Anda di halaman 1dari 15

PORN ADDICTION ON TEENAGERS

“Sebuah Kajian Aktual Permasalahan Pada Remaja Tekait Kecanduan Pornografi”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Aktual Psikologi Perkembangan yang
diampu oleh : Rulita Hendriyani, S. Psi., M. Si. Dan Sugiariyanti, S. Psi., M. A.

Disusun Oleh :
Rifki Nurrahma K (1511417107/R2)
Nada Syifania (1511419001/R1)
Fadhla Fajri R (1511419016/R1)
Lela Nurlail Adnah (1511419033/R1)
Dwitayani Kartika P.D.D (1511419035/R1)
Fathurahman I. (1511419057/R1)
Mahadika Y.P (1511419112/R3)
Ramadhan P.P (1511419120/R3)
Bagus Bintang B (1511419122/R3)
Febbi Malinda (1511419138/R3)

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
PORN ADDICTION ON TEENAGERS
“Sebuah Kajian Aktual Permasalahan Pada Remaja Terkait Kecanduan Pornografi”

Remaja merupakan salah satu dari masa perkembangan manusia. Remaja sendiri
merupakan ssebuah masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Menurut (Hurlock,
1990) masa remaja sendiri pada masa remaja, masih ada sebagian masa perkembangan
anak-anak yang dialami namun kematangan sebuah proses menuju dewasa sudah dicapai.
Masa remaja sendiri merupakan masa yang krusial karena pada masa ini remaja akan
mencari tahu hal-hal yang merekan ingin ketahui. Menurut (Haidar & Apsari, 2020) masa
remaja ini juga disebut dengan masa yang labil. Maksudnya yaitu pada masa ini seorang
individu akan mencoba hal-hal yang memang belum ia ketahui. Pada masa remaja juga
ditandai adanya perubahan-preubahan dari segi fisik dan psikologis. Dari segi fisik sendiri,
ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan
kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh
kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya
adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna
meningkatkan kemampuan kognitif. Pada aspek psikologis sendiri akan terlihat pada
perubahan cara bepikir. Remaja akan termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku
adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget (Santrock, 2018), remaja secara
aktif membangun dunia kognitif mereka. Informasi yang didapatkan tidak langsung diterima
begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-
hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan
ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati,
tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

Dengan adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja, maka terjadi juga
perubahan pada sisi seksualitas. Hal ini terjadi juga seiring perubahan fisik pada remaja itu
sendiri (Haidar & Apsari, 2020). Dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin maju
ini, maka remaja juag semakin mudah untuk mengakses informarsi yang beredar di dunia
maya. Sebenarnya banyak sekali dampak positif dari perkembangan teknologi. Namun
disamping dampak positif perkembanagn teknologi, juga ada dampak negatif dari
perkembanagn internet. Salah satu dampak negatf yang muncul yaitu mudahnya akses untuk
konten pornografi. Pada internet sendiri ada banyak sekali konten-konten pornografi yang
beredar. Dengan adanya banyaknya konten pornografi di Indonesia, indonesia sendiri
menduduki peringkat ketiga sebagai negara pengakses pornografi terbanyak (Maisya &
Masitoh, 2020). Tentu hal ini merupakan sesutau yang menyedihkan karena generasi muda
sudah banyak terpapar konten pornografi yang bebas beredar di internet. Alasan remaja
mengakses materi pornografi adalah karena remaja membutuhkan informasi tentang
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan implikasi pada perilaku seksual dalam
rangka menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran terhadap kesehatan. Hal ini akan
membuat seorang individu tersebut menjadi kecanduan atau adiksi. Seseorang yang sudah
mengalami kecanduan pornografi, maka akan berdampak ke kehidupannya sehari-hari.
Selain itu hal ini juga berdampak ke aspek-aspek kognitif dan psikologis dari individu tersebut.
Jika seorang remaja sudah kecanduan dari konten pornografi, maka akan meningkat juga
kegiatan seksual aktif pada remaja tersebut (Maisya & Masitoh, 2020).
Pada masa seperti sekarang ini, saat masa pandemi covid-19, jumlah pengakses
konten pornografi semakin meningkat. Hal ini senada dengan perkataan dari (Azizah, 2021).
Adanya peningkatan jumlah pengakses konten pornografi dikarenakan adanya keterbatasan
kegiatan yang dilakukan oleh individu tersebut. Menurut ahli dari kementrian perlindungan
perempuan dan anak, terjadinya peningkatan pengaksesan konten pornografi pada remaja
terjadi karena rasa jenuh, kesepian, marah, stres, dan lelah seringkali menjadi faktor
penyebab anak mengakses konten negatif di internet (KP3A, n.d.). Tentu saja, jika dibiarkan
saja maka akan membuat seorang remaja kecanduann konten pornografi. Menurut informasi
yang didapatkan dari Humas RS. Dr. Sardjito Jogja, mereka membagi level kecanduan
menjadi 7 tingkatan. Level pertama yaitu dengan melihat konten pornografi dengan waktu
setahun atau dua tahun dengan paparan sangat terbatas. Level kedua yaitu beberapa kali
dalam setahun dengan fantasi terhadap pornografi minimal. Level ketiga yaitu mulai susah
jika idak menonton pornografi. Level keempat dari kecanduan yaitu mulai mempengaruhi
kehidupan sehari-hari dan mengganggu aktivitas dan tugas yang dilakukan di kehidupan
sehari-hari. Pada level kelima kecanduan, seseorang akan mulai susah untuk menahan diri
untuk tidak melakukanya. Level keenam dalam kecanduan yaitu setiap hari sesorang terebut
akan kesulitan jika tidka menonton pornografi dan akan menyebabkan berbagai masalah di
kehidupannya. Level terakhir yaitu seseorang merasa sedih, dan putus asa jika ia tidka
melihat atau mengakses konten pornografi.

