Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS ISSUE MANAGEMENT PT LION MENTARI AIRLINES

GUNA MENGANTISIPASI REPUTASI BURUK PERUSAHAAN


PENERBANGAN DI INDONESIA

Tugas Kelompok
Mata Kuliah Reputation & Crisis Management
Dosen: Dr. Agustina Zubair, MSi

Disusun oleh:
Ferry Fajrin Zubdiarto (NIM 55215110057)
Eko Sulistyo Putro (NIM 55215110013)
Kelas 404

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI


PASCA SARJANA UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2016

01
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
The Issue Management Plan menjelaskan suatu proses peristiwa untuk mengelola isu-isu
yang sedang berkembang. Isu yang dihasilkan oleh hal-hal seperti sengketa tanpa perantara,
kekhawatiran belum terselesaikan, dan pengambilan keputusan yang belum selesai.
Permasalahan terjadi di semua Tahapan Proyek dan mungkin memiliki dampak negatif yang luar
biasa pada suatu peristiwa jika tidak ditangani dengan benar. Sementara sebagian besar masalah
akan sepenuhnya diselesaikan melalui proses Issue Management, beberapa mungkin semakin
membaik melalui proses Manajemen Perubahan jika dampak resolusi mereka piagam proyek.
PT Lion Mentari Airlines dengan brand name Lion Air adalah maskapai penerbangan
swasta bertarif rendah terbesar di Indonesia. Berdiri sejak 19 Oktober 1999 dan mulai beroperasi
30 Juni 2000, Lion Air bergerak agresif mengembangkan sayap armadanya di angkasa Indonesia
dan kawasan Asia Pasifik. Lion Air kini memiliki rute penerbangan Indonesia, Singapura,
Malaysia, Vietnam dan Arab Saudi, serta memiliki rute carter ke China dan Hongkong. Tak
pelak, Lion Air kini memposisikan dirinya sebagai pemain regional berkompetisi dengan AirAsia
dari Malaysia yang sama-sama sebagai maskapai low cost carrier.
Sepanjang tahun dalam operasionalnya, Lion Air mengalami penambahan armada secara
signifikan sejak tahun operasional pada tahun 2000 dengan memegang sejumlah kontrak besar,
salah satunya adalah kontrak pengadaan pesawat dengan Airbus dan Boeing. Total keseluruhan
bernilai sebesar US$ 46.4 Milliar untuk armada 234 unit Airbus A320 dan 203 pesawat Boeing
737 MAX. Belakangan Lion Air mengoperasikan armada lebih dari 100 pesawat Boeing 737-
800/900ER. Ekspansi ini membuatnya sebagai maskapai dengan model bisnis tarif murah yang
sukses.
Sebagai korporat, maskapai Lion Air memiliki perencanaan jangka panjang.
Memberdayakan armadanya guna mempercepat ekspansinya di kancah regional Asia Tenggara,
Lion membuat anak perusahaannya, Wings Air dan Batik Air sebagai pemerkuat operasional
maskapai di Indonesia. Untuk rute ke luar negeri, Lion Air memperkuat kehadirannya dengan
mendirikan Malindo Air, dan Thai Lion Air.

02
=== Plan for what is difficult when it is most easy…Do what is great while it is small…
The most difficult things in the world must be done…while they are still easy…
The greatest things in the world must be done while they are still small…
~The Tao-te Ching or The Way and Its Power

Lao Tzu (604-581 BC)

===
Bagai gadis remaja menjelang dewasa, pada usia “Sweet Seventeen” Lion Air sering
menjadi bahan perbincangan hangat menjadi sorotan publik. Namun sayang, pembincangan itu
masih lebih sering bernuansa “miring” dan bernada sumbang dan “minor”. Pasalnya, Lion terlalu
sering delay dari flight schedule yang rencanakan. Bahkan sering kali keterlambatan yang terlalu
lama dalam frekuensi atau tingkat keseringan relatif tinggi. Sebagai perusahaan penerbangan
yang dituntut memiliki presisi dalam kedisiplinan, safety dan akurasi itu, seharusnya banyak
kejadian bisa ditangani dengan cepat secara baik. Namun sering kali yang terjadi justru
memunculkan rasa kecewa dan kurang nyaman bagi para customer. Maka tidak heran kemudian
muncul jargon “sebagai olok olok” dalam bahasa plesetan, Lion --- “Late Is Our Nature”...

Puncak kejadian delay yang menjadi “rutinitas” Lion itu terjadi pada tanggal 18 Februari
2015. Delay selama belasan jam, termasuk terparah itu menyebabkan penumpukan penumpang
di Terminal 1 dan 3 Bandara Soekarno-Hatta. Ribuan penumpang terlantar karena tidak adanya
kejelasan mengenai apa yang terjadi dan kapan mereka akan diterbangkan. Delay yang sungguh
ketertaluan itu hingga mendapat respon negative dari netizen melalui petisi di change.org. Dalam
kejadian delay parah itu, tidak ada penjelasan apapun dari Lion. Staff Lion Air yang ada di
lokasi, menghindar ketika dimintai keterangan. Bahkan Manager on Duty pun tidak ada di
tempat, ada kesan manajemen Lion Air melakukan pembiaran.

