Anda di halaman 1dari 36

LIMA IDEOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA: SEBUAH TINJAUAN

kamis, 15 desember 2016

 Pada bagian ini kami memberikan gambaran singkat dan perbandingan kelompok dan ideologi mereka. Meskipun tentu dangkal,

tetapi memberikan sebuah fungsi orientasi, sebuah advance organiser (Ausubel, 1968). Ikhtisar pada Tabel 7.1, menggunakan

unsur-unsur model ideologi pendidikan (Tabel 6.3) untuk kategorinya. Perbedaannya dua elemen pertama dihilangkan, dan

ideologi politik (dan nama) dari kelompok kepentingan sosial yang ditambahkan, mencerminkan lokasi sosial, aspirasi dan

kepentingan kelompok.

Beberapa pola dapat dilihat pada Tabel 7.1. Pertama, semua elemen sekunder berpadu dan berasal dari filsafat matematika,

himpunan nilai-nilai moral dan teori masyarakat. Unsur-unsur utama mengilhami semua aspek pendidikan matematika dalam

sebuah cluster ideologis, menggambarkan sebuah tesis sentral buku ini, bahwa ideologi memiliki dampak yang kuat, hampir

menentukan pada pedagogi matematis.

Pola lebih lanjut dapat dilihat, termasuk reproduksi sosial yang tersirat dalam empat ideologi pertama. Pengajaran matematika

melalui kelompok-kelompok ini melayani dalam cara yang berbeda untuk mereproduksi stratifikasi yang ada masyarakat,

melayani kepentingan kelompok. Tema ‘Kemurnian’ ini dipakai bersama oleh ideologi ketiga dan keempat, mengenai kemurnian

materi pelajaran atau dengan kreativitas murni dan pengembangan pribadi. Hal ini juga berkaitan dengan ideologi pertama, yang

berkaitan dengan kemurnian moral. Akhirnya, tema ‘relevansi sosial’ ini dipakai bersama oleh dua ideologi pertama dan ideologi

terakhir. Namun, ini membelah ke dalam kecenderungan reproduksi-utilitarian dari dua pertama, dan keterlibatan sosial untuk

perubahan, dari ideologi terakhir. Tema-tema ini akan dikembangkan lebih lanjut, di kemudian.

Tabel 7.1: Gambaran Umum Lima Ideologi Pendidikan

Kelompok Sosial
Aspek Pragmatis Pendidik Pendidik
Tinjauan Pelatih Industri Old Humanist
teknologi Progresif Masyarakat

Radikal kanan, Meritokratik, Konservatif/Liberal Liberal Sosialis Demokratik


Ideologi Politik
Kana Baru Konservatif
Sekumpulan Bangunan Bangunan Pandangan Konstrustivisme
Pandangan Kebenaran dan Pengetahuan Pengetahuan murni proses: sosial
tentang Aturan bermanfaat yang yang terstruktur personalisasi
Matematika tidak perlu matematika
dipertanyakan
Nilai-nilai Moral Authoritarian Utiliarian, Keadilan ‘Buta’, Berpusat pada Keadilan Sosial,
‘Victorian’ values, Pragmatism, Struktur yang seseorang, kebebasan,
Pilihan, Expediency, berpusat aturan, Peduli (caring), kesamaan,
Usaha, ‘penciptaan Hirarki, Empati, persaudaraan,
Menolong-diri, kekayaan’, pandangan‘klasik’ Nilai-nilai kepedulian sosial,
Kerja, Pengembangan kaum paternalistik kemanusiaan, keterlibatan dan
Kelemahan Teknologis memelihara, kewarganegaraan
Kelompok Sosial
Aspek Pragmatis Pendidik Pendidik
Tinjauan Pelatih Industri Old Humanist
teknologi Progresif Masyarakat

Moral, Maternalistik,
Kita-Baik, pandangan
Mereka-Jelek ‘Romantis
Hirarki yang Hirarki Elitis, Hirarki lembut, Hirarki adil
Teori Masyarakat ketat, meritokratik Klas terstratifikasi Wilayah Perlu reform
Market Place kesejahteraan
Tradisi Sekolah Anak:’kapal Dilute Elementary Berpusat-anak, Pandangan Kondisi
Dasar: Anak kosong’ dan ‘alat School view Pandangan Sosial: ‘tanah liat
‘malaikat jatuh’ yang tumpul’ Character building progresif dibentuk lingkung-
Teori Anak dan ‘kapal Pekerja atau Cultur tarnes Anak: ‘bunga an’, ‘raksasa yang
kosong’ manajer masa yang tumbuh’ sedang tidur’
depan dan ‘liar tanpa
dosa’
Tertentu dan Kemampuan Warisan buatan dari Bervariasi tetapi Produk kultural:
Teori warisan warisan pikiran perlu tidak tetap
kemampuan Terealisasi oleh penghargaan
usaha
‘kembali ke Math berguna Menyebarkan Kreatifitas, kesadaran kritis
dasar’: numerasi pada level yg bangunan realisasi diri dan
dan pelatihan cocok dan pengetahuan math melalui math kewarganegaraan
Tujuan matematis
sosial dalam sertifikasi (berpusat math) (berpusat anak) demokratis
ketaatan (berpusat
industri)
Kerja keras, Kemahiran Pemahaman dan Aktivitas, Mempertanyakan,
usaha, latihan, ketrampilan, penerapan bermain, pembuatan
Teori Belajar
hafalan pengalaman eksplorasi keputusan,
praktis negosiasi
transmisi instruktur menjelaskan, memfasilitasi diskusi, konflik,
otoriter, dril, keterampilan, memotivasi, lulus pribadi, mempertanyakan
Teori Mengajar tanpa embel- memotivasi pada struktur eksplorasi, isi dan pedagogi
Matematika embel melalui mencegah
pekerjaan- kegagalan
relevansi
Kapur dan hanya Tangan, Bantuan visual Kaya Peralatan Relevan secara
Teori
bicara microkomputer untuk memotivasi untuk eksplorasi sosial
Sumberdaya
Anti kalkulator Autentik
Uji eksternal menghindari pemeriksaan guru dipimpin berbagai mode,
Teori asesmen dasar yang kecu-rangan, uji eksternal penilaian penggunaan isu-isu
dalam sederhana eksternal dan berdasarkan hirarki internal, sosial dan konten
Matematika sertifikasi, profil menghindari
keterampilan kegagalan
sekolah bervariasi bervariasi kurikulum memanusiakan akomodasi
dibedakan kurikulum oleh dengan ma-tematika keanekaragaman
Teori
menurut kelas, occpations masa kemampuan saja netral utk sosial dan budaya
Keberagaman
cripto-rasis, depan (matematika-netral) semua: suatu kebutuhan
Sosial
monoculturalist mengguna-kan
budaya lokal

http://mastur12.blogspot.com/2016/12/lima-ideologi-pendidikan-matematika.html

11:57 wib tanggal 27-09-2018


KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI
PENDIDIKAN

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kurikulum Pendidikan Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A

 Disusun oleh:

DAFID SLAMET SETIANA          (14703261004)

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2015
 

PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN

Pendidikan
Pendidikan Pendidikan Pendidikan Kontempore
Pendidikan Saintisisme Sosialisme Pendidikan Demokrasi r Indonesia
Kapitalisme Spiritualism (Praktek dan
e Fakta di
lapangan)

filsafat Esensialisme Esensialisme Esensialisme Absolutisme Esensialisme Esensialisme

Realisme Realisme Realisme Realisme Realisme


Esistensialism Esistensialism Esistensialism Esistensialism Esistensialism
e e e e e

ideologi Kapitalisme Kapitalisme Sosialisme Fundamen- Demokrasi Kapitalisme


talisme
Liberalisme Liberalisme Komunisme Liberalisme

Pragmatisme Pragmatisme Komunis Pragmatisme

Utilitarianism Utilitarianism Utilitarianism


e e e

Materialisme Materialisme Materialisme

politik Demokrasi- Kapital Sosialis Konservatif Demokrasi Demokrasi-


Kapital Transaksional
(Korporasi) Komunis

Investasi Investasi Proteksi- Nasionalisme


hegemoni Egosentris-
Pasar Bebas Pasar Bebas
Demok-
Pasar bebas Negara

moral Relatif Relatif Egosentris Absolut Moral Krisis


Multidimensi
Hedonisme Hedonisme Deontologi Spiritual Deontologi

sosial Alienasi Alienasi Dealienasi Dealienasi Alienasi Primordial

Multikultur Multikultur Monokultur Monokultur Kolusi

Global- Global- Egaliter Egaliter Multikultur Nepotisme


sistemik- sistemik-
networking networking Elitisme Elitisme Korupsi

Local-
intrinsic-
networking

Budaya/ Pos Modern Pos Modern Modern Tradisional Modern Pos Modern
karakter
Kontemporer Kontemporer Klasik Klasik Pos Modern Konpemporer

ilmu Disiplin Disiplin Disiplin Absolut Kreatif Disiplin-


Egosentris
Interaktif
Aktivitas
sosial

Epistemologi Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan


pendidikan Laskar Laskar Laskar Laskar Utk Semua Laskar

Indoktrinasi Fenomenolog Indoktrinasi Indoktrinasi Fenomenolog Indoktrinasi


i i

kurikulum Sbg Sbg Sbg Sbg Sebagai Instrumen


Instrumen Instrumen Instrumen Instrumen Kebutuhan Egosentris

Negara Negara Negara

Tujuan Investasi Investasi Hegemoni  Mono-dualis Pembebasan Investasi 


pendidikan
Egosentris Egosentris
Kebutuhan
Status quo Relatif Status quo
Absolut Status quo
Status quo
Reformasi

Teori mengajar Berbasis Riset Investigasi Transfer of Ekspositori Konstruktivis Trans of


knowledge know.
Behaviorisme Behaviorisme Interaktif
Knowle-Based Behaviorisme Ekspositori
Knowle-Based Behaviorism
e Behaviorisme

