Anda di halaman 1dari 14

Pengambilan Keputusan untuk Profesi pada Siswa

Jenjang Pendidikan Menengah


(Survei pada SMA, MA, dan SMK di DKI Jakarta).
Oleh: Hayadin

Abstrak: Penelitian ini dilakukan didorong oleh keprihatinan atas tingginya jumlah
pengangguran terutama pengangguran terpelajar, dan tingginya permasalahan sosial yang terjadi
pada pelajar / siswa usia dan jenjang Pendidikan Menengah di tanah air. Asumsinya adalah,
pelajar yang memiliki keputusan untuk menggeluti profesi tertentu pada masa depan, tidak akan
melakukan hal-hal negatif yang merusak cita-citanya. Penelitian ini mempertanyakan
kemampuan dan wawasan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, dan Sekolah
Menengah Kejuruan dalam hal membuat keputusan tentang profesi dan pekerjaan. Penelitian
dilakukan di Kota Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Maret 2005. Sampel penelitian
diperoleh secara oportunistik sebanyak 400 siswa. Pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas
siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), belum memiliki keputusan yang jelas tentang profesi yang akan digelutinya.

Kata Kunci: pengambilan keputusan, penemuan diri, profesi, siswa, Sekolah Menengah Atas,
Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan.

1. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003;
fasal 1, ayat 1 pengertian pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”. Pengertian tersebut merupakan ungkapan makna teleologis dari pendidikan yakni
menciptakan warga negara yang bertaqwa, berakhlak dan terampil. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka diselenggarakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang bersifat formal,
nonformal maupun informal dengan berbagai jenjang mulai dari pendidikan usia dini hingga
pendidikan tinggi.
Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah
(MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anak Indonesia dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal. Jenjang ini merupakan tahap yang strategis dan
kritis bagi perkembangan dan masa depan anak Indonesia. Pada jenjang ini, anak Indonesia
berada pada pintu gerbang untuk memasuki dunia pendidikan tinggi yang merupakan wahana
untuk membentuk integritas profesi yang didambakannya. Pada tahap ini pula, anak Indonesia
bersiap untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan dan kompetisi.
Secara psikologis, masa tersebut merupakan masa pematangan kedewasaan. Pada tahap ini anak
mulai mengidentifikasi profesi dan jati dirinya secara utuh. Para ahli pendidikan seperti
Montessory dan Charless Buhler (dalam Sugeng Santosa; 2000), menyatakan bahwa pada usia
tersebut seseorang berada pada masa ‘penemuan diri’. Secara spesifik, Montessory menyebutkan
pada usia 12 – 18 tahun, sementara Charles Buhler menyebutkan pada usia 13 – 19 tahun. Salah
satu aspek ‘penemuan diri’ pada anak yang paling penting pada tahap ini adalah pekerjaan dan
profesi. Secara psikologis mereka mulai mengidentifikasi jenis pekerjaan dan profesi yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kecerdasan serta potensi yang dimilikinya.
Pada sisi lain, secara empirik kita melihat kenyataan para pelajar tersebut menghadapi berbagai
permasalahan yang serius seperti: tawuran, dan penyalahgunaan obat psikotropika. Selain itu,
para pelajar sering pula diberitakan media melakukan tindakan kekerasan, pergaulan yang tidak
teratur, serta banyak menyia-nyiakan waktu.
Kondisi tersebut melahirkan berbagai implikasi langsung kepada diri para pelajar maupun
implikasi tidak langsung kepada lingkungan sosial dan budaya bangsa. Dampak kepada para
pelajar sebagai implikasi dari perilaku tersebut di atas adalah rendahnya prestasi akademik.
Sementara dampak kepada lingkungan sosial dan budaya bangsa dari perilaku pelajar tersebut di
atas adalah tingginya angka penggangguran terpelajar (student unemployment) serta rendahnya
daya saing bangsa di tengah – tengah bangsa lain di dunia.
Rendahnya daya saing tersebut (seperti telah dimaklumi publik) dipengaruhi oleh rendahnya
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu indikator rendahnya kualitas sumber daya
manusia Indonesia adalah melalui angka indeks pembangunan manusia atau Human
Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP salah satu organisasi pembangunan
PBB. Rating list yang dikeluarkan selalu menempatkan negara Indonesia pada urutan 105 , 104,
dan 103. Rating tersebut berada di bawah rating negara-negara Asean lainnya.
Berdasarkan data statistik pada Biro Pusat Statistik (BPS-RI; 2002) jumlah pengangguran
terbuka (open unemployment) di tanah air sebanyak 9.132.104 jiwa. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 41,2 % (3.763.971 jiwa) adalah tamatan SLTA (jenjang pendidikan Menengah),
Diploma, Akademi dan Universitas atau ‘pengangguran terpelajar’. Di antara jumlah
pengangguran terbuka tersebut, 2.651.809 jiwa tergolong Hopeless of Job (merasa tidak yakin
mendapatkan pekerjaan); 436.164 diantaranya adalah tamatan SLTA, Diploma, Akademi, dan
Universitas.
Data dan konteks yang diuraikan di atas menunjukkan adanya berbagai persoalan dengan siswa
pada jenjang Pendidikan Menengah yakni Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) di tanah air. Persoalan tersebut (jika dikaji lebih
lanjut) berkaitan dengan sistem pembelajaran seperti: kurikulum, media, sumber belajar, dan
tenaga pengajar; ataupun lingkungan tempat mereka belajar seperti budaya dan iklim sekolah
serta lingkungan makro di mana anak-anak tersebut berada.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa pada jenjang
Pendidikan Menengah yakni: Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam mengambil keputusan tentang profesi. Secara khusus,
penelitian ini ingin mengetahui pilihan (preferensi) siswa setelah tamat pada jenjang Pendidikan
Menengah. Apakah mereka akan langsung bekerja atau melanjutkan ke Jenjang Pendidikan
Tinggi. Apakah mereka telah mempunyai pilihan yang berkaitan dengan profesi, pekerjaan,
Perguruan Tinggi dan Lembaga Kursus yang sesuai dengan pilihan profesinya.