Sebelumnya Lion Air sempat menjadi headline di berita media nasional akibat berbagai
kejadian, salah satunya adalah mogok kerja karyawan. Tak pelak, maskapai ini tercatat sebagai
maskapai dengan kinerja yang buruk dan dikhawatirkan dapat mempengaruhi keselamatan
penerbangan. Sekadar sebagai bukti bukurnya kinerja, pada bulan Desember 2014, misalnya,
maskapai ini masuk ke dalam penerbangan yang dilarang terbang di Uni Eropa.

03
Dari rentetan kejadian delay, belakangan Lion Air belum ada perbaikan, malah
melakukan pelanggaran peraturan menyangkut aspek lebih luas lintas departemen. Lion
menurunkan penumpang bukan di tempat semestinya. Penumpang dari penerbangan
internasional mendarat dan dibawa ke gate Domestik dimana seharusnya penumpang melewati
screening dinas Imigrasi. Sebagai akibatnya, Lion Air mendapat hukuman sanksi dilarang
beroperasi selama tiga bulan.

Peristiwa ini terjadi pada 10 Mei 2016 sekitar pukul 19.30 WIB. Saat itu pesawat dengan
nomor penerbangan JT161 yang mengangkut 182 penumpang parkir di remote 51
(internasional). Penumpang kemudian diangkut menggunakan empat bus. Tiga bus diantar ke
Terminal II untuk proses custom immigration quarantine (CIQ). Sedangkan satu bus lain
nyelonong ke Terminal I (domestik), sehingga penumpangnya tidak melewati pemeriksaan
Imigrasi untuk distempel paspornya.

Sebagai perusahaan maskapai besar dengan sumber daya manusia yang besar, kejadian
tersebut hampir pasti akan membuat bisnis mereka goyah. Dari berbagai peristiwa yang bertubi
dan hampir menadi rutinitas, secara teoritis seharusnya bisa diantisipasi dengan baik bila pihak
korporat melakukan inventarisasi isu dan persoalan kemudian dikelola secara baik, sebelum
menjadi potensi besar terjadi krisis.

1.2. Fokus Kajian

Fokus kajian dalam makalah ini hanya membatasi pada bagaimana Issue Management pada Lion
Air akibat keterlambatan yang sering terjadi dan insiden salah terminal. Fokus makalah ini
bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut:
1) Bagaimana mengelola Issue Management pada Lion Air guna menghindari reputasi
buruk pada perusahaan penerbangan di Indonesia.

2) Apa yang menjadi fokus dan tujuan utama bisnis Lion Air ke depan.

1.3. Kajian
Tujuan dari kajian ini berdasarkan dengan pertanyaan yang telah dipaparkan sebelumnya adalah
sebagai berikut: ―Cara penanganan isu-isu yang berkembang agar tidak berpengaruh buruk
kepada reputasi perusahaan akibat keterlambatan dan insiden salah terminal pada Lion Air.

04
1.4. Manfaat Kajian
Adapun manfaat penelitian (kajian) terbagi menjadi dua, manfaat teoritis dan manfaat praktis
dengan uraian sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian (kajian) ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi cakrawala
pengembangan ilmu komunikasi khususnya terkait dengan Reputation and Crisis Management.
Selain itu kajian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu referensi bagi penelitian (kajian)
selanjutnya, khususnya bagi penelitian yang memiliki kasus sejenis.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian (kajian) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
perusahaan maupun organisasi yang ada di Indonesia serta mengoreksi fungsi dan tanggung
jawab perusahaan penerbangan dengan memberikan sepenuhnya hak-hak konsumen, menguragi
keterlambatan dan mencegah terjadinya kesalahan terminal lagi di masa yang akan datang.

05
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Manajemen Isu

Dalam bukunya berjudul Reputation Management -- The Key Successful


Public Relations and Corporate Communication (Routledge, 2007, p301) John
Doorley & Fred Garcia mendefinisikan manajemen isu merupakan proses organiasi
perusahaan dalam mengidentifikasi tantangan , baik dari internal maupun eksternal
dalam lingkungan bisnis mereka. Identifikasi ini harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya krisis yang dapat melukai bahkan bisa menghancurkan reputasi
perusahaan. Manajemen isu akan melibatkan pandangan public atau khalayak.

“Issues management is a corporate process that helps organizations identify


challenges in the business environment —both internal and external— before they
become crises, and mobilizes corporate resources to help protect the company from
the harm to reputation, operations, and finan cial condition that the issue may
provoke. Issues management is a subset of risk management, but the risks it deals
with involve public visibility and possible reputational harm.
Paparan di atas dapat dimaknai pula bahwa manajemen isu adalah bagaimana
suatu perusahaan mengidentifikasi hambatan -hambatan yang ada di lingkungan
bisnis dalam organisasi, baik itu internal maupun eksternal. Sebelum hal tersebut
akan menimbulkan krisis, perusahaan harus mengoptimalkan sumber daya yang ada
di perusahaan untuk melindungi kemungkinan kerusakan reputasi, menciderai
kegiatan operasional dan kondisi keuangan perusahaan. Manajemen isu
dimaksudkan untuk mengeliminir pemberitaan negatif suatu organisasi atau
perusahaan.

2.2 Identifikasi Isu

06
Mengidentifikasi isu dan merespon krisis adalah dua hal yang sangat penting
bagi seorang CCO (Corporate Communication Officer) dalam suatu korporat.
Mengutip O’Brein, terkait dengan manajemen isu, ada dua lingkungan yang harus
diantisisapsi yakni, lingkungan eksternal (pubik/khalayak) d an lingkungan internal
(employee). Keduanya memerlukan proses atau tahap proses terintegrasi dalam
mengidentifikasi isu dan merespon potensi krisis.