Teori belajar Modeling Eksplorasi Modeling Modeling Otonomi Modeling

Motivasi- Motivasi- Motivasi- Motivasi- Motivasi- Motivasi-


Eksternal Eksternal Eksternal spiritual intern eksternal

Konstruktivis

peran guru Think Tank ThinkTank Think Tank Model Fasilitator Think Tank

Pengambang- Pelaksana- Pelaksana- Pelaksana-


terkendali terkendali terkendali terkendali
Pelaksana Pengembang

kedudukan Empty Vessel Empty Vessel Empty Vessel Empty Vessel Aktor Belajar Empty Vessel
siswa

teori evaluasi Eksternal Eksternal Eksternal Evaluasi- Penilaian- Egosentris-


Intrinsik Berbasis Kelas
Eksternal
PortoFolio
Ujian Ujian Ujian Nasioal
Nasional Nasional Otentik-
Asesm Ujian
Nasional

sumber/alat ICT ICT Media/Alat Tradisional Kreativitas Paket


belajar Peraga Guru Pemerintah

Dalam peta tersebut terdapat enam jenis pendidikan yang dibandingkan dalam berbagai sudut
pandang. Keenam jenis pendidikan tersebut yaitu, pendidikan kapitalisme, pendidikan saintisisme,
pendidikan sosialisme, pendidikan spiritualisme, pendidikan demokrasi, dan pendidikan kontemporer
Indonesia (Praktek dan Fakta di lapangan). Sedangkan sudut pandang yang digunakan untuk
membandingkannya antara lain: filsafat, ideologi, politik, moral, sosial, budaya/karakter, ilmu,
epistemologi pendidikan, kurikulum, tujuan pendidikan, teori mengajar, teori belajar, peran guru,
kedudukan siswa, teori evaluasi, dan sumber/alat belajar. Akan dibahas perbandingan berdasarkan
sudut pandang satu per satu, yaitu:

1.      Filsafat

Dari sudut pandang filsafat pendidikan kapitalisme, pendidikan saintisisme, pendidikan


sosialisme, pendidikan demokrasi, dan pendidikan kontemporer memiliki aliran filsafat yang sama, yaitu
Esensialisme, Realisme, dan Esistensialisme. Menurut aliran esensialisme, pendidikan merupakan upaya
untuk memelihara kebudayaan “Education as Cultural Conservation”, Pendidikan Sebagai Pemelihara
Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture”
yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-
kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.  Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama
sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Menurut esensialisme pendidikan harus bertumpu
pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhannya, dan kekuatannya sepanjang masa sehingga nilai-nilai
yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang berbentuk secara
berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah payah selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam
gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.

Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran yang
patuh kepada yang ada (fakta). Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini
memandang dunia dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu
berasal dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda). Oleh
karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan kenyataan. Menurut
aliran filsafat realisme, pendidikan dimaksudkan sebagai kajian atau pembelajaran disiplin-disiplin
keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan definisi-definisi dan juga
pengklasifikasiannya. Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena
mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu
pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis
dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam.

Sedangkan menurut aliran esistensialisme pendidikan menekankan pada individu sebagai


sumber pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menuntut adanya system
pendidikan yang beraneka ragam warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun
penyusunan keahlian-keahlian. Hal ini karena aliran eksistensialisme mengutamakan
perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja.
Sebab, hal ini akan membatasi kemampuan murid untuk mengenal pngetahuan lain yang bermacam-
macam dan berbeda-beda.

Aliran filsafat menurut pendidikan spiritualisme yaitu aliran absolutisme. Absolutismememiliki


beberapa pengertian yang dapat dibagi menjadi 4 pengertian (Lorens, 1996: 2-5).Pertama, absolutisme
adalah pandangan bahwa kebenaran nilai atau realitas secara obyektif nyata, final dan abadi. Kedua,
absolutisme adalah keyakinan bahwa hanya ada satu penjelasan obyektif yang tepat dan tidak berubah
tentang realitas. Dalam pengertian tersebut, absolutisme dilawankan
dengan relativisme dan subyektifisme. Ketiga, absolutisme dalam teori politik adalah rezim yang
berkuasa mutlak. Dalam pengertian tersebut, orang dituntut untuk setia dengan seorang penguasa atau
klas yang berkuasa tanpa mempersoalkannya. Keempat, absolutisme dalam metafisika mengenai Sang
Absolut khususnya mengenai filsafatdari seorang tokoh bernama Bradley

2.      Ideologi

Ideologi adalah suatu filsafat yang bernilai kaya atau pandangan dunia

yang menyeluruh, suatu sistem ide dan keyakinan yang saling mengunci

satu dengan lainnya. Jadi ideologi yang dipahami di sini menjadi persaingan sistem kepercayaan,
menggabungkan kedua sikap nilai epistemologis dan nilai moral, tanpa arti yang bermaksud
merendahkan (Ernest, 1991:105).

a.       Pendidikan kapitalisme, pendidikan saintisisme, Pendidikan kontemporer

Pada dunia pendidikan tersebut, menganut ideologi yang sama, yaitu kapitalisme, liberalisme,
pragmatisme, utilitarianisme, dan materialisme. Kapitalisme atau Kapital adalah sistem ekonomi di
mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan
membuat keuntungan dalam ekonomi pasar (Chris Jenks). Pemilik modal bisa melakukan usahanya
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat
melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara
besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.

Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan


pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama (Coady, 1995:
40).

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan
berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah
dan agama.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang
bermanfaat secara praktis(Harun, 1980: 130-131). Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari
pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-
individu (Adi, 2003: 20-28).
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusiadalam
dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan
apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia
selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki
fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifatmetafisik, sebagaimana yang dilakukan
oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah. Contoh pragmatisme dalam pendidikan yaitu Ernest
(1991: 110) yang menunjukkan bahwa penggunaanunreflective matematika dalam pemodelan
matematika adalah bersifat pragmatis, dan dapat berwujud seperti filsafat .

Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang
patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan sebagai memaksimalkan
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. "Utilitarianisme" berasal dari kataLatin utilis, yang berarti
berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori
kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory) (Lorens, 2000: 1144).

b.      Pendidikan sosialisme

Ideologi pendidikan sosialisme yaitu sosialisme dan komunisme. Komunisme adalah sebuahideologi.


Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich
Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai
komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas(sejarah dan masa kini) dan ekonomi
kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia
politik.

Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19,
dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian
dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dan
komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam
pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.

Dalam bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara materi pengajaran dengan metode
pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak
boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan
hanya menerima pemikiran guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan secara
demokratis dan dinamis; baik dalam berpikir dan membahas. Dengan demikian, peserta didik akan
mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya  Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-
perbedaan kecerdasan individual. Untuk itu, pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya
menekankan pada upaya menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja di
bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik
dengan alas an bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari murid sendiri
dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha
memecahkannya bersama murid, tanpa menyerahkannya ke bagian administrasi.

c.       Pendidikan spiritualisme
Ideologi pendidikan spiritualisme yaitu fundamentalisme. Fundamentalisme adalah sebuah gerakan
dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai
dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini
seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya
sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada
lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah
"tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-
teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi
mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka (Bruce, 2000).

d.      Pendidikan demokrasi

Ideologi yang dianut dalan pendidikan demokrasi yaitu ideologi demokrasi. Tujuan ideologi pendidikan
ini berarti untuk mengembangkan fakultas-fakultas independen yang berpikir kritis, memungkinkan
siswa untuk menerima pertanyaan pengetahuan dengan kepercayaan, apapun sumber otoritasnya, dan
hanya menerima yang dapat dibenarkan secara rasional. Dua outcomes dari tujuan ini adalah bahwa
penerimaan pengetahuan bukan lagi diterima secara mutlak, dan bahwa budaya 'tinggi' tidak lagi
bernilai lebih populer dari atau budaya 'rakyat'. (Ernest, 1991: 217).

3.      Politik

a.       Pendidikan kapitalisme

Sistem politik dalam pendidikan ini adalah demokrasi-kapital (Korporasi), investasi, dan pasar bebas.

Perkembangan industri memunculkan kapitalisme sebagai sang pemegang kekuasaan (power now).
Empat sifat  / pilar yang melekat pada era Power Now adalah kapitalis, utilitarian, pragmatis dan
berakibat hedonism. Teknologi, ekonomi dan politik menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan dari
kapitalisme.

b.      Pendidikan saintisisme

Sistem politik dalam pendidikan ini adalah kapital, investasi, dan pasar bebas.

c.       Pendidikan sosialisme

Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Sosialis, Komunis, Proteksi-hegemoni, dan Demok-Negara.

d.      Pendidikan spiritualisme

Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Konservatif.

e.       Pendidikan demokrasi

Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Demokrasi dan Nasionalisme.

f.       Pendidikan kontemporer
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Demokrasi-Transaksional dan

Egosentris-Pasar Bebas

4.      Moral

a.       Pendidikan kapitalisme

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan kapitalisme yaitu relatif dan hedonisme. Hedonismeadalah
pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan
sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan (Frans,1987:114). Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Terdapat tiga sekolah pemikiran dalam
hedonis yakni Cyrenaics, Epikureanisme, dan Utilitarianisme.

b.      Pendidikan saintisisme

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan saintisisme yaitu relatif dan hedonisme. Hedonisme percaya
kenikmatan tertinggi dari manusia sebagai baik dan benar atau satu-satunya tujuan. Pendidikan moral
yang didasarkan pada filosofi ini akan menghasilkan peserta didik yang mengejar kepuasan keinginan
atau impian atau kesenangan fisik-biologis yang segera dan lalai terhadap aspek-aspek mental rohani
pendidikan sebab dianggap tidak segera menawarkan kepuasan fisik-biologis dan kesenangan.
Akibatnya, peserta didik dan guru mempatkan kegiatan pendidikan yang konkrit dan bermanfaat bagi
keperluan dalam kehidupan praktis sebagai titik tekan yang utama.

c.       Pendidikan sosialisme

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan sosialisme yaitu egosentris dan deontologi. Dalam
pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme
menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar
melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari
kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada
konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan
menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan.
Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi
perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang
dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan.

Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan.

d.      Pendidikan spiritualisme

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan spiritualisme yaitu moral dan deontologi. Dalam pandangan
deontologi, perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan dan tidak
menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan dari wajib atau tidaknya perbuatan dan
keputusan moral tersebut. Bagi manusia prinsip-prinsip obyektif bukan merupakan keniscayaan
sehingga manusia dengan sendirinya selalu mau memenuhi kewajibannya melainkan perintah
(imperatif). Imperative itu oleh Kant dibedakan menjadi dua macam yaitu imperatif hipotesis dan
imperati kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah bersyarat. Dengan iperatif hipotesis, prinsip-
prinsip obyektif dipersyaratkan dengan tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya prinsip-prinsip
itu akan dituruti, jika dengannya ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sedangkan imperative
kategoris adalah perintah yang “menunjukan sautu tindakan yang secara obyektif mutlak perlu pada
dirinya sendiri terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut”. Imperative kategoris berlaku mutlak
dan tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya sendiri,
tidak tergantung dari suatu tujuan sebelumnya.

e.       Pendidikan demokrasi

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan demokrasi yaitu moral dan deontologi.

f.       Pendidikan kontemporer

Pendidikan moral dalam dunia pendidikan kontemporer yaitu krisis multidimensi. Krisis


multidimensional adalah krisis yang terjadi di berbagai bidang dalam waktu yang relatif sama. Krisis
multidimensional lebih sulit untuk diatasi, karena hubungannya yang saling berkaitan antara satu krisis
di satu bidang dengan krisis yang lainnya. Krisis multidimensional situasi dimana bangsa negara ini
dilanda oleh berbagai ragam pertentangan besar maupun kecil.

