empati serta membangun kepercayaan pasien temyata merupakan kunci yang
menentukan dalam kenyamanan yang balk dengan terapi pada pasien. Sikap
empati yang ditunjukkan oleh dokter kepada pasien akan menumbuhkan rasa

26
kepercayaan pasien kepada doktemya yang kemudian dapat menimbulkan
kepuasan dan kepatuhan pasien pada pengobatan.
Komunikasi kepada pasien atau keluarga pasien dapat mencakup keadaan
kesehatan pasien, rencana pelayanan medik, persetujuan tindakan medic (Informed
Consent) dan edukasi terkait penyakitnya. Informed consent merupakan bagian
dari bentuk komunikasi antara dokter dan pasien. lnformed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara Iengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan dari informed
consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat
mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
merupakan bagian dari komunikasi yang berarti mengambil keputusan bersama.
Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempuma apabila
pasien telah menerima semua informasi yang di perlukan sehingga dapat
mengambil keputusan yang tepat.
Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan
guncangan psikis pada pasien. Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat,
lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien dan mencegah dari tuntutan
malpraktik akibat komunikasi yang kurang baik.
Tinjauan yang dilakukan oleh Levinson (1999) menyimpulkan bahwa
sebenarnya tuntutan-tuntutan malpraktek tersebut dapat dicegah dengan
komunikasi dokter-pasien yang adekuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
maraknya tuntutan malpraktek di masyarakat adalah cermin suatu kondisi
komunikasi yang kurang baik antara masyarakat dengan profesi kesehatan, Iebih
spesifik lagi antara pasien dengan dokter.
Dalam mencapai tujuan keselamatan pasien, yang tertuang dalam 7 Iangkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit, pada langkah nomor 5 yaitu libatkan
berkomunikasi dengan pasien, prinsipnya adalah pasien merupakan orang yang
paling ahli dalam penyakitnya, sehingga setiap pasien menginginkan dirinya

27
diperlakukan sebagai partner dalam pengobatan, pasien menginginkan keterbukaan
tentang apa yang telah terjadi dan membicarakan masalahnya dengan segera dan
empati serta membantu pasien mengatasi permasalahannya dengan lebih baik bila
sesuatu yang tidak diharapakan terjadi.
Keterbukaan dan kejujuran dari rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya
dapat membantu mencegah insiden menjadi keluhan resmi dan litigasi atau tuntutan
hukum. Kunci dari keterbukan adalah komunikasi yang efektif antara pasien dan
tenaga kesehatan.
a. Masalah komunikasi antara dokter dan pasien antara lain :
1. Masalah penerimaan informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien atau
keluarga pasien yang dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan pasien bila
pasien atau keluarga pasien tidak mengerti tujuan terapi atau tindakan yang
akan dilakukan sehingga menyebabkan, antara lain :
a. Tindakan tertunda
b. Penolakan tindakan medis
2. Masalah komunikasi dokter, tata bahasa gaya bicara yang dapat menimbulkan
ketersinggungan pasien atau keluarga pasien Pasien komplain ke Rumah
Sakit, Pasien meminta alih rawat ke dokter lain, Pasien menuntut dokter atau
melaporkan dokter ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI)
b. Masalah Komunikasi Dokter dengan Dokter : Masalah pembagian kewenangan
dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) utama dan DPJP yang lain sering
menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan dalam kondisi rawat bersama.
Kurangnya komunikasi atau masalah pencatatan terapi dalam rekam medik
pasien yang tidak dilihat oleh doker lain sehingga terapi menjadi tumpang tindih.
Tidak pemah berdiskusi tentang kebutuhan pasien sehingga terapi menjadi tidak
efisien, efektif, masa perawatan/Length Of Stay (LOS) lebih lama juga menjadi
masalah yang sering terjadi. Perbedaan pendapat dan nasihat juga sering
membingungkan pasien. Masalah komunikasi yang lain adalah instruksi dari

