Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

( Disusun untuk memenuhi tugas Tafsir Ayat Ekonomi) )


Dosen Pengampu : Ferliansyah Zais L.C., M.Si.

KELOMPOK 3

Disusun Oleh:
 Ilham Kurnia Chahya BM 2151040256

Jurusan / Smt / Kelas :


Ekonomi Syariah / 2 / F

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG FAKULTAS


EKONOMI DAN BISNIS ISLAM MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untu memenuhi tugas Bapak Ferliansyah
Zais L.C., M.Si pada mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi.Selain itu,makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang “Riba dalam Hukum Ekonomi Islam” bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ferliansyah Zais L.C., M.Si.selaku dosen
mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawana sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Lampung, Maret 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
1.3 Tujuan Makalah...........................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1 Sejarah Munculnya Praktik Riba.................................................................................................5
2.2 Jenis-Jenis Riba...........................................................................................................................9
2.3 Tahapan Larangan Riba dalam Al- Qur’an................................................................................10
2.4 Sebab- Sebab dilarangnya Riba.................................................................................................15
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................17
3.2 Saran..........................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Riba yang dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran
kompensasi2 dilarang oleh al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri telah menjelaskan secara rinci
tahapan pelarangan riba tersebut. Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur
negatif dalam riba (QS. Al-Rum [30]:39). Kemudian disusul dengan isyarat keharaman riba
dengan disampaikannya kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan praktik riba
(QS. Al-Nisa‟ [4]:161). Berikutnya, secara eksplisit al-Qur‟an mengharamkan riba dengan
batasan adh„āfan mudhā„afan (QS. Ali Imran [3]: 130) yang diikuti dengan pengharaman
riba secara total dalam berbagai bentuknya (QS. Al-Baqarah [2]:275-281).

Tulisan ini mencoba untuk mengurai benang merah antara keharaman riba yang
terdapat dalam al-Quran.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah munculnya praktik Riba?
2. Definisi Riba
3. Jenis-jenis Riba
4. Tahapan larangan riba dalam Al-Quran
5. Sebab-sebab dilarang nya riba

1.3 Tujuan Makalah


Untuk memberikan pemahaman kepada sang pembaca perihal Riba dalam Ekonomi
Islam dan hal hal yang bermanfaat didalamnya agar bisa diterapkan di kehidupan .

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Munculnya Praktik Riba


Riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (alirtifa'). Sehubungan dengan
arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai
berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain
jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in
lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih
dari apa yang diberikan)

Menurut Wasilul Chair mengutip Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama'
sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam
tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba. Yang dimaksud dengan tambahan
adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan
perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak,
gandum, serta segala macamkomoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut. Dalam
pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.Secara istilah syar’i
menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan didalam urusan pinjam
meminjam. Menurut Jumhur ulama prinsip utama dalam riba adalah penambahan,
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil

Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip
mu'amalah dalam Islam.Kata riba tidak hanya berhenti kepada arti "kelebihan". Pengharaman
riba dan penghalalan jual beli tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang
membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.

Sebagaimana dalam firma-Nya Surat Al- Baqarah ayat 275:

ُ ‫وا َواَ َح َّل هّٰللا‬ۘ ‫الرِّب‬


ٰ ‫ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل‬ َ ِ‫سِّ ٰذل‬ ۗ ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم‬
َ َ
ٰۤ ُ ‫فَ واَمر ٗ ُٓه الَى هّٰللا‬
‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا‬ ِ َّ ‫ن‬‫ال‬ ُ‫ب‬ ٰ
‫ح‬ ْ‫ص‬ َ ‫ا‬ ‫ك‬َ ‫ى‬
ِٕ ‫ول‬ ‫ا‬َ ‫ف‬ ‫د‬
َ ‫َا‬
‫ع‬ ‫ن‬ْ ‫م‬َ ‫و‬
َ ۗ ِ ِ ْ َ ۗ َ ‫ل‬‫س‬َ ‫ا‬ ‫م‬
َ ٗ‫ه‬َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ‫ى‬ ٰ
‫ه‬ َ ‫ت‬‫ن‬ْ ‫ا‬َ ‫ف‬ ‫ِّه‬
ٖ ‫ب‬‫ر‬َّ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِّ ٌ ‫ة‬ َ ‫ظ‬ ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِع‬
ۗ ‫ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب‬
َ‫ٰخلِ ُدوْ ن‬

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama
dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
(Q.S al-Baqarah ayat 275).
5
Dalam ilmu ekonomi pada umumnya riba adalah sinonim dengan bunga uang (rente)
yang muncul dari sejumlah uang pokok, yang lazim disebut dengan istilah kapital atau modal
berupa uang. Dalam hal ini bunga uang disebut juga dengan rente atau interest yaitu
penggantian kerugian yang diterima oleh yang mempunya modal uang untuk menyerahkan
penggunaan modal itu.