5.      Sosial

a.       Pendidikan kapitalisme

Sifat sosial dalam pendidikan kapitalisme yaitu alineasi, multikultur, global-sistemik


networking.Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses menuju keterasingan,
adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang munculnya sebuah keadaan di mana buruh
atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Ia percaya bahwa Alienisasi
adalah hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal.

Konsep Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di masanya. Hal ini tertulis dalam
karyanya Das Kapital dan terbesit dalam karya-karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi
penggunaan kata alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase kedua hidupnya. Hal ini
dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya, sebagai akibat dari banyaknya para filsuf
sejaman Marx yang menggunakan kata tersebut sebagai konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang
dimaksud oleh Marx.

Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun perkembangan
selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang
diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia
luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi). Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan
lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang
diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi
tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah
mengalami detotalisasi dan dehumanisasi.
Dalam kehidupan berbudaya, suatu lingkup masyarakat akan mempunyai lebih dari dua kebudayaan
yang berbeda atau biasanya disebut masyarakat Multikultural. Jadi, dalam lingkup masyarakat tersebut
pasti ada diantara mereka yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, karena Negara pun pastinya
memiliki berbagai macam kebudayaan yang berbeda-beda. Masyarakat multicultural tersusun atas
berbagai budaya yang menjadi sumber nilai bagi terpeliharanya kestabilan kehidupan masyarakat
pendukungnya. Keragaman budaya tersebut berfungsi untuk mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakatnya

b.      Pendidikan saintisisme

Sifat sosial dalam pendidikan saintisisme yaitu alineasi, multikultur, global-sistemik networking.
Karl Marx menyebut keterasingan (alienasi) sebagai proses historis di mana manusia semakin terasing
dari alam dan dari produk dari aktivitas mereka, baik secara nature maupun secaranurture. Fenomena
ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Perubahan kurikulum yang
ditetapkan pemerintah saat ini, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memang
menyediakan ruang gerak bagi pelaksana pendidikan  untuk lebih kreatif, namun tidak bagi siswa
sebagai peserta didik. Tetap saja siswa tidak bisa menjadi subyek yang kreatif dalam usahanya
“memproduksi ilmu”, ia harus mengikuti alur dan alir yang ditetapkan sebagai sistem pendidikan.
Dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai
dalam jangka waktu tertentu sistem pendidikan kita memaksa guru untuk mencapai target kurikulum,
dan bagaimanapun pencapaian target tersebut akan mengabaikan soal “makna” dari pembelajaran itu
sendiri. Semua serba otomatis, awal tahun ajaran siswa mengikuti tes masuk dan satu tahun berikutnya,
senang tidak senang dan mau tidak mau ia harus menyelesaikan target mempelajari seabrek materi
pelajaran.

Makna dari materi-materi pelajaran itupun akhirnya menjadi persoalan marginal bagi pengajar, target
utamanya adalah menyelesaikan semua beban mengajar dalam waktu yang ditentukan dengan nilai
minimal yang juga ditentukan. Siswa sebagai peserta didik akhirnya juga harus memposisikan dirinya
sebagai “mesin” penjawab soal, dengan berbagai standar yang ditetapkan. Tidak penting apakah proses
pendidikan bermakna bagi mereka, yang terpenting kemudian adalah menyelesaikan semua beban studi
dan memberikan hasil minimal sama dengan standar. Inilah yang dinamakan Fromm dengan automaton,
manusia tidak ubahnya seperti mesin.

c.       Pendidikan sosialisme

Sifat sosial dalam pendidikan sosialisme yaitu dealienasi, monokultur, egaliter, elitisme. Korupsi pada
lembaga pendidikan mencerminkan ekses, yakni elitisme dan “kaderisasi penderitaan.” Kaum elite
didefinisikan kelompok kecil terpandang dan memiliki derajat sosial yang tinggi dalam masyarakat. Kosa
kata ini perlahan berubah menjadi negatif ketika perilaku mereka memunggungi kelompok lain dengan
perilaku seperti korup, tidak peduli dan bahkan memagari sosialitas ke dalam kepentingan lingkaran
dalam (in group).

Elitisme disebabkan oleh beberapa kondisi berikut: Pertama, ekonomi dan politik. Modal dan kekuatan
ekonomi sering menjadi faktor pembeda yang sangat mencengangkan dalam kehidupan bersama.

Dapat saja kita telusuri persoalan ini pada membengkaknya ongkos politik dalam bursa pencalonan
legisatif seperti yang diberitakan oleh media-media belakangan ini. Hal lain juga dapat ditemukan dalam
proyek pengadaan buku-buku untuk menambah pundi-pundi ekonomi keluarga dan kelompok.
d.      Pendidikan spiritualisme

Sifat sosial dalam pendidikan spiritualisme yaitu dealienasi, monokultur, egaliter, elitisme

e.       Pendidikan demokrasi

Sifat sosial dalam pendidikan demokrasi yaitu alineasi dan multikultur

f.       Pendidikan kontemporer

Sifat sosial dalam pendidikan kontemporer yaitu Primordial, Kolusi, Nepotisme, Korupsi, dan Local-
intrinsic-networking. Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-
hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu
yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Primordialisme dapat ditelusuri secara filosofis dengan ide-ide dari Romantisisme Jerman, terutama
dalam karya-karya Johann Gottlieb Fichte dan Johann Gottfried Herder (Steven, 1994).Untuk Herder,
bangsa itu identik dengan kelompok bahasa. Dalam pemikiran Herder itu, bahasa adalah identik dengan
pemikiran, dan karena setiap bahasa yang telah dipelajari di masyarakat, maka setiap masyarakat harus
berpikir secara berbeda. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tetap menahan sifatnya dari
waktu ke waktu.

Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi
dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu
sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam
proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Nepotisme berarti lebih
memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata
ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya
seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena
nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah
berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.

6.      Budaya/karakter

a.       Pendidikan kapitalisme

Budaya yang berkembang dalam pendidikan kapitalisme yaitu pos modern dan kontemporer.

b.      Pendidikan saintisisme

Budaya yang berkembang dalam pendidikan saintisisme yaitu pos modern dan kontemporer.

c.       Pendidikan sosialisme

Budaya yang berkembang dalam pendidikan sosialisme yaitu modern dan klasik.
d.      Pendidikan spiritualisme

Budaya yang berkembang dalam pendidikan spiritualisme yaitu tradisional dan klasik

e.       Pendidikan demokrasi

Budaya yang berkembang dalam pendidikan demokrasi yaitu modern dan pos modern.

f.       Pendidikan kontemporer

Budaya yang berkembang dalam pendidikan kontemporer yaitu pos modern dan kontemporer.

7.      Ilmu

a.       Pendidikan kapitalisme

Dalam pendidikan kapitalisme mengembangkan disiplin ilmu. kegiatan pendidikan ditekankan pada


materi yang berisi tentang pengetahuan umum baik berupa wawasan asal mula, eksistensi serta tujuan
kehidupan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan (Ilmu Pendidikan)
yang persoalan khasnya adalah menumbuh-kembangkan potensi manusia menjadi semakin dewasa dan
matang. Sebagai suatu disiplin ilmu, maka Ilmu Pendidikan haruslah dapat dibuktikan secara mendasar
terhadap eksistensinya sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam kajian secara filosofis, untuk dapat
membedakan antara Ilmu Pendidikan dengan pengetahuan lainnya yang bukan ilmu, maka Ilmu
Pendidikan haruslah memiliki ciri-ciri yang ilmiah, dimana memiliki obyek kajian yang jelas (fakta
empiris), menggunakan metode keilmuan yang bersifat rasional (penalaran) dan empiris (eksperimen)
serta bagaimana nilai keguanaan Ilmu Pendidikan tersebut. Induk dari segala ilmu pengetahuan adalah
filsafat, sebab segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Pada fase awalnya filsafat hanya
melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial
(moral philosophy).

b.      Pendidikan saintisisme

Dalam pendidikan saintisisme mengembangkan disiplin ilmu.

c.       Pendidikan sosialisme

Dalam pendidikan sosialisme mengembangkan disiplin ilmu.

d.      Pendidikan spiritualisme

Dalam pendidikan spiritualisme mengembangkan ilmu absolut.

e.       Pendidikan demokrasi

Dalam pendidikan demokrasi mengembangkan ilmu kreatif, interaktif, dan aktivitas sosial.

f.       Pendidikan kontemporer

Dalam pendidikan kontemporer mengembangkan disiplin ilmu egosentris.

8.      Epistemologi pendidikan

a.       Pendidikan kapitalisme
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan kapitalisme yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.

b.      Pendidikan saintisisme

Epistemologi pendidikan dalam pendidikan saintisisme yaitu pendidikan laskar dan


fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang
mempelajarimanusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan
dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Pada dasarnya
fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk
mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami
dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman
tersebut.Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya
dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan
proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman
adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.

c.       Pendidikan sosialisme

Epistemologi pendidikan dalam pendidikan sosialisme yaitu pendidikan laskar dan


indoktrinasi.Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk
menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali
dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang diindoktrinasi diharapkan untuk tidak
mempertanyakan atau secara kritis menguji doktrin yang telah mereka pelajari. Instruksi berdasarkan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, khususnya, tak dapat disebut indoktrinasi karena prinsip-prinsip dasar
ilmu pengetahuan menuntut evaluasi diri yang kritis dan sikap bertanya yang skeptis terhadap pikiran
sendiri.

d.      Pendidikan spiritualisme

Epistemologi pendidikan dalam pendidikan spiritualisme yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.

e.       Pendidikan demokrasi

Epistemologi pendidikan dalam pendidikan demokrasi yaitu pendidikan untuk semua dan fenomenologi.

f.       Pendidikan kontemporer

Epistemologi pendidikan dalam pendidikan kontemporer yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.

