Anda di halaman 1dari 17

1

A. Pengertian Hukum Pidana


Ada beberapa pengertian yang dapat diberikan terhadap hukum pidana, antara lain :
1. Oleh Mezger : Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan suatu
pidana sebagai akibat hukum kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan.
2. Utrecht : Hukum pidana adalah hukum sanksi istimewa.
Kenapa disebut istimewa ? karena sanksi hukum pidana berbeda dengan sanksi hukum
lainnya, seperti sanksi yang diatur dalam Pasal 10 KUHP berupa pidana mati, penjara,
kurungan dan denda. Sedangkan sanksi hukum lainnya, seperti hukum perdata adalah ganti
kerugian.
3. Satochid Kartanegara : Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara
individu dengan masyarakat dan negara (sifatnya publik).
4. Simons : Hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara
diancam dengan nestapa yaitu berupa pidana bagi yang melanggarnya dan
menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.
5. Prof. Moeljatno : Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar & aturan-aturan untuk
menentukan :
a. perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan/dilarang disertai dengan
sanksi/ancaman berupa pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.
b. kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai yang telah
ditentukan.
c. Dengan cara bagaimana pengenaan/penjatuhan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Pengertian hukum pidana oleh Moeljatno ini adalah dalam arti luas, karena mencakup
pengertian hukum pidana dalam arti materil dan formil.
B. Fungsi Dan Tujuan Hukum Pidana
2

Oleh karena hukum pidana itu adalah bagian dari keseluruhan hukum/bagian dari
lapangan hukum lainnya, maka fungsi dan tujuan hukum pidana itu secara umum adalah sama
dengan bahagian hukum lainnya itu, yaitu : untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
menyelenggarakan tata (aturan) dalam masyarakat agar masyarakat dapat hidup dengan
tentram dan aman.
Sedangkan secara khusus, hukum pidana itu berfungsi untuk melindungi kepentingan
hukum orang/manusia dari perbuatan yang hendak mengganggunya, yaitu terhadap jiwa,
badan/tubuh,harta benda dan kehormatan manusia,melindungi kepentingan hukum masyarakat
dan Negara dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi yang
terdapat dalam cabang hukum lainnya.
C. Subjek,sifat dan sumber Hukum Pidana.
Subjek hukum pidana adalah manusia (person) dan Badan (Korporasi). Dilihat dari
sifatnya, maka hukum pidana ini termasuk kedalam hukum publik, karena dia mengatur
hubungan antara orang (manusia) dengan Negara/masyarakat, seperti : pencurian, tidak hanya
untuk melindungi individu, tetapi untuk lebih memperhatikan atau melindungi masyarakat dari
perbuatan jahat seseorang. Sumber Hukum Pidana, yaitu :
a. KUHP
b. Undang-undang Hukum Pidana diluar KUHP/hukum pidana khusus (hukum
pidana militer, Korupsi, dsb)
c. Hukum Pidana Adat (Dasarnya Undang-undang Darurat No 1 Tahun 1951).
D. Jenis-jenis Hukum Pidana
1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) :
Adalah sejumlah aturan hukum yang memuat larangan dan perintah, dimana
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana/hukuman. Contoh hukum pidana objektif
adalah Hukum pidana materil yang terdapat dalam KUHP dan diluar KUHP. Hukum
Pidana Materil adalah : segala aturan hukum pidana yang menentukan perbuatan-
perbuatan apa sajakah yang diancam dengan hukuman, siapa sajakah yang dapat dihukum
dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang disangka telah melanggar
aturan hukum pidana itu.
2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi) :
3

Adalah sejumlah peraturan hukum pidana yang mengatur hak Negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan
perbuatan yang diperintahkan oleh hukum pidana materiil. Contoh dari Hukum Pidana
Subjektif ini adalah : Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana yang diatur dalam
KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981).
3. Hukum Pidana Materil disebut juga sebagai hukum yang abstrak, karena ketentuan-
ketentuannya tidak dapat diterapkan tanpa bantuan hukum pidana formil yang sifatnya
konkrit. Jadi hukum pidana formil bertugas untuk melaksanakan hukum pidana materil
atau mengusahakan bagaimana ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil yang bersifat
abstrak itu dibawa pada suatu hukum yang konkrit (nyata).
Hukum Pidana Umum dan hukum Pidana Khusus
a. Hukum Pidana Umum adalah semua aturan-aturan hukum pidana yang berlaku
terhadap siapa saja dan mengenai perbuatan apa saja yang diatur dalam KUHP.
b. Hukum Pidana Khusus adalah aturan hukum pidana yang berlaku terhadap orang-
orang tertentu saja (subjeknya tertentu) atau mengatur tentang perbuatan pidana
tertentu secara khusus diluar KUHP, seperti Undang-undang Tindak Pidana Korupsi,
Undang-undang Tindak Pidana Narkotika dan lain-lain.
E. Ilmu Pembantu Dalam Hukum Pidana/Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu-ilmu
Lainnya
Ada beberapa ilmu pengetahuan yang dapat membantu hukum pidana dalam
pelaksanaannya, yaitu :
1. Kriminologi, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebab-sebab
terjadinya kejahatan dan bagaimana cara menanggulanginya.
2. Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai cara-cara melakukan
penyidikan dan penyelidikan, masalah sidik jari, olah TKP, alat-alat bukti, dll dalam
rangka mengumpulkan bukti-bukti.
3. Victimologi, yaitu ilmu yang mempelajari mengenai korban (victim) dari suatu kejahatan.
4. Statistik Kriminil, adalah ilmu pengetahuan tentang pengumpulan, penghitungan,
pengukuran, dan pengolahan angka-angka kejahatan disuatu daerah tertentu dan dalam
waktu tertentu.
4