2. Kajian Literatur.
a. Pengertian Pengambilan Keputusan.
Secara sederhana pengambilan keputusan merupakan peristiwa yang senantiasa terjadi dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari dinamika
perkembangan kehidupan yang senantiasa berubah dan bersifat sangat kompleks. Dalam konteks
ini, proses pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk respon manusia terhadap
lingkungannya. Keputusan yang diambil oleh manusia akan menjadi awal bagi penentuan
kehidupan selanjutnya. Demikian seterusnya terjalin secara dialektis antara proses pengambilan
keputusan dengan lingkungan kehidupan manusia yang luas dan kompleks.
Fred Luthans dan Keith Davis (1996) mengemukakan bahwa ‘Decision making is almost
universally defined as choosing between alternatives. Artinya, bahwa secara umum pengertian
dari pengambilan keputusan adalah memilih diantara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat
oleh pendapat Garry Deslerr (2001) bahwa ‘Decision is a choice made between available
alternatives’. Ditinjau dari sudut pandang lain dinyatakan pula bahwa ‘Decision making is the
process of developing and analyzing alternatives and choosing from among them’ (Garry Desler,
2001).
Way K. Hay dan Cecil G. Miskel (1982) menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan
siklus kegiatan yang melibatkan pemikiran rasional baik secara individu maupun kelompok
dalam semua tingkat dan bentuk organisasi. Pendapat ini menyebutkan pemikiran rasional
sebagai hal yang penting. Pemikiran yang rasional merupakan landasan dalam membuat
keputusan, karena pilihan terhadap berbagai alternatif yang tersedia didasarkan pada
pertimbangan plus-minus, atau manfaat dan konsekwensi yang menyertai setiap pilihan. Setiap
pilihan memiliki konsekwensi. Dan rasionalitas berperan utama dalam menemukan konsekwensi
tersebut sebelum keputusan diimplementasikan.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, terdapat satu kata kunci yang penting untuk
memahami makna pengambilan keputusan yakni memilih (choice). Memilih berarti menentukan
satu hal dari beberapa hal yang ada atau tersedia. Sesuatu yang dipilih ditentukan oleh
pertimbangan selera dan rasionalitas individu (Herbert A. Simon, 1997). Biasanya, selera dan
rasionalitas tersebut merujuk pada hal-hal yang menyenangkan atau menguntungkan individu
dan masyarakat.

b. Pengertian Profesi.
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai pekerjaan yang didasari oleh keterampilan dan
keahlian (skill and expertise) tertentu. Carter V. Good (1973), menjelaskan bahwa jenis
pekerjaan yang berkualifikasi profesional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: memerlukan
persiapan atau pendidikan khusus bagi calon pelakunya, kecakapan profesi berdasarkan standard
baku yang ditetapkan oleh organisasi profesi atau organisasi yang berwenang lainnya, profesi
tersebut mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan negara dengan segala civil effectnya
(Carter V. Good, 1973).
Ahli profesi di Indonesia seperti dikutip oleh Nyoman Dentes menyusun ciri-ciri utama profesi,
yakni sebagai berikut: (1). Memiliki fungsi atau signifikansi sosial yang krusial; (2). Tuntutan
penguasaan keterampilan sampai pada tingkatan tertentu; (3). Proses pemilikan keterampilan
tersebut berdasarkan penggunaan metode imiah; (4). Memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang
jelas, eksplisit dan sistematis; dan (5). Penguasaan profesi tersebut memerlukan pendidikan pada
jenjang perguruan tinggi (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2002).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka makna terpenting dari profesi adalah
adanya keterampilan sebagai dasar kehidupan yang diperoleh melalui pendidikan, dan bertujuan
untuk menolong masyarakat. Pengertian ini menyiratkan makna bahwa tidak semua pekerjaan
dapat dikategorikan sebagai profesi. Tetapi setiap profesi selalu berbentuk pekerjaan.

c. Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi.