9.      Kurikulum

Model yang dikembangkan oleh Ernest (1991:241) menyajikan satu pendekatan teoritis untuk kurikulum
matematika dan identifikasi dari tujuannya. Ini multidisipliner, bertumpu pada filsafat, sosiologi dan
sejarah. Dalam literatur, ada tiga jenis pendekatan yang dapat dibedakan, bergantung pada disiplin-
disiplin yang mendasarinya.

Pertama, terdapat pendekatan pilosopis untuk kurikulum matematika, digunakan oleh Confrey ( 1981 ),
Lerman ( 1986 ) dan Nickson (1981). Ini

menggunakan filsafat matematika, dan secara khusus, pandangan berbeda sebagaimana absolutisme
dan fallibilistme sebagai basis untuk mengidentifikasi filsafat yang mendasari kurikulum matematika.
Seperti  pendekatan yang disajikan, penulis mengakui makna dari perbedaan filsafat matematika untuk
tujuan dan pedagogiknya. Bagaimanapun, mempertimbangkan perspektif filosofi tanpa melokasikan
mereka secara social berarti bahwa ketertarikannya disajikan oleh tujuan yang tidak diidentifikasi.

Kedua, terdapat pendekatan secara sosiologis, digunakan oleh Moon (1986)

dan secara khusus Cooper(1985). Yang mendasari model sosiologis adalah

kompetisi kelompok social, dengan membedakan misi dan ketertarikan, yang membentuk aliansi
temporer, tidak secara berturut-turut berbeda ideologi, untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pendekatan
ini kuat dalam mendiskripsikan faktor perubahan sosial, dan tujuan dari kompetisi kelompok.

Pendekatan secara sosiologis yang lain adalah neo-marxists, yang mendasarkan teori pendidikannya
pada hubungan yang komplek antara budaya, klas dan capital, berasal dari kerja Mark dan yang lainnya,
seperti

Gramsci (1971) dan Althusser ( 1971), Williem (1961) termasuk dalam kelompok ini, seperti yang
dikerjakan theoris-theoris yang lainnya termasuk Apple ( 1979 , 1982) , Bowles dan Gintis( 1976), Gintis
dan Bowles ( 1980 ) dan Giroux ( 1983). Teori-teorinya mulai utnuk diaplikasikan pada kurikulum
matematika, dalam Mellin-Olsen ( 1987), Cooper(1989) dan Noss ( 1989, 1989a). Laporan yang mereka
buat menawarkan model-model yang powerful dari hubungan antara sekolah, masyarakat dan power,
retorika yang lebih dan penjelasan di awal.

Bagaimanapun kelemahan umum adalah kurangnya diskusi dari sifat pengetahuan matematika, yang
diperlukan untuk laporan kurikulum dan tujuan-tujuannya. Sebuah untaian pemikiran yang mungkin
mengkompensasi kekurangan ini adalah Teori Kritis (Marcuse, 1964; Carr dan Kemmis, 1986), yang
sedang diterapkan pada kurikulum matematika (Skovsmose, 1985).

Ketiga, ada pendekatan historis untuk kurikulum matematika, yang digunakan oleh Howson (1982,1983)
dan Howson et al. (1981). Ini jejak sejarah inovasi melalui orang yang berkompeten (Howson, 1982) atau
proyek kurikulum (Howson et al., 1981; Howson, 1983). Pendekatannya sebelumnya adalah
individualistik, dan risiko kehilangan arah dari ideologi kelompok dan filsafat, dan peran tujuan dalam
melayani kepentingan kelompok. Pendekatan historis lebih relevan, karena menawarkan model untuk
mengklasifikasi proyek kurikulum matematika menjadi lima jenis (Keitel, 1975): 1 Matematika baru,
difokuskan secara luas dengan diperkenalkannya konten matematika modern ke dalam kurikulum,
murni atau terapan.

a.       Pendidikan kapitalisme

Dalam pendidikan kapitalisme kedudukan kurikulum adalah sebagai instrumen negara.

b.      Pendidikan saintisisme
Dalam pendidikan saintisisme kedudukan kurikulum adalah sebagai instrumen negara.

c.       Pendidikan sosialisme

Dalam pendidikan sosialisme kedudukan kurikulum adalah sebagai instrumen negara.

d.      Pendidikan spiritualisme

Dalam pendidikan spiritualisme kedudukan kurikulum adalah sebagai instrumen.

e.       Pendidikan demokrasi

Dalam pendidikan demokrasi kedudukan kurikulum adalah sebagai kebutuhan.

f.       Pendidikan kontemporer

Dalam pendidikan kontemporer kedudukan kurikulum adalah sebagai instrumen egosentris.

10.  Tujuan pendidikan

a.       Pendidikan kapitalisme

Tujuan pendidikan kapitalisme adalah investasi dan status quo.

b.      Pendidikan saintisisme

Tujuan pendidikan saintisisme adalah investasi dan relatif absolut

c.       Pendidikan sosialisme

Tujuan pendidikan sosialisme adalah hegemoni, egosentris dan status quo. Politik dan sistem pendidikan
nasional Indonesia belum menggambarkan pola dan struktur yang konsisten, kompak, dan
komperhensif. Dalam politik Pendidikan kontemporer Indonesia terdapat praktek politik demokrasi
transaksional dan politik uang, serta menuju pada Egosentrisitas Pasar Bebas. Keadaan ini dapat
membawa bangsa Indonesia yang mengalami kemunduran moral, dan menyebarnya praktik KKN.

Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia memandang pendidikan sebagai Investasi dan kurikulum
sebagai instrument untuk mencapai tujuan individu atau golongan elit politik. Dengan demikian inovasi
dalam pendidikan dan pembelajaran tidak akan sulit untuk diwujudkan. Sehingga dalam implementasi
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia, hampir semua guru mengajar dengan paradigm Behavioral,
metode Ekspositori, Ceramah, Motivasi Eksternal, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi
krisis multidimensi, bangsa Indonesia harus mewujudkan Politik dan Ideologi Pendidikan berdasarkan
Filsafat Pancasila dan Demokrasi UUD’45.

d.      Pendidikan spiritualisme

Tujuan pendidikan spiritualisme adalah mono-dualis dan status quo.


e.       Pendidikan demokrasi

Tujuan pendidikan demokrasi adalah pembebasan, kebutuhan, dan reformasi. Paradigma pendidikan


demokrasi yang perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah adalah pendidikan demokrasi yang
bersifat multidimensional atau bersisi jamak. Sifat multidimensional itu antara lain terletak pada   :

1)      Pandangannya yang pluralistik-uniter (bermacam-macam tetapi menyatu dalam pengertian Bhinneka


Tunggal Ika)

2)      Sikapnya dalam menempatkan individu, negara, dan masyarakat global secara harmonis

3)      Tujuannya yang diarahkan kepada semua dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, emosianal, dan sosial)

4)      Konteks (setting) yang menghasilkan pengalaman belajarnya yang terbuka, fleksibel atau luwes, dan
bervariasi merujuk kepada dimensi tujuannya.

f.       Pendidikan kontemporer

Tujuan pendidikan kontemporer adalah investasi, egosentris dan status quo.

11.  Teori mengajar

a.       Pendidikan kapitalisme

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan kapitalisme adalah berbasis riset, behaviorisme,
dan knowle-based.

b.      Pendidikan saintisisme

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan saintisisme adalah investigasi, behaviorisme, dan
knowle-based.

c.       Pendidikan sosialisme

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan sosialisme adalah transfer of knowledge dan
behaviorisme.

d.      Pendidikan spiritualisme

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan spiritualisme adalah ekspositori dan
behaviorisme.

e.       Pendidikan demokrasi

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan demokrasi adalah konstruktivis interaktif.

f.       Pendidikan kontemporer

Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan kontemporer adalah transfer of knowledge,
ekspositori, dan behaviorisme.

12.  Teori belajar
a.       Pendidikan kapitalisme

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan kapitalisme adalah modeling dan motivasi-eksternal.

b.      Pendidikan saintisisme

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan saintisisme adalah eksplorasi dan motivasi-
eksternal. Dalam proses pembelajaran, pendekatan saintifik ini akan melibatkan banyak keterampilan
proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan.
Bahkan dalam menjalankan setiap proses tersebut, guru akan sangat berperan penting dalam
membantu siswa. Namun bantuan yang diberikan oleh guru yang bersangkutan harus semakin
berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau bahkan ketika semakin tingginya kelas
yang di tempuh.

Metode saintifik sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori
Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga dengan teori belajar dengan penemuan. Ada empat hal
pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner. Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan
pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam
proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatau
penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam
melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan
melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas
merupakan bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan
metode saintifik.

c.       Pendidikan sosialisme

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan sosialisme adalah modeling dan dan motivasi-eksternal.

d.      Pendidikan spiritualisme

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan spiritualisme adalah modeling dan dan motivasi-
spiritual.

e.       Pendidikan demokrasi

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan demokrasi adalah otonomi, dan motivasi-intern dan
konstruktivis.

f.       Pendidikan kontemporer

Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan kontemporer adalah modeling dan motivasi eksternal.

13.  Peran guru

a.       Pendidikan kapitalisme

Peran guru dalam pendidikan kapitalisme adalah sebagai think tank dan pengembang-terkendali.

b.      Pendidikan saintisisme

Peran guru dalam pendidikan saintisisme adalah sebagai think tank dan pelaksana.
c.       Pendidikan sosialisme

Peran guru dalam pendidikan sosialisme adalah sebagai think tank dan pelaksana terkendali.

d.      Pendidikan spiritualisme

Peran guru dalam pendidikan spiritualisme adalah sebagai model dan pelaksana terkendali.

e.       Pendidikan demokrasi

Peran guru dalam pendidikan demokrasi adalah sebagai fasilitator dan pengembang.

f.       Pendidikan kontemporer

Peran guru dalam pendidikan kontemporer adalah sebagai think tank dan pelaksana terkendali

14.  Kedudukan siswa

a.       Pendidikan kapitalisme

Kedudukan siswa dalam pembelajaran kapitalisme adalah sebagai empty vessel. Pendidikan yang
seharusnya mengembangkan potensi siswa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang
memiliki intelektualitas yang tinggi, meningkatkan watak yang berkarakter dan terampil dalam bekerja
tidak lagi diprioritaskan dalam pembelajaran tetapi yang ada hanyalah mengejar target kelulusan dan
akta akdemis/sertifikat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa realitas pendidikan Indonesia lebih
mengabdi pada industry, bisnis sehingga pendekatan yang dilakukan adalah bagaimana membelajarkan
siswa untuk cepat menyelesaikan studi tanpa melihat kualitas hasil lulusan.

b.      Pendidikan saintisisme

Kedudukan siswa dalam pembelajaran saintisisme adalah sebagai empty vessel.

c.       Pendidikan sosialisme

Kedudukan siswa dalam pembelajaran sosialisme adalah sebagai empty vessel.

d.      Pendidikan spiritualisme

Kedudukan siswa dalam pembelajaran spiritualisme adalah sebagai empty vessel.

e.       Pendidikan demokrasi

Kedudukan siswa dalam pembelajaran demokrasi adalah sebagai aktor belajar. Ciri-ciri pembelajarannya
yaitu berpusat pada siswa, melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum
atau prinsip, melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan
intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa,dapat mengembangkan karakter siswa.

f.       Pendidikan kontemporer

Kedudukan siswa dalam pembelajaran kontemporer adalah sebagai empty vessel.

