Anda di halaman 1dari 17

PERUBAHAN MUTU DAN DAYA AWET IKAN PADA SUHU RENDA

( MATA KULIAH PENANGANAN HASIL PERAIRAN )

DOSEN PEMBIMBING

Sri Ayu Insani,S,.Pi,M.Si

DISUSUN OLEH

NAMA NIM

Ikramah Nur Afni 1905904010026


Warni Vanesa Jasmanudin 2005904010018
Diva Deliana 2005904010038
Maisuri Ardani Doros 2005904010036
Sumar Dori 2005904010003

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

PROGRAM STUDI PERIKANAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Puji dan syukur atas khadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat,hidaya,dan inayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas
ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masi ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerimah segalah saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Ahir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

MEULABOH ,22 September 2021

Penyusun,

KELOMPOK I
DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL............................................................................................................. I

KATA PENGANTAR.................................................................................... II

DAFTAR ISI................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2

2.1 Perubahan Mutu dan Daya Awet Ikan Pada Suhu Rendah................... 2

BAB III PENUTUP......................................................................................... 8

3.1 Kesimpulan........................................................................................... 8
3.2 Saran..................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 9
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan dan daging merupakan salah satu bahan makanan sumber protein yang berasal dari
hewan. Sejak jaman dahulu, kedua bahan makanan ini menjadi makanan pemenuh asupan
protein yang banyak dikonsumsi sehari-hari oleh setiap keluarga. Terlebih di jaman sekarang ini,
perdagangan ikan dalam bentuk segar semakin menyebar dan mencakup wilayah yang lebih luas.
Sehingga tindakan pengawetan yang dapat menjaga kesegaran ikan selama proses distribusi dan
transportasi sangat diperlukan dan menjadi salah satu faktor penting yang sangat diperhatikan
dalam aktivitas perdagangan. Salah satu cara atau metode penanganan yang banyak digunakan
untuk mengawetkan daging dan ikan segar adalah dengan perlakuan suhu rendah. Seperti
perlakuan pengawetan yang lain, penanganan ikan dengan suhu rendah dimaksudkan untuk
menjaga kesegaran ikan mengurangi atau menghambat pertumbuhan mikroba, memperpanjang
umur simpan bahan, dan mencegah penurunan kualitas yang besar.
Perlakuan dengan suhu rendah ini merupakan salah satu cara penanganan yang paling
banyak dipakai karena mudah dan cepat untuk dilakukan. Untuk mencegah kebusukan pada ikan
terdapat beberapa jenis perlakuan suhu rendah yang digunakan. Jenis-jenis pengawetan suhu
rendah untuk daging dan ikan beserta berbagai aspek yang meliputinya akan dibahas secara lebih
lanjut pada makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan pasca mortem?
2. Apa yang dimaksud dengan pengawetan suhu rendah dan apa saja jenis-jenis pengawetan
dengan suhu rendah yang dilakukan pada ikan
3. Bagaimana dampak masing-masing jenis pengawetan suhu rendah tersebut terhadap
kualitas ikan dan daging? Apa jenis pengawetan dengan suhu rendah yang terbaik bagi
ikan

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan tentang kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan pasca mortem
2. Menjelaskan tentang pengawetan dengan suhu rendah serta menyebutkan dan
3. menjelaskan jenis-jenis dari pengawetan suhu rendah yang dilakukan pada ikan
Menjelaskan dampak dari masing-masing jenis pengawetan suhu rendah terhadap
4. kualitas ikan Menjelaskan tentang jenis pengawetan suhu rendah yang terbaik untuk ikan
1.4 Manfaat

1. Mengetahui tentang kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan pasca mortem
2. Mengetahui tentang pengawetan suhu rendah dan berbagai jenis pengawetan suhu rendah
yang dapat dilakukan pada ikan
3. Mengetahui efek atau dampak yang dihasilkan dari berbagai jenis pengawetan dengan
suhu rendah yang dilakukan pada ikan
4. Mengetahui jenis pengawetan suhu rendah yang terbaik untuk ikan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Mutu dan Daya Awet Ikan Pada Suhu Rendah

Kerusakan atau kebusukan pada produk makanan berkaitan dengan adanya proses
kimiawi, enzimatis, atau aktivitas mikroba yang terjadi pada produk tersebut. Kerusakan kimiawi
dan kontaminasi mikroba menjadi penyebab dari hilangnya 25% hasil produksi perikanan dan
pertanian setiap tahunnya. 1 Seperempat dari persediaan bahan makanan dan 30% hasil
perikanan darat hilang hanya karena aktivitas mikroba.

Selain itu, setiap tahunnya sekitar 4-5 juta ton ikan hasil tangkapan hilang karena
terjadinya kebusukan yang disebabkan oleh proses enzimatis dan kontaminasi mikroba akibat
penyimpanan yang salah Ikan Ikan segar dapat segera mengalami kerusakan secara cepat setelah
penangkapan. Proses kerusakan atau kebusukan ini akan terjadi dalam 12 jam setelah proses
penangkapan, dalam suhu lingkungan tropis atau suhu kamar di wilayah tropis.

Rigor mortis merupakan proses dimana tubuh ikan kehilangan fleksibilitasnya karena
kekakuan otot ikan yang terjadi setelah beberapa jam dari waktu kematiannya. Selama proses
pembusukan ikan, terjadi pemecahan atau perombakan pada berbagai komponen dan juga
pembentukan senyawa baru. Senyawa-senyawa yang baru terbentuk ini dapat menyebabkan
perubahan aroma, flavor, dan tekstur pada ikan. Secara umum, mekanisme kontaminasi dan
kebusukan yang terjadi pada ikan dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:

A. Autolisis enzimatik Sesaat setelah ditangkap, proses kimia dan biologis yang
berkaitan dengan pemecahan molekul-molekul utama secara enzimatis terjadi di dalam tubuh
ikan yang telah mati. Hansen et al menyatakan bahwa enzim autolisis mengurangi kualitas
tekstur daging ikan pada awal kerusakan yang terjadi, tetapi tidak menyebabkan kehilangan
aroma dan rasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerusakan yang diakibatkan autolisis
dapat mengurangi atau menurunkan umur simpan dan kualitas dari ikan, meskipun dengan
jumlah organisme pembusuk yang minimal. Perubahan autolisis ini tetap dapat terjadi pada ikan
yang disimpan pada suhu rendah (chilled or frozen fish).