28
DPJP ke dokter jaga ruangan yang tidak jelas atau terburu-buru sehingga
menyebabkan kesalahan.
Dalam hal ini perlu dibuat kebijakan tentang kewenangan DPJP sehingga
komunikasi antara dokter yang satu dengan dokter yang lain terjalin dengan baik
sehingga pasien mendapat pelayanan yang aman dan bermutu.
c. Masalah Komunikasi Dokter dengan Perawat/Tenaga Kesehatan lain
Tulisan sering digunakan oleh dokter yang merawat pasien untuk memberikan
instruksi kepada petugas kesehatan lainnya misalnya dokter ruangan atau
perawat/ bidan untuk melaksanakan pengobatan atau pemeriksaan penunjang.
Pada dasamya penulisan rekam medik merupakan sumber informasi tentang
pasien yang dibuat bukan hanya untuk penulis
tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat dalam penanganan pasien pada saat
tersebut atau di masa mendatang.
Beberapa contoh masalah komunikasi antara dokter dan perawat, antara lain :
1. Masalah kewenangan klinis perawat sebagai penerima instruksi dokter (SPK,
Akper / D3, Perawat level tertentu, S1)
2. Kesalahan penerimaan intruksi (obat dan tindakan), misalnya :
. Salah dengar nama obat
. Salah dengar dosis obat
. Salah dengar cara pemakaian obat
. Salah dengar waktu pemberian obat /tindakan
. Salah baca instruksi dokter karena tulisan tidakjelas
3. Pada saat perawat mengikuti visit dokter, seringkali instruksi dokter ada yang
terlewat untuk dilakukan. Salah satu masalah komunikasi yang sering timbul
adalah tulisan atauinstruksi dokter yang sulit dibaca oleh perawat, bahkan
kadang-kadang penulis sendiri pada kesempatan berikutnya tidak dapat
membaca kembali tulisannya. Penulisan yang tidak jelas membuat proses
kerja menjadi terganggu. Tidak jarang klarifikasi melalui telepon perlu
dilakukan, padahal pembicaraan melalui telepon terkadang tidak mudah
dilakukan karena koneksi yang buruk atau dokter tidak mengaktifkan pesawat

29
teleponnya. Bila tidak dapat berkomunikasi dengan pemberi instruksi,
sebagian petugas akan menunda pekerjaan tersebut, atau menduga-duga
instruksi apa yang harus dilaksanakan. lnstruksi yang kurang jelas dan tidak
diklarifikasi dapat berakibat fatal bagi pasien. Kerugian lain yang dapat
ditimbulkan adalah, dokter lain tidak dapat memahami situasi pasien dengan
baik sehingga tidak dapat melanjutkan perawatan dengan baik. Perawat juga
tidak dapat membaca instruksi yang seharusnya dilakukan sehingga pasien
akan terlambat mendapatkan penanganan. Dalam keadaan kurangnya tenaga
dalam hal ini terutama kekurangan tenaga perawat, masalah akan sering
bermuculan, hal ini harus diantisipasi oleh setiap kordinator atau manajer.
Pasien komplain karena perhatian kurang dirawat inap, respon perawat
lambat dan permintaan lama dipenuhi, bahkan yang parahnya dapat
menyebabkan kejadian tidak diharapkan yang dapat menyebabkan cedera
pada pasien. Untuk mengatasi role overload atau kurangnya tenaga, perlu
dilakukan pengaturan jumlah tenaga perawat dengan baik, memperjelas uraian
hak, tugas dan koordinasi masing-masing petugas. Peran, hak dan hrgas
petugas lain juga harus diketahui oleh masing-masing petugas.
Masalah komunikasi lain yang sering terjadi adalah ketika instruksi
diberikan melalui telepon. Pemberian instruksi dokter lewat telepon tidak
dapat dihindari dalam pelayanan di rumah sakit, hal ini dikarenakan
keberadaan dokter yang tidak 24 jam di rumah sakit, adanya perubahan
kondisi pasien yang memerlukan terapi tambahan atau tindakan medis, dan
pada keadaan emergency atau gawat darurat. Banyak faktor yang
menyebabkan kesalahan pada prosespemberian instruksi dokter lewat telepon,
yaitu antara lain karena gangguan koneksi telepon sehingga suara dokter tidak
jelas, dokter terburu-buru dalam memberikan instruksi, kompetensi dan
pengetahuan perawat masih kurang atau level kompetensi perawat penerima
instruksi tidak memenuhi syarat, perawat penerima instruksi adalah perawat
baru atau perawat magang, prosedur read back-repeat back tidak dijalankan.