Memang sangat susah sekali bagi seseorang yang sudah mencapai tingkat tertinggi
dari kecanduan, apalagi bagi seorang remaja. Mereka belum tahu mana yang baik untuk
ditonton dan mana yang tidka baik untuk di tonton. Jika sudah semain parah, maka seorang
remaja itu akan mengekspresikan tindakannya kepada orang terdekatnya. meningkatnya
jumlah remaja yang berperilaku seksual aktif, juga akan meningkatkan kasus kehamilan tidak
diinginkan (KTD), dan tindakan aborsi yang kerap dianggap sebagai sebuah solusi
permasalahan KTD (Maisya & Masitoh, 2020). Kehamilan pada remaja sendiri akan
mengkitakan bayi yang lahir secara prematur. Maka dari itu dibutuhkan informasi yang
maksimal agar remaja mengetahui dampak buruk dari kecanduan pornografi. Pada paper ini
akan dijelaskan mulai dari definis hingga ke contoh kasus individu yang mengalami
kecanduan pornografi.

A. Definisi Kecanduan Pornografi


Pornografi, sebagai sebuah representasi visual dari seksualitas yang kurang
tepat, mampu menimbulkan distorsi terhadap konsep yang dimiliki seorang individu
terhadap hubungan seksual seseorang dengan obyek seksualnya, yang kemudian
pada gilirannya akan dapat merubah sikap dan perilaku seseorang secara seksual.
Seperti yang diyakini oleh para ahli, pornografi menyebabkan persepsi yang terdistorsi
dari realitas sosial atau kondisi persepsi berlebihan dari berbagai tingkat perilaku
seksual pada populasi umum. Beberapa kasus menunjukkan apabila seorang individu
berulang kali melihat pornografi akan dapat memunculkan masalah/gangguan mental
dalam hal seksualitas (Fagan, 2009).
Menurut kamus besar bahasa indonesia, kecanduan berasal dari kata candu
yang berarti sesuatu yang menjadi kegemaran dan membuat orangketagihan, maka
kecanduan adalah ketagihan, ketergantungan atau kejangkitanpada suatu kegemaran
sehingga melupakan hal yang lain-lain. Menueut Yee (2007) dalam (Fitri et al., 2018),
menjelaskan adiksi adalah perilaku yang tidak sehat yang sulit untuk dihentikan atau
diakhiri oleh individu yang bersangkutanyang akan menimbulkan dampak negatif bagi
individu itu sendiri maupun orang lain. Jadi, adiksi merupakan suatu ketergantukan
terhadap sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang dan sangat sulit untuk
dihentikan yang akan menimbulkan dampak negatif.
Sedangkan kata pornografi sendiri sebenanrya sudah tidak asing bagi kita
semua. Hal ini dikarenakan kita sering sekali mendengarkan kata ini dalam kehidupan
sehari-hari. Definisi dari pornografi sendiri tidak ada yang pasti karena hal ini terkait
dengan budaya di lingkungan sekitar. Saat ini istilah pornografi digunakan untuk
mengungkapkan segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap
berselera rendah atau tidak bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi
bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan seksual.
Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah gambar,
sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

B. Faktor yang Mempengaruhi Mempengaruhi Kecanduan Pornografi


Menurut Greenfield (2004) bahwa film porno berpengaruh didalam remaja
ataupun masyarakat yang tidak dapat ditentukan batasannya, karena sangat sulit
dalam membuat garis-garis tegasnya. Namun pengaruh film porno atau pornografi
dipengaruhi oleh faktor-faktor sepeti berikut :
1. Diri sendiri, seseorang dapat secara aktif mengkonsumsi media pornografi
atas dorongan pada diri sendiri dengan alasan karena ia ingin mengetahui
atau penasaran.
2. Kecangihan teknologi, kecanggihan teknologi ini memicu seseorang
denagn mudah untuk mencari atau mengakses media pornografi.
3. Teman sebaya, remaja yang aktif dengan media pornografi ini biasanya
dipengaruhi oleh teman sebayanya yang aktif juga mencari data porno dan
secara umum setelah menemukan data porno tersebut kemudian
umumnya akan ditonton atau dilihat dengan orang lain (teman).
4. Keluarga, kurangnya pengawasan dari keluarga dan minimnya hubungan
komunikasi tertutama dalam hal pendidikan seksualitas dan pengalaman-
pengalaman seksual yang diberikan oleh keluarga.
5. Kurangnya sarana dan prasarana dan wadah-wadah yang menampung
bakat dari remaja itu sendiri

Berdasarkan faktor yang diungkapkan di atas adalah sebagian faktor yang


dapat terungkap atau banyak fakta kejadian yang telah terjadi dilapangan sehingga
disini diperjelas kembali faktor-faktor yang masih tersirat yang dialami sebagian
remaja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku
mengakses situs porno, yakni faktor internal dan faktor eksternal (Cooper dalam
Rahmawati, Hadjam, Afiatin, 2002). Faktor internal terdiri dari faktor situasional dan
faktor kepribadian. Faktor situasional merujuk kepada riwayat kesehatan dan
kehidupan seksual, sedangkan faktor kepribadian diawali dari rasa penasaran, yang
kemudian menjadi tempat pelarian atas masalah-masalah yang dialami. Faktor
eksternal terdiri dari faktor interaksional dan lingkungan. Faktor interaksional berasal
dari aspek interaktif aplikasi internet, sedangkan faktor lingkungan berasal dari
pendidikan seks dan lingkungan pergaulan sekitar individu.
C. Aspek-Aspek dan Indikator Kecanduan Pornografi
Adapun aspek dari perilaku kecanduan ini peneliti menggunakan aspek
kecanduan internet menurut Young (Andaryani, 2013) yang kemudian disesuaikan
dengan penelitian ini.
1. Penarikan dan masalah sosial
Individu akan merasa kesulitan apabila diminta untuk menjauhkan dan membatasi
menonton pornografi. Indikatornya sebagai berikut :
1) Salince (Arti Penting), individu secara berlebihan berkhayal atau berfantasi
mengenai aktivitas seks.
2) Neglecting social life (Mengabaikan kehidupan sosial), individu dengan
sengaja mengurangi kehidupan sosialnya dan menghabiskan waktunya
dengan menonton pornografi.
2. Manajemen waktu dan kinerja
Individu mengalami peningkatan kompulsif sehingga individu tidak mampu
mengendalikan saat menonton pornografi dan menimbulkan masalah di kehidupan
sehari-hari. Indikatornya antara lain :
1) Lack of control (Kurangnya kontrol), ketidakmampuan individu dalam
mengendalikan dirinya hingga mengakibatkan bertambahnya frekuensi dalam
menonton pronografi.
2) Neglecting work (Mengabaikan pekerjaan), individu mengabaikan
pekerjaannya sehingga menurunkan produktivitas karena menonton
pornografi.
3. Pengganti realitas
Individu menganggap ketika menonton porno merupakan pengalihan dalam
menyelesaikan masalah di kehidupan nyata. Indikatornya antara lain :
1) Excessuve use (Penggunaan yang berlebihan), induvidu mengakses atau
menonton pornografi secara berlebihan sehingga tidak dapat menggunakan
waktunya dengan baik.
2) Anticipation (Antisipasi), menonton pornografi digunakan sebagai strategi
coping dari masalah sebagai sarana untuk mengalihkan permasalahan yang
terjadi dikehidupan nyata.