Dari data yang diperoleh saat pengamatan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh terbesar
dari mekanisme autolisis terjadi pada tekstur daging ikan. Hal ini berkaitan dengan adanya
hypoxanthine dan formaldehyde yang terbentuk dalam proses autolisis. Enzim pencernaan
menyebabkan autolisis yang mengakibatkan terjadinya pelunakan daging, pecahnya dinding
perut, dan keluarnya darah dan air yang mengandung protein dan minyak. Enzim proteolitik
yang terdapat dalam otot dan isi rongga perut pada ikan yang telah ditangkap, berperan dalam
proses penurunan kualitas ikan dan produk perikanan selama masa penyimpanan dan
pengolahan. Pada teknik penyimpanan ikan yang salah, enzim proteolisis akan menyebabkan
penguraian protein yang kemudian diikuti dengan pelarutan.
Di lain sisi, peptida dan asam amino bebas yang merupakan produk/ hasil dari autolisis
pada protein otot ikan, akan menyebabkan pertumbuhan mikroba dan produksi amina biogenik,
yang kemudian mengakibatkan kebusukan pada ikan. Pecahnya dinding lambung ikan
disebabkan adanya kebocoran enzim proteolitik yang berasal dari bagian di sekitar pilorus dan
usus ke dalam otot lambung. Protease memiliki ph optimal dalam suasana basa sampai netral.
Namun, laju kerusakan yang disebabkan oleh enzim proteolitik ini dapat berkurang jika ikan
disimpan dalam suhu 0 C dan ph 5. 1

B. Oksidasi Oksidasi merupakan faktor penyebab kerusakan dan kebusukan utama


pada ikan pelagik seperti mackarel dan ikan haring, berkaitan dengan tingginya kadar minyak
atau lemak yang tersimpan di dalam daging ikan tersebut. Oksidasi lemak meliputi tiga tahapan
mekanisme radikal bebas, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi meliputi pembentukan
radikal bebas dari lemak melalui katalis, seperti panas, ion logam, dan iradiasi. Radikal bebas
yang terbentuk ini kemudian bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil. Selama
proses propagasi, radikal peroksil tersebut bereaksi dengan molekul lemak lain untuk
membentuk hidroperoksida dan radikal bebas yang baru.

Terminasi akan terjadi ketika pembentukan radikal bebas tersebut saling berinteraksi
membentuk produk non-radikal. Secara umum, oksidasi adalah reaksi yang terjadi antara oksigen
dengan ikatan ganda pada asam lemak. Oleh karena itu, lemak pada tubuh ikan yang terdiri atas
asam lemak tak jenuh (PUFA) mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya oksidasi. Oksidasi
lemak pada ikan dapat terjadi secara enzimatis maupun non-enzimatis. Hidrolisis enzimatis
lemak oleh lipase biasa disebut dengan lipolisis (kerusakan lemak). Dalam proses ini, lipase
memecah gliserida dan membentuk asam-asam lemak bebas yang mengakibatkan hilangnya
flavor, mempercepat ketengikan, dan menurunkan kualitas minyaknya. Enzim lipase yang
berperan dalam proses ini adalah lipase yang terdapat pada kulit, darah, serta jaringan dalam
tubuh ikan. Enzim utama dalam hidrolisis lemak ikan adalah triacyl lipase, phospholipase A2
dan phospholipase B.

Sedangkan oksidasi non-enzimatis terjadi karena katalisis senyawa hematin (hemoglobin,


myoglobin, dan cytochrome) yang menghasilkan hidroperoksida. Asam lemak yang terbentuk
selama proses hidrolisis lemak ikan akan berinterkasi dengan protein myofibrillar dan
sarkoplasma yang menyebabkan denaturasi. Undeland et al. menyatakan bahwa oksidasi lemak
dapat terjadi pada otot ikan sehubungan dengan tingginya hemoglobin yang mendukung
terjadinya oksidasi, khususnya ketika terjadi deoksigenasi hemoglobin. Pada penambahan asam
yang akan menurunkan ph, dapat mempercepat oksidasi lemak melalui Hb yang telah
terdeoksigenasi.