Bagaimana hubungan antara Ilmu Hukum Pidana dengan Kriminologi?. Dengan


mempelajari sebab-sebab kejahatan dan cara-cara menanggulanginya, maka Kriminologi dapat
menyumbangkan bahan-bahan kepada hukum pidana yang berguna untuk menyesuaikan
hukum pidana dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam memberantas kejahatan.
Bahan-bahan tersebut diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk dijadikan undang-
undang. Jadi kriminologi itu sangat berguna dalam usaha menciptakan ius constituendum
(hukum yang akan datang).Proses pembuatan suatu undang-undang untuk menjadikan suatu
perbuatan yang tadinya bukan merupakan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana disebut
dengan Kriminalisasi.
Kriminologi juga penting untuk penghapusan suatu undang-undang (De kriminalisasi).
Perbedaan Ilmu Hukum Pidana dengan Kriminologi adalah : Objek hukum pidana adalah
aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan sanksi hukum pidana.
Sedangkan objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (penjahat) itu sendiri,
disini yang akan dipelajari adalah sebab-sebab orang itu melakukan kejahatan, apakah karena
faktor intern atau faktor ekstern, seperti faktor psikologis, faktor ekonomi, faktor lingkungan,
dan lain-lain. Setelah diketahui sebab-sebabnya, kemudian diupayakan usaha
penanggulangannya (Represif & Preventif).
F. Sejarah Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana kita yang berlaku sekarang ini bukanlah merupakan hukum yang asli
lahir dan dibuat oleh bangsa kita sendiri, tetapi masih merupakan warisan peninggalan bangsa
Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini adalah terjemahan dari KUHP Belanda yaitu W.V.S
(WETBOEK VAN STRAFRECHT). Sedangkan KUHP Belanda ini adalah merupakan copy
atau berasal dari Hukum Pidana Perancis yaitu CODE PENAL PERANCIS yang lahir pada
masa NAPOLEON BONAPARTE. Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah
hukum pidana yang sudah dikodefikasikan, artinya adalah bahwa sebagian besar aturan-
aturannya sudah disusun dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sejarah
Perkembangan Hukum Pidana itu dapat dibagi atas beberapa tahap, sebagai berikut :
TAHAP I : Sebelum Belanda Masuk Ke Indonesia
Pada mulanya, sebelum Belanda masuk ke Indonesia hukum pidana yang berlaku di
Indonesia adalah Hukum Pidana adat yang sebagian besar adalah merupakan hokum yang
tidak tertulis yang berlaku dalam isi, tempat dan golongan yang berbeda-beda di setiap daerah
5