D. Ciri-Ciri Seseorang Kecanduan Pornografi


Kecanduan pronografi merupakan suatu perilaku yang dilakukan secara
berulang kali untuk melihat hal-hal yang dapat merangsang nafsu. Berikut merupakan
ciri-ciri seseorang kecanduan pronografi :
1. Sering merasa gugup apabila ada orang yang mengajaknya berkomunikasi.
2. Malas, tidak bergairah dalam melakukan aktivitas sehari-hari
3. Enggan bergaul dan lebih senang menyendiri
4. Sulit melepaskan gadget
5. Mudah marah dan tersinggung
6. Pelupa dan sulit berkonsentrasi

E. Gejala Remaja yang Memiliki Adiksi Pornografi


Menurut Reisman (2003) kecanduan pornografi menyebabkan tubuh
melepaskan zat kimia endogen yang mengakibatkan penggunanya menjadi
kecanduan. Menurut Ross et all (2007) terpapar pornografi dapat menimbulkan gejala
seperti perasaaan malu, cemas, rasa bersalah, dan bingung. Saat seseorang sudah
meningkat ke adiksi pornografi akan berperilaku kompulsif, menarik diri dan isolasi
sosial.
Kesenangan mengakses pornografi yang dengan mudahnya dilakukan oleh
remaja membuat mereka menjadi ketagihan. Selain rasa penasaran dan ingin tahu
remaja merasakan suatu sensasi saat mengakses pornografi. Hingga akhirnya
menjadi menu wajib yang harus mereka lihat setiap hari.
Kecanduan Pornografi adalah perilaku berulang-ulang untuk melihat hal-hal
yang merangsang nafsu seksual dan kehilangan kontrol diri untuk menghentikannya.
Berikut gejala seseorang kecanduan pornografi :
1. Sering tampak gugup apabila ada orang yang mengajaknya berkomunikasi
2. Malas, tidak punya gairah beraktivitas, enggan belajar, enggan bergaul
3. Senang menyendiri, terutama di kamarnya
4. Enggan lepas dari gawainya (gadget)
5. Melupakan kebiasaan baiknya
6. Cemas rahasianya terbongkar
7. Mudah marah dan tersinggung
8. Sulit bersosialisasi baik dengan keluarga maupun dengan teman-
temannya
9. Pikiran kacau karena selalu tertarik mencari materi pornografi
10. Pelupa dan sulit berkonsentrasi

Sementara itu, Randall F Hyde, PhD, pakar penanganan adiksi pornografi,


memberikan beberapa cara mendeteksi anak atau remaja yang telah teradiksi
pornografi:
1. Catatan history (di komputer) menunjukkan banyak web yang berhubungan
dengan pornografi.
2. Para orang tua juga dapat menggunakan teknik yang disebut "tinta
tumpah". Tumpahkan tinta di kertas dan minta anak menyebutkan gambar
apa yang tercipta melalui tumpahan tinta tersebut. Karena hal yang ia
jelaskan merupakan asosiasi dari realita yang ia ketahui.
3. Minta anak untuk menggambar dirinya (laki-laki atau perempuan). Orang
tua patut curiga kalau seorang anak mampu menggambar dan
menerangkan dengan baik bagian-bagian tubuh tertentu di luar
pengetahuan seksual anak seusianya.
F. Dampak Seseorang Kecanduan Pornografi
Remaja yang kecanduan menonton pornografi mengalami kerusakan sel-sel
otak bagian depan yang fungsinya sebagai pusat decision making dan analisis.
Donald, dkk (2004), pornografi dapat mengakibatkan perilaku negatif seperti berikut
ini:
1. Mendorong remaja untuk meniru melakukan tindakan seksual
Kemampuan remaja dalam mengolah dan menyaring informasi masih
dapat di bilang rendah. Dari data yang di dapat Para ahli dibidang
kejahatan seksual terhadap remaja juga menyatakan bahwa aktivitas
seksual pada remaja yang belum dewasa selalu dipicu oleh 2 (dua)
kemungkinan yaitu pengalaman atau melihat dan pornografi bisa menjadi
salah satu sarana utama dalam melakukan hal ini.

2. Membentuk sikap, nilai dan perilaku yang negatif.


Pemrosesan film pornografi pada remaja yang masih dalam masa
pembelajaran atau seharusnnya dapat di berikan pemahaman seks
edukasi yang baik dapat terpengaruh dari film porno yang mereka lihat .
Hal itu dapat diketahui dari cara mereka memandang wanita,kejahatan
seksual, hubungan seksual, dan seks pada umumnya. Kecenderungan
dalam sikap sikap yang negatif dapat saja timbul diakibatkan pemahaman
yang tidak seutuhnya dan tidak terarah.