Berdasarkan uraian sebelumnya tentang profesi, dapat dimengerti bahwa profesi merupakan
salah satu urusan penting dan utama bagi kelangsungan hidup, harkat dan martabat individu. Hal
tersebut karena profesi berkaitan dengan pekerjaan, mata pencaharian, dan penghasilan serta
kesejahteraan. Kehidupan seseorang dapat memiliki makna yang berarti hanya dengan profesi
yang digeluti. Tanpa profesi yang dijalani, maka kehidupan seseorang tidak memiliki nilai.
Sebelum suatu profesi dijalani, terlebih dahulu secara personal terjadi proses pengambilan
keputusan, yakni aktivitas berpikir, menelaah dan menimbang beberapa jenis profesi. Ini adalah
proses pengambilan keputusan profesi. Dalam rentang kehidupan individu, ada suatu tahap di
mana tahap perkembangan individu secara sadar mendorongnya untuk memilih profesi, dan/atau
pekerjaan. Tahap ini menurut Anne W. Gormly dan David M. Brodzisky (1993) disebut dengan
tahap decision years; yakni masa pengambilan keputusan. Secara biologis, ini ada pada rentang
usia 18 – 40 tahun. Masa ini disebut pula dengan fase awal kedewasaan (early-childhood). Pada
fase ini, seseorang mulai memasuki dunia kerja, profesi, dan karier.
Selanjutnya, Gormly dan Brodzisky (1993) mengkaji kehidupan manusia berdasarkan ‘lifespan
perspektif’; yakni suatu pandangan yang meyakini bahwa perkembangan yang terjadi sepanjang
usia manusia merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor: fisik, biologis, sosial, historis, budaya
dan psikologis. Mereka membagi tahapan kehidupan manusia terdiri atas: beginning years,
exploring years, learning years, transition years, decision years, reassessment years, golden
years, dan final years. Setiap tahap adalah kontinuitas dan sekuens dari tahap sebelumnya.
Berdasarkan lifespan perspektif, maka pekerjaan, mata pencaharian dan profesi, ada dan mulai
berkembang pada tahap learning years, transition years, dan decision years dan seterusnya. Pada
tahap learning years, individu mulai menyadari pentingnya peran dan pekerjaan. Ini ada pada
usia 6 – 12 tahun. Oleh karena itu, tahap ini dalam perspektif psikologis disebut masa
pertengahan anak-anak (middle-childhood). Selanjutnya setelah learning years adalah tahap
transisi (transition years) pada usia 12 – 18 tahun. Biasa disebut pula dengan masa Adolescence.
Pada tahap ini orang mulai mengembangkan keterampilan kerja, bekerja paruh waktu, dan mulai
mengeksplorasi dan merencanakan karier. Setelah tahap ini selesai, maka seseorang memasuki
tahap decision years.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa jenjang Pendidikan Menengah atau masa pada
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah
Kejuruan(SMK) yang berada pada rentang usia 16 – 18 tahun merupakan akhir masa transisi
(transition years) dan awal masa pengambilan keputusan (decision years). Oleh karena itu,
pengambilan keputusan profesi pada masa ini merupakan hal yang penting.

d. Hasil Studi yang Relevan


Dari berbagai referensi, salah satu hasil studi yang relevan dengan peneltian ini adalah seperti
dilakukan oleh Badeni (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2002). Studi tersebut meneliti
tentang Relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan kebutuhan pasar kerja di
Indonesia. Penelitian dilakukan pada enam provinsi di Indonesia dengan jumlah sampel sebesar
720 orang alumni SMK. Hasilnya menunjukkan bahwa kesesuaian antara jurusan yang diambil
ketika bersekolah di SMK dengan bidang pekerjaan setelah tamat, sangat bervariasi.

3. Metodologi
Penelitian dilakukan dengan survei dan bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa pada
jenjang Pendidikan Menengah dalam mengambil keputusan tentang profesi yang akan digeluti.
Penelitian ini dilakukan di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) kelas tiga di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan
pada bulan Januari sampai dengan Maret 2005. Sampel dipilih secara oportunistik sebanyak 400
siswa. Jumlah tersebut terdiri atas 96 siswa Madrasah Aliyah (MA), 79 siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan sisanya adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara orang
tua siswa (sebagai responden) yang dijangkau berjumlah 52 orang. Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan teknik wawancara dan angket. Triangulasi dilakukan untuk memperoleh
data dan informasi secara matang. Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk
merecek data yang diperoleh melalui angket dengan informasi melalui wawancara, baik dari dan
kepada murid maupun kepada orang uta dan tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah.
Teknik analisis data menggunakan deskriptif-analitik.
Teknik opportunistic sampling digunakan dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Michael
Quinn Patton yang menyatakan ‘Opportunistic samling is following new leads during field work,
taking advantage of the unexpected flexibility’ (1990). Artinya, opportunistik sampling adalah
mengikuti petunjuk baru selama di lapangan, mengambil manfaat dari fleksibilitas yang tak
terduga. Dalam penelitian ini, siswa dan mereka yang menjadi sampel dan responden adalah
yang dapat dijangkau oleh peneliti dan sesuai dengan karakteristik sampel dan tujuan penelitian.
Dengan metode kualitatif seperti tersebut di atas, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan
dan kelemahan. Keterbatasan yang sangat dirasakan oleh peneliti adalah pada instrumen angket
dan teknik sampling yang digunakan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan.