Modal uang itu oleh orang dapat dipergunakan, baik untuk keperluan produksi maupun
untuk keperluan konsumsi. Peminjaman modal untuk keperluan konsumsi harus dibayar
bunganya. Dalam perspektive ekonomi rasionalisasinya adalah dengan dipinjamkannya
modal uang untuk keperluan konsumsi maka akan berkuranglah jumlah modal uang untuk
keperluan produksi. Dalam pengertian di atas, bunga tersebut dianggap orang sebagai harga
yang harus dibayar untuk penggunaan modal uang.Pendapat ini dikuatkan oleh Taher Ibrahim
bahwa bunga uang atau interest adalah harga dari alat produksi modal.

Di kalangan ahli fikih pun terdapat berbagai definisi tentang riba. Badr ad- Din al-Ayni,
mengatakan bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil. Imam Sarakhsi, Qatadah, Raghib al-Asfahani dan Iain-lain
berpendapat sama tentang riba yaitu yang mengandung tiga unsur:

a) Kelebihan dari pokok pinjaman


b) Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran
c) Jumlahtambahanyangdisyaratkandidalamtransaksi.

Berdasar kepada kriteria di atas, maka setiap transaksi yang mengandung tiga unsur tersebut
dinamakan riba.

Masalah riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam saja, tetapi menjadi
permasalahan serius bagi berbagai kalangan di luar Islam. Oleh karena itu kajian terhadap
masalah riba dapat ditelusuri mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Msasalah riba
telah menjadi bahan bahasan di kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi, hingga
zaman modern. Praktek-praktek pemungutan bunga uang ini sesuai dengan dinamika
masyarakat serta pertumbuhan dan perkembangan zaman, berangsur-angsur setahap demi
setahap mengalami evolusi dan perubahan.

Pada zaman Yunani sekitar abad VI sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat
beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya.

Secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai pinjaman biasa (6% -18%),
pinjamanproperti (6% -12%), pinjaman antar kota (7% -12%), dan pinjaman perdagangan
dan industri (12% -18%).

Pada masa Romawi sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat Undang-
undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut
sesuai dengan "tingkat maksimal yang dibenarkan hukum" (maximum legal rate). Nilai suku

6
bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun Undang-undang
menibenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara
bunga berbunga (double countable).

Walaupun pada masa Unciaria (88 SM) praktik pengambilan bunga diperbolehkan
kembali, yang sebelumnya dilarang oleh Genucia (342 SM), praktek riba ini dicela oleh para
ahli filsafat Yunani seperti Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322 SM). Demikian
juga para filosof Romawi seperti Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM).'' Penolakan
para ahli filsafat Romawi terhadap praktek pengambilan bunga mempunyai alasan yang
kurang lebih sama dengan yang dikemukakan oleh para filosof Yunani. Mereka menganggap
bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji, karena menyebabkan perpecahan dan
perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu bunga merupakan alat golongan kaya untuk
mengeksploitasi golongan miskin. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap
merupakan sesuatu yang tidak adil.

Demikian keadaan benua Eropa pada waktu itu, larangan praktek pemungutan bunga dari
pihak gereja dapat bertahan berabad-abad lamanya, walaupun muncul berbagai tanggapan
dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh tidaknya orang Islam
mempraktekkan pengambilanbunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen
dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen
(abad I - XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI
yang mempunyai keinginan agar pengambilan bunga diperbolehkan dan pandangan para
reforrais Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan
pengambilan bunga, sehubungan dengan kemajuan baru dalam perekonomian. Hal ini terjadi
karena munculnya kapitalisme yang berhasil merubah praktek pemungutan bunga dari corak
sosial etis menjadi sosial ekonomi.Sehingga orang yang meminjam modal bukan lagi semata-
mata orang miskin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendesak seperli
jaman dahulu, melainkan untuk memperbesar produksi atau untuk mencari keuntungan.