3. Menyebabkan sulit konsentrasi belajar hingga terganggu jati dirinya.


Pada remaja yang memiliki IQ tinggi, pornografi bisa mengakibatkan
mereka kesulitan membangkitkan konsentrasinya untuk belajar dan
beraktivitas. Sedangkan remaja yang ber-IQ rendah, pengaruhnya bisa
lebih ekstrim lag hingga dapat menyebabkan ketidak bisaan dalam
berkonsentrasi , hariharinya total dikuasai kegelisahan. Pornografi yang
ditonton remaja merupakan sensasi seksual yang diterima sebelum
waktunya, sehingga yang terjadi adalah mengendapnya kesan mendalam
di bawah otak sadar yang bisa membuat mereka sulit konsentrasi, tidak
fokus, malas belajar, tidak bergairah melakukan aktivitas yang semestinya,
hingga mengalami shock dan disorientasi (kehilangan pandangan)
terhadap jati diri mereka sendiri bahwa sebenarnya mereka masih remaja.

4. Tertutup, minder dan tidak percaya diri


Remaja pecandu pornografi yang mendapat dukungan teman-
temannya sesama penggemar pornografi, akan terdorong menjadi pribadi
yang permisif (memandang maklum) terhadap seks bebas dan mereka
melakukan praktek seks bebas di luar pantauan orang tua. Sedangkan
remaja pecandu pornografi yang dikelilingi oleh teman-teman yang
terbimbing dan bebas dari pornografi, akan cenderung merasa minder dan
tidak percaya diri. Karena kebiasaannya ini, remaja merasa sebagai pribadi
yang aneh dan berbeda perilakunya, dan seiring bertambahnya
pengetahuan keagamaannya ia akan merasa paling berdosa.

5. Perilaku seksual menyimpang pada orang lain


Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perilaku menyimpang pada orang
lain berada pada kategori “tinggi” dilakukan oleh siswa. Temuan ini
didukung oleh pendapat Donald, dkk (2004), dampak pornografi terhadap
orang lain sebagai berikut : a) Tindakan kriminal atau kejahatan, tindakan
ini umumnya dilihat bertentangan dengan norma hukum, norma sosial, dan
norma agama yang berlaku di masyarakat. b) Penyimpangan seksual
adalah perilaku yang tidak lazim di lakukan. Beberapa jenis penyimpangan
seksual antara lain, lesbianisme, dan homoseksual,sodomi, sadisme, dan
pedophilia.

G. Intervensi dan Penyembuhan dari Adiksi Pornografi


Kecanduan pornografi di internet biasanya melibatkan perilaku menonton,
mengunduh, dan memperdagangkan pornografi secara kompulsif, atau terlibat dalam
permainan peran fantasi orang dewasa, yang umumnyadikaitkan dengan isolasi
antarpribadi, respon terhadap suasana hati yang buruk atau stres, dan masalah
relasional (Cacioppo et al., 2018).

Pornografi menimbulkan dampak kerusakan otak yang lebih besar dari


dampak yang ditimbulkan oleh kecanduan narkoba. Pada kecanduan narkoba
tersapat 3 bagian otak mengalami kerusakan. Sedangkan kecanduan pornografi
menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak terutama pada wilayah pre frontal
corteks (bagian otak yang tepat berada di belakang dahi) yang membedakan antara
manusia dan binatang. Ketika bagian ini rusak maka orang berprilaku seperti binatang,
tidak lagi memperhatikan normanorma, prestasi akademik menurun, tidak bisa
membuat perencanaan, tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan emosi, sulit
mengambil keputusan dan mneghentikan berbagai peran eksekutif otak sebagai
pengendali impuls-impuls.

Ansietas dan adiksi (kecanduan) sering berjalan beriringan. Dalam jangka


pendek pornografi mengurangi tingkat ansietas karena kebutuhan seksual terpenuhi.
Pada awalnya pornografi sebagai pengalihan dari ansietas, namun ketika sudah
kecanduan akan berdampak pada kesehatan mental dan muncul gejala fisik ansietas
(Hazra, 2013). ansietas adalah keadaan emosi dan pengalaman subyektif individu,
tanpa objek yang spesifik karena ketidaktahuan dan mendahului semua pengalaman
yang baru (Stuart, 2013).

Hasil survei penulis dalam melakukan perawatan kepada klien selama di


komunitas khususnya RW 03 Kelurahan Ciparigi Kecamatan Bogor Utara ditemukan
beberapa masalah keperawatan. Jumlah penduduk 885 jiwa yang sudah dideteksi,
jumlah penduduk remaja adalah 178 jiwa. Angka gangguan mental emosional
sebanyak 20 jiwa. Masalah keperawatan remaja adiksi pornografi di RW 03 adalah
ansietas.

Ansietas remaja perlu mendapatkan pengobatan ketika mengganggu aktivitas


sehari- hari (Beesdo, Knappe & Pine, 2009). Ansietas yang paling parah adalah
serangan panik yang biasanya disebabkan karena ketakutan sehingga remaja tidak
mampu beraktivitas, kesulitan bernafas, detak jantung meningkat, pusing dan
penurunan kognitif (Kelty Mental Health, 2012). Penatalaksanaan ansietas remaja
adiski pornografi yang dilakukan di masyarakat sudah dikembangkan melalui
pendekatan model teori Neuman dan Stuart.

Berdasarkan sistem model Neuman, suatu pendekatan sistem yang dinamis


dan terbuka dalam merawat klien. Sistem ini pada awalnya dibuat untuk memberikan
satu kesatuan dalam mendefinisikan masalah keperawatan dan untuk memahami
interaksi klien dengan lingkungan. Model tersebut mempertimbangkan berbagai
variabel yang mempengaruhi sistem (fisiologis, psikologis, sosial, perkembangan, dan
spiritual) (Neuman & Fawcett, 2002).