C. Kontaminasi Mikroba Komposisi mikroflora pada ikan yang baru ditangkap


bergantung pada komposisi mikroba yang terdapat dalam air dimana ikan tersebut hidup.
Mikroflora ikan meliputi spesies bakteri, seperti Pseudomonas, Alcaligenes, Vibrio, Serratia dan
Micrococcus. Pertumbuhan dan metabolisme bakteri merupakan penyebab utama dari kebusukan
ikan, dimana hasil metabolitnya adalah amina, amina biogenik seperti putrescine, histamine dan
cadaverine, serta asam organik, sulfida, alkohol, aldehida dan keton dengan flavor yang tidak
enak dan tidak diinginkan. 1 Pada ikan yang tidak mengalami proses pengawetan, kebusukan
yang terjadi merupakan hasil dari bakteri gram negatif pemfermentasi (contohnya Vibrionaceae).
Sedangkan bakteri gram negatif psikrotoleran (contohnya Pseudomonas spp. dan Shewanella
spp.) akan lebih mengontaminasi dan menyebabkan kebusukan pada ikan yang telah
didinginkan. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pembedaan antara mikroflora yang tidak
menyebabkan kebusukan dengan bakteri pembusuk, karena banyak dari bakteri yang mungkin
terdapat pada ikan tetapi bakteri tersebut belum tentu merupakan bakteri pembusuk. Senyawa
yang terbentuk pada pembusukan yang diakibatkan oleh metabolisme mikroba
D. Senyawa yang dihasilkan pada pembusukan oleh mikroba 1 Specific spoilage
bacteria Spoilage compounds Shewanella putrifaciens TMA, H 2 S, CH 3 SH, (CH 3 ) 2 S, HX
Photobacterium phosphoreum TMA, HX Pseudomonas spp. Ketones, aldehydes, esters, non-h 2
S sulphides Vibrionacaea TMA, H 2 S Aerobic spoilers NH 3, acetic, butyric and propionic acid
Keterangan : TMA: Trimethylamine; H 2 S: Hydrogen sulphide; CH 3 SH: Methylmercarptan;
(CH 3 ) 2 S: Dimethylsulphide; HX: Hypoxanthine; NH 3 : Ammonia Level dari Trimethylamine
(TMA) digunakan secara umum untuk mengetahui tingkat kontaminasi mikroba yang akan
menyebabkan kebusukan pada ikan. Ikan menggunakan Trimethylamine Oxide (TMAO) sebagai
osmoregulan untuk mencegah dehidrasi pada lingkungan air laut dan penumpukan air dalam
lingkungan air biasa. Bakteri-bakteri seperti Shewanella putrifaciens, Aeromonas spp.,
psychrotolerant Enterobacteriacceae, P. phosphoreum dan Vibrio spp. bisa memperoleh energi
dengan mengubah TMAO menjadi TMA, dan menghasilkan senyawa seperti amonia yang bisa
menghilangkan atau mengurangi flavor ikan. Pada tabel 2 dapat dilihat aktivitas dari beberapa
mikroba pembusuk yang biasa mengontaminasi ikan. Tabel 2. Aktivitas pembusukan oleh
bakteri 1 Spoilage activity Microorganism High Pseudomonas (Alteronomas) putrifaciens,
Pseudomonas (altreomonas) fluorescens, Fluorescent pseudomonads Moderate Moraxella,
Acinetobacter and Alcaligenes Low (Specific conditions) Aerobacter, Lactobacillus,
Flavobacterium, Micrococcus, Bacillus and Staphylococcus Daging Penanganan sebelum
penyembelihan dan setelah penyembelihan merupakan hal-hal penting yang ikut menjadi faktor
penentu dalam kebusukan daging yang akan terjadi. Simpanan glikogen yang terdapat pada otot
hewan akan berkurang ketika hewan mengalami stress sesaat sebelum disembelih. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya

 perubahan ph dalam tubuh hewan, bisa menjadi rendah atau bahkan sangat rendah tergantung
pada jumlah asama laktat yang diproduksi. Pada hewan yang telah mengalami stress
berkepanjangan sebelum disembelih, akan didapatkan daging dengan ph tinggi yang
menghasilkan daging yang berwarna gelap, keras dan kering. Daging jenis ini memiliki umur
simpan yang lebih pendek. Sedangkan pada hewan yang mengalami stress hanya dalam waktu
yang singkat sebelum disembelih akan menghasilkan daging yang berwarna lebih muda/terang,
lunak, dan mengandung cukup air, serta ph yang rendah. Dengan ph yang rendah, pemecahan
protein dalam daging akan menjadi lebih mudah terjadi, dan proses tersebut akan menghasilkan
medium yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri. 2 Terdapat tiga mekanisme utama
kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada daging setelah penyembelihan dan selama proses
penyimpanan dan pengolahan, yaitu :

a. Pembusukan oleh mikroba Daging dan produk olahannya merupakan media pertumbuhan
yang sangat menguntungkan bagi mikroflora (bakteri, khamir, dan kapang), dimana beberapa
jenis diantaranya adalah organisme patogen. Di dalam tubuh hewan sendiri terdapat organ-organ
yang menjadi sumber mikroorganisme tersebut, yaitu saluran pencernaan dan kulit hewan.
Komposisi mikroba yang terdapat pada daging tergantung pada beberapa faktor, yaitu: (a) sistem
peternakan yang digunakan (ternak di dalam kandang atu ternak yang digembalakan secara bebas
di alam), (b) umur hewan saat akan disembelih, (c) penanganan saat penyembelihan dan
pembersihan, (d) kontrol suhu saat penyembelihan, penanganan pasca mortem, dan distribusi, (e)
metode pengawetan yang digunakan, (f) tipe pengemasan, (g) penanganan dan penyimpanan
oleh konsumen. Tabel 3 dan 4 akan menyajikan beberapa bakteri, khamir, dan kapang yang
banyak mengontaminasi

 Di negara bagian Iowa, Hayes et al. menemukan bahwa Enterococcus spp. merupakan bakteri
yang dominan mengontaminasi pada semua daging (ayam, kalkun, babi, dan sapi), yaitu
berjumlah 971 dari 981 sampel yang diuji (99%). Selain itu, Cerveny et al. menyatakan bahwa
kondisi penyimpanan akan berpengaruh pada jenis mikroba yang mengontaminasi daging dan
produk olahannya. Bakteri Pseudomonas spp., Moraxella spp., Psychrobacter spp., Acinetobacter
spp. dan keluarga dari gram-negative psychrotrophic, seperti Enterobacteriaceae banyak
ditemukan pada daging yang disimpan dalam kondisi pengawetan dingin. Sedangkan, bakteri
asam laktat psikotropik, seperti Enterococci, Micrococci dan khamir banyak ditemukan pada
daging yang mentah, serta produk curing dengan garam seperti kornet sapi, ham mentah, dan
bacon.