Dalam sejarah Islam, penggunaan uang tabungan yang disimpan masyarakat Yahudi
dengan pengembalian utang yang dilebihkan dari yang diutangkan (Riba atau Usury Loan)
sudah dilakukan sebelum kedatangan Islam.

Pada saat itu, perdagangan sangat membutuhkan modal sehingga menciptakan permintaan
akan pinjaman yang memerlukan pelunasan uang yang diterima lebih besar dari yang
diutangkan. Jenis riba yang kedua, yang dilakukan oleh masyarakat Yahudi adalah transaksi
riba. Hal ini dilakukan pedagang dengan menukarkan barangnya dengan barang yang sama
dengan jumlah yang lebih sedikit.

Dari sudut pandang kaum Quraisy, riba adalah jalan terbaik untuk mendapatkan
keuntungan yang besar dari tabungan yang mereka miliki, karena debitur pada saat itu tidak
harus berjalan jauh untuk melakukan transaksi yang memakan biaya. Mereka akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari transaksi riba tersebut. Hal ini disebabkan
karena modal yang ada hanya terbatas pada kaum Hijaz yang hidupnya nomaden, sementara

7
perdagangan mengakibatkan permintaan modal yang tinggi, sedangkan keuntungan yang
mereka peroleh dari transaksi riba ini sangat besar. Lagi pula mereka tidak perlu menanggung
resiko ketika terjadi kerugian dari perdagangan yang dilakukan debitur. Sekalipun debitur
(pedagang) tidak dapat mengembalikan modal yang dipinjamnya, uang kreditur tetap aman
karena mereka dapat menjadikannya budak.

Keuntungan lain untuk kreditur, ia tidak perlu mengkhawatirkan keberhasilan atau


kegagalan perdagangan yang dijalankan debitur, dan tidak ada kepentingan untuk menangani
para debitur. Ia tidak perlu mengaudit pemasukan dan pengeluaran untuk menghitung
keuntungan dan bagiannya. Kreditur juga tidak perlu memberikan pelatihan kepada pedagang
tentang bagaimana mengelola dan raemasarkan produknya. Dengan keuntungan dan
kemudahan inilah banyak pemilik modal yang lebih memilih transaksi dengan riba dalam
kerjasama perdagangannya.

Rasulullah s.a.w. sudah mengutuk riba sejakawal perjalanan dakwahnya dan melarang
kaum muslim mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Selama mengajarkan etika ekonomi
dan mengutuk riba, secara perlahan-lahan Rasulullah membatasi penerapan riba di
masyarakat. Selang beberapa waktu, Rasulullah melarang compound usury (riba yang
diterima secara keseluruhan, biasanya pada waktu jatuh tempo) dan pada akhir tahun
hijrahnya Rasul, seluruh bentuk riba dan transaksi yang ribawi dilarang. Rasulullah
menekankan kepada masyarakat bahwa keuntungan yang didapat dari riba adalah sebuah
dosa besar.Akhirnya, riba dihilangkan dari kegiatan ekonomi pada awal periode keislaman
dan tabungan hanya dapat digunakan untuk tujuan yang telah disebutkan di atas. Perubahan
ini secara keseluruhan meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi
dan keseimbangan antara perputaran uang dan produksi barang.

Seiring dengan perkembangan perilaku perekonomian di masyarakat, pengambilan bunga


uang di masyarakat pun mengalami perkembangan, dan penilaian orang pun menjadi
berubah. Ketika itu kira-kira abad ke-17 dan ke- 18 orang tidak lagi mengadakan larangan
mengambil bunga uang. Akan tetapi yang dipikirkan adalah bagaimana membatasi dan
berapa yang layaksi peminjam membayar bunga kepada orang yang meminjamkan modalnya.
Tatkala revolusi industri meluas di benua Barat, modal orang-seorang tidak lagi menampung
perkembangan produksi maka timbullah pandangan- pandangan baru mengenai bagaimana
menarik dan mengumpulkan modal untuk dikerjakan ke dalam proses produksi yang
berkembang itu. Keadaan sekarang menjadi terbalik, yang meminjam bukan lagi orang
miskin guna menutup kebutuhannya dengan barang-barang konsumsi, melainkan orang kaya
raya yang memiliki perusahaan tanpa pabrik, serikat-serikat dagang atau industri besar atau
kecil. Bahkan yang lebih banyak lagi meminjam adalah pemerintah guna melanjutkan
produksi dan rencana-rencana pembangunan yang besar-besar.