a. Kemampuan Mengambil Keputusan
Indikator utama yang digunakan untuk mengetahui kemampuan dalam mengambil keputusan
adalah preferansi pekerjaan dan profesi setelah tamat jenjang Pendidikan Menengah.
Berdasarkan data kuisioner, diperoleh gambaran, bahwa: 35,75% siswa kelas tiga
SMA/MA/SMK sudah mempunyai pilihan pekerjaan dan profesi; sementara 64,25% lainnya
belum memiliki pilihan profesi dan pekerjaan. Siswa-siswi yang belum memiliki keputusan
untuk profesi tersebut terdiri atas mereka yang memiliki prestasi akademik yang baik dan ada
pula yang prestasi akademiknya sedang.
Mereka berencana untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mengikuti kursus keterampilan,
dan sebagian yang lain langsung mencari pekerjaan. Sebanyak 54 % siswa yang disurvei
berencana untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi; 8,9 % berencana untuk mengikuti kursus
keterampilan; dan 37,1 % yang lain berencana untuk melamar / mencari kerja. Meskipun
demikian, belum seluruh siswa-siswi yang berencana untuk melanjutkan studi ke perguruan
tinggi telah memiliki keputusan tentang perguruan tinggi dan jurusan atau fakultas yang akan
dipilih. Sebanyak 52,3 % siswa-siswi (yang mengembalikan angket) belum memiliki pilihan
perguruan tinggi. Sisanya sudah memiliki pilihan.
Secara detail, data tersebut dapat disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel 1. Prosentase hasil pengambilan keputusan siswa pada jenjang Pendidikan Menengah
(SMA/SMK/MA):
Nomor. Uraian Prosentase Keterangan.
1.
Sudah punya pilihan profesi 35,75 % N = 316.
Belum punya pilihan profesi 64,25 %
2. Memilih lanjut ke PT. 54 % N = 370.
Memilih mengikuti kursus 8,9 %
Memilih melamar kerja 37,1 %
3. Sudah punya pilihan PT. 47,7 % N = 355
Belum punya pilihan PT. 52,3 %
4. Sudah punya pilihan disiplin ilmu / jurusan di PT. 55,7 % N = 327
Belum punya pilihan disiplin ilmu / jurusan di PT. 44,3%
5 Memilih PNS sebagai profesi/pekerjaan pada 5 atau 8 tahun yang akan datang. 66,1 % N = 336

Memilih Non-PNS sebagai profesi/pekerjaan pada 5 atau 8 tahun yang akan datang. 33,9 %

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa mayoritas anak sekolah pada jenjang Pendidikan
Menengah yang diteliti belum mempunyai pilihan pekerjaan dan profesi yang akan digeluti.
Ketidakmampuan memilih pekerjaan dan profesi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain: (1). Kurangnya wawasan dan pengetahuan anak tentang dunia profesi dan pekerjaan; (2).
Rendahnya perhatian orang tua terhadap pilihan profesi anak, serta (3). Lemahnya perhatian
sekolah tempat anak belajar terhadap dunia pekerjaan dan profesi serta karier.
b. Preferensi siswa kelas tiga SMA/MA.
Informasi rendahnya wawasan dan pengetahuan responden tentang profesi dan pekerjaan, selain
dapat dilihat pada Tabel tersebut di atas, juga dapat diketahui melalui ketidaksesuaian
(inkoherensi) antara pilihan pekerjaan dan pilihan disiplin ilmu yang akan dipilih di Perguruan
Tinggi. Pekerjaan yang dipilih (seperti terlihat pada Tabel 1, nomor 5), menunjukkan mayoritas
pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu disiplin ilmu yang dipilih tidak sesuai dengan
karakteristik pekerjaan PNS.
Beberapa orang tua siswa yang ditemui di lokasi penelitian menyatakan bahwa mereka tidak
mengetahui apa profesi, pekerjaan dan karier yang hendak ditekuni anaknya. Kebanyakan orang
tua yang menjadi responden yakni 71% dari 52 orang tua tidak mengetahui cita-cita anaknya.
Mereka adalah orang tua yang memiliki pengetahuan dan wawasan rendah tentang dunia kerja
dan profesi. Disamping itu, tekanan ekonomi yang berat, dan kesibukan mencari nafkah
membuat mereka tidak memiliki waktu untuk berbincang-bincang tentang pekerjaan dan profesi
anaknya. Beberapa orang tua yang telah berpendidikan telah mengetahui apa profesi yang akan
digeluti oleh anak mereka.
Sekolah tempat anak belajar tidak memberikan wawasan yang cukup tentang pekerjaan dan
profesi. Kebanyakan guru dan Pimpinan Sekolah sangat sibuk dengan tugas mengajar.
Sementara sistem penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Penyuluhan atau Konseling (BP/K)
belum tersedia secara maksimal. Fungsi guru Bimbingan dan Penyuluhan atau Konseling (BP/K)
belum berjalan secara maksimal. Mereka belum mengarahkan siswa-siswinya secara sistematis
pada pengambilan keputusan tentang profesi, pekerjaan dan karier.

