Anda di halaman 1dari 27

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

PENCEGAHAN TB PARU BERULANG PADA ANAK

Pokok Bahasan : TB Paru Pada Anak


Sub Pokok Bahasan : Pencegahan TB Paru Berulang Pada Anak
Hari/tanggal : Jum’at, 27 Desember 2019
Waktu : 30 menit
Sasaran : Keluarga
Penyuluh : Silvia Wulandari
Tempat : Ruang Rawamerta RSUD Karawang

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mendapatkan penjelasan tentang pencegahan TB paru berulang
selama 30 menit, diharapkan keluarga dan orangtua dapat mengerti dan
memahami tentang berbagai pencegahan, penularan, dan tanda gejala
TB paru.

2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Setelah mendapatkan penjelasan tentang pencegahan TB paru berulang
pada anak, diharapkan keluarga mampu:
a. Keluarga dapat mengetahui pengertian penyakit TB paru pada
anak
b. Keluarga dapat mengetahui penularan dan penyebaran bakteri TB
paru pada anak
c. Keluarga dapat mengetahui gejala klinis penyakit TB paru pada
anak
d. Keluarga dapat mengetahui pencegahan penyakit TB paru pada
anak
e. Keluarga dapat mengetahui tindakan lanjut anak dengan penyakit
TB paru
II. Metode
1. Ceramah
2. Tanya Jawab

III.Media
1. Leaflet
2. Lembar Balik

IV. Proses Kegiatan Penyuluhan


Langkah –
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Sasaran
langkah
 Memberi salam dan  Menjawab salam
memperkenalkan diri
 Menjelaskan maksud dan  Mendengarkan
1. Pendahuluan 5 menit
tujuan penyuluhan
 Melakukan Evaluasi  Menjawab
Validasi pertanyaan
2 Penyajian 15 menit Menjelaskan materi
penyuluhan mengenai :
 Pengertian penyakit TB  Mendengarkan
paru pada anak dengan seksama
 Penularan dan
penyebaran bakteri TB
paru pada anak  Memperhatikan
 Gejala klinis penyakit
TB paru pada anak
 Pencegahan penyakit TB
paru pada anak
 Tindakan lanjut anak
dengan penyakit TB paru

3 Evaluasi 5 menit  Memberikan pertanyaan  Menjawab


akhir sebagai evaluasi pertanyaan
4 Penutup 5 menit  Menyimpulkan bersama-  Mendengarkan
sama hasil kegiatan
penyuluhan
 Menutup penyuluhan dan  Menjawab salam
mengucapkan salam

V. Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
a. Pemberitahuan kepada klien bahwa akan dilakukan pendidikan
kesehatan tentang pencegahan TB paru berulang pada anak
b. Materi, media pendidikan kesehatan tersedia
c. Tempat pendidikan kesehatan dilaksanakan di Ruang Rawamerta
RSUD Karawang
2. Evaluasi Proses
a. Keluarga klien kooperatif selama dilakukan pendidikan kesehatan
b. Pendidikan kesehatan dilakukan sesuai materi dan waktu yang
telah ditetapkan
c. Mahasiswa bertugas sesuai dengan perannya
d. Keluarga klien aktif dalam diskusi atau tanya jawab
3. Evaluasi hasil
a. Jelaskan pengertian penyakit TB paru pada anak?
b. Bagaimana penularan dan penyebaran bakteri TB paru pada
anak?
c. Apa saja gejala klinis penyakit TB paru pada anak?
d. Sebutkan pencegahan penyakit TB paru pada anak?
e. Jelaskan tindakan lanjut anak dengan penyakit TB paru?

VI. Hasil
1. Keluarga mampu menjelaskan pengertian penyakit TB paru
2. Keluarga mampu menyebutkan penularan dan penyebaran bakteri
TB paru pada anak
3. Keluarga mampu menjelaskan gejala klinis penyakit TB paru
pada anak
4. Keluarga mampu menyebutkan pencegahan penyakit TB paru
pada anak
5. Keluarga mampu menjelaskan tindakan lanjut anak dengan
penyakit TB paru

LAMPIRAN MATERI
A. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,

sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar

ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya

dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat,

akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir

seluruh organ tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi,

otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner.

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita

oleh anak <15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak

memiliki kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang

terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif.

Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium

tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan

paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa

normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru

dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif.

Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis

yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks,

pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB).

Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka


memercikkan kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar

dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita

TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan

sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga

dari populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular

dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat

menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk

suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan

tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih

besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat

secara lengkap dan teratur.

B. Manifestasi klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat

bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi

diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan

virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan

kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.

Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan

sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan

clinically silent dissease.


C. Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik

karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.

Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas,

yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak

tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan

dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik

pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat

badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya

multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan,

tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

D. Manifestasi Spesifik Paru.

1. TB Asimptomatis

Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang


diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin

positif tanpa gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan

dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada, walaupun pada

rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris

ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan

individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis TB

asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak

dan pemeriksaan fisik yang teliti.

2. TB Paru Primer

Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis

dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah

daerah adenitis yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena

aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan dari kiri ke

kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling

terafeksi.

Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi

akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh

tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari

bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada

atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit

yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan

lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.


Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan

diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom

yang paling sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan

respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda adanya air

trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.

3. TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru

primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak

mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous

centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent

membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan

besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang menyebabkan

seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu

lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain

dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah

bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat,

keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi

nafas.

4. TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis

sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering


ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata sosioekonomi yang

rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang

lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja

berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang

dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak

dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,

penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada

dan hemoptisis.