di Indonesia (19 Daerah Hukum Adat di Indonesia). Jadi pada masa ini terjadi Pluralistis atau
beraneka/beragam hukum pidana. Hanya sebagian kecil saja hukum pidana adat waktu itu
yang sudah tertulis dan itu masih berlaku secara lokal dalam wilayah kerajaan yang
membuatnya masing-masing.
TAHAP II : Setelah Belanda masuk Ke Indonesia
Semenjak belanda masuk ke Indonesia, maka hukum yang berlaku bagi orang Belanda
yang berada di Indonesia disamakan dengan hukum yang berlaku di Negara Belanda. Hal
inilah yang disebut dengan ASAS KONKORDANSI. Hal ini selalu dipegang teguh selama
orang Belanda menguasai perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Pasal 131 Ayat 2
Sub a IS (Indische Staat Regeling). Pasal 131 Ayat 2 Sub a IS ini adalah mengatur tentang
hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk di Indonesia, yaitu :
 Bagi golongan Hukum Eropa berlaku Hukum Eropa yang isinya sama dengan hukum yang
berlaku di Negara Belanda.
 Bagi golongan Hukum Indonesia asli( bumi putra) berlaku hukum adat mereka, demikian
juga bagi golongan Hukum Timur Asing berlaku hukum adat mereka. Timur asing ini
adalah : Timur Asing bukan Tionghoa seperti : Arab, India, Pakistan, dll, dan Timur Asing
Tionghoa.
Jadi dengan demikian setelah Belanda masuk ke Indonesia, maka di negara kita pada
waktu itu terjadi Dualisme hukum pidana, yaitu adanya defferensiasi atau perbedaan perlakuan
antara dua (2) hukum pidana, yaitu :
1. Hukum Pidana yang berlaku bagi orang-orang Belanda dan orang Eropa lainnya serta yang
dipersamakan dengan mereka dalam hal mereka berada di Indonesia maka bagi mereka ini
berlaku hukum pidana yang termuat dalam Wetboek Van Strafrecht Voor De Eropeanen.
(Kitab Undang-undang Hokum Pidana bagi bangsa eropa).
2. Hukum Pidana yang berlaku bagi orang-orang Bumi Putra (Pribumi) dan golongan Timur
Asing adalah hukum pidana yang termuat dalam Wetboek Van Strafrecht Voor Inlanders
En Daarmede Gelijkgestelden.
TAHAP 3 : Masa Kodefikasi & Unifikasi Hukum Pidana
Semenjak kekuasaan Belanda kembali ke Indonesia maka pada tahun 1815 sudah ada
keinginan untuk membuat suatu kodefikasi dalam bidang hukum pidana di Indonesia. Tetapi
hal ini terbentur karena dengan asas konkordansi yang diterapkan Belanda di Indonesia, maka
6

kodefikasi itu belum dapat diwujudkan, karena pada masa itu kodefikasi hukum pidana
Belanda di Nederland belum pula terbentuk. Kodefikasi hukum pidana adalah kumpulan
peraturan hukum pidana yang telah dibukukan dalam satu buku /kitab.
Sebelum tahun 1870 di Nederland belum ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
berlaku untuk seluruh negeri di Belanda. Jadi pada masa itu aturan hokum pidana masih
diatur oleh masing-masing daerah di Nederland. Jadi di Belanda pada waktu itu terjadi
keanekaragaman hukum pidana (belum ada unifikasi hukum pidana).
Kemudian pada tahun 1870 di Nederland dibentuk Panitia Negara untuk merencanakan
Kitab Undang-undang hukum pidananya. Pada tahun 1875 rancana tersebut disampaikan
kepada Raja dan oleh Menteri Kehakiman disampaikan kepada Parlemen. Maka pada tahun
1879 rancangan Undang-undang tersebut dibawa kedalam sidang Parlemen dan pada tahun
1880 rancangan tersebut diterima oleh Senat menjadi Kitab Undang-undang hukum pidana
yang disebut W.V.S (Wetboek Van Strafrecht). Pada tanggal 1 September 1886 Undang-
undang itu baru berlaku sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negeri Belanda yang
menggantikan Code Penal Perancis.
Bagaimana terbentuknya kodefikasi Hukum Pidana di Indonesia dahulu ?.
Berdasarkan KUHP Nasional Belanda yang telah berlaku dinegeri itu tahun 1886, maka untuk
memenuhi azas konkordansi diusahakan pula untuk membentuk KUHP baru bagi Negara
Hindia Belanda. Setelah rencana KUHP bagi penduduk asli (pribumi) selesai dibuat, maka
Menteri Urusan Jajahan berpendapat bahwa dualisme didalam KUHP harus dihapuskan dan
segera diadakan unifikasi hukum pidana. Maka berdasarkan KB (Koninlijk Besluit/Keputusan
Raja) tanggal 15 Oktober 1915 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru selesai
diundangkan dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (LNHB) 1915 No.752. KUHP yang
diundangkan tahun 1915 ini disebut juga dengan KUHP tahun 1915.
KUHP 1915 ini terdiri dari 569 Pasal dan sudah bersumber langsung atau merupakan
turunan dari KUHP Nasional Belanda yang sudah ada sejak tahun 1886 melalui beberapa
perubahan, penambahan untuk diberlakukan di Indonesia. KUHP 1915 ini baru berlaku pada
tanggal 1 Januari 1918, untuk semua golongan penduduk yang sifatnya unifikasi. Sebetulnya
untuk beberapa daerah di Indonesia KUHP ini belum dapat dikatakan berlaku untuk seluruh
penduduk, karena dia belum dapat diterapkan di beberapa daerah di Indonesia.
TAHAP IV : Masa KUHP 1915 s/d sekarang
7