6. Kesimpulan dan Saran.


a. Kesimpulan.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) yakni 64,25%,
belum mampu mengambil keputusan untuk profesi, pekerjaan dan karier yang akan digelutinya.
2. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) belum
memperoleh wawasan, pengetahuan dan informasi yang cukup untuk mengambil keputusan
tentang profesi, pekerjaan, dan karier.
3. Pada umumnya orang tua siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pada jenjang Pendidikan
Menengah belum memberikan wawasan, pengetahuan dan informasi yang relevan tentang dunia
pekerjaan dan profesi kepada siswa.
c. Saran-saran.
Berdasarkan temuan penelitian seperti tersebut di atas, maka beberapa hal yang perlu dilakukan
adalah:
1. Para pengamat dan ilmuwan sosial perlu merubah titik pandang (point of view) tentang
penyebab pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment). Selama ini
pandangan publik terbentuk bahwa pengangguran merupakan akibat dari kelangkaan kesempatan
kerja. Tetapi melalui temuan penelitian ini, pandangan tersebut tidak semuanya benar.
Pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment) juga merupakan akibat
dari ketidak-siapan output pendidikan memasuki pasar kerja. Hal tersebut karena mereka belum
mengambil keputusan tentang profesi ketika berada di sekolah.
2. Sekolah terutama pada jenjang Pendidikan Menengah perlu menyediakan informasi dan
wawasan dasar tentang profesi, pekerjaan dan karier kepada siswanya. Pendidik dan tenaga
kependidikan, utamanya Kepala sekolah bersama guru Bimbingan Penyuluhan dan Konseling
perlu memberikan pengetahuan dan informasi yang relevan tentang pekerjaan, profesi dan karier
kepada siswa-siswinya. Hal ini harus diatur sedemikian rupa agar tidak menggagu proses belajar-
mengajar anak, serta tidak mempengaruhi hasil belajar. Sedapat mungkin ini dapat menjadi
sumber motivasi dan inspirasi bagi anak untuk memacu prestasinya dan menyongsong masa
depannya yang cerah.
3. Orang tua atau wali siswa diharapkan sering melakukan dialog (sharing) dengan putra-
putrinya yang duduk di bangku sekolah jenjang Pendidikan Menengah untuk membahas
pekerjaan dan profesi yang akan digeluti.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS RI


Depdiknas. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 038, Tahun ke 8, 2002. Jakarta: Balitbang-
Diknas
Deslerr, Garry, 2001. Management; Leading People and Organizations in the 21st Century. New
Jersey: Prentice Hall
Good. V. Carter. 1973. Dictionary of Education. NewYork: McGrow-Hill Inc.
Gormly. W. Anne, and David M. Brodzisky. 1993. Lifespan Human Development. Florida:
H.B.J. Publisher
Hay. K. Way. and Cecil G. Miskel. 1982. Education Administration: Theory, Research, and
Practice. Newyork: Random House Inc.
Luthans, Fred. and Keith, Davis. 1996. Organizational Behavior. New York: McGrow-Hill
Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. London: Sage
Publication
Santoso, Sugeng. 2000. Problematika Pendidikan. Jakarta: Kreasi Pena Gading
Simon. A. Herbert. 1997. Administrative behavior. New York: The Free Press
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional

(http://petamasadepanku.net/search/pengertian-bekerja/)
http://spesialis-torch.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=37
73. Etika Kerja Dalam Islam
Monday, 25 February 2008
Etika Kerja Dalam Islam
Oleh: Abi Ummu Salmiyah
Pengertian Kerja
Pengertian kerja dalam Islam dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja dalam arti luas (umum),
yakni semua
bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik,
maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian kerja
sangat luas,
mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, kerja dalam arti sempit (khusus), yakni kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia berupa
makanan,
pakaian, dan tempat tinggal (sandang, pangan dan papan) yang merupakan kewajiban bagi setiap orang
yang harus
ditunaikannya, untuk menentukan tingkatan derajatnya, baik di mata manusia, maupun dimata Allah
SWT. Dalam
melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan.
Seperti bekerja
dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak
menipu, tidak
merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena–mena (proporsional), ahli dan professional,
serta tidak
melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (al-Quran dan Hadits).
Pertama, melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mu'minuun [23] : 51).
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu
dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah." (TQS. Al-Baqarah [2] : 172).
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan suatu pekerjaan dengan
baik
(ketekunan)." (HR. Al Baihaqi).
Dalam memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah saw melakukannya secara selektif, di
antaranya dilihat
dari segi keahlian, keutamaan, dan kedalaman ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka agar tekun
dalam
menunaikan pekerjaan.
Kedua, takwa dalam melakukan pekerjaan.
Al-Quran banyak sekali mengajarkan kita agar takwa dalam setiap perkara dan pekerjaan. Jika Allah
SWT ingin menyeru
kepada orang-orang mukmin dengan nada panggilan seperti "wahai orang-orang yang beriman,"
biasanya diikuti oleh
ayat yang berorientasi pada kerja dengan muatan ketakwaan. Di antaranya, "keluarkanlah sebahagian
dari apa yang
telah Kami anugerahkan kepadamu." "Janganlah kamu ikuti/rusak sedekah-sedekah (yang telah kamu
keluarkan)
dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan." "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwlah
kamu kepada
Allah.
"…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku
hai orang-orang
yang berakal." (QS. Al-Baqarah [2] : 197).
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah
untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari
tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat." (TQS. Al-A'raf [7] : 26).
Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan didalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti
adanya iman
dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari
pekerjaan yang
mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja
adalah demi
memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika bekerja yang disertai
dengan ketakwaan
merupakan tuntunan Islam.
Ketiga, adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah, tidak menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu,
dan semena–mena.
spesialis-torch.com
http://spesialis-torch.com Powered by Joomla! Generated: 7 June, 2011, 10:38
Pekerja harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
kewajiban–kewajiban
Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu,
mereka harus
mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja
yang didasarkan
pada prinsip–prinsip agama.
Cara seperti ini mempunyai dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Akhlak Islam tidak tergantung pada
manusia bekerja
atau tidak bekerja, namun akhlah Islam lahir dari aqidah Islam, konsisten pada ajaran–ajaran
Islam serta bertalian
dengan halal dan haram.
Keempat, adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Sikap ini muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran ketuhanan dan
spiritualitasnya mampu
melahirkan sikap–sikap kerja positif. Kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi
apapun, serta
akan menghisab seluruh amal perbuatannya secara adil dan fair, kemudian akan membalasnya dengan
pahala atau
siksaan di dunia.
Allah SWT berfirman:
"Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan
memberi berita
gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan
mendapat pembalasan
yang baik," (QS. Al-Kahfi [18] : 2).
Kesadaran inilah yang menuntut untuk bersikap cermat dan bersungguh–sungguh dalam bekerja,
berusaha keras
memperoleh keridhaan Allah, dan memiliki hubungan yang baik dengan relasinya.
Dewasa ini sikap semacam itu telah banyak dilupakan orang. Hal ini disebabkan karena lemahnya
komitmen terhadap
agama dan kurangnya konsistensi terhadap ajaran–ajarannya. Oleh karenanya, harus diupayakan
penanaman
ketakwaan dalam hati dan jiwa manusia.
Kelima, berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Rasulullah saw pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab : "Jual beli yang
baik dan
pekerjaan seorang laki–laki dengan tangannya sendiri ". (H.R Abu Ya'la).
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima (sesuatu) kecuali
yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang–orang mukmin sesuatu yang diperintahkan
kepada para
utusan-Nya." (H.R Muslim dan Tirmidzi).
"Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap muslim." (H.R Ath Thabrani)
"Empat hal sekiranya ada pada diri anda maka sesuatu yang tidak ada pada diri anda (dari hal
keduniaan) tidak
membahayakan anda, yaitu menjaga amanah, berbicara benar, berperagai baik, dan iffah dalam hal
makanan." (HR.
Ahmad dan Ath Thabrani).
Keenam, dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat–alat produksi, atau binatang dalam
bekerja.
Semua harus dipekerjakan secara proporsional dan wajar, misalnya tidak boleh mempekerjakan buruh
atau hewan
secara zhalim. Termasuk didalamnya penggunaan alat–alat produksi secara terus menerus.
Rasulullah saw
bersabda : "Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu."
Para ahli fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayang terhadap para pekerja dan hewan yang
dipekerjakan. Mereka
yang sadar amat memperhitungkan beban yang semestinya dipikul oleh para pekerja. Mereka melarang
membebani
binatang diluar kekuatannya. Mereka menyuruh para pekerja menurunkan barang–barang muatan
dari atas
punggung hewan yang mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak membahayakan.
Demikian pula terhadap alat–alat produksi, agar tidak dipergunakan secara terus menerus tanpa
ada waktu
istirahat, guna mengurangi kerusakan yang terlalu cepat, apalagi jika alat–alat tersebut milik
umum.
Ketujuh, Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Dalam bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam seperti memeras
bahan–bahan
minuman keras, sebagai pencatat riba, pelayan bar, pekerja seks komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja
dengan
penguasa yang menyuruh kejahatan seperti membunuh orang dan sebagainya.
spesialis-torch.com
http://spesialis-torch.com Powered by Joomla! Generated: 7 June, 2011, 10:38
Rasulullah saw bersabda :
"Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai Sang Pencipta." (HR. Ahmad bin Hambal
dalam Musnad-Nya
dan Hakim dalam Al Mustadraknya, kategori hadits shahih).
Kedelapan, kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.
Baik pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di umara, para hakim, para wali
rakyat, maupun para
pekerja biasa, mereka adalah orang–orang yang disebut "pegawai tetap". Begitupun kelompok
pekerja lain,
seperti tukang sepatu, penjahit, dan lainnya ; atau para pedagang barang–barang seperti beras;
atau para petani,
mereka juga harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka mandiri dalam kategori terakhir.
Allah SWT berfirman :
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat
dipercaya."
Kesembilan, bekerja secara profesional (ahli).
Aspek profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah kemampuan untuk
memahami dan
melaksankan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya (keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan
memegang teguh
sifat–sifat amanah, kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai
benar
pekerjaannnya.
Umar ra. sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang–orang yang
profesional
dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan: "Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada
ahlinya, maka
tunggulah kehancurannya." (al-Hadits).
Jadi tanpa adanya profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan mengalami kerusakan dan
kebangkrutan. Juga
menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas produksi, bahkan sampai pada kesemrawutan
manajemen, serta
kerusakan alat–alat produktivitas. Hal–hal ini tentunya jelas akan menyebabkan juga
terjadinya
kebangkrutan total yang tidak diinginkan. Wallahu A'lam Bisshawab. (*)
spesialis-torch.com
http://spesialis-torch.com Powered by Joomla! Generated: 7 June, 2011, 10:38