Karena itu pula, sekarang orang memandang rente sebagai harga yang dibayarkan untuk
penggunaan modal uang, atau juga pendapatan milik. Malahan penilaian orang lebih dari itu.
Dipandang dari sudut orang yang meminjam modal uang tersebut dan mempergunakannya
untuk keperluan perusahaan dan konsumsinya, rente itu dianggap sebagai

8
perongkosan.Akhirnya, rente itu dapat dianggap sebagai faklor perhitungan atau faktor
kalkulasi sedangkan tinggi rente (rente voet) sebagai ukuran perhitungan. Dalam percakapan
sehari-hari yang dimaksud dengan rente voet adalah besarnya jumlah rente dalam setahunnya
dihitung dalam persentase (%) dari modal uang pokok yang dipinjamkan.

Demikian sekadar gambaran dari asal-usul praktik pemungutan bunga uang dari zaman
dahulu hingga sekarang dan beserta penilaian orang terhadap perilaku tersebut pada tiap
masanya masing-masing. Pada zaman sekarang, orang secara besar-besaran telah
mengorganisasi perusahaan-perusahaan yang melakukan pemungutan dan pembayaran bunga
uang, seperti halnya perusahaan-perusahaan bank, koperasi, perseroan-perseroan, serikat-
serikat dagang, dan Iain-lain yang kini tidak dapat lagi melepaskan diri dari bunga uang.

2.2 Jenis-Jenis Riba


Secara garis besar riba terbagi menjadi 2 macam, yaitu riba akibat hutang piutang yang
telah di jelaskan tentang keharamannya dalam al-Quran, dan riba jual beli yang juga telah di
jelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-sunnah.

1. Riba akibat hutang piutang yaitu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
diisyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid),dan riba jahiliyah,yaitu hutang yang
di bayar dari pokok nya, karna si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada
waktu yang di tetapkan.
2. Riba akibat jual-beli yaitu pertukaran antar barang sejenis denga kadar atau takaran
yang berbeda dan barang yang di pertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi

Riba utang piutang terbagi menjadi dua yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.Adapun riba jual
beli terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah.

1. Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang disyaratkan terhadap yang berhutang.

Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan
mensyaratkan

agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp.
5.000 adalah riba Qardh.

2. Riba jahiliyah

Utang yang dibayar lebih dari pokoknyakarena peminjam tidak mampumembayar utangnya
pada waktu yang

ditentukan, dan biasa disebut juga dengan riba yad. Biasanya tambahan ini bertambah sesuai
dengan lama waktu si peminjam dan membayar utangnya.

3. Riba fadhl

9
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang ditukarkan itutermasuk barang ribawi (emas, perak,gandum, tepung, kurma dan garam).

Contohnya tukar menukar emas dengan

emas,perak dengan perak.

4. Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang ditukarkan dengan jenis
barang ribawi

lainnya, riba ini muncul karena adanya perbedaan atau tambahan antara yang diserahkan hari
ini dan yang diserahkan kemudian.

Contoh :Seseorang

meminjam sekilo gandum dalam jangka waktu tertentu. Apabila saat pembayaran tiba, pihak
yang mempunyai hutang tidak dapat membayarnya maka ia harus menambah menjadi 1.5
kilo. Yang maksudnya menambah pembayaran utangnya sesuai dengan pengunduran waktu
pembayaran.

2.3 Tahapan Larangan Riba dalam Al- Qur’an


Ada kemiripan antara larangan riba ini dan larangan Allah yang telah digunakan terhadap
minuman keras, perjudian dan juga dalam menghadapi praktek perbudakan. Oleh karena itu,
penelitian tentang metode yang digunakan dalam Al- Qur’an untuk larangan terhadap
minuman keras, perjudian dan juga perbudakan akan memberika informasi yang berguna
untuk memahami metode yang telah digunakan oleh Al-Qur’an dalam larangan dan
penghapusan riba.

1. Al-Qur’an membicarakan riba secara bertahap,diantaranya:


 Tahap pertama,sekadar menggambarkan adanya unsur negatif riba.
 Tahap kedua, memberikan sinyal atau isyarat tentang keharaman riba.
 Tahap ketiga, secara eksplisit menyatakan keharaman salah satu bentuk riba.
 Tahap keempat, mengharamkan riba secara total dalam berbagai bentuknya.