Remaja yang tidak mampu melawan stresor, maka terjadi penurunan kondisi
sejahtera. Stresor merupakan stimulus yang dapat merusak stabilitas sistem dan
menghasilkan luaran positif dan negatif. Tindakan keperawatan bertujuan membantu
memelihara stabilitas sistem. Neuman mengidentifikasi tiga tingkatan intervensi yaitu
primer, sekunder, dan tersier. Stuart (2013) juga menyatakan tindakan keperawatan
ada 3 tahap yaitu promotif preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Tindakan keperawatan sekunder untuk mengatasi ansietas yaitu melatih tarik


nafas dalam, distraksi guide imaginary, hipnotis lima jari kegiatan spiritual dan terapi
kognitif perilaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Hazra (2013) terapi kognitif perilaku
adalah tindakan yang sangat efektif untuk mengatasi ansietas pada kasus adiksi.
Penelitian yang dilakukan oleh (Dharsan, et all, 2014) tentang studi kasus remaja
dengan adiksi pornografi setelah diberikan terapi kognitif perilaku dapat mengurangi
gejala isolasi diri, insomnia, ansietas dan disfungsi seksual. Penelitian juga dilakukan
pada remaja yang menderita penyakit asma setelah mendapatkan terapi kognitif
perilaku terjadi penurunan tingkat ansietas sampai 30% (Marriage & Henderson,
2012).

Tindakan keperawatan tersier untuk mengatasi ansietas remaja adiksi


pornografi adalah terapi kelompok swabantu. Terapi kelompok swabantu dibutuhkan
untuk mempertahankan luaran yaitu pikiran dan perilaku yang positif. Terapi kelompok
swabantu menyadarkan individu bahwa mereka memiliki masalah yang sama.
Interaksi dalam kelompok meningkatkan tanggungjawab setiap individu terhadap
dirinya sendiri dan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan masalah mereka
(Putri, Iqsan & Aini, 2017).

Salah satu intervensi yang akan dibahas untuk membantu para remaja yang
kecanduan pornografi, sehingga dapat membantu untuk menurunkan risiko terjadinya
perilaku berulang adalah dengan menggunakan Cognitive Behavioural Therapy
(CBT).

a) Cognitive Behavior Teraphy (CBT)

Menurut beberapa jurnal Cognitive Behavior Teraphy (CBT) lebih disukai


secara signifikan daripada obat untuk pengobatan gangguan panik (Roshanaei-
moghaddam et al, 2011). Terapi kognitif dan CBT teknis lainnya adalah bukti
terbaik dan konsisten untuk pengobatan gangguan panik (Katzman et al, 2014).
Meta-analisis lain menemukan bahwa CBT adalah interosepsi unggul untuk
terapi relaksasi dalam menangani gejala panik (Siev & Chambless, 2007). CBT
dapat secara efektif memberikan dampak positif, baik dalam individu dan
kelompok (Katzman et al, 2014). Kunci utama dari proses CBT adalah kita dapat
melihat perubahan gejala yang didahului dengan perubahan keyakinan untuk
terapi. Kemudian ubah keyakinan dan perilaku menghindarnya (Katzman et al,
2014).
Psikoterapi kognitif-perilaku adalah terapi singkat yang mencakup sesi
terstruktur dan tujuan tertentu. CBT dilakukan berdasarkan tujuan dan tugas
yang jelas setiap pasien dan terapis memiliki peran aktif. Tujuannya adalah untuk
menghubungkan interpretasi kejadian dan kondisi ketakutan pasien, sensori
sensasi, dan perilaku menghindar. Klien diajarkan untuk memiliki strategi
menghadapi gangguan dan disarankan untuk melakukan percakapan dan
hubungan tatap muka. Mengurangi waktu yang dihabiskan untuk menggunakan
internet, melakukan olahraga dan mengatur pernapasan lalu memperdalam
semua cara untuk mengatasinya. Dari perspektif perilaku, pasien dapat
mengurangi penggunaan internet. Sebuah 'pendekatan realitas' juga dianjurkan.
Terapis memberitahu pasien untuk fokus pada perilakunya sendiri dan
menggunakan wawancara motivasi. Menulis buku harian di mana peserta dapat
menuliskan penggunaan ponsel mereka setiap hari juga telah diusulkan.
Terapi perilaku tidak ada sebagai teknik terapi yang berbeda. Istilah "terapi
perilaku-kognitif" (CBT)” adalah istilah yang sangat umum untuk klasifikasi terapi
dengan kesamaan. Ada beberapa pendekatan terapi kognitif-perilaku, termasuk
Terapi Perilaku Emosi Rasional, Terapi Perilaku Rasional, Terapi Hidup
Rasional, Terapi Kognitif, dan Terapi Perilaku Dialektika. Namun, sebagian
besar terapi perilaku kognitif memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. CBT didasarkan pada Model Kognitif dari Respon Emosional


Terapi perilaku kognitif didasarkan pada gagasan bahwa pikiran
kita mempengaruhi perasaan dan perilaku kita, bukan dari eksternal,
seperti orang di sekitar kita, situasi, dan peristiwa. Manfaat dari fakta ini
adalah kita dapat mengubah cara kita berpikir untuk merasa / bertindak
lebih baik bahkan jika situasinya tidak berubah.

2. CBT Lebih Singkat dan Terbatas Waktu


Terapi kognitif-perilaku dianggap paling cepat dalam memperoleh
hasil di antara terapi lainnya. Itu jumlah rata-rata sesi yang diterima
klien (di semua jenis masalah dan pendekatan ke CBT) hanya 16.
Jenis terapi lain, seperti psikoanalisis, bisa memakan waktu bertahun-
tahun. Apa yang memungkinkan CBT menjadi lebih singkat adalah
tingginya sifat instruktif dan fakta bahwa itu memanfaatkan tugas
pekerjaan rumah. CBT terbatas waktu sehingga kami membantu klien
memahami di awal proses terapi bahwa akan ada titik Ketika terapi
formal akan berakhir. Akhir dari terapi formal adalah keputusan yang
dibuat oleh terapis dan klien. Oleh karena itu, CBT bukanlah proses
yang terbuka dan tidak pernah berakhir.