Pengertian Motivasi Kerja


Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “dorongan atau daya
penggerak”. Motivasi ini diberikan kepada manusia, khususnya kepada para
bawahan atau pengikut. Adapun kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan
mental untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Terkait dengan hal tersebut,
maka yang dimaksud dengan motivasi adalah mempersoalkan bagaimana
caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras
dengan memberikan semua kemampuan dan ketrampilannya untuk
mewujudkan tujuan organisasi. (Hasibuan, 2003).

Gibson, et. al., 1995, berpendapat bahwa motivasi adalah kekuatan yang
mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan
perilaku. Motivasi kerja sebagai pendorong timbulnya semangat atau
dorongan kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seseorang berpengaruh
terhadap besar kecilnya prestasi yang diraih. Lebih jauh dijelaskan, bahwa
dalam kehidupan sehari-hari seseorang selalu mengadakan berbagai
aktivitas. Salah satu aktivitas tersebut diwujudkan dalam gerakan-gerakan
yang dinamakan kerja. Bekerja mengandung arti melaksanakan suatu tugas
yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh orang yang
bersangkutan.

Terkait dengan motivasi kerja tersebut, Robbins, (1998) berpendapat bahwa


motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi
untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk
memenuhi sesuatu kebutuhan individu. Senada dengan pendapat tersebut,
Munandar, (2001), mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu proses
dimana kebutuhan- kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan
serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Bila
kebutuhan telah terpenuhi maka akan dicapai suatu kepuasan. Sekelompok
kebutuhan yang belum terpuaskan akan menimbulkan ketegangan, sehingga
perlu dilakukan serangkaian kegiatan untuk mencari pencapaian tujuan
khusus yang dapat memuaskan sekelompok kebutuhan tadi, agar
ketegangan menjadi berkurang.

Pinder, (1998) berpendapat bahwa motivasi kerja merupakan seperangkat


kekuatan baik yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang
yang mendorong untuk memulai berperilaku kerja, sesuai dengan format,
arah, intensitas dan jangka waktu tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan,


bahwa motivasi kerja adalah dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang,
baik yang berasal dari dalam dan luar dirinya untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan semangat tinggi menggunakan semua kemampuan dan
ketrampilan yang dimilikinya.

http://www.psikomedia.com/article/article/Psikologi-Industri-
Organisasi/1045/Pengertian-Motivasi-Kerja/

(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/orientasi-kerja-karyawan-definisi-dan.html)

Setiap karyawan yang tergabung dalam suatu organisasi memiliki orientasi kerja
masing-masing dan kemungkinan besar karyawan satu dengan lainnya mempunyai
orientasi kerja yang berbeda pula, dan apabila orientasi yang dipersepsikannya ini
dapat tercapai maka karyawan akan merasakan kepuasan kerja dan bekerja
dengan maksimal.
Orientasi Kerja menurut Ingham (1970): the concept formed the basis for the
harmonious view of industrial relations in the small firm as orientation to work was
said to cause individual self-selection to the small firm sector. Yang kurang lebih
memiliki arti: sikap dan tingkah laku karyawan, merupakan suatu konsep yang
dapat menciptakan harmoni dalam bekerja dan sehingga dapat menyebabkan
peningkatan kinerja karyawan secara individu dalam sebuah perusahaan.