Kronologi analsisnya adalah sebagai berikut:

1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap
untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda
dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan berkahNya dan melipat
gandakan pahalanya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum
mengharamkannya.

10
‫ف َبيَل ابر ون مجيثاء انو نَفػضهال ٌم كلَوأف ل ل ا ًجو نوديرث‬
ِ ‫“ ة َكز ون مجيثاء انو ل ل ا ديغ َبري لَف سالنا الَمأ‬

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S.ar- Rum ayat 39).

Ayat tersebut turun ketika Nabi berada di Mekkah, tentang riba yang tidak akan
memberikan tambahan pada harta dan itu berbeda dengan zakat ataupun sedekah yang akan
menambahkan keberkahan pada harta.

Sama halnya dijelaskan oleh Mujar Ibnu Syarif menegaskan bahwa ayat tersebut
merupakan bagian dari ayat-ayat Makkiyyah. Sebagaimana lazim diketahui, pada umumnya
ayat-ayat Makiyyah lebih dominan berbicara mengenai masalah-masalah akidah(theologi).
Pembahasan mengenai riba dalam ayat 39 surah al-Rûm yang termasuk kategori ayat-ayat
Makiyyah itu menyimpan sebuah indikasi mengenai betapa urgennya masalah riba ini. Secara
eksplisit ayat tersebut menyatakan bahwa riba tidak berimplikasi pada perolehan pahala.
Berbeda dengan zakat yang bila ditunaikan semata-mata untuk menggapai ridha Allah, pasti
pelakunya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt.

2. Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, Allah menurunkan surat An-Nisa'

ayat 160-161.

{ ُ‫) َوَأ ْخ ِذ ِه ُم الرِّ بَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنه‬160( ‫يل هَّللا ِ َكثِيرًا‬ ِ ِ‫ص ِّد ِه ْم ع َْن َسب‬ َ ِ‫ت لَهُ ْم َوب‬ ْ َّ‫ت ُأ ِحل‬
ٍ ‫فَبِظُ ْل ٍم ِمنَ الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّبَا‬
‫) لَ ِك ِن الرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم ِم ْنهُ ْم َو ْال ُمْؤ ِمنُونَ يُْؤ ِمنُونَ بِ َما‬161( ‫اس بِ ْالبَا ِط ِل َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا َألِي ًما‬ ِ َّ‫َوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم َوا َل الن‬
( ‫َظي ًما‬ِ ‫ك َسنُْؤ تِي ِه ْم َأجْ رًا ع‬ َ ‫ك َو ْال ُمقِي ِمينَ الصَّالةَ َو ْال ُمْؤ تُونَ ال َّز َكاةَ َو ْال ُمْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر ُأولَِئ‬ َ ِ‫ك َو َما ُأنز َل ِم ْن قَ ْبل‬َ ‫ُأنز َل ِإلَ ْي‬
)162 }

Artinya:Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan


makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan
harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S. an-Nisa ayat 160- 161).

Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya.
Ayat ini juga menggambarkan bahwa Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat
orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam.Tetapi ayat
ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba.Ayat ini
menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi.

3. Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli
tafsir berpendapat bahwa mengambil bunga dengan tingkat tinggi merupakan fenomena yang
banyak dipraktikkan dalam masa jahiliyah. Allah berfirman dalam surat Al-‘Imran ayat 130:

َ‫ض َعفَةً ۖوَّاتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ۚن‬


ٰ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُوا الر ِّٰب ٓوا اَضْ َعافًا ُّم‬

11
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan(Q.S al-‘Imran
ayat 130).

Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa berlipat ganda bukanlah syarat dari
terjadinya riba, namun merupakan praktek pembungaan pada masa itu. Dan maksud dari ayat
diatas adalah tentang kepastian haramnya riba, ketercelaan riba yang didalamnya terdapat
kezaliman sehingga dapat menyebabkan utang semakin menumpuk dan akhirnya orang yang
berutang tidak dapat melunasinya.

4. Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman, sebagaiman firmanNya dalam surat al- Baqarah ayat 278-279:

‫هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه وَِإ ْن تُ ْبتُ ْم‬ َ‫ب ِمن‬ ٍ ْ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِينَ ) فَِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر‬
‫ظلَ ُمون‬ ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬ ْ ‫ت‬ ‫فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم اَل‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S. al-Baqarah ayat 278-279).

Ayat ini menjelaskan tentang pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti,tuntas, dan
mutlak mengharamkannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar
kecilnya.Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi.dalam ayat tersebut jika
ditemukan melakukan kriminalisasi,maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul nya.