3. Hubungan terapeutik diperlukan untuk terapi yang efektif, tetapi bukan


fokusnya.
Beberapa jenis terapi berasumsi bahwa alasan utama orang menjadi
lebih baik dalam terapi adalah karena hubungan positif antara terapis dan
klien. Terapis kognitif-perilaku percaya bahwa penting untuk memiliki
hubungan yang baik dan saling percaya, tetapi itu tidak cukup. Terapis
CBT percaya bahwa klien berubah karena mereka belajar bagaimana
berpikir secara berbeda dan mereka bertindak berdasarkan pembelajaran
itu. Oleh karena itu, terapis CBT fokus pada pengajaran keterampilan
konseling diri yang rasional.

4. CBT adalah upaya kolaboratif antara terapis dan klien 1040 9.


Teori dan teknik CBT mengandalkan Metode Induktif Terapis perilaku kognitif
berusaha mempelajari apa yang diinginkan klien mereka dari kehidupan (tujuan
mereka) dan kemudian membantu klien mereka mencapai tujuan tersebut. Peran
terapis adalah untuk mendengarkan, mengajar, dan mendorong, sedangkan peran
klien adalah untuk mengungkapkan keprihatinan, belajar, dan menerapkan
pembelajaran itu.

5. CBT tidak didasarkan pada aspek filosofi tabah

Tidak semua pendekatan CBT menekankan ketabahan. Terapi perilaku emotif


rasional, terapi perilaku rasional, dan terapi hidup rasional menekankan aspek
ketabahan. Terapi Kognitif Beck tidak didasarkan pada ketabahan. Terapi perilaku-
kognitif tidak memberi tahu orangorang bagaimana perasaan mereka seharusnya.
Namun, kebanyakan orang mencari terapi tetapi mereka tidak ingin merasakan
apa yang mereka rasakan. Sedangkan pendekatan stoicism mengajarkan manfaat
perasaan. Bahkan di saat terburuk sekalipun, kita bisa tetap tenang saat
dihadapkan pada situasi yang tidak diinginkan. Mereka juga menekankan fakta
bahwa kita memiliki situasi yang tidak diinginkan apakah kita kesal atau tidak. Jika
kita kesal dengan masalah kita, kita memiliki dua masalah - masalah, dan kesal
karenanya.
Kebanyakan orang ingin memiliki jumlah masalah yang paling sedikit. Jadi
ketika kita belajar bagaimana menerima masalah pribadi dengan lebih tenang, kita
tidak hanya merasa lebih baik, tetapi kita biasanya menempatkan diri kita pada
posisi yang lebih baik untuk menggunakan kecerdasan, pengetahuan, energi, dan
sumber daya kita untuk menyelesaikan masalah.

6. CBT menggunakan Metode Socrates

Terapis kognitif-perilaku ingin mendapatkan pemahaman yang sangat baik


tentang kekhawatiran klien mereka. Makanya mereka sering bertanya. Mereka
juga mendorong klien mereka untuk mengajukan pertanyaan tentang diri mereka
sendiri, seperti, "Bagaimana saya benarbenar tahu bahwa orang-orang itu
menertawakan saya?" "Mungkinkah mereka menertawakan hal lain?".

7. CBT terstruktur dan terarah

Terapis kognitif-perilaku memiliki agenda khusus untuk setiap sesi. Teknik atau
konsep khusus diajarkan selama setiap sesi. CBT berfokus pada tujuan klien. Kami
tidak memberi tahu klien kami apa yang "seharusnya" menjadi tujuan mereka, atau
apa yang "seharusnya" mereka toleransi. Kami direktif dalam arti bahwa kami
menunjukkan klien kami bagaimana berpikir dan berperilaku dengan cara untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, terapis CBT tidak
memberi tahu klien mereka apa yang harus dilakukan - melainkan, mereka
mengajari klien mereka bagaimana melakukannya.

8. CBT didasarkan pada model pendidikan

CBT didasarkan pada asumsi yang didukung secara ilmiah bahwa sebagian
besar reaksi emosional dan perilaku dipelajari. Oleh karena itu, tujuan terapi
adalah untuk membantu klien melupakan reaksi yang tidak diinginkan dan
mempelajari cara baru untuk bereaksi. Oleh karena itu, CBT tidak ada
hubungannya dengan "hanya berbicara". Orang bisa "hanya berbicara" dengan
siapa saja. Penekanan pendidikan CBT memiliki manfaat tambahan, yang
mengarah ke hasil jangka panjang. Ketika orang memahami bagaimana dan
mengapa mereka melakukannya dengan baik, mereka tahu apa yang harus
dilakukan untuk terus melakukannya dengan baik.

9. Teori dan teknik CBT mengandalkan Metode Induktif

Aspek sentral dari pemikiran rasional adalah bahwa hal itu didasarkan pada
fakta. Kita sering membuat diri kita kesal karena hal-hal yang pada kenyataannya
tidak seperti yang kita pikirkan. Jika kita tahu itu, kita tidak akan membuang waktu
kita untuk membuat diri kita sendiri kesal. Oleh karena itu, metode induktif
mendorong kita untuk memandang pikiran kita sebagai hipotesis atau dugaan yang
dapat dipertanyakan dan diuji. Jika ternyata hipotesis kita salah (karena kita
memiliki informasi baru), kita dapat mengubah pemikiran kita agar sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.