 b. Oksidasi Lemak Autoksidasi lemak dan produksi radikal bebas merupakan proses alamiah
yang mempengaruhi asam lemak dan menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada daging
serta mengakibatkan hilangnya flavor. Setelah mengalami penyembelihan, asam lemak dalam
jaringan akan mengalami oksidasi ketika aliran darah sudah berhenti dan proses metabolisme
terhalangi. Seperti yang terjadi pada ikan, oksidasi pada daging juga melalui beberapa tahapan,
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Oksidasi lemak pada daging dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya komposisi asam lemak, jumlah antioksidan dari vitamin E (α - tokoferol) dan
prooksidan seperti zat besi bebas yang terdapat di dalam molekul. Polysaturated fatty acids
merupakan jenis asam lemak yang paling rentan teroksidasi. Hidroperoksida merupakan hasil
dari putusnya ikatan asam lemak tak jenuh pada membran fosfolipid pada proses oksidasi lemak.
Putusnya asam lemak tersebut menghasilkan produk reaksi sekunder, seperti pentanal, heksanal,
4-hidroksinonenal dan malondialdehida (MDA) disamping senyawa-senyawa teroksigenasi,
seperti aldehida, asam dan keton. Senyawa hasil sekunder tersebut dapat menyebabkan hilangnya
warna dan menurunnya nilai nutrisi yang terkandung di dalam daging, serta dapat juga
mengakibatkan karsinogenik dan terjadinya proses mutagenik. 2 c. Autolisis enzimatik Aktivitas
enzim merupakan proses alamiah yang terjadi pada sel otot hewan setelah mengalami
penyembelihan, dan proses ini akan mengakibatkan kerusakan pada daging. Enzim memiliki
kemampuan untuk berkombinasi secara kimiawi dengan senyawa organik lain dan bekerjasama
sebagai katalis untuk beberapa reaksi kimia yang kemudian menyebabkan kerusakan pada
daging. Pada proses autolisis, senyawa kompleks (karbohidrat, lemak, dan protein) pada jaringan
akan mengalami

Pemecahan menjadi senyawa yang lebih sederhana serta menyebabkan pelunakan dan
menghasilkan warna kehijauan pada daging. Proteolisis dan hidrolisis lemak termasuk ke dalam
perubahan autolisis yang menjadi salah satu syarat terjadinya pembusukan mikroba. Autolisis
yang berlebihan biasa disebut juga kemasaman. Kerusakan polipeptida pada masa post mortem
merupakan hasil dari protease jaringan yang mengakibatkan perubahan pada flavor dan tekstur
daging. Post mortem aging pada daging merah akan menghasilkan proses pelunakan. Autolisis
post mortem ini terjadi pada semua jaringan di dalam tubuh hewan, hanya saja dalam kecepatan
yang berbeda pada setiap organ yang berbeda. Proses ini akan berlangsung lebih cepat pada
jaringan kelenjar, seperti hati, dan akan berlangsung lebih lambat pada otot lurik. Calpains,
cathepsins, dan aminopeptidase merupakan enzim-enzim yang berperan dalam proses autolisis.
Diantara enzim-enzim tersebut, calpains diketahui sebagai kontributor pertama yang mendahului
proses pelunakan proteolisis daging. Cathepsins juga merupakan kontributor dalam proses
pelunakan daging pada kondisi ph rendah. Enzim-enzim proteolitik ini aktif pada suhu rendah (5
C) Pengawetan Suhu Rendah Untuk Ikan dan Daging Ikan Sejak pertengahan abad ke-19,
penyimpanan pada suhu rendah telah digunakan sebagai cara untuk mengawetkan ikan dan hasil
laut lainnya dan mempertahankan kesegarannya. Teknik penyimpanan ini memang tidak
membunuh atau mematikan mikroba-mikroba yang ada pada ikan, tetapi dinilai cukup ampuh
untuk mengurangi metabolisme mikroba yang dapat menyebabkan kebusukan pada ikan. Bahkan
FAO sendiri merekomendasikan untuk melakukan penyimpanan pada suhu 0 C segera setelah
ikan ditangkap, karena proses pembusukan pada ikan yang dapat terjadi dengan cepat. 1 Secara
garis besarnya, pengawetan dengan suhu rendah pada ikan dapat dikelompokkan menjadi dua
metode, yaitu :

 a. Cooling Dilakukan pada temperatur 4 C sampai -1 C. Dengan menggunakan cara ini
pertumbuhan mikroorganisme akan terhambat, sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan
untuk beberapa waktu yang singkat. b. Freezing Cara penanganan ini dilakukan pada suhu -18 C
sampai -30 C. Dengan disimpan pada suhu serendah itu, pertumbuhan mikroorganisme akan
benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Kedua
cara pengawetan tersebut cukup efektif digunakan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada ikan. Akan tetapi, perubahan enzimatis dan non-enzimatis di dalam tubuh
ikan sendiri akan tetap berlangsung, hanya saja dengan kecepatan yang lebih rendah. 1 Sebelum
melakukan pengawetan suhu rendah terhadap ikan, biasa terlebih dulu dilakukan proses pra
pendinginan (pre cooling). Proses pra pendinginan ini dimaksudkan untuk menghilangkan kalor
secara cepat. Seperti yang telah diketahui, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
dalam proses pre cooling ini, yaitu : (a) air cooling, pendinginan dengan udara yang bergerak
cepat; (b) kontak es ( contact ice) atau penimbunan dengan es; (c) hydro cooling atau dengan
perendaman dalam air yang disirkulasikan terus-menerus; (d) pendinginan vakum ( vacuum
cooling). Proses pra pendinginan yang biasa dilakukan untuk ikan adalah dengan metoda air
cooling, kontak es, atau hydro cooling. Namun, cara yang paling bagus untuk digunakan adalah
CBC (Combined Blast and Contact) cooling. 3 Dengan menerapkan metoda tersebut, maka
kesegaran ikan dapat lebih dipertahankan dan umur simpannya juga akan lebih meningkat.
Selain itu, metode ini sangat dianjurkan untuk digunakan pada penjualan segar ikan yang telah
difillet. Segala macam usaha pendinginan yang dilakukan sebelum pembekuan seperti telah
disebutkan di atas, memang sangat diperlukan untuk menjaga suhu ikan agar tetap rendah. Hal
ini dilakukan dengan