Namun demikian, O’Brein menekankan perhatian pada internal perusahaan


yakni employee atau karyawan. “If you can’t win the support of your own people,
how are you going to in the support of theose outside the organization?

Dalam konteks menghadapi public terkait denga isu yang beredar dan
berkembang dalam lingkungan bisnis, langkah yang harus dilakukan CCO adala h
meminimalisir employee di lapangan yang bersentuhan dan berhadapan langsung
dengan public atau costumer, jangan memiliki mental “NO Comment” yang tentu
akan merusak kredibilitas atau reputasi perusahaan.

Untuk itu pihak CCO atau HR suatu perusahaan, meng utip Shany Devereaux
Ferguson, sebuah organisasi atau perusahaan harus meningkatkan kemampuan
karyawan mereka agar mampu mengontrol isu melalui Guidance yang termaktub
dalam Communication Plan yang didasari pada faktor:

1) Lebih memusatkan percaya pada I yang lebih dapat melawan perubahan,


Change!
2) Pengaruh terbesar dalam lingkungan
3) Dimensi isu terbesar
4) Lebih pada isu yang ditunggani
5) Kekuatan stakeholder yang menentang pendirian organisasi
6) Jumlah stake holder terkait dengan isu
7) Memetakan stake holder

2.3 Krisis dan Reputaasi

07
Dalam artian ini, krisis berada diluar kekuatan manusia tetapi kemunculan dan
berakhirnya dapat diperhitungkan. Ketiga, Krisis diartikan sebagai ledakan dari serangkaian
peristiwa penyimpangan yang terabaikan, sehingga akhirnya sistem menjadi tidak berdaya lagi.
Krisis jenis ketiga ini bersumber pada disfungsionalisasi sistem dan kelaian dalam perusahaan
atau organisasi.

Pengertian krisis pada dasarnya merupakan titik penentu atau momentum yang dapat
mengarah pada kehancuran atau kejayaan. Dan arah perkembangan menuju kehancuran atau
kejayaan tersebut sangat tergantung pada pandangan, sikap dan tindakan yang diambil terhadap
krisis tersebut.

Linke mengelompokkan krisis dalam empat jenis berdasarkan jangka waktu terjadinya
serta antisipasi yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen dalam menghadapi krisis yaitu :
(Linke, 1989 : 167)

1. The exploding crisis, krisis ini adalah sesuatu yang terjadi diluar kebiasaan, misalnya :
kebakaran, kecelakaan kerja atau peristiwa yang dengan mudah dapat dikategorikan dan
dikenali yang mempunyai dampak langsung.
2. The immediate crisis, yaitu sebuah kejadian yang mungkin membuat pihak manajemen
terkejut, tetapi masih ada waktu untuk mempersiapkan respon dan antisipasi terhadap
krisis tersebut. Misalnya : pengumuman pemerintah tentang ambang batas pencemaran,
adanya skandal kerja.
3. The building crisis, yaitu sebuah krisis yang sedang dalam proses dan antisipasi. Krisis
ini dapat dirasakan kedatangannya oleh pihak manajemen sehingga pihak manajemen
sudah mempunyai antisipasi. Misalnya negosiasi dengan buruh.
4. The continuing crisis, yaitu masalah kronis yang dialami suatu lembaga dan memerlukan
waktu yang panjang untuk muncul menjadi sebuah krisis dan bahkan mungkin tidak
dikenali sama sekali, misalnya masalah isu keamanan. Menurut Steven Fink, seorang
konsultan krisis dari Amerika mengembangkan konsep anatomi krisis yang dibagi atas
empat tahap. Tahap-tahap tersebut saling berhubungan dan membentuk siklus. Lamanya
masing-masing tahap tersebut tergantung pada sejumlah variable. Terkadang keempat

08
tahap berlangsung singkat, tetapi ada kalanya membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Misalnya jenis bahaya, usia perusahaan, kondisi perusahaan, ketrampilan manajer, dan
sebagainya. Empat tahap atau fase tersebut adalah : (dalam Ruslan, 1994 : 93-103)

Magnitude Analysis
Magnitude Analysis menilai besarnya relatif dampak suatu ancaman terhadap reputasi dan
operasi perusahaan. Jika ancaman dapat keluar berdasarkan suatu skenario, dampak reputasi dan
operasional masing-masing skenario harus dinilai. Proses penilaian ini yaitu dengan
memprioritaskan masalah utama yang dihadapi.

Likelihood Analysis
Likelihood Analysis menilai kepastian relatif atau probabilitas bahwa setiap peristiwa tertentu
yang terjadi akan mempengaruhi operasional atau merusak reputasi. Seperti dengan analisis
besarnya, analisis kemungkinan harus mempertimbangkan skenario yang berbeda. Kemungkinan
/besarnya matriks yang harus digunakan untuk merencanakan dampak relatif dari suatu masalah
atau mengatur skenario.

Strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk mempertahankan konsumen dan

memperoleh konsumen baru adalah dengan memiliki reputasi yang baik. MacNamara (2006)

menyatakan bahwa organisasi yang berorientasi profit maupun organisasi nirlaba perlu memiliki

reputasi yang baik. Selanjutnya Kim (2001) menyatakan bahwa usaha untuk meningkatkan

reputasi perusahaan akan memberikan dampak positif terhadap pendapatan perusahaan. Meski

diakui sebagai elemen penting yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan perusahaan,

namun sampai saat ini tidak ada definisi tunggal yang disepakati bersama mengenai apa yang

dimaksud dengan reputasi perusahaan.

Reputasi adalah sebuah konsep dalam public relations (PR) yang sulit didefinisikan

secara tegas. Reputasi adalah intangible asset yang sulit diukur dan dijelaskan keberadaannya

09
karena reputasi bukan sebuah produk yang dapat dilihat. Meski demikian keberadaan reputasi

yang baik dapat memperkuat posisi perusahaan ketika berhadapan dengan pesaing.

Beberapa kalangan menganggap reputasi sama dengan image perusahaan, sedangkan

kalangan yang lain menyebut bahwa reputasi memiliki perbedaan dengan image. Kennedy

(1977) dalam Gotsi dan Wilson (2001) menyatakan bahwa image memiliki kesamaan dengan

reputasi karena perusahaan pun membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk sebuah

image. Sehingga perdebatan mengenai definisi image dan reputasi tidak diperlukan, selama

publik dapat memahami konteks dalam memahami kedua konsep tersebut.

Sementara itu Wartick (2002) dalam MacMillan dan Money (2005) menyatakan bahwa

definisi yang tegas mengenai reputasi diperlukan dan merupakan faktor fundamental yang perlu

dipahami untuk mengembangkan teori mengenai reputasi sekaligus untuk mengidentifikasi

atribut apa sajakah yang diperlukan untuk mengukur reputasi perusahaan. Selanjutnya Wartick

(1992) dalam Helm (2007) mendefinisikan reputasi sebagai gambaran mengenai persepsi dari

masing-masing stakeholders tentang seberapa baik perusahaan memberikan respon dalam

memenuhi permintaan dan harapan seluruh stakeholders perusahaan.

Sejalan dengan Wartick (1992) dalam Helm (2007) Norman dan Recupero (1999) dalam

MacNamara (2006) menyatakan bahwa reputasi merupakan ekspektasi kolektif dari publik

terutama stakeholders perusahaan dalam hal ini adalah konsumen, investor, karyawan dan analis

terhadap produk, layanan dan aktivitas bisnis, sosial maupun finansial dari sebuah perusahaan.

Sementara itu Karakose (2008) menyatakan bahwa konsep reputasi terdiri atas dua

elemen yaitu identity dan image. Identity menjelaskan bagaimana organisasi diterima dalam

kalangan stakeholders internal sedangkan image menggambarkan persepsi stakeholders ekternal.

010
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Isu

Mengidentifikasi isu dan merespon krisis adalah dua hal yang sangat
penting bagi seorang corporate communication officer dalam sebuah korporat.
Terkait dengan manajemen isu, ada dua lingkungan yang harus diantisipasi
yakni, lingkungan eksternal (pubik/khalayak) dan lingkungan internal
perusahaan (employee). Keduanya memerlukan proses atau tahapan p roses
terintegrasi dalam mengidentifikasi isu dan merespon potensi krisis.

O’Brein menekankan perhatian pada internal perusahaan yakni employee.


“If you can’t win the support of your own people, how are you going to in the
support of theose outside the organization?

Dalam konteks menghadapi public, terkait dengan isu ”Delay” Lion Air,
langkah yang harus dilakukan CCO adalah meminimalisir employee di lapangan
yang bersentuhan dan berhadapan langsung dengan public atau costumer, jangan
memiliki mental “NO Comment” yang tentu akan merusak kredibilitas atau
reputasi perusahaan.

Untuk itu pihak CCO atau HR Lion Air, mengutip Shany Devereaux
Ferguson, harus meningkatkan kemampuan karyawan mereka mampu mengontrol
isu melalui pelatihan dan Guidance dalam Communication Plan yang didasari
pada faktor:

1) Lebih memusatkan percaya pada yang lebih dapat melawan perubahan,


Change!
2) Pengaruh terbesar dalam lingkungan
3) Dimensi isu terbesar
4) Lebih pada isu yang ditunggani
5) Kekuatan stakeholder yang menentang pendirian organisasi

011
6) Jumlah stake holder terkait dengan isu
7) Memetakan stake holder
Berdasarkan kasus yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dijabarkan
pelanggaran etika bisnis yang telah dilakukan pihak Lion Air dalam masalah ini, ada dua
hal yang menjadi perhatian khusus bagi Lion Air yaitu masalah keterlambatan yang sering
terjadi dan isu yang masih baru-baru ini ialah kesalahan terminal, sebagai berikut:

1. Kompensasi Keterlambatan Kedatangan atau Keberangkatan


Sering terjadinya keterlambatan penerbangan yang berjam jam pada
maskapai Lion Air, mengindikasikan kurangnya efektifitas kegiatan operasional
maskapai Lion Air yang memberikan dampak kepada calon penumpang.
Menurut Undang- Undang No.1 tahun 2016, keterlambatan adalah terjadinya
perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan
(estimate time) dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan (actual time).
waktu untuk keterlambatan penerbangan adalah 15 menit.

Di dalam Manual Book IATA SGHA 2013 bisa dilihat di dalam:


Section 2 Passenger Services
2.4 Remote/Off Airport Services
2.4.1 Inform passengers/public about time of arrival/departure.