15.  Teori evaluasi
a.       Pendidikan kapitalisme

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan kapitalisme adalah eksternal dan ujian nasional.

b.      Pendidikan saintisisme

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan saintisisme adalah eksternal dan ujian nasional.

c.       Pendidikan sosialisme

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan sosialisme adalah eksternal dan ujian nasional.

d.      Pendidikan spiritualisme

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan spiritualisme adalah evaluasi intrinsik.

e.       Pendidikan demokrasi

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan demokrasi adalah penilaian berbasis kelas,
portofolio,otentik-assessment.

f.       Pendidikan kontemporer

Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan kontemporer adalah egosentris eksternal dan ujian
nasional.

16.  Sumber/alat belajar

a.       Pendidikan kapitalisme

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan kapitalisme adalah ICT.

b.      Pendidikan saintisisme

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan saintisisme adalah ICT.

c.       Pendidikan sosialisme

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan sosialisme adalah media/alat peraga.

d.      Pendidikan spiritualisme

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan spiritualisme adalah tradisional.

e.       Pendidikan demokrasi

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan demokrasi adalah kreativitas guru.

f.       Pendidikan kontemporer

Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan kontemporer adalah paket pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Chris Jenks. Core Sociological Dichotomies. "Capitalism, as a mode of production, is an economic system of


manufacture and exchange which is geared toward the production and sale of commodities within a
market for profit, where the manufacture of commodities consists of the use of the formally free labor
of workers in exchange for a wage to create commodities in which the manufacturer extracts surplus
value from the labor of the workers in terms of the difference between the wages paid to the worker
and the value of the commodity produced by him/her to generate that profit." London, England, UK;
Thousand Oaks, California, USA; New Delhi, India: SAGE. p. 383.

Adi Armin. 2003. Richard Rorty. Jakarta:Teraju..

Bruce, Steve. 2000. Fundamentalisme. Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas. Jakarta, Erlangga.

Coady, C. A. J. 1995.  Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin,


Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing..

Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education (Terjemahan). Taylor & Francis Group

Franz Magnis-Suseno.1987. Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Lorens Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm. 2-5.

Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1144.

Steven Gryosby.1994. The verdict of history: The inexpungeable tie of primordiality huth – A response to Eller
and Coughlan, Ethnic and Racial Studies.

http://id.wikipedia.org/wiki/Absolutisme

http://id.wikipedia.org/wiki/Alineasi

http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme

http://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme

http://id.wikipedia.org/wiki/Utilitarianisme

http://dafidslametsetiana.blogspot.com/2015/03/kajian-peta-filsafat-dan-ideologi.html

12:16 wib tanggal 27-09/2018


ideologi perubahan sosial para pendidik umum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konon, orang yang mula-mula menggunakan filsafat secara serius ialah orang Yunani yang bernama
Thales (kira-kira tahun 624-546 SM). Orang inilah yang digelari Bapak Filsafat. Gelar itu diberikan
kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, yaitu: Apakah sebenarnya bahan alam
semesta ini?  Ia sendiri menjawab : air. Setelah itu silih berganti filosof sezamannya dan sesudahnya
mengajukan jawaban. Semakin lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas,  dan semakin
rumit pula pemecahannya.

Buah pikiran (hasil kerja akal) yang mulai mengagetkan manusia awam barangkali pertama kali
dilontarkan oleh Heraclitus yang hidup pada sekitar tahun 500-an SM, yaitu tatkala ia berkata bahwa
sesungguhnya yang sungguh-sungguh ada, yang hakikat, ialah gerak dan perubahan. Jadi, bila orang
awam melihat patung yang diam, sesungguhnya patung itu bergerak dan berubah terus. Indera kitalah
yang tertipu atau yang menipu. Keudian filosof lain, lorang Yunani berhasil membuktikan sebaliknya
yang hakikat, yang sungguh-sungguh ada ialah yang diam, tetap, tak berubah, tak bergerak.

Cerita tersebut memperlihatkan bahwa karya akal memang cukup hebat. Zeno, orang Yunani yang
hidup pada kira-kira tahun 490 SM, menandai mulainya pemikiran sofisme. Ia berhasil membuktikan
bahwa ruang kosong itu tidak ada, jamak itu tidak ada, gerak juga tidak ada. Jadi, semua yang mapan
dalam pandangan orang awam ketika itu menjadi goyah. Inilah salah satu karya akal yang hebat
itu:kebimbangan.

Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar, yaitu Protagoras. Ia menyatakan
bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Inilah dia rumus Relativisme.  Sesuatu yang kita kenal
juga ada yang namanya fallibilisme. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi
kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti, sebagaimana pandangan kaum dogmatis, yang
menyatakan bahwa tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui. Fillabilisme menyatakan bahwa
mungkin (possible), bukan pasti.
Ideologi sebagai sebuah hasil refleksi manusia karena berkat kemampuannya mengadakan distansi
(menjaga jarak) terhadap dunia kehidupannya. Antara ideologi dan realita hidup masyarakat terjadi
hubungan yang dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbale balik yang terwujud dalam interaksi
yang di satu pihak memacu ideology makin realistis dan dilain pihak mendorong masyarakat makin
mendekati bentuk yang ideal. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk
mewujudkanya.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi
penolong dan penuntun umat manusia dala menjalani hidup, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib
dan peradaban manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda
dengan manusia masa lampau. Dalam konteks tersebut, peran pendidikan memicu kemajuan peradaban
yang dicapainya.

Berkaitan dengan pendidikan, sebagai wadah dalam pengembangan pola pikir manusia, tentu
perubahan social yang ada dalam pendidikan mesti diwujudkan dalam rangka kemajuan mutu
pendidikan itusendiri. Perubahan sosial merupakan gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat. Faktor perbuahan sosial diantaranya ialah majunya komunikasi dan cara, pola
pikir masyarakat. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan Ideologi Perubahan sosial Para Pendidik
Umum.

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui macam-macam ideologi perubahan sosial para pendidik umum

2. Menjelaskan Pendidik Umum sebagai Fillabilist Relativistik

3. Untuk mengetahui kelompok pendidik umum dalam pendidikan matematika

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ideologi Perubahan Sosial para Pendidik Umum

            Ada beberapa hal yang perlu diketahui untuk menjelaskan ideologi perubahan sosial pendidik umum.
Berikut akan disajikan unsur-unsur yang mendasari ideologi fallibilisme relativistik.

1.      Filsafat Matematika

Filsafat matematika dari ideologi ini adalah konstruktivisme sosial. Seperti yang telah kita
ketahui, hal ini membawa sebuah pandangan tentang pengetahuan matematika sebagai dapat
dibetulkan (corrigible) dan empiris semu (quasi-empirical), runtuhnya batas-batas subyek yang kuat; dan
pengakuan nilai-nilai sosial dan pandangan sosio-historis tentang subyek, dengan matematika yang
dianggap sebagai terikat dengan budaya dan bermuatan nilai. Ini adalah sebuah pandangan perubahan
konseptual tentang pengetahuan (Confrey, 1981).

2.      Epistemologi

Seluruh epistemologi dari kedudukan ini adalah fallibilist, dan berorientasi kepada perubahan
konseptual (Toulmin, 1972; Pearce dan Maynard, 1973), sesuai dengan filsafat matematika. Maka dari
itu, epistemologi mengakui bahwa semua pengetahuan terikat budaya, bermuatan nilai, saling
berhubungan dan berdasarkan aktivitas dan penelitian manusia. Baik kemunculan maupun pembenaran
pengetahuan dipahami sebagai sosial ditempatkan dalam perjanjian manusia. Menurut pandangan
kesadaran sosial dan politik akan ideologi ini, ini adalah sebuah perspektif epistemologi kritis, yang
melihat pengetahuan, etika, dan isu sosial, politik dan ekonomi semuanya saling berkaitan erat.
Terutama, pengetahuan dianggap sebagai kunci terhadap aksi (tindakan) dan kekuatan, dan tidak
dipisahkan dari realita.

3.      Kumpulan nilai-nilai moral

Nilai-nilai moral dari kedudukan ini adalah nilai-nilai keadilan sosial, sebuah sintesa tentang nilai-
nilai yang terpisah dan terhubung. Dari perspektif terpisah muncul sebuah penilaian tentang keadilan,
hak-hak, dan pengakuan akan pentingnya struktur sosial, ekonomi dan politik. Dari perspektif terhubung
muncul sebuah penghormatan terhadap hak, perasaan dan pengertian, dan sebuah perhatian bahwa
semuanya dapat hidup dalam masyarakat seperi dalam sebuah keluarga besar yang ideal. Yang
mendasari perhatian ini adalah prinsip egalitarianisme dan keinginan akan keadilan sosial yang peduli,
yang didasarkan kepada tiga nilai dasar: kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan (atau persahabatan).
Ada juga dua nilai turunan yaitu: partisipasi demokrasi (kesetaraan ditambah kebebasan) dan
humanitarianisme (kesetaraan ditambah persaudaraan) (Lawton, 1988).

Nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasi secara longgar dengan golongan politik kiri. Mereka dapat
ditelusuri kebelakang setidaknya pada saat terjadinya revolusi Amerika dan Perancis. Maka dari itu,
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dimulai dengan pernyataan tegas mengenai kesetaraan dan kebebasan
sebagai hak asasi manusia yang universal.