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa KUHP tahun 1915 baru mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1918. Kemudian pada tanggal 18 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia.
Pada masa itu KUHP 1915 masih tetap berlaku, tetapi dalam beberapa hal tertentu Jepang
mengeluarkan pula maklumat-maklumatnya yang memuat ketentuan pidana. Jadi pada saat itu
kembali terjadi dualisme hukum pidana.
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 KUHP 1915 serta ketentuan-ketentuan
pidana Jepang dinyatakan masih tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD
1945 dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hokum (Rechtsvacuum). Kemudian untuk
menghapuskan beberapa ketentuan yang bersifat kolonial pemerintah Indonesia merasa perlu
menetapkan UU No.1 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa hukum pidana yang berlaku di
Indonesia adalah hokum pidana yang termuat dalam W.V.S Voor Nederlands Indie Tahun
1915 saja yang terdiri dari 569 Pasal. Sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum
pidana yang dibuat Jepang tidak berlaku lagi. Dengan demikian terwujudlah kembali unifikasi
hukum pidana Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka ternyata Belanda mencoba untuk menjajah Indonesia
kembali melalui agresi-agresi militernya. Untuk sementara waktu Belanda berhasil menduduki
Indonesia kembali dengan membawa serta hukum pidananya yang terdahulu, tetapi dengan
nama yang telah dirobah yaitu WVS Voor Indonesia Tahun 1915 No. 723 dengan jumlah Pasal
570 Pasal, melalui berbagai penambahan dan pemberatan hukuman. Akibatnya di Indonesia
kembali terjadi dualisme hukum, yaitu dengan adanya W.V.S Voor Nederlands Indie (569
Pasal) dan W.V.S Voor Indonesia (570 Pasal).
Dualisme hukum pidana itu segera berakhir dengan dikeluarkannya UU No 73 Tahun
1958 Pasal 1 yang memperkuat UU No.1 tahun 1946. Pada mulanya UU No.73/1958 ini hanya
berlaku didaerah pulau jawa & Madura saja. Tetapi dengan keluarnya PP Nomor 8 Tahun
1958 maka UU No. 1 Tahun 1946 itu dinyatakan juga berlaku untuk daerah Sumatera.
Pada dasarnya UU No.73 Tahun 1958 itu menyatakan bahwa hukum pidana yang
berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia (yang sifatnya unifikasi) adalah hukum pidana yang
termuat didalam W.V.S Voor Nederlands Indie tahun 1915 yang terdiri dari 569 pasal. Jadi
bukan yang 570 Pasal yang dibawa Belanda kembali.
Jadi KUHP 1915 inilah yang kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan
beberapa perubahan, baik penambahan ataupun pengurangan menjadi KUHP yang kita pakai
8

sampai saat ini sambil menunggu KUHP nasional yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri.
Apakah dasar hukumnya KUHP buatan Belanda itu masih bisa berlaku sampai sekarang?
Dasarnya adalah Pasal 2 aturan Peralihan UUD 1945 dan sudah di amandemen dengan Pasal 1
Aturan Peralihan amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi :
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Apakah tujuan dari Pasal 1 aturan Peralihan itu ? gunanya adalah untuk menghindari
terjadinya kekosongan hukum (Recht Vacuum).
SISTIMATIKA KUHP :
KUHP terdiri dari 3 buku, yaitu:
1. Buku I memuat peraturan/ketentuan umum (Pasal 1 s/d 103 KUHP)
2. Buku II memuat tentang Kejahatan (Pasal 104 s/d 488)
3. Buku III memuat tentang Pelanggaran (Pasal 489 s/d 569)
Buku I disebut sebagai ketentuan/peraturan umum adalah karena peraturan-peraturan
yang terdapat dalam Buku I tidak hanya berlaku terhadap Buku II dan III dari KUHP, akan
tetapi juga berlaku terhadap peraturan-peraturan hukum pidana yang berada diluar KUHP
(hukum pidana khusus), kecuali apabila peraturan-peraturan yang khusus itu mengatakan
dengan tegas bahwa peraturan-peraturan yang tertera/tercantum didalam Buku I tidak berlaku
baginya. Inilah yang disebut dengan azas Lex Specialis Derogat Lex Generalis, artinya
ketentuan-ketentuan/aturan-aturan yang khusus dapat mengalahkan/mengenyampingkan
ketentuan-ketentuan yang umum.
Apa perbedaan antara Buku II dan Buku III ? atau perbedaan antara kejahatan dengan
pelanggaran ?.
1. Kejahatan diatur dalam Buku II
2. Sanksinya lebih berat dari pelanggaran
3. Percobaan melakukan kejahatan dapat dihukum
4. Membantu melakukan kejahatan dapat dihukum
Pelanggaran :
1. Diatur dalam Buku III
2. Termasuk tindak pidana ringan
9