Menurut Quraish Shihab, analisis singkat tentang riba yang diharamkan al- Quran dapat
dilihat pada kandungan ayat Ali Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278, atau lebih spesifik
lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat- ayat tersebut, yaitU (a) adh’afan
mudha’afah; (b) maa baqiya min al-riba; (c) fa lakum ru’usu amwalikum,la tazhlimuuna wa
la tuzhlamuun.

Dari segi etimologi, kata adh’af adalah bentuk plural dari kata dhi’fu yang berarti “double
atau berlipat kali”. Karena itu, kata adh’afan mudha’afah adalah pelipatgandaan yang berkali-
kali. Kata adh’af yang terdapat dalam firman Allah di atas kedudukannya sebagai hal dari
kata riba, dan mudha’afah-nya sebagai sifat adh’af.

Adalah janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda dengan menunda masa
pembayaran hutang yang merupakan pokok harta, tetapi melipatgandakan pokok harta

12
tersebut, sebagaimama kalian lakukan di masa jahiliyah. Islam melarang perbuatan tersebut
karena mengandung penindasan kepada orang yang sedang kesulitan.

Menurut Ibnu Jarir, maksud firman Allah di atas adalah janganlah kalian memakan
riba setelah masuk Islam, karena Allah telah memberi hidayah kepadamu, sebagaimana
perbuatanmu di masa jahiliyah. Apabila seseorang mempunyai hutang kepada orang lain,
kemudian masa pembayarannya telah tiba (padahal debitor belum bisa membayar), maka si
debitor berkata kepada kreditor: tundalah hutangmu, dan saya akan menambah hartamu,
kemudian keduanya sepakat. Transaksi itu adalah riba yang berlipat ganda; karena itu, Allah
melarang melakukannya saat mereka memeluk Islam.

Menurut al-Razi, apabila seseorang berhutang kepada orang lain, misalnya seratus
dirham untuk masa yang ditentukan. Kemudian masa pembayaran pun tiba, padahal si debitor
belum bisa melunasinya, maka si kreditor berkata: tambahlah harta saya, dan saya akan
menambah masa pembayaran. Adakalanya kreditor menjadikannya dua ratus dirham,
kemudian bila masa pembayaran yang kedua tiba, iapun berbuat seperti semula, dan
seterusnya berulang kali. Karena itu, si kreditor mengambil kelipatan-kelipatan dari yang
seratus. Inilah maksud dari firman Allah adh’afan mudha’afah.

Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa sekarang dengan riba
fahisy, yaitu keuntungan yang berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi
setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (terjadi) dalam transaksi
pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 atau lebih atau
kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan
yang sedikit. Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan
debitor ketika itu telah ada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk
mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-
nasi’ah. Ibnu Abbas berpendapat bahwa nash al-Qur’an menunjuk kepada riba nasi’ah yang
dikenal ketika itu.

Dari urian di atas tampak jelas bahwa riba yang adh’afan mudha’afah (berlipat ganda)
diharamkan oleh Allah, karena riba yang berlipat ganda adalah perbuatan komunitas
jahiliyah. Dalam hal ini tidak ada kontradiksi pendapat di antara ulama, apapun mazhab dan
alirannya. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah yang diharamkan itu hanya penambahan
yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan?

Yang pasti adalah bahwa teks ayat menunjukkan arti adh’afan mudha’afah (berlipat
ganda). Mereka yang berpegang kepada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan
syarat keharaman. Artinya, kalau tidak berlipat ganda, maka tidak haram. Pihak lain
berpendapat bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat, tetapi penjelasan tentang bentuk
riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran, sehingga kata mereka lebih
lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipat gandaan adalah haram.

Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan
ayat yang terakhir turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana.
Karena, sekalipun teks adh’afan mudha’afah (berlipat ganda) merupakan syarat, namun pada

13
akhirnya yang menentukan essensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan
ketiga.

Disini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaruu maa baqiya min
al-riba (dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut). Pertanyaan yang timbul adalah
“apakah kata al- riba yang berbentuk ma’rifat (definite) ini mengarah kepada riba adh’afan
mudha’afah atau tidak”? Menurut Rasyid Ridha mengarah kepadanya, sedangkan menurut
ulama lain tidak mengarah kepadanya. Kemudian Quraish Shihab membenarkan pendapat
Rasyid Ridha karena didukung oleh riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab
nuzul ayat al-Quran tersebut.