 tujuan untuk menjaga suhu rendah pada ikan secara keseluruhan dan mengurangi kerusakan
yang diakibatkan oleh bakteri dan proses autolisis. Untuk mendapatkan suhu penyimpanan di
bawah titik beku air murni, maka es yang digunakan dalam penyimpanan dingin tersebut
sebaiknya dibuat dari air laut atau air garam. Dengan cara ini maka suhu penyimpanan dapat
diturunkan sampai ke -2.5 C. 1 Terdapat teknik pendinginan baru yang dinilai lebih efektif untuk
meningkatkan kualitas ikan, yaitu dengan mengaplikasikan slurry ice. Slurry ice ini merupakan
sistem penyimpanan yang dibentuk oleh bola-bola kristal es kecil yang dikelilingi oleh air laut
pada suhu dibawah nol derajat. Teknik ini baru diterapkan pada ikan pari ( Raja clavata), dimana
ikan pari merupakan produk dagang yang memiliki nilai jual paling tinggi di pasar Eropa.
Penelitian tentang keefektifan slurry ice ini telah dilakukan dengan cara membandingkan teknik
tersebut dengan teknik potongan es yang biasa diaplikasikan pada ikan. Hasilnya menegaskan
bahwa teknik slurry ice memang lebih bagus daripada teknik penyimpanan dengan
potonganpotongan atau kepingan es. Karena peningkatan umur simpan dan kualitas ikan dalam
penyimpanan secara signifikan dapat terjadi pada aplikasi slurry ice. 4 Dengan menerapkan
teknik slurry ice pada penyimpanan ikan pari, maka umur simpan ikan menjadi lebih lama (6
hari, bila dikondisikan dalam penyimpanan dengan potongan es hanya bertahan 3 hari). Selain
itu juga dapat memperlambat mekanisme pembusukan secara biokimia dan mikrobial, yang
terjadi di dalam tubuh ikan pari. Sehingga kualitas sensorik ikan pari yang sangat menentukan
nilai jualnya, dapat lebih dipertahankan dengan lebih baik. 4 Selain pendinginan dan pembekuan,
proses penyimpanan yang dapat meningkatkan umur simpan ikan menjadi lebih lama adalah
dengan mengkombinasikan antara penyimpanan dingin dan peraturan komposisi udara atau
atmosfir ruang penyimpanan. Di bawah ini terdapat tiga metode perubahan komposisi atmosfir
yang telah diketahui secara umum : 1. CAS (Controlled Atmosphere Storage)

 Konsentrasi O 2, CO 2 dan terkadang juga etilen, dimonitor terus-menerus. 2. MAS (Modified


Atmosphere Storage) Komposisi gas dalam ruang penyimpanan diatur pada awalnya, tetapi
kemudian dibiarkan berubah karena adanya akibat pernapasan normal dari produk yang
disimpan. 3. MAP (Modified Atmosphere Packaging) Komposisi gas dalam kemasan (diketahui
permeabilitasnya) diubah setelah produk dimasukkan, dan sebelum kemasan disegel. Dari ketiga
metode di atas, yang sering digunakan dalam penyimpanan ikan adalah MAP (Modified
Atmosphere Packaging). Penggunaan MAP secara umum akan menghasilkan peningkatan
sensorik umur simpan ikan, jika dibandingkan dengan penyimpanan dengan es secara tradisional.
Tetapi besar peningkatan yang terjadi tergantung pada beberapa faktor, seperti komposisi
perpaduan gas, suhu penyimpanan, kualitas bahan mentah atau dalam hal ini adalah kualitas ikan
segarnya, serta ukuran kemasan yang digunakan. Konsentrasi gas karbondioksida yang rendah
biasanya diterapkan dalam sistem ini, dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan air dan
kerusakan tekstur ikan. 3 Disamping MAP, terdapat pula dua metode pengemasan lain yang telah
diujikan pada ikan (khususnya pada udang ker ang capit merah (Cherax quadricarinatus)), yaitu
pengemasan vakum (vacuum packaging atau VP) dan PVCP aerobik (aerobic polyvinyl chloride
packaging). Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbandingan kemampuan
dari ketiga metode pengemasan (MAP,VP, dan PVCP) dalam mengontrol pertumbuhan mikroba
beserta pengaruhnya terhadap kualitas penyimpanan daging udang kerang capit merah selama
berada dalam penyimpanan dingin. 5 Dalam penelitian tersebut, yang dimaksud dengan PVCP
adalah cara pengemasan dengan melakukan dua kali pembungkusan atau pelapisan terhadap
kemasan yang sudah disediakan, dengan menggunakan lapisan tipis PVC yang dapat ditembus
udara. Sedangkan untuk MAP, digunakan pengaturan komposisi gas yaitu 80% CO 2, 10% O 2,

dan 10% N 2, pada tekanan gas 1.0 bar, yang kemudian dikemas menggunakan polypropylene-
polyethylene sealing film oleh mesin FoodPack Basic FP372. Dan pengemasan vakum (VP)
yang dimaksud adalah metoda pengemasan yang menempatkan produk yang telah dikemas ke
dalam kantong vakum tipe B2620, yang kemudian dikemas menggunakan mesin vakum model
600A. Semua metode pengemasan tersebut tetap ditempatkan pada ruang dengan penyimpanan
suhu rendah (2 0 C) Daging Penyimpanan daging pada suhu rendah dimaksudkan untuk
memperlambat atau membatasi kecepatan pembusukan yang terjadi. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kecepatan pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dapat
dihambat pada suhu dibawah rata-rata. Terdapat tiga tingkatan teknik penyimpanan suhu rendah
yang biasa diaplikasikan pada daging. Ketiga tingkatan penyimpanan tersebut dapat menghambat
atau bahkan menghentikan pertumbuhan mikroba, namun pertumbuhan bakteri psikrofilik,
khamir, dan kapang tetap tidak dapat dicegah oleh ketiga tingkatan tersebut. Tiga teknik
penyimpanan tersebut adalah sebagai berikut: a. Chilling Chilling dilakukan tepat setelah hewan
disembelih dan selama hewan berada dalam penyimpanan dan pengangkutan (transport). Teknik
ini dilakukan untuk menurunkan suhu daging sampai 4 C dalam 4 jam setelah hewan disembelih
dan dibersihkan isi perutnya. Disebutkan pula bahwa chilling merupakan tahapan yang penting
dilakukan untuk menjaga hygiene daging, umur simpan, serta penampakan dan kualitas nutrisi
dari daging (Cassens, 1994; Zhou et al., 2010). 2 Terdapat dua metode dalam teknik
penyimpanan chilling, yaitu: (a) immersion chilling, merupakan teknik chilling dengan cara
mencelupkan atau membenamkan produk yang disimpan ke dalam air dingin (0-4 C); (b)