3. Sanksinya lebih ringan daripada kejahatan


4. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum
KUHP tidak dengan tegas membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran. Namun
dasar yang dipakai oleh pembentuk Undang-undang untuk menyebut suatu perbuatan itu
sebagai Kejahatan atau Pelanggaran adalah dilihat dari riwayat pembentukan KUHP di
Nederland, bahwa sebagai dasar untuk membedakan antara Kejahatan dengan pelanggaran
adalah karena adanya perbedaan antara Rechtdelicten dan Wetsdelicten.
Rechtdelicten adalah : merupakan perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai
bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Walaupun perbuatan itu tidak
dilarang oleh undang-undang dan tidak diancam dengan hukuman, namun perbuatan itu oleh
umum tetap dirasakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan perikeadilan dan patut
dilarang, misalnya membunuh, menipu, mencuri, dll.
Wetsdelicten adalah : suatu perbuatan yang justru dilarang dengan undang-undang
secara tegas baru dirasakan oleh orang sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman, misalnya : Undang-undang Lalu Lintas.Dalam Undang-undang Lalu lintas,
apabila perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai SIM atau Helem
maka masyarakat menganggap itu bukan suatu pelanggaran.
G. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia/Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana
Menurut Waktu dan Tempat.
Asas-asas Hukum Pidana Indonesia ada yang diatur dalam KUHP dan ada yang tidak
diatur oleh KUHP. Asas yang diatur didalam KUHP adalah :
1. Asas Nullum Delictum Nulla Puna Sine Praevia Lege Poenale
2. Asas Territorialitas
3. Asas Nasionalistas
4. Asas Universalitas
Sedangkan asas hukum pidana yang diatur diluar KUHP adalah :
1. Asas Geen Straf Zonder Schuld
2. Asas Schuld Haftung

Ad 1 : Asas Nullum Delictum Nulla Puna Sine Praevia Lege Poenale


Asas ini diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang berbunyi :
10

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada perbuatan itu”.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 ini juga terdapat apa yang dinamakan dengan asas
Legalitas/legisme, yaitu suatu asas yang menekankan bahwa hukum pidana sebagai undang-
undang haruslah bersifat tertulis. Tujuan dari asas Nullum Delictum/Legisme ini adalah :
a. Untuk mendapatkan kepastian hukum yang dapat dimengerti oleh semua orang karena
hukum pidana itu bersifat tertulis, maka semua orang dianggap dapat membaca peraturan
hukum pidana tersebut.
b. Untuk menjamin kepentingan hukum pribadi pelaku tindak pidana dari tindakan semena-
mena dari hakim. Karena dengan asas legisme ini orang tidak dapat dituntut sekehendak
hati tanpa berdasarkan pada suatu peraturan atau ketentuan hukum yang tertulis.
Dengan demikian yang dimaksud dengan asas Nullum Delictum Nulla Puna Sine
Praevia Lege Poenale ialah suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hanya dapat
dihukum apabila sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada undang-undang yang melarang
dilakukannya perbuatan tersebut dan mengancam dengan pidana terhadap pelaku atas
pelanggaran tersebut.
Pasal 1 Ayat (1) KUHP ini juga mempunyai makna “Lex Temporis Delicti”, yang
artinya : bahwa undang-undang hanya berlaku dan mengikat terhadap delik yang terjadi pada
saat itu dan tidak berlaku surut, maksudnya bahwa perbuatan seseorang harus diadili menurut
aturan yang berlaku pada saat atau waktu perbuatan itu dilakukan.Jjadi seseorang tidak boleh
dituntut ataupun diadili atas perbuatan yang dilakukannya sebelum ada undang-undang
terlebih dahulu yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah sebagai suatu perbuatan pidana
yang dapat dituntut dengan undang-undang hukum pidana.
Rumusan Pasal 1 Ayat 1 KUHP tersebut berasal dari bahasa latin yang berbunyi
“Nullum Crimen Nulla Poena Sine Praevia Lege Punale” yang dikembangkan oleh Anselm
Von Feurbach seorangahli hukum dari Jerman yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
dikenal dengan ajarannya “De Leer Van De Psychologische Zwang” (ajaran tentang paksaan
secara psykologis). Menurut ajarannya ini bahwa tujuan utama hukum pidana itu dirumuskan
secara tertulis adalah untuk memaksa penduduk secara psykologis agar mereka jangan sampai
melakukan perbuatan yang bersifat melanggar hukum atau ajaran ini bertujuan untuk
membatasi hasrat manusia yang ingin berbuat jahat. Hal ini adalah dengan alasan apabila
11