Oleh karena itu, tidak tepat mejadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun
itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali Imran yang lalu (adh’afan mudha’afah). Karena
riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan al- Quran adalah yang
disebutkannya sebagai adh’afan mudha’afah atau yang diistilahkan dengan riba nasi’ah.

Akan tetapi, Quraish Shihab menyebutkan kata kunci berikutnya yaitu, fa lakum
ruuusu amwalikum. Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-
modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang
dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat- ayat
riba ini tidak dapat dibenarkan. Kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan
atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al- Quran dengan turunnya
ayat tersebut. Ini berarti kata adh’afan mudha’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan
tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan. Karena itu, kata adh’afan mudha’afah
tidak penting lagi karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya
pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan.
Namun, kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada
masa turunnya al-Quran dan yang disyaratkan oleh penutup ayat al-Baqarah ayat 279
tersebut, yaitu laa tazhlimuun wa laa tuzhlamuun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya).
ْ ‫ب ِّمنَ هّٰللا ِ َو َرسُوْ لِ ٖ ۚه َواِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم رُ ءُوْ سُ اَ ْم َوالِ ُك ۚ ْم اَل ت‬
ْ ُ‫َظلِ ُموْ نَ َواَل ت‬
َ‫ظلَ ُموْ ن‬ ٍ ْ‫فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ْف َعلُوْ ا فَْأ َذنُوْ ا بِ َحر‬

Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.
Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim
(merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (Q.S Al-Baqarah ayat 279)

Tafsir Ringkas

Jika kamu tidak melaksanakannya, yakni apa yang diperintahkan ini, sehingga kamu
memungut sisa riba yang belum kamu pungut, maka yakinlah akan terjadi perang yang
dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya antara lain berupa bencana dan kerusakan di dunia, dan
siksa pedih di akhirat. Tetapi jika kamu bertobat, yakni tidak lagi melakukan transaksi riba
dan melaksanakan tuntunan Ilahi, tidak memungut sisa riba yang belum dipungut, maka
perang tidak akan berlanjut, bahkan kamu berhak atas pokok hartamu dari mereka. Dengan

14
demikian, kamu tidak berbuat zalim atau merugikan dengan membebani mereka pembayaran
utang melebihi apa yang mereka terima dan tidak dizalimi atau dirugikan karena mereka
membayar penuh sebesar utang yang mereka terima

2.4 Sebab- Sebab dilarangnya Riba


Baik Al-Quran maupun Hadis nabi mengharamkan riba, bahkan dalam hadis
dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba dilaknat oleh Rasulullah. Larangan
tersebut bukan tanpa sebab. Menurut al-Far al-Razi ada beberapa sebab atas dilarangnya dan
diharamkannya riba:

1. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa
ada imbalan. Keuntungan yang akan diperoleh si peminjambersifat belum pasti, dan
pemungutan tambahan oleh pemberi pinjaman adalah hal yang pasti tanpa risiko.
2. Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah
membiayai hidupnya dengan bunga saja.
3. Jika riba diperbolehkan, masyarakat akan tidak segan-segan meminjam uang
walaupun dengan bunga yang tinggi, dan ini telah merusak tata hidup tolong
menolong.
4. Dengan riba biasanya pemodal semakin kaya dan si peminjam semakin miskin.
5. Larangan riba telah ditetapkan dalam nash.

Seorang pakar hukum Islam, Wahbah al-Zuhaili, secara singkat dan jelas menyingkap
background atau latar belakang keharaman riba. Menurutnya, agama Islam adalah agama
yang menyukai kesungguh- sungguhan dan kerja keras, mendorong bersedekah dan memberi
pinjaman dengan baik, melarang mempersulit keperluan orang lemah, melarang berbuat
sesuatu yang dapat membawa kepada permusuhan, kebencian dan pertengkaran, melarang
dengki, hasud, serakah dan rakus, mengharuskan mengambil harta dengan jalan halal, tidak
menyenangi menumpuk-numpuk harta kekayaan di tangan kelompok kecil yang akan
mempersulit keperluan orang lain dan mempermainkan perekonomian negara dan
masyarakat.