10. Teori dan teknik CBT mengandalkan Metode Induktif

Ketika Anda mencoba mempelajari tabel perkalian Anda, Anda hanya


menghabiskan satu jam per minggu untuk mempelajarinya. Maka Anda mungkin
masih bertanya-tanya apa itu 5 X 5. Anda mungkin menghabiskan banyak waktu
di rumah mempelajari tabel perkalian Anda, mungkin dengan kartu flash. Sama
halnya dengan psikoterapi. Pencapaian tujuan (jika diperoleh) bisa memakan
waktu yang sangat lama jika seseorang hanya memikirkan teknik dan topik yang
diajarkan adalah selama satu jam per minggu. Karena itu, terapis CBT
memberikan tugas membaca dan mendorong klien mereka untuk mempraktikkan
teknik yang dipelajari.

b) Support Group Therapy

Wynee (2008) menjelaskan konseling kelompok adalah konseling yang


dilakukan dalam situasi kelompok dimana setiap anggota kelompok memiliki
kemampuan dalam kondisi yang nyaman dan tidak melakukan intervensi. Sweetland,
et al (2004) menggambarkan kelompok pendukung sebagai individu dengan masalah
dan kebutuhan yang sama yang dapat berbagi pengalaman dan saling membantu
melalui masa-masa sulit sehingga dapat memperoleh kesehatan dan kesejahteraan
yang lebih baik bagi semua anggota. Kelompok pendukung juga disebut sebagai
“tempat penyembuhan” bagi orang-orang yang berada di dalamnya dan
membutuhkannya. Mereka akan menyembuhkan diri sendiri dan saling membantu
untuk melakukan hal yang sama (Sweetland, 2004).
Kelompok dukungan terapeutik (Nayak, 2007) hampir sama dengan kelompok
swadaya yang berfokus pada masalah yang sama. Perbedaannya terletak pada
penanganan support group dimana pengobatannya ditangani oleh lembaga konseling
profesional atau hukum. Ada tiga keuntungan pendukung terapi kelompok menurut
Townsend (2009), yaitu keterbukaan antar anggota kelompok terhadap anggota dan
menerima informasi dan pendapat anggota lain, kesediaan kelompok untuk
mendahulukan kepentingan kelompok dengan menekan kepentingan pribadi dalam
rangka mencapai tujuan kelompok, dan yang terakhir adalah kemampuan
mengungkapkan secara emosional aturan dan norma yang telah disepakati oleh
kelompok. Selain kelebihan ada juga kelemahan. Kelemahan yang ada yaitu
disebabkan oleh waktu terapi yang membutuhkan waktu kurang untuk menyampaikan
secara detail. Kelemahan lainnya adalah harus ada jarak antar anggota kelompok
yang terpisah untuk kualitas dan kuantitas (Townsend, 2009).

H. Studi Kasus Adiksi Pornografi Pada Remaja


1. KASUS 1
Judul Artikel : STUDI KASUS KECANDUAN PORNOGRAFI PADA
REMAJA
Nama Jurnal : Motiva Jurnal Psikologi
Penulis : Diana Imawati dan Meyritha Trifina Sari
Sampel : Dua orang remaja berusia 12-15 tahun yang terindikasi
mengalami kecanduan konten pornografi.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Yaitu penilitian yang bertujuan untuk mengetahui,
mendeskripsikan serta menganalisis kecanduan pornografi pada remaja. Teknik
analisa data yaitu tehnik analisis data model interaktif yang terdiri dari tahapan
pengumpulan data dengan metode observsai, wawancara dan jika diperlukan
psikotes kecerdasan atau inteligensi, reduksi atau (penyederhanaan) data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi).
Hasil dan Pembahasan : hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua remaja
yang ditenggarai sebagai pecandu videoporno mengaku bahwa diri mereka
menyenangi aktifitas menonoton karena hal tersebut memancing rasa penasaran
dan menimbulkan sensasi yang menyenangkan. Melihat tontonan tersebut
membuat rasa ingin melakukan meski hal tersebut belum pernah terjadi. perilaku
yang ditimbulkan akibat tontonan tersebut adalah diakui oleh subjek penelitian FT
yaitu perilaku atau aktifitas pacaran yang diwarnai dengan pelukan, berciuman
sederhana (pipi) hingga berciuman dengan teknik “French kiss” dan tangan yang
saling meraba dan tubuh saling merapat dan bersentuhan alat kelamin meski
berbatas pakaian.
Cara kerja pornografi dalam merusak PFC yaitu berasal dari hormone
dopamine yang membanjiri PFC sehingga kemampuan dasar PFC yaitu
perencanaan masa depan, memahami, mengendalikan diri, berfikir kreatif,dan ini
adalah bagian dari kepribadian manusia menjadi tidak dapat bekerja maksimal
sehingga menjadi tumpul dan secara berkala kepribadian seseorang berubah.
Seseorang yang sebelumnya memiliki kepribadian : tenang, mampu
menyelesaikan masalah dengan maksimal dan efektif, pengendalian emosi yang
sebelumnya sangat baik bisa menjadi rusak dan tidak terkontrol. Hal ini yang
terjadi pada 2 (dua) subjek penelitian dalam penelitian ini, terbukti bahwa
kemmapuan menghapal, konsentrasi dan sosial kedua subjek remaja mengalami
penuruanna ini berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada significant
others yaitu kedua orangtua dari masing-masing subjek. Ditambah dengan
pengakuan dari kedua subjek sendiri dengan landasan prestasi akademik dan non
akademik serta lingkungan sosial yang dialami.
2. KASUS 2
Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Kebijakan Pendidikan Volume 11,
Nomor 2, Agustus 2018
Penulis : Rahma Astuti
Sampel : Survey dilakukan di empat kabupaten/kota yaitu
Jakarta, Semarang, Bantul dan Banda Aceh dengan sampel
berjumlah 16sekolah dengan komposisi 8 SMP dan 8
SMA.
Metode Penelitian : Skrining tingkat adiksi pornografi dilakukan dengan
teknik survey pada sasaran siswa SMP dan SMA, mulai tingkat 7 sampai 12. Kajian
survey ini diakukan pada sasaran daerah yaitu kota Jakarta, Banda Aceh,
Semarang dan Kabupaten Sleman.
Hasil dan Pembahasan : Lebih dari separuh responden (58,9%) mengaku
pertama kali mengakses pornografi pada usia 12–15 tahun. Sebagiannya lagi
(24,3%) mengaku pertama kali mengakses konten pornografi pada usia di bawah
12 tahun. Usia awal keterpaparan konten pornografi ini hampir sama dengan
temuan penelitian yang dilakukan oleh Rumyeni dkk (2013) bahwa lebih dari 90
persen remaja di Kota Pekanbaru telah mengakses materi pornografi di media
massa pada usia 15 tahun ke bawah. Pada survey ini juga ditemukan bahwa pada
usia 12 – 15 tahun, lebih banyak siswa laki-laki yag sudah mulai terpapar
pornografi dibandingkan siswa perempuan. Grafik berikut ini memperlihatkan
gambaran usia pertama kali terpapar konten pornografi. Yang menjadi alasan
terbesar responden pada saat pertama kali mengakses pornografi adalah karena
tidak sengaja (65,3%) dan rasa ingin tahu (16,1%). Jika dibandingkan antara laki-
laki dan perempuan, maka jumlah perempuan jauh lebih banyak yang beralasan
tidak sengaja pada saat pertama kali mengakses pornografi dibandingkan laki-laki.
Sebaliknya, siswa laki-laki lebih banyak yang beralasan karena rasa ingin tahu
saat pertama kali mengakses pornografi dibandingkan siswa perempuan. Dari
berbagai media yang dapat dipergunakan untuk mengakses pornografi, urutan
jenis media terbanyak ketika pertama kali diakses responden adalah situs internet
(39,2%), media sosial (17,6%) dan games (16,1%). Tempat pertama kali
responden mengakses pornografi, urutan terbanyak adalah di rumah (51,7%) dan
di warnet (20,6%). Pada tingkat adiksi menunjukkan bahwa hampir semua siswa
(91,6%) sudah terpapar konten pornografi. Ada 6,3% yang sudah tergolong adiksi
ringan. Selanjutnya untuk kelompok adiksi pornografi taraf berat, ada 4 orang
siswa yang terdeteksi. Keempat siswa tersebut berasal dari kelas 7, kelas 8, kelas
11 dan kelas 12, Mereka berasal 1 orang dari Sleman, 1 orang dari Jakarta dan 2
orang dari Semarang. Keempat siswa tersebut dapat diketahui statusnya sebagai
berikut 2 orang laki-laki dan 2 orang lagi perempuan. Selanjutnya diketahui bahwa
2 orang yang berusia 13 tahun dan 2 orang lagi berusia 17 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Andaryani, D., (2013). Perbedaan Tingkat self control pada remaja laki-laki dan remaja
perempuan yang kecanduan internet. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 2(3), 206-214.