E. Pemeriksaan penunjang

1. Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai

sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada

seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa

indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan

dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di

bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah

penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul.

Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai

negatif.

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini

sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih

mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada


anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm

dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi

TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi

bila ukuran indurasinya ≥ 15 mm sangat mungkin karena infeksi

alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin

negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan

imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat

kelainan radiologis hasil positif yang digunakan ≥ 5mm.

2. Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen

tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit

T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan

menghasilkan interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan

tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan

antara infeksi TB dan sakit TB.

3. Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

- Konsolidasi segmental/lobar

- Milier
- Kalsifikasi dengan infiltrat

- Atelektasis

- Kavitas

- Efusi pleura

- Tuberkuloma

4. Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP

TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain.

Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis

yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.

5. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan

mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan

biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena

sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung.

Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang

memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika

terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih

digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk

pemeriksaan klinis rutin.


6. Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang

ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi

oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan

atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas

lainnya ditemukannya sel datia langhans.

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI

merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu

pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB  Tidak jelas  -  Laporan  BTA(+)


keluarga
  (BTA
negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10
mm atau ≥ 5
  mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / - BB/TB < 90%  Klinis gizi -
Status Gizi atau buruk

BB/U < 80% atau BB/TB


< 70%
 
atau BB/U <
60%
Demam tanpa - ≥ 2 minggu - -
sebab yang
jelas

Batuk - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran - ≥ 1 cm, jumlah - -
kelenjar koli,
aksila, inguinal > 1, tidak nyeri

Pembengkakan - Ada - -
tulang / sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto Thorak Normal/kelainan Gambaran - -
tidak jelas sugestif TB

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

 Berat badan dinilai saat datang.

 Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

 Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan

infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam

skor karena diperlakukan secara khusus.

 Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,

maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7

hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan

merupakan alat diagnostik.

 Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal

13).

 Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,

dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan


penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas,

pasien harus di rawat inap di RS.

Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis

F. Penatalaksanaan

1. Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),

isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).

Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah

dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second

line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin


terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,

mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan

capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

2. Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT)

yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif

terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang

berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini

efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam

seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan

asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse

reaction) yang sangat rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan

adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan

dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam

bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga

tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah,

sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama

paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di

hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang

dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari

pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat
isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan

neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi

pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan

bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan

isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak

terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri

tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar

transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan,

kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.

3. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman

yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi

dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.

Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20

mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali

pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10

mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.


Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang

kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin,

ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain

itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual

dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang

asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi

peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara

menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal

10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan

trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi

tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk

kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid

dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian

kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai

digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi

dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi

sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan

karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

4. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada

jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada

intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna.


Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari

dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml

dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena

pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang

timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan

pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang

diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia,

artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi

klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya

adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi

hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam

bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan

diberikan bersamaan makanan.

5. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya

pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat

bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi

intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis

etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan

dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.

Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada


pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak

berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan

etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis

optok dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya

dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.

Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB

anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-

25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB

berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak

tersedia atau tidak dapat digunakan.

6. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif

untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang

digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting

penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB.

Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40

mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml

dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin


berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan

melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat

kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita

TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis

VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala

berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal

jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu

berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat

merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli

berat.

Nama Obat Dosis harian Dosis Efek Samping


(mg/kgBB/ha maksimal
ri) (mg/hari)

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitas

Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


** trombositopenia, peningkatan enzim
hati, cairan tubuh berwarna oranye
kemerahan

Pirazinami 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia,


d gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan


berkurang, buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisi 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik


n

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh


melebihi 10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.
Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

G. Pencegahan

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia

sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak

0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid

kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal,

ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila

BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG

berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian

vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-

80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier,

meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini

memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis

TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB

berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi

BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak

dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG

relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping

yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis

supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG


adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi

berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda

hingga bayi mencapai berat badan optimal.

2. Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk

mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder

mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada

kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10

mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan

pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA

sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin

ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak

menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan.

Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan,

sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk

evaluasi lebih lanjut.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi,

tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan

klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis


sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko

tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada

keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan

imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau

pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan

kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji

tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian

untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis

primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan

untuk menilai respon dan efek samping obat.

H. Komplikasi Dan Prognosis

1. Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,

penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi

yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis

mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa

harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau

adanya lesi pada daerah hilus.

2. Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan

OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai


kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap,

kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih

harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten

terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi

atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple

terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini

terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak

adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan

Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih

rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan

mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT

pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

I. Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

 Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,

sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga

bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis

ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.


 Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak

spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau

keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami

anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa

sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau

tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive,

pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan

biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten

serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin,

interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan

patologi anatomi.

 Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB

 Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase

intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan

(4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini

adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol

(E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol,

dan streptomisin.

 Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis,

osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal,

mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.


Saran

 Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan

tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu,

pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang

harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian

berbagai faktor resiko infeksi TB.

 Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha

penyegaran kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter

umum maupun dokter anak yang sering menangani kasus

DAFTAR PUSTAKA

Laban, Yoannes Y. 2007. TBC: Penyakit & Cara Pencegahan.  Yogyakarta:


Kanisius
Misnadiarly. 2007. Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC. Semarang:
Yayasan Obor Indonesia
Nurchasanah. 2009. Ensiklopedi Kesehatan Wanita. Yogyakarta: Familia
Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto
Widiyanto, Sentot. 2009. Mengenal 10 Penyakit Mematikan. Yogyakarta: PT
Pustaka Insan Madani

Anda mungkin juga menyukai