Berangkat dari prinsip-prinsip yang luhur inilah, menurut Wahbah al-Zuhaili, Allah
mengharamkan praktik riba, karena praktik riba akan melahirkan beberapa kerugian sebagai
berikut:

1. Riba akan mencetak manusia yang tidak mau berusaha dan bekerja keras, seperti
berdagang, berindustri, bertani dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dituntut oleh
perkembangan zaman, seperti kedokteran, arsitektur, pharmasi, advokat dan lain-
lainya. Riba akan mendorong si pemraktik riba untuk memeras darah sekelompok
orang yang mau berusaha dan bekerja keras. Dia akan mengarungi kehidupan dengan
bersantai-santai karena selalu berharap dari harta yang dipinjamkan yang
mengandung riba tersebut.
2. Riba adalah usaha Cuma-Cuma, padahal syara’ meng- haramkan mengambil harta
secara aniaya dan tanpa haknya, serta melarang orang kuat mempersulit orang lemah.

15
3. Riba menanamkan kedengkian ke dalam hati orang-orang fakir atas orang-orang kaya,
melahirkan permusuhan dan kebencian, dan membangkitkan/menyulut percekcokan
dan perselisihan di antara manusia. Ini karena riba akan menghilangkan sifat kasih
sayang dan tolong menolong dan membuat manusia manjadi hambanya harta. Si
pemraktik riba seolah-olah seekor serigala yang akan merampas apa yangterdapat di
dalamsakunya manusia dengan penampilan yang tenang, penuh tipuan yang jahat,
dengan tidak diketahui debitor.
4. Riba akan meretakkan jalinan silaturahmi manusia, menghapus kebaikan di antara
mereka dengan jalan qirad (pinjam meminjam) yang baik, dan akan merampas harta si
fakir dan orang yang sedang dalam keperluan mendesak yang ingin memperbaiki
usaha dan kehidupannya.
5. Riba akan menghancurkan harga manusia dan melahirkan perselisihan di antara
mereka, selain akan memonopoli perekonomian masyarakat. Dampak negatif yang
khusus adalah lahirnya kehancuran, kefakiran, dan kerugian, karena Allah akan
menghancurkan riba dan menyuburkan sedekah. Kerugiannya tidak hanya bagi si
lintah darat, tetapi juga bagi distributornya. Banyak petani yang terjerat lintah darat
harus menjual tanahtanah milik mereka untuk menutupi hutang yang dipinjamnya
yang mengandung riba. Semua ini karena bertani atau berladang banyak memerlukan
pembiayaan, padahal usahanya itu sangat rentan terkena hama, kekeringan, dan
paceklik.

Sangat jelas apa yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhail bahwa praktik riba
merupakan perbuatan yang sudah pasti mendatangkan kerusakan, baik bagi pelakunya
terlebih lagi bagi korbannya. Dampak buruk praktik riba juga sudah sangat jelas
disampaikan Allah di dalamal-Quran, sebagaimana dapat dilihat pada ayat-ayat riba
tersebut di atas. Padahal sudah disepakati ulama bahwa tujuan dasar dari diturunkannya
agama Islam adalah untuk mendatangkan kebaikan dan meniadakan kerusakan. Oleh
karena itu, latar belakang Islam mengharamkan riba karena akibat buruk yang
ditimbulkan oleh praktik riba, yaitu dapat merusak tatanan sosial-kemasyarakatan.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Riba adalah tambahan pada modal atau barang baik dalam utang piutang, investasi
bisnis atau jual beli (barter). Ulama berijma riba itu haram. Praktik riba dapat merusak
tatanan ekonomi umat/masyarakat, ketidak-seimbangan pasar, dan ketidakadilan. Oleh karena
itu penulis juga menyarankan jauhilah riba dengan segala bentuknya dan berhati-hati
terhadap bank-bank konvensional dan finansial-finansial modern yang berdalih membantu
perekonomian umat. Walaupun bank-bank dan finansial-finansial yang ada sekarang sudah
sangat modern.

3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat,apabila ada kesalahan dalam penjelasan maupun
dalam penulisan kami mohon maaf,kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang kami buat ini lebih baik dimasa
mendatang.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,Aamiin.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://www.tokopedia.com/amp/s/quran/al-baqarah/ayat-279

https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/taradhi/article/download/1978/1482

http://korelasiayatfenomenakontemporer.blogspot.com/2016/11/ayat-ekonomi-tentang-
riba-qs-nisa-4-160.html?m=1

https://journal.uii.ac.id/Millah/article/download/6027/5443

https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/Al-Intaj/article/viewFile/2210/1838

18

Anda mungkin juga menyukai