Azizah, K. N. (2021). Akses ke Situs Porno Meningkat Selama Pandemi COVID-19, Ini
Bahayanya Baca artikel detikHealth, “Akses ke Situs Porno Meningkat Selama Pandemi
COVID-19, Ini Bahayanya” selengkapnya https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
5721105/akses-ke-situs-porno. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
5721105/akses-ke-situs-porno-meningkat-selama-pandemi-covid-19-ini-bahayanya
Fitri, E., Erwinda, L., & Ifdil, I. (2018). Konsep Adiksi Game Online dan Dampaknya terhadap
Masalah Mental Emosional Remaja serta Peran Bimbingan dan Konseling. Jurnal
Konseling Dan Pendidikan, 6(3), 211–219. https://doi.org/10.29210/127200
Greenfield, P.M. (2004). Inadvertent Exposuren to Phornograpy on the Internet Development
and Famillies. Los Angeles California: Journal of Apllied Developmental Psychology,
Volume 25, Issue 6,November – December 2004.
Haidar, G., & Apsari, N. C. (2020). Pornografi Pada Kalangan Remaja. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 7(1), 136.
https://doi.org/10.24198/jppm.v7i1.27452
Hilman Al Madani, d. (2019). INTERVENSI PENDIDIKAN SEKSUALITAS DALAM
MENGUBAH SIKAP REMAJA AWAL TERHADAP PORNOGRAFI. Forum Ilmiah,
150-165.
Hariyani, M., Mudjiran, M., & Syukur, Y. (2017). Dampak Pornografi Terhadap Perilaku Siswa
dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya. Konselor, 1(2), 1–8.
https://doi.org/10.24036/0201212696-0- 00
Imawati, D., & Sari, M. T. (2019). Studi kasus kecanduan pornografi pada remaja. MOTIVA:
JURNAL PSIKOLOGI, 1(2), 56-62.

KP3A. (n.d.). PANDEMI COVID-19, ANAK-ANAK RENTAN JADI KORBAN EKSPLOITASI


DAN PORNOGRAFI DI RANAH DARING.
Mariyati, ,. N. (2020). Cognitive Behavioural Therapy And Self Help Group For Anxiety In
Adolescence with Pornography Addiction. Buku Proceeding Unissula Nursing
Conference, 122-132.
Maisya, I. B., & Masitoh, S. (2020). Derajat Keterpaparan Konten Pornografi Pada Siswa
Smp Dan Sma Di Dki Jakarta Dan Banten Indonesia. Jurnal Kesehatan Reproduksi,
10(2), 117–126. https://doi.org/10.22435/kespro.v10i2.2463
Rahmawati, D.V, Hadjam, N.R, Afiatin, T. (2002). Hubungan Antara Kecenderungan perilaku
Mengakses Situs Porno dan Religiusitas Pada Remaja. Journal Psikologi No.1, 1-13.

Reisman, J. (2003). The psychoharmacology of pictorial pornography, restructuring brain,

mind & memory & subverting freedom of speech. The Institute for Media Education.

Zahrah Nabila Putri, d. (2017). PORN ADDICTION AND COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY
IN YOUNG. Proceedings of INTCESS 2017 4th International Conference on
Education and Social Sciences, 1036-1042.

Anda mungkin juga menyukai