Perusahaan penerbangan wajib memberikan informasi/ kepastian kepada para


calon penumpang, kapan mereka akan diberangkatkan, dan apabila memang ada
keterlambatan mereka wajib memberitahukan tentang alasannya mengapa itu terjadi,
disamping itu penumpang juga berhak mendapatkan kompensasi atas keterlambatan.

Keterlambatan sesungguhnya dapat terjadi oleh Airline manapun, yang menjadi


permasalahan adalah ketika terjadi keterlambatan, Airline tidak memberikan kompensasi
kepada calon penumpang yang sedang menunggu untuk boarding to the aircraft. Padahal
mereka memiliki hak-hak konsumen yang tidak boleh diabaikan oleh Airline. Entah
dengan alasan apapun itu, baik karena alasan cuaca buruk (bad weather), gangguan mesin
(troubke engine), keterlambatan air crew, dan alasan lainnya. Kami merujuk kepada

012
Manual Book IATA SGHA (Standard Ground Handling Agreement) sebagai panduan
bagi seluruh Airline di Negara manapun.
Section 2 Passenger Services ANNEX A
2.1.4 (a) Provide
(b) Arrange for
passenger assistance when flights are interrupted,
delayed or cancelled. Such assistance shall include:
New (1) Meal vouchers
(2) Rebooking
(3) Transportation
(4) Hotel accommodation
(5) Personnel
Section 19 – Contingency Planning specified in ANNEX B

Offer free of charge:


• Meals and refreshments in a reasonable relation to the waiting time; and
• Two telephone calls, telex or fax messages, or e-mails. When the time of departure
reasonably expected is at least the day after the time of departure previously announced,
in addition to the assistance described above, will offer:
• Hotel accommodation in cases: where a stay of one or more nights becomes necessary,
or where a stay additional to that intended by you becomes necessary; and
• Transport between the airport and place of accommodation (hotel or other).
When the delay is at least five hours and you decide not to travel on the delayed flight, in
addition to the meals and communications assistance described above, we will offer you:
reimbursement within seven days (in cash, by electronic bank transfer, bank orders or
bank cheques or, with your signed agreement, travel vouchers and/or other services) of
the full cost of your ticket, at the price at which it was bought, for the part or parts of the
journey not made and for the part or parts already made if the flight is no longer serving
any purpose in relation to your original travel plan, together with, when relevant, a
return flight to the first point of
departure, at the earliest opportunity.

Berdasarkan data kementrian perhubungan, hampir sebagian maskapai


penerbangan yang beroperasi di Indonesia pernah mengalami keterlambatan. Dan jumlah
keterlambatan penerbangan terbanyak terjadi pada Lion Air. Pada tahun 2012 majalah
Tempo sesuai dengan catatan dari Menteri Perhubungan Lion Air mengalami delay
sebanyak 20.882 kali sepanjang tahun 2011. Peristiwa ini mengarah kepada satu titik,
yaitu adanya pelanggaran hak-hak konsumen yang termasuk ke dalam pelanggaran etika
bisnis.

013
2. Human Error di Ground Operation (Salah Terminal)
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo saat menggelar
konferensi pers di kantornya terkait penumpang pesawat Lion Air kedatangan
internasional yang melewati pemeriksaan kantor imigrasi, 16 Mei 2016. Pemerintah
membentuk tim gabungan dari berbagai sektor untuk mengusut dugaan unsur
kesengajaan dalam insiden penerbangan internasional Lion Air JT161 yang menurunkan
penumpangnya di Terminal I Bandara Soekarno-Hatta. "Kami membentuk tim untuk
melakukan investigasi dan penyelidikan, apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian,"
ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo di
kantornya pada Senin, 16 Mei 2016.
Suprasetyo menjelaskan, tim gabungan tersebut terdiri atas Kementerian
Perhubungan, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Ditjen Bea-Cukai. Mulai kemarin, tim
gabungan itu bekerja melakukan penyelidikan. Tujuannya adalah mengungkap motif
sesungguhnya terkait dengan kesalahan penurunan penumpang dari bandara internasional
ke kawasan domestik. Menurut dia, seharusnya maskapai Lion Air menurunkan
penumpangnya ke Terminal II Bandara Soekarno-Hatta. Apalagi saat itu pesawat telah
mendarat dan parkir di Terminal II. Suprasetyo juga bakal memeriksa perusahaan ground
handling yang mengantar penumpang dari pesawat ke Terminal I. Apalagi pihak Lion Air
juga tak melaporkan adanya insiden ini, baik kepada pihak bandara, Imigrasi, maupun
Kementerian Perhubungan. Dari hasil pemeriksaan sementara terhadap Lion Air,
maskapai tersebut mengaku telah melaporkan kejadian itu ke kepolisian setempat.
Sejauh ini, Kementerian Perhubungan memastikan kesalahan Lion Air hanya
karena tidak melapor insiden tersebut. Tapi Suprasetyo masih mendalami adanya unsur
kesengajaan dan kelalaian lain. "Saya saja tahunya dari media sosial," ujarnya.
Padahal seharusnya setiap ada kesalahan prosedur maskapai bertanggung jawab
melaporkan kejadian tersebut kepada pihak bandara atau Kementerian Perhubungan. Tim
gabungan juga bakal memeriksa empat penumpang yang belum diperiksa pihak Imigrasi.
Sebelumnya, telah ada 166 penumpang ditambah 12 penumpang yang diperiksa dan
diketahui aman dari ancaman nasional. Pemerintah juga berencana menyelidiki tindak
pidana keimigrasian yang terkait dengan keamanan nasional. Sebab, Suprasetyo khawatir
014
akan ada bahaya ketika penumpang tidak melalui pemeriksaan keimigrasian bandara.
"Sanksinya nanti akan menunggu hasil investigasi," ucapnya.
Dia belum bisa menargetkan kapan hasil investigasi diumumkan. Suprasetyo
hanya menjelaskan, tim investigasi sedang berupaya dengan cepat mengungkap kasus ini,
termasuk dengan memeriksa sejumlah saksi dan sopir bus yang membawa penumpang.
Peristiwa ini terjadi pada 10 Mei 2016 sekitar pukul 19.30 WIB. Saat itu pesawat
dengan nomor penerbangan JT161 yang mengangkut 182 penumpang parkir di remote 51
(internasional). Penumpang kemudian diangkut menggunakan empat bus. Tiga bus
diantar ke Terminal II untuk proses custom immigration quarantine (CIQ). Sedangkan
satu bus lain nyelonong ke Terminal I (domestik), sehingga penumpangnya tidak
melewati pemeriksaan Imigrasi untuk distempel paspornya.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah selesai menginvestigasi insiden