Kita menganggap kebenaran-kebenaran tersebut terbukti dengan sendirinya, bahwa semua


manusia diciptakan sama, bahwa mereka semua dianugerahi hak-hak tertentu oleh penciptanya yang
tidak dapat dicabut; bahwa diantara hak-hak tersebut adalah kehidupan, kebebasan, dan pencarian
kebahagiaan. (Ridgeway, 1948, hal 576).
Tritunggal ini dilengkapi oleh orang-orang revolusioner Perancis yang menegaskan hak-hak atas
“liberte, egalite, dan fraternite’, maka dari itu menambahkan persaudaraan kedalam kebebasan dan
kesetaraan.

4.      Teori anak

Teori kanak-kanak adalah teori tentang orang-orang yang terlahir sama, dengan hak-hak yang
sama dan umumnya berkah dan potensi yang sama. Orang-orang itu berkembang didalam sebuah
matriks sosial dan dipengaruhi oleh budaya-budaya dan struktur sosial disekitarnya, khususnya kelas.
Anak-anak adalah ‘tanah liat yang akan dicetak’ oleh dampak kekuatan sosial dan budaya yang kuat.
Akan tetapi hal ini terlalu menekankan sifat dapat ditempa (malleability) dari orang-orang dengan
mengorbankan kekuatan pusat perkembangan mereka. Karena anak-anak dan orang lain dianggap aktif
dan meminta keterangan dari pembuat makna dan pengetahuan. Bahasa dan interaksi sosial
memainkan sebuah peran penting dalam pemerolehan dan penciptaan pengetahuan pada masa kanak-
kanak. Teori psikologis yang menggambarkan kedudukan ini antara lain adalah teori-teori Vygotsky
(1962) dan Leont’ev (1978), yaitu bahwa perkembangan psikologis, bahasa dan aktivitas sosial pada
hakitanya semuanya saling berhubungan. Yaitu pandangan ‘konstruksionis sosial’ bahwa pengetahuan
dan makna anak merupakan konsep (konstruksi) internal yang timbul dari interaksi sosial dan ‘negosiasi
makna’ (Pollard, 1987).

5.      Teori Masyarakat

Teori melihat masyarakat sebagai sesuatu yang terbagi dan terstruktur oleh hubungan-
hubungan antara kekuatan, budaya, status dan penyebaran kekayaan, dan mengakui ketidaksetaraan
sosial dalam kaitannya dengan hak, kesempatan hidup, dan kebebasan untuk mencari kebahagiaan.
Pandangan ini melihat massa sebagai tidak berdaya, tanpa pengetahuan untuk menegaskan hak-hak
mereka sebagai warga negara dalam suatu masyarakat demokrasi, dan tanpa keterampilan untuk
memenangkan sebuah tempat yang baik dalam bursa pekerjaan, dengan remunerasi yang ia bawa. Teori
masyarakat juga bersifat dinamis, karena hal ini melihat bahwa perkembangan sosial dan perubahan
diperlukan untuk mencapai keadilan sosial bagi semuanya. Hal ini terkait dengan perbedaan antara
realita sosial dengan cita-cita sosial, dan dalam sebuah pandangan yang berkomitmen terhadap
perubahan guna mencapai nilai-nilai sosialnya.

Perspektif ini juga melihat massa sebagai ‘raksasa yang sedang tidur’ yang dapat dibangunkan
oleh pendidikan untuk menegaskan hak-haknya yang adil. Kecuali jika orang-orang membiarkan
kesadaran mereka tumbuh untuk mempertanyakan status quo, kekuatan ‘kurikulum tersembunyi’
dalam pendidikan sekolah dan masyarakat akan cenderung mereproduksi identitas kelas ekkonomi dan
budaya mereka (Giroux, 1983).

6.      Tujuan Pendidikan
Sasaran dari kedudukan ini adalah terpenuhinya potensi individu didalam konteks masyarakat.
Maka dari itu, tujuannya adalah pemberdayaan dan pembebasan individu melalui pendidikan untuk
memainkan peran aktif dalam membuat takdirnya sendiri dan untuk memprakarsai dan berpartisipasi
dalam pertumbuhan dan perubahan sosial. Tiga tujuan pokok yang saling berkaitan dapat dibedakan :

a.       Pemberdayaan seseorang sepenuhnya melalui pendidikan, yang menghasilkan ‘alat-alat untuk


pemikiran’ yang memungkinkan orang itu untuk mengambil kendali atas kehidupan mereka, dan untuk
berpartisipasi sepenuhnya dan secara kritis dalam suatu masyarakat yang demokratis.

b.      Penyebaran pendidikan bagi semua orang, seluruh masyarakat, agar sesuai dengan prinsip egalitarian
tentang keadilan sosial.

c.       Pendidikan bagi perubahan sosial – gerakan kearah sebuah masyarakat yang lebih adil (dan dunia)
dalam kaitannya dengan penyebaran kekayaan, kekuasaan dan peluang

Secara keseluruhan, ideologi ini berorientasi sosial, dengan epistemologinya berdasarkan


konstruksi sosial, dan etika-etikanya berdasarkan keadilan sosial. Karena ini bersifat relativistik, dalam
semua domain hal ini mengakui kesahihan perspektif alternatif.

  

B. Pendidik Umum sebagai Fillabilist Relativistik

Ideologi Fallibilist Relativistik adalah ideologi para pendidik umum, yang menggambarkan sebuah
tradisi reformasi radikal, yang  terkait dengan  demokrasi dan equitas sosial (Williams, 1961).  Tujuannya
adalah “pendidikan bagi semuanya”, untuk memberdayakan kelas pekerja, dan kelas-kelas lain, agar
berpartisipasi dalam lembaga-lembaga demokrasi masyarakat, dan berbagi dalam kemakmuran
masyarakat industri modern. Untuk pendidikan, tujuan ini berarti mengembangkan kemampuan-
kemampuan pemikiran kritis mandiri, yang memungkinkan para siswa untuk mempertanyakan
pengetahuan yang diterima dengan kepercayaan, bagaimanapun otoritas sumbernya, dan untuk
menerima hanya apa yang dapat dibenarkan secara rasional. Dua hasil dari tujuan ini adalah bahwa
pengetahuan yang diterima tidak lagi dianggap mutlak, dan bahwa budaya ‘tinggi’ tidak lagi dihargai
lebih besar daripada budaya populer atau ‘rakyat’. Hal ini menjangkau perbedaan antara pengetahuan
paktis atau yang terpancang kepada budaya dan pengetahuan akademis. Meskipun pengetahuan
akademis dihargai karena struktur teoretisnya, hal ini tidak dengan mengorbankan pengetahuan praktis
yang dihargai karena menjadi bagian dari budaya dan kondisi kehidupan rakyat.

Asal-usul ideologi pendidikan umum


Akar dari tradisi pendidik umum dan pendidik progresif saling berkaitan. Maka dari itu, ketentuan
pendidikan dasar bagi semua orang dalam Undang-Undang Reformasi 1870, menggambarkan sebuah
kemenangan bagi kedua kelompok tersebut (dalam aliansi dengan para pelatih/trainer industri). Akan
tetapi, tidak semua orang berbagi tujuan pendidik umum karena Undang-undang ini memberdayakan
masyarakat secara politik. Melainkan diharapkan bahwa hal ini akan memoderasi pengerahan kekutan
mereka, setelah pemberian hak kepada sebagian besar pekerja kota pada tahun 1867. Menurut kata-
kata kontemporer  Robert Lower:

Sejak saat anda mempercayai masyarakat dengan kekuatan, pendidikan menjadi sebuah kebutuhan
wajib … Anda telah meletakkan pemerintahan negeri ini di tangan masyarakat dan maka dari itu anda
harus memberi mereka sebuah pendidikan.

(Dawson dan Wall, 1969, hal 28)

Ada gerakan-gerakan untuk membawa pendidikan universal kepada masyarakat secara terlepas
dari tradisi pendidikan progresif. Pada akhir abad kedelapanbelas, para pemikir seperti Malthus dan
Bentham berpendapat bahwa sebuah pendidikan negeri bagi seluruh rakyat diperlukan untuk
memperbaiki kebodohan dan kondisi rakyat miskin.

Sebuah gerakan Victorian kuno “ilmu tentang hal-hal umum’, menghubungkan pendidikan ilmu
pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari dan pengalaman rakyat. Insinyur dari reformasi ini adalah’
Henry Moseley, yang tujuannya sebagian besar sesuai dengan perspektif pendidik umum. Ia
berpendapat bahwa “membekali seorang anak dnegan kekuatan mekanis membaca tanpa mengajarinya
memahami bahasa buku’ tidak akan memberdayakan. Saat membahas komponen-komponen dari
sebuah kurikulum yang sesuai, ia berpendapat bahwa

Aritmatika, jika dilihat sebagai logika dari rakyat dan dikembangkan dengan relevansi terhadap budaya
intelektual anak kelas pekerja, merupakan …sebuah unsur yang penting; tetapi tidak ada cabang
pengajaran sekuler yang mungkin lebih efektif dalam menaikkan karakter pekerja daripada pengetahuan
tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang memiliki sebuah aplikasi pada kesejahteraan dan
pekerjannya di masa mendatang. Berbekal ini, anak memiliki sumberdaya yang sangat berharga bagi
perjuangannya di masa mendatang dengan unsur-unsur material eksistensi. Ia akan dibekali untuk
menghindari degradasi tenaga kerja yang bodoh.

Pandangan tentang pendidikan sebagai alat untuk memungkinkan pekerja memiliki kekuasaan yang
lebih besar atas kehidupan mereka dan kondisi-kondisi material menggambarkan sebuah contoh awal
tentang perspektif pendidikan umum.

Walaupun Moseley pada awalnya sukses dalam memperoleh dana untuk peralatan ilmiah dan
sumberdaya bagi ekperimentasi siswa di sekolah-sekolah, namun ilmu pengetahuan (sains) tidak
menjadi bagian pokok dari tradisi sekolah dasar. Justru ‘pelajaran obyek’ yang menjadi lumrah, dimana
guru memperlihatkan sebuah obyek biasa, seperti sebuah batu bara, atau gambarannya, seperti sebuah
gambar seekor kuda, dan kemudian memperoleh deskripsi, definisi dan sifat-sifatnya dari murid-murid.
Ini sangat berbeda dengan ‘ilmu tentang benda-benda umum’ dan kurikulum pendidik umum.