 air chilling, merupakan teknik chilling diman produk atau dalam hal ini karkas yang disimpan
diselimuti oleh kabut air di dalam ruangan dengan sistem udara dingin yang tersirkulasi (Carroll
and Alvarado, 2008). 2 Kualitas dari daging dengan metoda penyimpanan air chilling lebih
bagus dibanding dengan kualitas daging yang dihasilkan dari penyimpanan dengan metode
immersion chilling. Hal ini terjadi karena pada penyimpanan air chilling, suhu permukaan daging
lebih cepat menurun. Sehingga dapat menunjang pengeringan daging dan menurunkan akibat
pembusukan yang dapat disebabkan oleh mikroba. b. Freezing Penyimpanan suhu rendah
menggunakan metode freezing merupakan cara yang paling bagus untuk menjaga sifat-sifat atau
karakteristik asli dari daging segar. Kandungan air yang terdapat di dalam daging berkisar antara
50-75% dari berat daging secara keseluruhan, namun besar kandungan tersebut bervariasi
tergantung pada jenis daging. Pada penyimpanan freezing, sebagian besar kandungan air tersebut
akan diubah menjadi es. Freezing yang dilakukan pada daging hanya memakan waktu yang
singkat, dan hampir 75% cairan jaringan yang terdapat di dalamnya akan membeku pada suhu -5
C. Kecepatan pembekuan akan meningkat seiring dengan penurunan suhu. Pada suhu -20 C,
hampir 98% air yang terkandung dalam daging akan membeku, dan pembentukan kristal es
secara sempurna akan terjadi pada suhu -65 C (Rosmini et al., 2004). 2 Walaupun demikian,
lebih dari 10% air terikat (secara kimia terikat pada suatu kompleks senyawa seperti karbonil dan
kelompok amino dari ikatan protein dan hidrogen) tidak akan mengalami pembekuan. Kecepatan
pembekuan yang berlangsung lambat ataupun cepat akan sangat mempengaruhi kualitas dari
daging yang dibekukan. Pembekuan cepat akan menghasilkan kualitas daging yang lebih tinggi
dibanding dengan hasil pembekuan lambat. 2

 c. Super chilling Konsep dari metode super chilling ini berbeda dengan metode pendinginan dan
pembekuan, serta memiliki potensi untuk mengurangi biaya penyimpanan dan transport yang
dikeluarkan. Super chilling merupakan metode penyimpanan pada suhu dibawah titik beku awal
(1-2 C), tetapi kristal es tidak akan terbentuk. Pada proses ini, sebagai ganti dari penambahan es
pada produk yang disimpan, bagian dari air yang terdapat di dalamnya akan membeku dan
bertindak sebagai pendingin yang akan memastikan berlangsungnya proses pendinginan selama
dalam masa distribusi dan transportasi (Bahuaud et al., 2008). 2 Metabolisme respiratori dan
proses aging akan mengalami penekanan, tetapi aktivitas sel akan tetap dipertahankan selama
masa penyimpanan super chilling. Metode penyimpanan ini biasa digunakan dalam pengawetan
daging unggas. Kelebihan utama dari metode ini jika dibandingkan dengan metode penyimpanan
yang lain adalah metode ini dapat meningkatkan umur simpan daging sampai empat kali lipat
dari asilnya Dampak Pengawetan Suhu Rendah Terhadap Kualitas Ikan dan Daging Ikan a.
Cooling Proses cooling yang dilakukan pada temperatur 4 C sampai - 1 C, akan menghambat
pertumbuhan mikroba yang mungkin mengontaminasi dalam ikan. Akan tetapi, reaksi fisika,
kimia, maupun biokimia yang terjadi di dalam tubuh ikan tetap dapat berlangsung, sehingga akan
tetap terjadi penurunan kualitas pada ikan. Kesegaran ikan selama proses cooling hanya dapat
dipertahankan dalam waktu yang singkat. Karena disamping metabolisme dalam tubuh ikan yang
tidak terhenti (hanya melambat), ada pula kelompok mikroorganisme yang tidak terhambat
pertumbuhannya hanya dengan suhu cooling saja. Sehingga setelah beberapa saat, ikan akan
tetap mengalami proses pembusukan seperti yang telah dijelaskan di awal, dan mengakibatkan
terjadinya penurunan kualitas sensori ikan. Oleh karena itu, metode cooling ini tidak