salah terminal Lion Air. Ini hasil rekomendasinya. Rekomendasi hasil investigasi insiden
salah terminal -- membawa penumpang dari Singapura ke terminal domestik -- yang
berbuntut sanksi pencabutan izin ground handling jika selama selama 30 hari gagal
melakukan perbaikan, adalah sebagai berikut:

Kementrian Perhubungan telah membuat keputusan untuk memperbaiki pelayanan


dari Lion Air baik mulai dari pre flight, in flight dan post flight.

3. Rekomendasi Kementerian Perhubungan untuk Lion Air


1. Memperbaharui izin operasi dan menyesuaikan dengan Menteri Perhubungan No. PM 56
tahun 2015 tentang Pengusahaan di Bandar Udara sebagaimana telah diubah dengan
peraturan menteri No. PM 187 tahun 2015.
2. Melakukan evaluasi dan perbaikan atas Standard Operating Procedure penanganan
pesawat udara di darat (Ground Handling Operations).
3. Melakukan briefing secara terbuka secara berkala kepada petugas yang akan beroperasi
di lapangan.
4. Tidak menggunakan pihak lain dalam penanganan-penanganan jasa pelayanan udara di
darat kecuali dengan perjanjian yang jelas tertuang di dalam Service Level Agreement.

015
5. Melakukan evaluasi atas organisasi manajemen pengelola penanganan jasa pelayanan
pesawat udara di darat dan memperkuat pengawasan atas terlaksananya standard
operating procedure.
6. Melakukan pelatihan bidang-bidang terkait kepada petugas penanganan jasa pesawat
udara di darat untuk mencegah terjadinya kesalahan operasional khususnya di
operasioanal ground handling.

"Kementrian Perhubungan juga sudah mendapatkan masukan-masukan


komprehensif dari Komisi V DPR. Komisi V juga memberikan arahan-arahan apa yang
harus diperbaiki oleh Kementrian Perhubungan, pengelola bandara dan juga airline.
Sehingga tingkat keselamatan, kenyamanan dan pelayanan di jasa angkutan udara sesuai
dengan harapan masyarakat," tutur Kepala Biro Informasi dan Komunikasi Publik
Kemenhub Hemi Pamurahardjo dalam jumpa pers tentang sosialisasi hasil Rapat Dengar
Pendapat dengan Komisi V DPR di Kemenhub, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta
Pusat, Jumat (27/5/2016).