30
Untuk menghindari kesalahan penerimaan instruksi atau kegagalan
komunikasi, telah diatur beberapa kebijakan untuk menghindari kejadian tidak
diharapkan pada pasien. Dalam sasaran keselamatan pasien yang kedua, yaitu
peningkatan komunikasi yang efektif, telah diatur teknik-teknik komunikasi,
antara lain teknik SBAR (Situation Background Assessment
Recommendation) serta teknik Read back-Repeat back, dimana penerima
instruksi seharusnya setelah menulis instruksi dalam rekam medis pasien
wajib membacakan kembali instruksi tersebut dan pemberi instruksi, dalam
hal ini adalah dokter juga harus mengulang kembali instruksinya dan bila
perlu mengeja nama obat atau tindakannya apalagi bila obat tersebut
tergolong obat kewaspadaan tinggi (high alert medication), contohnya
pemberian elektrolit pekat.
d. Masalah Komunikasi antara tenaga kesebatan
Komunikasi intemal antar tenaga medis dapat mencakup instruksi dokter
terkait terapi, rencana pelayanan medik dan penunjang medik, serta transfer
antar ruangan.
Lemahnya komunikasi antara petugas kesehatan dapat mempengaruhi kualitas
pelayanan kedokteran yang diberikan, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan kerugian pada pasien dan keluarganya. Masalah komunikasi
antar tenaga kesehatan yang mudah terjadi antar lain pada :
1. Saat transfer pasien dari ruang satu ke ruang lain
Pada saat transfer/pindah ruang perawat harus melakukan operan dengan
lengkap kepada perawat lain, misalnya tentang kelanjutan terapi, rencana
tindakan, kelengkapan informed consent, hasil-hasil pemeriksaan
penunjang dan banyak hal lain yang sering terlewat saat transfer
informasi.
2. Saat berlangsungnya operan antara petugas kesehatan yang paling sering
terjadi adalah lupa dicatat sehingga tidak dioperkan kepada petugas shift
berikutnya.

31
Secara umum setiap petugas keeshatan dituntut untuk dapat
mempraktekkan cara-cara komunikasi interpersonal yang baik termasuk
komunikasi verbal dan non verbal. Tidak berbeda dengan bila menghadapi
pasien, setiap petugas kesehatan seyogyanya menerapkan keteramplan
komunikasi interpersonalnya bila berhdapan dengan sesame petugas
kesehatan.
Komunikasi yang tertulis hendaknya ditunjang dengan peulisan yang
jelas dan bila perlu didukung oleh komunikasi verbal dan non verbal yang
sesuai, dan komunikasi yang efektif akan menimbulkan lingkungan kerja
yang aman dan pasien akan terjaga keselamatannya selama dalam
perawatan di rumah sakit.

32
BAB IV
DOKUMENTASI

Dokumentasi Komunikasi Efektif meliputi:


1. Berkas Rekam Medik
2. Informed consent
3. Brosur

33
BAB V
PENUTUP

Demikian Panduan Komunikasi Efektif Rumah Sakit Umum Jati Husada


Karanganyar ini dibuat sebagai standar komunikasi bagi karyawan di Rumah Sakit
Umum Jati Husada Karanganyar. Mudah-mudahan dengan adanya panduan ini, dapat
lebih memudahkan semua pihak yang terkait dan dapat meminimalkan kesalahan
yang terkait dengan mutu pelayanan pasien.

34

Anda mungkin juga menyukai