Williams menggambarkan sebuah sumber pendidik umum lebih lanjut. Ini adalah sebuah kelompok
yang ditarik dari kelas pekerja, yang memiliki dampak melalui pendidikan dewasa dengan
memperkenalkan unsur-unsur pilihan subyek ‘siswa’, hubungan antara disiplin ilmu dengan kehidupan
kontemporer yang sesungguhnya, dan keseimbangan diskusi umum dengan instruksi ahli’ Williams.

Salah seorang pendukung kedudukan pendidik umum pada awal abad keduapuluh adalah Dewey.
Ia mendukung tiga rangkaian keyakinan yang saling berhubungan dengan pandangan ini. Hal ini
pertama-tama, melalui Pragmatisme, pandangan bahwa semua pengetahuan bersifat sementara dan
bisa keliru. Dalam hal ini, Dewey jauh lebih unggul pada jamannya, karena ‘kesempurnaan pengetahuan’
merupakan kekolotan jamannya. Yang kedua, Dewey percaya dengan pendidikan untuk demokrasi, dan
terutama, pentingnya pemikiran reflektif kritis yang merupakan pengujian yang aktif, hati-hati dan terus
menerus terhadap suatu keyakinan, atau bentuk pengetahuan yang diakui, dalam kaitannya dengan
dasar yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lebih lanjut terhadap apa yang kepadanya ia
condong. Ketiga, Dewey berpendapat bahwa kesenjangan antara minat dan pengalaman anak, dan
subyek kurikulum yang berbeda harus dijembatani. Pengalaman dan budaya anak seharusnya
memberikan landasan bagi pembelajaran sekolah yang mengeluarkan anak dari lingkungan fisik yang
familier dengannya, dengan luas hampir tidak lebih dari satu mil persegi atau lebih – ya, dan bahkan
sampai batas-batas tata surya. Jangkauan ingatan personal yang kecil dan tradisi terbebani oleh sejarah
semua orang selama berabad-abad lamanya.

Dewey percaya bahwa pendidikan sebaiknya dimulai dengan minat dan budaya anak-anak, dan
bahwa hal ini kemudian membangun keluar, kearah pencarian disiplin ilmu kurikulum dari landasan ini.

Maka dari itu Dewey merupakan seorang pendukung maksud pendidik umum. Walaupun sekaligus
merupakan kontributor penting pada tradisi progresif dalam pendidikan, namun ia juga mengkritiknya
dalam bentuk yang terlalu romantis, dan sangat berkomitmen terhadap nilai-nilai ideologi pendidik
umum.

Beberapa pernyataan yang kuat dari ideologi pendidik umum datang dari negara-negara pasca
kolonial diluar Inggris, yang terkait dengan pembangunan sosial. Salah satu contohnya adalah program
“Pendidikan untuk Self-Reliance (Kepercayaan Diri)’ di Tanzannia yang diprakarsai oleh Julius Nyrere,
dengan tujuan berikut ini:

untuk mempersiapkan orang-orang menghadapi tanggung jawab mereka sebagai pekerja dan
warganegara yang bebas dalam suatu masyarakat yang bebas dan demokratis, walaupun sebagian besar
merupakan masyarakat pedesaan. Mereka harus mampu berpikir untuk dirinya sendiri, untuk membuat
penilaian tentang semua masalah yang mempengaruhi mereka; mereka harus mampu menafsirkan
keputusan-keputusan yang dibuat melalui lembaga-lembaga demokrasi di masyarakat kita … Maka dari
itu, pendidikan harus mendorong berkembangnya pikiran menyelidiki, yaitu sebuah kemampuan untuk
mempelajari apa yang orang lain lakukan dalam diri setiap warganegara …

Paulo Freier telah mengembangkan sebuah ideologi pendidik umum yang komprehensif, dengan
ajaran-ajaran berikut ini. Semua pengetahuan bersifat sementara, dan tidak dapat dipisahkan dari
pengetahuan subyektif seseorang. Dunia dan kesadaran tidak saling bertentangan secara statis, mereka
saling berhubungan satu sama lain secara dialektik … kebenaran dari yang satu harus diperoleh melalui
yang lain; kebenaran tidak diberikan, hal ini menaklukkan dirinya sendiri dan membuatnya sekali lagi.
Yaitu pada penemuan dan sekaligus penciptaan.

Menurut Freire, tujuan dari pendidikan adalah untuk mencapai kesadaran yang penting atau
“conscientization” yaitu sebuah pendekatan kritis permanen terhadap realita untuk menemukannya dan
menemukan mitos yang menipu kita dan membantu mempertahankan struktur dehumanisasi yang
menindas.

Kesadaran kritis diperoleh melalui pendidikan ‘problem posing(pengajuan masalah)’ dimana siswa
para siswa secara aktif memilih masalah dan obyek penelitian, adalah bersama-sama menyelidiki
(mencari keterangan) dengan guru dan bebas mempertanyakan kurikulum dan ilmu pendidikan
(pedagogi) sekolah. Hal ini berbeda dengan pendidikan ‘banking (perbankan)’ dimana para siswa
merupakan penerima pengetahuan yang pasif dan tak berdaya. Freire mengembangkan ideologi
pendidikan (terbukti dibawah pengaruh Marxisme) melalui pengajaran keterampilan membaca dan
menulis kepada para petani di Brazil dengan tujuan untuk memberdayakan mereka agar terlibat dengan
struktur sosial masyarakat dan untuk mengambil alih kehidupan mereka.

Semakin banyak peneliti di dunia yang telah mendukung unsur-unsur dari kurikulum pendidik
umum, termasuk refleksi kritis tentang pengetahuan yang diterima dan sifat masyarakat dan
meningkatnya demokrasi dan pengendalian siswa atas bentuk dan muatan pendidikan sekolah.

Di Britain, Williams (1961) mengusulkan sebuah kurikulum pendidik umum untuk memberikan
penguasaan bahasa Inggris dan matematika kepada para siswa untuk memperkenalkan siswa kepada
budaya masyarakat disekitar mereka – termasuk budaya populer – dan berlatih dalam pembacaan kritis
tentang surat kabar, majalah, propaganda dan iklan; untuk mempersiapkan mereka dalam berpartisipasi
dalam lembaga-lembaga demokrasi masyarakat; terlibat dalam metode penyelidikan ilmu pengetahuan
dan memahami sejarah dan efek sosial dari ilmu pengetahuan. Singkat kata, ‘sebuah pendidikan umum
yang dirancang untuk mengekspresikan dan menciptakan nilai-nilai tentang sebuah demokrasi terdidik
dan budaya umum’.

Walaupun banyak proyek semadam itu yang tidak pernah melewati tahap perencanaan, Proyek
kurikulum kemanusiaan berhasil dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa tujuan pendidik
umum.
Tujuan pedagogis dari proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah pemahaman tentang
situasi-situasi sosial dan tindakan manusia dan masalah nilai kontroversial yang mereka timbulkan.

Proyek ini menggunakan kontroversi dan memuat konflik (argumen) sebagai bagian dari
metodologi untuk menumbuhkan kesadaran kritis dikalangan para siswa. Guru masuk kedalam peran
ketua yang netral, menghindari pengajaran partisan (pengikut) dan muatan indoktrinasi. Sebuah
masalah timbul dalam perlakuan rasisme, dimana dirasakan bahwa netralitas tidak dapat diterima. Hal
ini berada dibalik pengadopsian sebuah

Maksud yang dilakukan dengan sengaja untuk menghapuskan ketegangan-ketegangan rasial dan
rasa sakit didalam masyarakat kita – yang merupakan dan akan multi-rasial – dengan mengurangi
praduga, dengan membentuk rasa hormat terhadap tradisi yang beragam, dan dengan mendorong sikap
saling memahami, kelayakan dan keadilan.

Walaupun proyek ini meliputi unsur-unsur maksud pendidik umum, namun hal ini tidak
sepenuhnya membahas prubahan sosial dan maksud politik. Di tempat lain, para pendidik telah
mengusulkan kurikulum pendidik umum yang membahas berbagai macam tujuan (maksud), sebagai
contoh, sebagai ‘pendidikan kota’. Sebuah pernyataan yang jelas tentang maksud dan prinsip dari salah
satu proyek tersebut diberikan oleh Zimmer.

1.    Tidak akan ada pengajaran di kelas lagi. Semuanya akan dilakukan melalui proyek-proyek.

2.    Proyek-proyek seharusnya memenuhi kebutuhan suatu kelas pekerja yang bertujuan untuk memperoleh
kebulatan tekad.

3.    Prinsip kebulatan tekad seharusnya berlaku di sekolah, dan dalam pemilihan proyek.

4.    Sekolah seharusnya hidup di sebuah dunianya sendiri, tetapi sebaiknya bergerak kembali kedalam
masyarakat di daerah-daerah tersebut dimana perubahan diperlukan.

5.    Anak-anak sebaiknya diberi setiap peluang pemenuhan diri. Mereka seharusnya bahagia, dan kebutuhan
mereka sebaiknya terpenuhi, selama itu memungkinkan didalam sebuah konteks sekolah.

6.    Anak-anak sebaiknya tidak dipisahkan dari masyarakat – sebaliknya mereka dapat menerapkan tuntutan
mereka akan realisasi (perwujudan diri) hanya pada lingkungan mereka yang terbatas. Mereka
mendukung kepentingan mereka dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan,
dan mereka seharusnya menegosiasikan dan memperoleh kepentingan mereka dengan cara yang
demokratis.

Dengan demikian, Zimmer mengusulkan situasi kehidupan pembelajar adalah titik awal dari
perencanaan pendidikan; pemerolehan pengetahuan merupakan bagian dari proyek; dan perubahan
sosial merupakan tujuan tertinggi dari kurikulum. Ia mengungkapkan bahwa kurikulum sebaiknya
didasarkan kepada proyek-proyek untuk membantu perkembangan diri dan kepercayaan diri murid,
dengan topik-topik seperti ‘konflik di pabrik’ dan ‘kantor kesejahteraan sosial’.

Baik proyek pabrik maupun kantor kesejahteraan menawarkan peluang bagi proyek-proyek yang
sejajar dan lanjutan. Pada proyek pabrik, orang dapat mempelajari matematika dan sumbangannya
dalam proses produksi, bukan mengenai hal itu sebagai masalah menularkan keterampilan matematika
secara terpisah dari kemungkinan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang sebaiknya belajar
bagaimana cara menganalisa bagaimana nilai-nilai yang ada diluar matematika dapat diubah menjadi
simbol-simbol matematika, aturan-aturan dan proses-proses. Sebaliknya, orang seharusnya mampu
mengenali sifat dan nilai benda-benda yang terletak dibalik simbol-simbol matematika formal. Orang
harus mampu melakukan hal ini terutama dalam situasi-situasi dimana proses teknologi dan kegiatan
matematika yang terkait dengan mereka memberikan sebuah kesan tentang rasionalitas obyektif,
sementara kepentingan yang berada dibalik mereka masih tetap tersembunyi.