 dapat dipakai untuk penyimpanan ikan dalam jangka waktu yang cukup lama. b. Freezing
Perlakuan freezing untuk pengawetan ikan tidak bisa mencegah hilangnya kandungan asam
amino dalam ikan. Akan tetapi, reaksi fisika dan biokimia yang dapat menyebabkan kebusukan
pada ikan dapat dihambat oleh proses pembekuan ini. Selain itu, pertumbuhan mikroba juga
benarbenar dapat dihambat dalam proses ini. Ketahanan mikroba selama dalam penyimpanan ini
bergantung pada tipe mikroorganismenya dan spesies ikan, serta asal-usul ikan dan metode
penangkapan serta penanganan yang telah dilakukan sebelumnya. Kualitas akhir dari ikan
tergantung pada kualitas ikan dalam masa pengawetan pembekuan, yang juga berkaitan dengan
suhu pembekuan, serta kecepatan pembekuan dan distribusi. Dari faktor-faktor tersebut,
kecepatan pembekuan menjadi faktor utama yang berperan penting dalam menentukan kualitas
akhir ikan hasil pembekuan. Pembekuan cepat dapat menghasilkan kualitas ikan beku yang lebih
baik daripada pembekuan lambat. Karena pada pembekuan lambat akan terbentuk kristal-kristal
es yang lebih besar, yang dapat merusak dinding sel ikan dan menyebabkan terjadinya denaturasi
protein. Di sisi lain, denaturasi protein juga bergantung pada konsentrasi enzim dan senyawa
lainnya yang terdapat di dalam tubuh ikan. Perubahan yang terjadi pada protein ikan akan
mengakibatkan kepudaran dan kekeruhan pada tekstur serta melunaknya jaringan di tubuh ikan,
yang sangat mempengaruhi kualitas akhir ikan. Selama masa penyimpanan dingin, dekomposisi
Thimethyalamine Oxide (TMAO) pada ikan dan hasil laut lainnya, akan menghasilkan
pembentukan trimethylamine dan dimethyalamine yang dapat menyebabkan hilangnya aroma
asli dari ikan segar. 1 Selain itu, pada pengawetan beku yang berkelanjutan, ikan juga akan
mengalami penurunan nilai protein dan lemak, serta mengalami peningkatan jumlah

 mikroba pembusuk. Seperti pada percobaan yang dilakukan oleh Arannilewa et al. (2005),
menunjukkan bahwa terjadi penurunan protein dan lemak sebesar 27.9 and 25.92%, serta
peningkatan jumlah koliform dari sampai selama masa penyimpanan. 1 CBC (Combined Blast
and Contact) cooling, yang banyak dipakai dalam penyimpanan daging ikan yang telah difillet,
dapat meningkatkan waktu kesegaran daging serta umur simpannya secara signifikan. Sebagai
contoh, CBC fillet yang disimpan pada suhu -1.3 C, akan mengalami peningkatan waktu atau
periode kesegaran ikan sampai 10 hari, serta umur simpan yang mencapai 16 hari. Penurunan
suhu rata-rata pada fillet ikan dalam penyimpanan CBC sampai pada suhu -0.8 C atau -1.3 C,
akan meningkatkan periode kesegaran ikan selama 1,5 hari (atau menjadi 9,5 hari) dan
peningkatan satu hari umur simpan (atau menjadi 14 hari). 3 Cara pengawetan dengan slurry ice
yang diujikan pada ikan pari memperlihatkan kualitas akhir yang bagus secara keseluruhan,
bahkan hasil kualitas tersebut termasuk dalam kategori kualitas A, sampai 6 hari masa
penyimpanan. Setelah hari keenam makan kualitasnya menurun secara drastis, dan pada hari
kedelapan sampai sepuluh, kualitas ikan pari yang disimpan dengan teknik slurry ice tidak bisa
diterima lagi. Parameter negatif utama yang berhubungan dengan penurunan kualitas pada teknik
penyimpanan slurry ice ini adalah aroma ikan. Perubahan aroma ikan yang terjadi karena
pembentukan senyawa ammonia oleh proses enzimatis, menjadi faktor pembatas dari daya
terima/ kualitas terendah dari ikan pari yang masih diterima. Sedangkan parameter kualitas yang
memiliki nilai tertinggi pada penyimpanan ikan pari dengan teknik slurry ice adalah aspek kulit
dan insang, serta konsistensi daging dan aspek sisi perut ikan. 4 Cara pengawetan suhu rendah
yang lain adalah dengan memadukan antara pengawetan suhu rendah dengan pengaturan
atmosfer, salah satunya yaitu MAP. Penelitian yang dilakukan untuk menguji keefektifan teknik
pengemasan antara MAP, VP, dan PVCP, telah mengarahkan pada suatu hasil dimana pada
penyimpanan MAP diketahui jumlah mikroba yang tumbuh dan mengontaminasi jauh lebih
rendah

 dibanding dengan pengemasan yang lainnya. Akan tetapi MAP menaikkan besar susut produk
yang terjadi pada saat pemasakan. Dari ketiga kondisi pengemasan yang dilakukan, PVCP
merupakan teknik pengemasan yang paling bisa mempertahankan berat atau menekan besarnya
susut produk yang terjadi pada saat pemasakan. Namun, pada pengemasan PVCP dapat terjadi
penurunan rasa atau kehilangan flavor yang lebih besar daripada yang terjadi pada MAP dan VP.
Kebalikannya, udang yang disimpan secara MAP dan VP memiliki tingkat juicyness yang lebih
rendah dibanding udang dalam penyimpanan PVCP. Namun, secara umum sampel udang kerang
capit merah yang diuji dengan penggunaan ketiga teknik penyimpanan tersebut, tidak mengalami
perubahan sensori yang signifikan. Sehingga udang yang telah diawetkan dengan teknik
pengemasan tersebut tetap memiliki daya terima yang cukup tinggi di kalangan konsumen
Daging a. Chilling Young and Smith (2004) mengatakan bahwa sebelum pemotongan, karkas
yang diawetkan dengan metode air-chilled akan mengalami kehilangan berat sebesar 0,68% dari
berat setelah penyembelihan, tetapi tidak akan mengalami kehilangan berat lagi saat atau setelah
pemotongan dilakukan. Di lain sisi, karkas yang diawetkan menggunakan metode water chilled
akan mengalami pertambahan kelembapan sampai 11,7% dalam penyimpanannya. Namun
kemudian, kelembapan tersebut akan hilang 4,72% dalam 24 jam penyimpanan pertama, 0,98%
pada saat pemotongan, dan 2,10% selama masa penyimpanan, sehingga menghasilkan 3,9% air
yang masih berada atau terkandung di dalam daging. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tuncer dan Sireli (2008), dapat disimpulkan bahwa metode air chilling lebih aman daripada
metode water chilling, dalam kaitannya dengan jumlah mikroorganisme yang dapat
mengontaminasi di dalamnya. Dengan memperhatikan umur simpannya, penyimpanan pada suhu
0 C akan lebih baik daripada penyimpanan pada suhu 4 C dan 7 C untuk mencegah terjadinya
pembusukan. Zhou et al. (2010) menyatakan bahwa pendinginan