seseorang telah mengetahui hukuman yang akan diterimanya apabila ia melakukan tindak
pidana maka orang akan takut berbuat jahat.
Akan tetapi adakalanya undang-undang hukum pidana itu dapat berlaku surut
sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1 Ayat (2) KUHP yang berbunyi :
“Jikalau undang-undang dirubah setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka
dikenakan aturan yang menguntungkan baginya”.
Apabila Pasal 1 Ayat 2 ini kita bandingkan dengan Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang
bermakna bahwa undang-undang hukum pidana tidak boleh berlaku surut (mundur), maka
Pasal 1 Ayat 2 ini adalah sebagai pengecualian dari prinsip Pasal 1 Ayat 1 KUHP. Maksud
dari bunyi Pasal 1 Ayat 2 ini adalah bahwa jika setelah seseorang melakukan suatu perbuatan
pidana dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, kemudian terjadi perubahan dalam
undang-undang yang bersangkutan, maka terhadap si terdakwa harus dikenakan hukuman
yang menguntungkannya, apakah aturan yang lama atau aturan yang baru. Seandainya yang
berlaku adalah aturan yang baru, maka ini berarti undang-undang tersebut berlaku surut. Sebab
setelah perbuatan dilakukan terjadi perubahan undang-undang dan undang-undang yang baru
ini yang berlaku, karena itu yang menguntungkan bagi terdakwa.
Contoh Kasus:
Pada tanggal 5 Mei 2006 si A mencuri sebuah sepeda motor, kemudian si A
ditangkap dan ditahan untuk dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Setelah cukup
bukti permulaan maka penyidik melimpahkan BAP nya kepada pihak kejaksaan dan
setelah diperiksa penuntut umum mempunyai alasan yang cukup untuk dituntut
dimuka persidangan. Pada tanggal 6 Juni 2006 (pada saat perkara itu masih diperiksa
di persidangan) terjadi perubahan terhadap Pasal 362 KUHP (pencurian) dengan
ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dirubah ancaman pidananya menjadi 7
tahun penjara.
Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 1 Ayat 2 diatas, maka hukuman yang dikenakan
adalah yang lama (5 tahun). Tetapi sebaliknya apabila ancaman 5 tahun turun menjadi 4
tahun, maka tentu yang dikenakan adalah aturan yang baru (ancaman 4 tahun) karena ini yang
menguntungkan bagi terdakwa. Dengan demikian, disini berarti undang-undang hukum pidana
itu berlaku surut.
12

Perubahan yang dimaksud oleh Pasal 1 Ayat 2 itu adalah apabila perubahan itu terjadi
pada saat perkara itu belum diputus oleh hakim dengan kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Apakah yang dimaksud dengan “Ketentuan yang menguntungkan/meringankan?”.
Menurut Prof. Simons, bahwa ketentuan yang menguntungkan terdakwa itu dapat dilihat dari
beberapa hal, seperti :
1. Hal dapat dihukumnya perbuatan tersebut, maksudnya adalah dengan terjadinya De
Kriminalisasi (hapusnya sifat dapat dipidananya perbuatan tersebut).
2. Jenis hukumannya (Pasal 10 KUHP)
3. Berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan (ancaman hukuman)
Apakah yang dimaksud dengan “Undang-undang dirubah (perubahan dalam
Undang-undang) oleh Pasal 1 Ayat 2 KUHP ?”. Mengenai hal ini ada 3 (tiga)teori, yaitu :
a. Teori Formil
b. Teori Materil terbatas
c. Teori Materil tidak terbatas
Ad.a : Teori Formil
Teori ini dianut oleh Prof. Simons, Van Hamel dan Zevenbergen. Teori ini
mengatakan bahwa baru dapat dikatakan ada perubahan dalam Undang-undang apabila
redaksi (teks) dan undang-undang hukum pidana itu sendiri yang dirubah. Jadi walaupun
misalnya terjadi perubahan dalam Undang-undang Hukum Perdata, walaupun ada
hubungannya dengan Undang-undang hukum pidana bukanlah dapat dikatakan terjadi
perubahan terhadap Undang-undang hukum pidana, karena bukan undang-undang hukum
pidana itu sendiri yang dirubah.
Ad.b : Teori Materil Terbatas
Teori ini dianut oleh Van Geuns. Menurut teori ini, perubahan dalam perundang-
undangan yang dimaksud oleh Pasal 1 Ayat 2 KUHP adalah : tiap perubahan sesuai
dengan suatu perasaan (Keyakinan) hokum pada pembuat/pembentuk Undang-undang,
maksudnya hal ini adalah pandangan mengenai patut/tidak patutnya perbuatan itu
dipidana (masalah Dekriminalisasai).
Van Geuns menerima teori materi terbatas ini juga dalam hal diadakan suatu
perubahan diluar undang-undang hokum pidana, tetapi perubahan itu harus juga
mempengaruhi undang-undang hokum pidana.
13