016
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
I. KESIMPULAN
Keterlamabatan penerbangan atau delay merupakan suatu kondisi yang ingin
dihindari oleh semua pihak baik itu dari sisi maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa
transportasi penerbangan maupun calon penumpang sebagai konsumennya. dalam kasus Lion
Air, keterlambatan penerbangan telah menjadi penyakit yang akut yang merugikan banyak
pihak.
Tidak hanya maskapai dan calon penumpang saja, tapi juga nama
transportasi penerbangan Indonesia dimata dunia khususnya turis asing. Maka dari itu
butuh pencegahan agar di masa yang akan datang kejadian ini tidak terulang kembali.
Tindakan pencegahaan ini membutuhkan semua pihak, dari Lion Air, pemerintah, dan
masyarakat itu sendiri. Tindakan tersebut antara lain:
1. Dari pihak Lion Air keterlambatan penerbangan hanyalah sebuah indikasi awal
ketidakberesan dalam manajemen operasional. hal ini dikarenakan adanya prinsip yang
diyakini oleh pakar keamanan dunia jika insiden kecil adalah sebuah simptom, atau
gejala-gejala awal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam manajemen keselamatan
sebuah organisasi.
Oleh karena itu perbaikan kinerja di dalam organsasi harus lebih ditingkatkan lagi
untuk menghindari krisis reputasi di masa mendatang. Dimulai dari perubahan orientasi
kerja yang lebih mengarah pada safety management. Memang saudah seharusnya
pengelolaan keamanan produk atau jasa menjadi prioritas pertama dalam perusahaan
(Weiss,2009).
Lion Air merupakan perusahaan yang menyediakan jasa penerbangan, dimana
keselamatan dan keamanan adalah faktor utama dalam maskapai penerbangan. Setelah
manajemen operasional, sumber daya manusia, baik pilot, pramugari, teknisi, dan ATC
atau Air Traffic Control haruslah diperhatikan. Pada tahun 2013, perusahaan Lion Air
membeli pesawat sebanyak 230 buah dengan unit harga per unit pesawat
sebesar Rp 700 milyar pasca pembelian Boeing 737 -900ER pada beberapa
bulan sebelumnya. Mengingat kurangnya tenaga kerja ahli dan pro fesional di
017
bidang ini di Indonesia, maka dikhawatirkan adanya fenomena kerja “ekstra”
di antara karyawan Lion Air. Lebih lanjut lagi, dikhawatirkan dengan adanya
kerja “ekstra” ini akan memberikan dampak pada penurunan stamina karyawan
khususnya pilot, yang pasti merujuk pada Human Error.
Human Error adalah faktor penyumbang terbesar pada kecelakan
ataupun peristiwa di penerbangan (60%). Maka dari itu, kesejahteraan,
k e s e l a m a t a n d a n k e n ya m a n a n k a r ya w a n d a l a m b e k e r j a m e n j a d i s u a t u
y a n g h a r u s diperhatikan.
2. Guna mencegah kejadian serupa (kesalahan mengantar penumpang penerbangan
internasional ke terminal kedatangan domestik) di kemudian hari kelak, maka menurut
kami Lion Air perlu melakukan beberapa langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan pelatihan bidang-bidang terkait kepada petugas penanganan
jasa pesawat udara di darat untuk mencegah terjadinya kesalahan
operasional (improve ground staff skills).
2. Melakukan evaluasi dan perbaikan atas standard operating procedure
penanganan pesawat udara di darat (aircraft ground operation).
3. Tidak menggunakan pihak lain dalam penanganan-penanganan jasa
pelayanan udara di darat kecuali dengan perjanjian yang jelas tertuang di
dalam SLA (Service Level Agreement) sesuai dengan setiap section dalam
buku panduan IATA SGHA (Standard Ground handling Agreement)
4. Melakukan evaluasi atas organisasi manajemen pengelola penanganan jasa
pelayanan pesawat udara di darat dan memperkuat pengawasan secara
ketat atas terlaksananya standard operating procedure.
5. Melakukan pelatihan bidang-bidang terkait kepada petugas penanganan
jasa pesawat udara di darat untuk mencegah terjadinya kesalahan
operasional.
6. Dilarang dengan keras mengoperasikan peralatan tanpa sertifikasi,
mempekerjakan pengemudi di sisi udara tanpa izin pengemudi.
7. Agar membuat SLA (Service Level Agreement) dengan pengelola bandar
udara sebagai jaminan kesanggupan pelaksanaan penerapan standar

018
keselamatan, keamanan dan pelayanan kepada pengguna jasa oleh Lion
Air.

II. SARAN
Sudah bukan rahasia lagi maskapai yang satu ini adalah langganan untuk
melakukan hal yang paling dibenci oleh penumpang, yaitu delay. Setelah "rutin"
dengan kebiasaan delaynya, puncaknya terjadi pada tanggal 18 Februari 2015
kemarin.

Delay selama belasan jam dan termasuk yang terparah ini menyebabkan
penumpukan penumpan di Terminal 1 dan 3 Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan ribuan
penumpang terlantar karena tidak adanya kejelasan mengenai apa yang terjadi dan
kapan mereka akan diterbangkan. Bahkan hanya ada beberapa staff Lion Air yang ada
di lokasi, itupun menghindar ketika akan dimintai keterangan. Parahnya Manager on
Duty tidak ada di tempat dan management Lion Air seakan membiarkan. Tidak ada
penjelasan dan permohonan maaf dari pihak masakapai selama berjam-jam, bahkan
tidak ada kompensasi seperti yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan.

Sudah bukan rahasia lagi maskapai yang satu ini adalah langganan untuk
melakukan hal yang paling dibenci oleh penumpang, yaitu delay. Setelah "rutin"
dengan kebiasaan delaynya, puncaknya terjadi pada tanggal 18 Februari 2015
kemarin.

Delay selama belasan jam dan termasuk yang terparah ini menyebabkan
penumpukan penumpan di Terminal 1 dan 3 Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan ribuan
penumpang terlantar karena tidak adanya kejelasan mengenai apa yang terjadi dan
kapan mereka akan diterbangkan. Bahkan hanya ada beberapa staff Lion Air yang ada
di lokasi, itupun menghindar ketika akan dimintai keterangan. Parahnya Manager on
Duty tidak ada di tempat dan management Lion Air seakan membiarkan. Tidak ada
penjelasan dan permohonan maaf dari pihak masakapai selama berjam-jam, bahkan
tidak ada kompensasi seperti yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 49 Tahun 2012 :

1. Keterlambatan lebih dari 60 (enam puluh) menit sampai dengan 120 (seratus dua
puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan
minuman dan makanan ringan (snack box).

2. Keterlambatan lebih dari 120 (seratus dua puluh) menit sampai dengan 180 (seratus
delan puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan
minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meal) dan
019
memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya, atau ke badan usaha angkutan
udara lainnya, apabila diminta penumpang

3. Keterlambatan lebih dari 180 (seratus delapan puluh) menit sampai dengan 240
(dua ratus empat puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib
memberikan minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meal) dan
apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau
ke badan usaha angkutan udara niaga lainnya, maka kepada penumpang tersebut
wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat di angkut pada penerbangan hari
berikutnya.