 (chilling) yang cepat juga akan membantu untuk mencegah denaturasi protein, dimana bakteri
akan lebih cepat tumbuh pada medium protein yang telah terdenaturasi. 2 b. Freezing Dalam
pembekuan lambat, pembentukan kristal es yang besar akan merusak sel dan menyebabkan
terjadinya denaturasi protein. Konsentrasi enzim dan adanya senyawa lain yang terkandung pada
daging akan berpengaruh pada proses denaturasi protein. Jika dilihat secara umum, besar
pengaruh pengawetan yang terjadi pada daging yang telah dibekukan adalah terbatas. Hal ini
dikarenakan reaksi fisika, kimia maupun biokimia yang terjadi pada jaringan tubuh hewan yang
telah disembelih, tidak sepenuhnya terhenti setelah dilakukan pengawetan dingin. Pertumbuhan
mikroba dapat dihentikan pada suhu -12 C, sedangkan penghambatan metabolisme selular di
jaringan tubuh hewan akan terjadi pada suhu dibawah -18 C. Perubahan kualitas total pada
daging dapat dicegah pada suhu -55 C. Akan tetapi, reaksi enzimatis, ketengikan karena oksidasi,
dan kristalisasi es yang terjadi akan tetap memacu terjadinya kebusukan pada daging. Selama
dalam penyimpanan beku, sekitar 60% dari populasi mikroba yang hidup akan mengalami
kematian, namun sisa yang masih dapat bertahan hidup akan dapat meningkat secara
berangsurangsur. 2 Spesies bakteri yang masih dapat bertahan pada produk beku tergantung pada
jumlah populasi awalnya (Gill, 2002). 6 Beberapa bakteri akan mati, tetapi beberapa diantaranya
berada dalam fase sublethal (dimana aktivitas bakteri akan kembali seperti semula jika terjadi
proses thawing), jika penyimpanan dilakukan diatas suhu -10 C (dibawah suhu - 10 C, bakteri
sublethal akan mengalami kematian seiring dengan berjalannya waktu penyimpanan). Oleh
karena itu disarankan untuk menyimpan daging dalam penyimpanan beku pada suhu sekitar -18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan dan daging disebabkan oleh tiga
faktor utama, yaitu autolisis enzimatik, oksidasi, dan kontaminasi oleh mikroba Pengawetan suhu
rendah pada daging dan ikan secara umum meliputi proses pendinginan dan pembekuan Jenis
pengawetan suhu rendah untuk ikan, antara lain yaitu: (a) cooling; (b) freezing; (c) CBC
( Combined Blast and Contact) cooling; (d) Slurry ice; (e) MAP (Modified-Atmosphere
Packaging) Jenis pengawetan suhu rendah untuk daging, antara lain yaitu: (a) chilling; (b)
freezing; (c) super chilling Setiap jenis pengawetan yang digunakan pada ikan maupun aging
memiliki dampak atau efeknya masing-masing terhadap kualitas produk yang diawetkan Dari
beberapa jenis pengawetan suhu rendah yang digunakan pada ikan dan daging, terdapat beberapa
jenis pengawetan yang dapat digunakan secara spesifik pada jenis ikan atau daging tertentu
karena dinilai mempunyai efek yang lebih signifikan. 3.2 Saran Sebelum melakukan pengawetan
suhu rendah terhadap ikan atau daging, akan lebih baik apabila kita telah mengetahui jenis
pengawetan yang spesifik dan cocok untuk digunakan dalam produk yang akan kita simpan.
Dengan demikian, kualitas produk yang disimpan akan lebih terjaga serta resiko kontaminasi dan
kebusukan juga dapat lebih diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

1. A.E. Ghaly, D. Dave, S. Budge and M.S. Brooks. Fish Spoilage Mechanisms anda
Preservation Techniques: Review. American Journal of Applied Sciences [Internet] [cited 2012
June 22]; 7 (7): Available from : 2. D. Dave and A.E. Ghaly. Meat Spoilage Mechanisms and
Preservation Techniques: A Critical Review. American Journal of Agricultural and Biological
Sciences [Internet] [cited 2012 June 22]; 6 (4): Available from: 3. Hélène L. Lauzon, Björn
Margeirsson, Kolbrún Sveinsdóttir, María Guðjónsdóttir, Magnea G. Karlsdóttir and Emilía
Martinsdóttir. Overview on fish quality research - Impact of fish handling, processing, storage
and logistics on fish quality deterioration [Internet]. Matis; 2010 Nov [cited 2012 June 22]. 66p.
Report No.: Matís Report Available from: 4. Begoña Múgica, Santiago P. Aubourg, José M.
Miranda, and Jorge Barros-Velázquez. Evaluation of a slurry ice system for the
commercialization of ray (Raja clavata): Effects on spoilage mechanisms directly affecting
quality loss and shelf-life [Internet]. [cited 2012 June 6]. Available from: 5. G. Chen, Y.L.
Xiong, B. Kong, M.C. Newman, K.R. Thompson, L.S. Metts, and C.D. Webster.
Microbiological and Physicochemical Properties of Red Claw Crayfish ( Cherax quadricarinatus)
Stored in Different Package Systems at 2 o C. Journal of Food Science; 2007; Vol. 72, Nr. 8. doi:
/j x

 6. R.J. Whyte, J.A. Hudson and N.J. Turner. Effect of Low Temperature on Campylobacter on
Poultry Meat [Internet]. New Zealand: Institute of Environmental Science & Research Limited
Christchurch Science Centre; 2005 Aug [cited 2012 June 22]. Available from:
Assessment_Freezing.pdf.

Anda mungkin juga menyukai