Dengan demikian, Zimmer mampu mengetahui bagaimana pelajaran yang paling sulit, yaitu
matematika, memiliki peran penuh yang harus dimainkan dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.

Proposal-proposal mengenai sebuah kurikulum pendidik umum terus berlanjut hingga sekarang ini.
Jones (1989), misalnya mengusulkan sebuah piagam untuk pendidikan yang merupakan sebuah
pernyataan lengkap dan kuat mengenai kedudukan tersebut.

Secara keseluruhan, Williams (1961) berpendapat bahwa para pendidik umum telah berhasil dalam
menjamin perpanjangan pendidikan bagi semua orang di masyarakat modern Inggris (dan Barat),
sebagai suatu hak. Hal ini dilakukan dengan aliansi yang bijaksana dengan para trainer (pelatih) industri
dan lain-lain yang terutama menghasilkan Undang-Undang Pendidikan Expansionist tahun 1870 dan
1944. Dengan demikian, tujuan pendidik umum yaitu ‘pendidikan bagi semua orang’ dalam kaitannya
dengan pendidikan sekolah yang bebas universal telah tercapai.

Akan tetapi, pendidik umum belum berhasil dalam mengubah isi dan gaya transaksional pendidikan
sekolah untuk merefleksikan maksud pendidikan mereka. Maka dari itu, bahkan proyek paling sukses
yang dijelaskan diatas, yaitu Proyek Kurikulum Kemanusiaan, merupakan sebuah eksperimen jangka
pendek. Itu berarti bahwa kesetaraan peluang pendidikan tidak diperoleh di Britain. Sejumlah kelompok
sosial, termasuk siswa perempuan, etnik minoritas, dan kelas pekerja, kurang terlayani dengan baik oleh
sistem pendidikan, dalam kaitannya dengan peluang hidup, dibandingkan dengan siswa laki-laki, kulit
putih dan kelas menengah.

C. Kelompok Pendidik Umum dalam Pendidikan Matematika

Kemunculan suatu kelompok pendidik umum khususnya dalam pendidikan matematika baru terjadi
akhir-akhir ini, karena munculnya filsafat matematika fallibilist dan konstruktivist sosial. Tonggak
bersejarah terjadi pada tahun 1634, dengan publikasi bagian terbesar dari Lakatos (1976, dalam artikel-
artikel jurnal). Baru setelah ini pandangan fallibilist tentang  matematika memperoleh legitimasi dan
kekinian. Sebelum hal ini terjadi, ideologi pendidik umum yang lengkap dalam kaitannya dengan
matematika tidak memungkinkan. Akan tetapi, sejak permulaan, implikasi filsafat fallibilist matematika
(dan ilmu pengetahuan) terhadap pendidikan telah muncul dari para pencipta dan elaborator atau
pengurainya.

Sebuah pernyataan yang jelas tentang pandangan fallibilist matematika dalam pendidikan,
walaupun agak subyektivistik dalam dukungan, diebabkan oleh Asosiasi Guru Matematika.

Matematika dibuat oleh manusia dan memiliki semua  fallibility (sifat bisa salah) dan ketidakpastian
yang tersirat dari hal ini. Hal ini tidak ada diluar pikiran manusia, dan hal ini membuat kualitasnya dari
pikiran manusia yang menciptakannya. Karena matematika dibuat oleh manusia dan ada hanya didalam
pikirannya, hal ini harus dibuat atau dibuat lagi di pikiran setiap orang yang mempelajarinya. Dalam hal
ini matematika hanya dapat dipelajari dengan diciptakan.

Akhir-akhir ini, pendidik umum harus mengakui bahwa matematika merupakan sebuah konsep
sosial yang terpancang kepada budaya dan terikat oleh budaya. Hal ini berlaku pada praktek informasi
yang disebut ‘etnomatematik’ oleh D’Ambrosio. Yang menggambarkan kegunaan dan sumber
matematika sehari-hari.

Keterpancangan pada budaya ini juga berlaku pada matematika formal dan akademis dan
aplikasinya, yang merupakan bagian dari ‘institusi sosial matematika’. Pengetahuan matematika sendiri
secara jelas diakui sebagai sebuah konsep sosial.

Selain pandangan tentang sifat matematika, kelompok pendidik umum memiliki pandangan
tentang sifat pendidikan matematika dan hubungannya dengan masyarakat. Yang pertama, mengenai
tujuan pendidikan matematika.

Hal ini memiliki arti demokratis bagi individu serta masyarakat pada umumnya, jika warganegara
dibekali dengan instrumen-instrumen untuk memahami peran matematika [dalam masyarakat]. Setiap
orang yang tidak memiliki instrumen tersebut menjadi ‘korban’ proses kemasyarakatan dimana
matematika menjadi salah satu komponennya. Jadi, tujuan dari pendidikan matematika seharusnya
untuk memungkinkan siswa menyadari, memahami, menilai, memanfaatkan, dan kadang-kadang juga
melakukan aplikasi matematika didalam masyarakat, khususnya pada situasi yang memiliki arti bagi
kehidupan pribadi, sosial, dan profesional.

Untuk memberdayakan para pembelajar dan memberi mereka kontrol yang lebih besar atas
kehidupan mereka (Frankenstein dan Powell, 1988), pengajaran matematika seharusnya mendorong
otonomi siswa dan pilihan siswa atas bidang-bidang permasalahan yang harus diteliti.

Maka dari itu, pendidikan seharusnya mengarah kepada keterlibatan personal dan sosial atas nama
pembelajar. Hal ini melibatkan pemikiran kritis dan ‘conscientization’ melalui matematika yang
merupakan proses penting yang dengannya hubungan antara matematika dengan masyarakat terkait
dengan perkembangan/situasi pribadi murid atau siswa. Proses ini melibatkan pembelajar dalam
beberapa tahap. Yang pertama keterlibatan dengan suatu bentuk aktivitas matematika yang
terorganisir. Yang kedua, obyektivikasi beberapa masalah matematika, yaitu menjauhkan diri dari
permasalahan sehingga hal ini jelas terlihat sebagai obyek penelitian. Yang ketiga, refleksi kritis tentang
tujuan dan konsekuensi dari mempelajari masalah ini dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang lebih luas.
Akan tetapi, konflik dan kontroversi akan timbul dari  Mempolitisasi pendidikan. Situasi ini tidak
semuanya ideal. Kita tidak mungkin berpikir tentang kepentingan-kepentingan kecil ketika orang
sesungguhnya dapat memiliki kepentingan berbeda dan bahkan bertentangan. Dan kita suka melatih
kerjasama dan keselarasan, dan bukan membawa keburukan dari dunia luar kedalam kelas. Akan tetapi
bagaimanapun juga kita harus menghadapi konflik-konflik apabila mereka nyata. Sebagai pendidik,
kebanyakan dari kita menghadapi situasi-situasi yang meliputi dilema-dilema seperti (persaingan versus
kerjasama) dan (ideologi x versus ideologi y). kita harus menghadapi bukan mengabaikan permasalahan
semacam itu.

Tujuan dari kurikulum matematika pendidik umum adalah untuk memberikan sumbangan kepada
perubahan sosial kearah keadilan sosial yang lebih besar.

Walaupun kelompok pendidik umum merupakan yang terbaru diantara kelima kelompok ideologi
dalam pendidikan matematika, namun kelompok ini semakin didukung oleh para pendidik matematika.
Selain yang disebutkan diatas, orang-orang berikutnya yang memberikan kontribusi kepada perspektif
pendidik umum dalam pendidikan matematika di Britain dapat disebutkan (misalnya; Burton, 1986;
Ernest, 1986; Evans, 1988; irvine, Miles, dan Evans, 1979; Joseph, 1987; Lerman, 1988; Maxwell, 1984;
Noss dkk., 1990).
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

       Ada beberapa unsur-unsur yang menjadi ideologi pendidik umum dalam Ideologi Fallibilisme
Relativistik, yaitu :

a.       Filsafat matematika

b.      Epistemologi

c.       Kumpulan nilai-nilai moral

d.      Teori anak

e.       Teori masyarakat

f.       Tujuan pendidikan

Pendidik Umum sebagai Fallibilist Relativistik

Ideologi Fallibilist Relativistik adalah ideologi para pendidik umum, yang menggambarkan sebuah
tradisi reformasi radikal, yang  terkait dengan  demokrasi dan equitas sosial (Williams, 1961).  Tujuannya
adalah “pendidikan bagi semuanya”, untuk memberdayakan kelas pekerja, dan kelas-kelas lain, agar
berpartisipasi dalam lembaga-lembaga demokrasi masyarakat, dan berbagi dalam kemakmuran
masyarakat industri modern.
Kelompok Pendidik Umum dalam Pendidikan Matematika

Kemunculan suatu kelompok pendidik umum khususnya dalam pendidikan matematika baru terjadi
akhir-akhir ini, karena munculnya filsafat matematika fallibilist dan konstruktivist sosial. Tonggak
bersejarah terjadi pada tahun 1634, dengan publikasi bagian terbesar dari Lakatos (1976), dalam artikel-
artikel jurnal. Baru setelah ini pandangan fallibilist tentang  matematika memperoleh legitimasi dan
kekinian. Sebelum hal ini terjadi, ideologi pendidik umum yang lengkap dalam kaitannya dengan
matematika tidak memungkinkan. Akan tetapi, sejak permulaan, implikasi filsafat fallibilist matematika
(dan ilmu pengetahuan) terhadap pendidikan telah muncul dari para pencipta dan elaborator
(pengurai)-nya.

B. Saran

Setelah memahami filsafat matematika, sebagai pendidik hendaknya memahami betul filosofi
pendidik, yaitu bukan sekedar pengajar materi, namun mendidik siswa menjadi insane, generasi yang
unggul.

http://adi-tulisan-sederhana.blogspot.com/2012/11/ideologi-perubahan-sosial-para-pendidik.html

diakses tanggal 25/10/2018 jam 10;33 “Ideologi Perubahan Sosial Pendidik Masyarakat”

Anda mungkin juga menyukai