Ad. c : Teori Materil Tak Terbatas/Teori Materil


Penganut : Prof. Pompe dan Van Hattum. Menurut teori ini bahwa yang dimaksud
dengan perubahan dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP itu adalah perubahan yang terjadi dalam
semua Negara undang-undang dalam arti materil yang mempunyai pengaruh terhadap
suatu ketentuan hokum pidana, artinya : apabila terjadi perubahan perundang-undangan
yang bukan undang-undang hokum pidana, tetapi dengan perubahan tersebut
mempengaruhi terhadap hal dapat dihukumnya seseorang.
Ad.2 : Asas Territorialitas (Asas Wilayah)
Asas Territorialitas adalah : Asas yang menyatakan bahwa hokum pidana suatu Negara
mutlak berlaku di wilayah Negara yang bersangkutan terhadap semua orang, baik terhadap
warga Negara yang bersangkutan maupun terhadap warga Negara asing yang melakukan
tindak pidana di wilayah Negara yang bersangkutan.
Dalam KUHP asas ini diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu tindak
pidana”.
Menurut asas ini, hokum pidana suatu Negara berlaku diseluruh wilayah Negara tersebut
dan terhadap semua orang yang berada dalam wilayah Negara tersebut baik bagi warga
Negara asli maupun WNA. Hal ini adalah logis, karena setiap warga Negara wajib menjamin
keamanan dan ketertiban dalam seluruh wilayahnya.
Yang dimaksud wilayah suatu Negara bukan saja meliputi wilayah darat, tetapi juga
meliputi laut territorial dan udara yang diatur oleh hokum internasional.
Ketentuan Pasal 2 ini dikecualikan berlakunya bagi orang-orang bangsa asing yang
menurut hukum internasional diberi hak “EXTERITORIALITAS”. Mereka ini tidak boleh
diganggu gugat, sehingga ketentuan-ketentuan pidana RI tidak berlaku bagi mereka dan
mereka itu hanya tunduk pada undang-undang pidana negaranya sendiri. Mereka yang
dikecualikan tersebut adalah :
a. Para kepala Negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan sepengetahuan pemerintah
RI (beserta keluarganya).
b. Para Korps Diplomatik Negara-negara asing beserta keluarganya.
14

c. Pasukan-pasukan asing dan para anak buah kepala perang asing yang berada langsung di
bawah komandonya yang datang di Indonesia atau melalui wilayah RI dengan setahu
pemerintah RI.
d. Para wakil dari badan-badan internasional seperti : para utusan PBB, Palang Merah
Indonesia.
Walaupun dengan hak Exteritorialiteit tersebut mereka tidak dapat dituntut dengan
hukum pidana Indonesia, namun terhadap mereka senantiasa dapat diajukan pengaduan
kepada pemerintahnya dan disertai dengan tuntutan untuk memanggil kembali wakil
diplomatik itu supaya diproses menurut hokum pidana di negaranya sendiri artinya, mereka di
“persona non gratakan”, artinya dicabut haknya di negara yang bersangkutan (di Indonesia).
Asas Territorialitas yang diatur dalam Pasal 2 tersebut diperluas berlakunyaoleh Pasal 3
KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia.”
Yang dimaksud dengan kendaraan air Indonesia yaitu : Kapal dan Perahu Indonesia
(Lihat Pasl 95 KUHP). Pesawat udara Indonesia adalah dalam arti yang berbendera Indonesia
atau terdaftar di Indonesia dimanapun juga kapal laut/pesawat udara itu berada (Lihat Pasal 95
a KUHP).
Ad. 3 : Asas Nasionalitas
Asas Nasionalitas adalah : suatu asas yang menegaskan bahwa hokum pidana suatu
Negara disamping berlaku dalam wilayah Negara tersebut dapat pula berlaku di luar wilayah
Negara yang bersangkutan, baik terhadap warganegara tersebut maupun terhadap orang asing
lainnya yang melakukan suatu tindak pidana.
Asas ini diatur dalam Pasl 4 Sub 1,2, dan 3 dan dalam Pasal 5 KUHP. Asas ini dibagi
atas 2 macam, yaitu :
a. Asas Nasionalitas Aktif (Asas Personalitas)
b. Asas Nasionalitas Pasif (Asas Perlindungan)
Ad.a : Asas Nasionalitas Aktif
Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 dan 2 KUHP, yang berbunyi :
15