Selain Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 49 Tahun 2012, ketentuan


mengenai tanggung jawab maskapai dimuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Pasal 2 huruf e menyatakan maskapai wajib bertanggung jawab atas kerugian


terhadap keterlambatan angkutan udara. Sementara itu Pasal 9 menjelaskan,
keterlambatan angkutan udara mencakup keterlambatan penerbangan atau flight
delayed, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat atau
denied boarding passenger, serta pembatalan penerbangan atau cancelation of
flight.

Akhirnya kekesalan para penumpang memuncak malam tadi (19/02/2015). Para


penumpang yang kesal memblokir lounge keberangkatan di Terminal 3 Bandara
Soekarno-Hatta. Mereka menuntut Rusdi Kirana sebagai pemilik Lion Air untuk
menemui mereka.

Diantara ribuan penumpang yang terlantar, terdapat turis-turis asing yang juga
menjadi korban dari kejadian ini. Bahkan mereka sangat kesal dengan ketidakjelasan
masalah delay karena tidak adanya pihak Lion Air yang memberikan penjelasan
maupun kompensasi. Salah satu turis asing yang bepergian bersama dua orang
temannya bahkan harus menangis karena mereka seharusnya terbang ke Denpasar
untuk mengejar pesawat yang akan membawa mereka pulang ke negara mereka,
namun mereka harus ketinggalan pesawat tersebut dan uang mereka sudah tidak
cukup untuk membeli tiket pulang ke negaranya.

Inilah yang kami ingin sampaikan kepada Menteri Perhubungan, Pemerintah, dan
Lion Air Group :

1. Kejadian ini sungguh sangat memalukan dan menampar wajah dunia transportasi
udara Indonesia. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan serta instansi terkait harus
melakukan investigasi menyeluruh pada maskapai Lion Air.
020
2. Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan untuk mendukung investigasi
ini dan memerintahkan Rusdi Kirana sebagai Wantimpres untuk bertanggung
jawab dan memberikan peryantaan tertulis dan lisan melalui media elektronik dan
cetak mengenai kasus delay ini.

3. Menuntut Rusdi Kirana selaku pimpinan Lion Air Group meminta maaf dan
memastikan ganti rugi kepada para penumpang yang mengalami kerugian materi
dikarenakan keterlambatan selama berjam-jam.

4. Mendesak kepada Menteri Perhubungan untuk menindak dan memberikan sanksi


tegas kepada Lion Air terkait delay yang sangat sering terjadi di penerbangan-
penerbangan Lion Air.

5. Mendesak Menteri Perhubungan untuk merevisi kembali Peraturan Menteri


Perhubungan menyangkut masalah keterlambatan / delay jadwal penerbangan
dengan memberikan kompensasi yang lebih baik dan juga sanksi yang berat
kepada maskapai untuk keamanan dan kenyamanan pengguna jasa penerbangan.

6. Mendukung Menteri Perhubungan untuk mengambil sanksi kepada Rusdi Kirana


selaku pimpinan Lion Air Group yang saat ini menjabat sebagai Wantimpres atas
kejadian delay maskapai Lion Air yang menyebabkan terjadinya kekacauan di
Terminal 1 & 3 Bandara Soekarno-Hatta.

7. Mendorong YLKI sebagai yayasan yang menaungi aduan dari konsumen untuk
membantu dan mendampingi para penumpang yang mengalami kerugian, untuk
menuntut ganti rugi kepada maskapai Lion Air.

Selaku pengguna jasa angkutan udara, kami meminta agar Menteri Perhubungan
tidak takut dan tidak tebang pilih untuk menindak tegas maskapai yang bermasalah
walaupun Lion Air Group adalah milik Rusdi Kirana yang menjabat sebagai
Wantimpres Presiden Joko Widodo.

Kejadian ini bukan hanya menyangkut kerugian materi dan waktu, namun juga
menyangkut nama baik Indonesia di dunia penerbangan karena cukup banyak turis
asing yang juga menjadi korban akibat delay tersebut.

Kami sangat ingat ketika Pak Jonan langsung bertindak dan turun ke lapangan
ketika tragedi Air Asia QZ8501 bahkan langsung memanggil pihak Air Asia untuk
dimintai pertanggung jawaban. Kami harap Pak Jonan bisa bertindak cepat dan tegas
dalam kasus kekacauan akibat delaynya penerbangan Lion Air.

021
Gambar I. Kegiatan Control Room

Gambar II. Kegiatan Ramp Dispatcher (Pushback & Towing)

Gambar III. Ramp to Flight Deck Communication


022
Daftar Pustaka

Doorley, John dan Helio Fred Garcia, 2007, Reputation Management: TheKey to
Successful Public Relations and Corporate Communications. London: Routledge

IATA-Airport Handling Manual (AHM)

IATA- IATA SGHA (Standard Ground Handling Agreement) Ratification 2013

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan di Indonesia

https://m.tempo.co/read/news/2016/05/18/090771911/tim-gabungan-selidiki-
insiden-salah-terminal-lion-air

https://www.change.org/p/pak-ignasiusjonan-investigasi-menyeluruh-kasus-
delay-lion-air

023

Anda mungkin juga menyukai