Orientasi Kerja menurut Goldthorpe (1968): orientation to work adalah arti


sebuah pekerjaan terhadap seorang individu, berdasarkan harapannya yang
diwujudkan dalam pekerjaannya.

Jenis Orientasi Kerja Karyawan :


Menurut Goldthorpe (1968) ada 3 jenis orientasi Kerja karyawan dalam bekerja
yaitu :

1. Instrumentally

Goldthorpe (1968) menjelaskan bahwa pada jenis pendekatan ini setiap karyawan
memandang pekerjaan sebagai suatu tujuan akhir. Dimana karyawan-karyawan
tersebut bekerja berdasarkan satu alasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Selain itu juga dalam orientasi ini, ada juga karyawan yang memilih
untuk bekerja dengan alasan untuk menunjang gaya hidup mereka secara spesifik.
Gaya hidup yang dimaksud adalah kondisi-kondisi yang dialami atau dijalani oleh
masing-masing karyawan. Instrumentally dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Short-term instrumentally orientation

Jenis orientasi kerja ini merupakan sebuah upaya yang dilakukan karyawan-
karyawan untuk mendukung dan menambah pendapatan utama dengan cara
bekerja di tempat lain, dan menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan sekunder.
Karyawan pada jenis orientasi ini menganggap pekerjaan ini hanya bersifat
sementara saja.

b. Long-term instrumentally orientation

Long-term instrumentally orientation adalah upaya dari karyawan-karyawan untuk


menjadikan sebuah pekerjaan sebagai pekerjaan primer. Long-term instrumentally
orientation dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

- Part-time employee atau karyawan paruh waktu : Untuk jenis karyawan paruh
waktu, alasan memilih untuk menjalani pekerjaan dengan cara ini biasanya
berhubungan dengan keterbatasan waktu yang mereka miliki. Biasanya karyawan
jenis ini adalah dari golongan pelajar atau mahasiswa yang harus membagi waktu
antara pekerjaan dan waktu untuk belajar, selain itu juga dari golongan wanita yang
memiliki anak-anak yang masih berusia dibawah lima tahun.
- Full-time employee atau karyawan tetap : Jenis karyawan ini merupakan jenis
karyawan yang secara konsisten meluangkan secara penuh waktu yang dimiliki
untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menjadi karyawan tetap, dan tidak
membagi waktu bekerja yang dimiliki untuk bekerja di tempat lain.

2. Solidaristic

Dimana pada pendekatan orientasi kerja jenis ini, Goldthorpe (1968) menjelaskan
bahwa setiap karyawan memandang sebuah pekerjaan bukan secara simple
sebagai tujuan akhir saja, melainkan segi yang dikedepankan adalah hubungan dan
aktivitas sosial yang bisa didapat, dan ini dipandang sebagai bentuk emotionally
rewarding. Karyawan yang memilih orientasi kerja jenis ini dalam memilih tempat
bekerja, lebih memperhatikan suasana bekerja berdasarkan hubungan sosial yang
kuat. Hubungan sosial disini yang dimaksudkan adalah

komunikasi dan kerjasama yang terjalin antara individu baik itu antara sesama
karyawan dalam satu departemen maupun antar departemen. Menurut Lucas
(1995) dan Kitching (1997) dikatakan bahwa bagi karyawan HI, adalah sisi sosial
dari sebuah pekerjaan yang membuat para karyawan tersebut tetap merasa betah
pada pekerjaan mereka dan juga membuat para karyawan tersebut untuk tetap
mengoptimalkan diri dalam bekerja. Selain itu, hubungan sosial yang kuat yang
karyawan jenis ini inginkan bukan hanya sebatas di lingkungan kerja, melainkan
hubungan sosial ini harus juga dapat diteruskan di kehidupan diluar pekerjaan.
Misalnya dengan pergi makan, jalan-jalan, kegiatan lain dan bahkan saling
berkunjung ke tempat tinggal masing-masing karyawan.

3. Bureaucratic

Menurut Goldthorpe (1968) dijelaskan bahwa yang membuat seorang karyawan


memilih pekerjaan dan mengoptimalkan diri pada pekerjaan yang dipilihnya itu
adalah hal-hal yang disediakan oleh perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja.
Hal-hal tersebut dapat berupa fasilitas-fasilitas yang diberikan seperti sarana
transportasi, ruangan kerja yang nyaman untuk bekerja, sampai ke peralatan-
peralatan kerja yang canggih, modern dan mendukung, penghargaan atas prestasi
kerja, besar kecilnya gaji dan tunjangan-tunjangan yang ditawarkan, kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan, bimbingan dari perusahaan yang
diberikan melalui atasan dan yang tidak kalah pentingnya adalah jenjang karir yang
jelas. Meskipun suasana sosial yang ada tidak mendukung, para karyawan tersebut
tetap mengoptimalkan diri dalam bekerja, karena karyawan jenis orientasi ini lebih
mementingkan self-development dan lebih bertujuan ke peningkatan jenjang karir.

Anda mungkin juga menyukai