Ayat 1 : “Ketentuan pidana dalam perundang-undang Republik Indonesia berlaku juga bagi
warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah Indonesia”.
Ke 1 : “Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku ke dua dan dalam Pasal
160, 161, 240, 279, 450, dan 451. (Lihat KUHP)
Ke 2 : “Sesuatu perbuatan yang oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan RI
dipandang sebagai kejahatan dan dapat dipidana menurut perundang-undangan
Negara tempat perbuatan itu dilakukan”.
Ayat 2 : “Kejahatan tersebut pada Sub 2 diatas dapat juga dituntut, jika si terdakwa baru
menjadi warganegara RI sesudah melakukan perbuatan itu”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Asas Nasionalitas Aktif adalah :
“Suatu asas yang menyatakan bahwa hokum pidana Indonesia dapat dikenakan atas
warga negara yang bersangkutan meskipun orang tersebut melakukan tindak
pidana diluar Negara Indonesia”.
Asas nasionalitas aktif ini diperluas berlakunya oleh Pasal 5 Ayat 2 yang mengatakan
bahwa hukum piadana Indonesia dapat juga berlaku bagi warganegara asing yang melakukan
tindak pidana di luar negeri dan kemudian dia melarikan diri ke Indonesia dan menjadi WNI.
Maka dalam hal ini dia dapat dihukum di Indonesia atas kejahatan yang dilakukannya di luar
negeri tersebut.
Ad. b : Asas Nasionalitas Pasif
Asas ini diatur dalam Pasal 4 Sub 1,2, dan 3. Pasal 4 menyatakan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan diluar daerah RI :
Ke 1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110,
111 bis ke 1, 127 dan 131.
Pasal-pasal tersebut diatas adalah mengenai kejahatan terhadap keamanan
Negara, kecuali Pasal 131 yang mengatur mengenai kejahatan terhadap martabat
Presiden dan wakil presiden.
Ke 2 : Suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau
tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah RI.
Ke 3 : Pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung
Pemerintah Indonesia, ……..dst.( lihat KUHP )
16

Jadi Asas Nasionalitas Pasif itu adalah Suatu asas yang menegaskan bahwa hukum
pidana Indonesia berlaku juga terhadap siapa saja yang melakukan tindak pidana
sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Sub 1,2,dan 3 yang dapat mengganggu kepentingan
hukum Negara RI, baik pelakunya warga Negara Indonesia maupun warga Negara aing
meskipun mereka melakukan kejahatan itu diluar wilayah RI.
Pasal 4 Sub 1 tujuannya adalah untuk menjaga kepentingan Negara sebagai Negara yang
berdaulat, sedangkan Sub ke 2 dan ke 3 untuk menjaga kepentingan keuangan Negara
RI.
Ad. 4 : Asas Universalitas
Asas Universalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hukum pidana suat negara
dapat berlaku terhadap siapa saja, dimana saja terhadap tindak pidana yang dapat mengganggu
ketertiban dan kepentingan hokum dunia internasional tanpa memperhatikan
kewarganegaraannya. Asas ini diatur dalam Pasal 4 Sub ke-4 KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar
daerah Republik Indonesia salah satu kejahatan yang tersebut
dalam Pasal 438, Pasal 444 sampai dengan Pasal 446 KUHP
tentang pembajakan kapal laut dan Pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan
Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara
melawan hokum , Pasal 479 huruf i, m, n dan o tentang
kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil”.
Pasal 4 sub ke- 4 KUHP ini berisikan pernyataan bersama dalam mempertahankan
kepentingan hukum Internasional, sehingga setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut
serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban dunia bersama-sama dengan negara-negara
lain.
Asas Hukum Pidana Yang Diatur Diluar KUHP.
Asas hukum pidana yang diatur diluar KUHP adalah asas GEEN STRAF ZONDER
SCHULD yang artinya: “Tidak ada pidana tanpa kesalahan”. Asas ini tidak diatur dalam KUHP
tetapi dalam hokum acara pidana Indonesia (dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 183 disebutkan bahwa :
17

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar tejadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan asas ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak dapat dijatuhkan pidana oleh hakim
apabila kesalahan orang tersebut tidak dapat dibuktikan oleh hakim dengan sekurang-kurangnya
2(dua) alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang. Disamping asas Geen Straf
Zonder Schuld juga dikenal asas Schuld Haftung, yaitu asas mengenai sistem
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dimana menurut asas ini pertanggungjawaban pidana
didalam hukum pidana adalah bersifat individual/pribadi, artinya siapa yang berbuat dialah yang
harus mempertanggungjawabkannya dan tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai