Anda di halaman 1dari 5

Peserta didik mempunyai kecenderugan pesimis dalam mempelajari matematika karena rasa-

rasanya dianggap sebagai mata pelajaran yang sukar dan menakutkan. Ketika peserta didik
mengalami masalah nyata dalam kehidupan mulai dari yang simpel hingga kompleks, diharapkan
peserta didik dapat menyelesaikan masalahnya dengan ragam metode matematika yang telah
diajarkan sehingga dapat membuat keputusan yang tepat. Jika saja kecenderungan pesimis dalam
mempelajari matematika terus berkembang dan tumbuh, hal tersebut akan menjadi penghambat
peserta didik dalam berpikir dan menghadapi masalah matematis. Oleh karena itu dibutuhkan
self-efficacy yang kuat pada diri peserta didik agar bisa mensukseskan proses belajar
matematika. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Hacket & Betz
(dalam Arief Kuswidyanarko, 2017 hlm. 105) yang menyatakan bahwa pengaruh dari self-
efficacy terhadap prestasi matematika itu sangatlah kuat, sekuat pengaruh kemampuan mental
pada umumnya. Self-efficacy juga mempengaruhi motivasi yang juga berhubungan dengan
kesuksesan peserta didik.

Self-efficacy

Efikesi diri merupakan dimensi penting untuk pemecahaan masalah dalam matematika.dalam
(Permen, nomor 54, tahun 2013) tentang SKL (Standar Kompetensi Lulusan) bagi tingkat
pendidikan dasar dan menengah dalam pembelajaran matematika Efikesi diri dituntut untuk
dikembangkan.

Baron dan Byrne (dalam Andriana Rian, 2019) menjelaskan, “Efikasi diri akademik dapat
diartikan sebagai keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu untuk melakukan tugas akademik
yang diberikan dan menandakan level kemampuan dirinya”.

Park dan Kim (dalam Andriana Rian, 2019) menyebutkan, “Efikasi diri akademik sangat penting
bagi pelajar untuk mengontrol motivasi, mencapai harapan-harapan akademis. Efikasi diri
akademik jika disertai dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan pemahaman pemahaman prestasi
akademik, maka akan menjadi penentu suksesnya perilaku akademik dimasa yang akan datang”.
Selanjutnya menurut Baron dan Byrne (dalam Andriana Rian, 2019) menjelaskan, “Efikasi diri
akademik dapat diartikan sebagai keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu untuk melakukan
tugas akademik yang diberikan dan menandakan level kemampuan dirinya”. Dari beberapa
pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan self-efficacy atau efikesi diri
pada dasarnya merupakan kemampuan penilaian, terlepas penilaian itu terhadap orang lain
ataupun terhadap diri sendiri. Lebih jelasnya bahwa efikesi diri adalah kemampuan untuk menata
segala sesuatu yang berhubungan dengan pribadinya semisal pilihan tindakan, keinginan atau
harapan juga kemampuan untuk menghadapi situasi sulit dengan harapan bisa mencapai tujuan
yang diinginkan, semuanya akan dapat terlihat dengan ragam pilihan tindakan-tindakan seorang
apakah orang tersebut memiliki efikesi yang baik atau kurang.

NCTM (2000) mengemukakan “tujuan diberikannya koneksi matematika kepada siswa sekolah
menengah (IX-XII) adalah: (a) Memperluas wawasan pengetahuan siswa; (b) Memandang
matematika sebagai satu kesatuan, dan bukan sebagai materi yang berdiri sendiri; (c) Mengenali
relevansi dan manfaat baik di sekolah maupun diluar sekolah”.Selain itu NCTM (Andriani Dian
dkk, 2019) menyatakan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah hal penting yang harus
dikuasai oleh siswa karena akan membantu dalam menguasai pemahaman konsep dan membantu
dalam menyelesaikan pemecahan masalah. Jika siswa tidak memiliki kemampuan koneksi
matematis dengan baik maka siswa tersebut akan banyak mengingat dan menghafal konsep
matematika yang saling terpisah. Apabila siswa memiliki kemampuan ini maka pemahaman
matematikanya akan lebih mendalam dan lebih tahan lama. Bahkan siswa akan cenderung lebih
cerdas dalam menyelesaikan masalah nyata.

Namun sangat disayangkan berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan


sebelumnya menunjukan kemampuan koneksi matematis peserta didik diIndonesia masihlah
rendah. Berdasarkan penelitian Saminanto & Kartono (dalam Susilawati dkk, 2021)
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematis siswa sekolah menengah masih
rendah, yakni hanya berada pada nilai 34%. Sejalan dengan hal itu Manalu, Septiahani,
Permaganti, Melisari, & Yeti (dalam susilawati dkk, 2021) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa kemampuan koneksi matematis siswa sedang, ini terlihat dari persentasi kesalahan yang
dilakukan siswa pada indikator mengenali dan menerapkan matematika dalam kontek-kontek di
luar matematika.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Badjeber & Fatimah (dalam Susilawati dkk, 2021)
juga menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematis siswa sekolah menengah
masih rendah, yakni hanya berada pada nilai 34% siswa yang dapat mengkoneksikan antara ide
matematis.Ulya, Irawati, & Maulana(dalam susilawati dkk, 2021) mengemukakan juga bahwa
berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terlihat bahwa kemampuan siswa dalam
mengkoneksi ide-ide antar matematika masih kurang. Hal ini terjadi dikarenakan masih adanya
anggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, menakutkan dan hanya sebatas
hapalan yang cukup dihapal saja tanpa memandang adanya kaitan dari materi tersebut dengan
materi lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa kemungkinan yang menjadi masalah adalah
kemampuan koneksi matematis siswa yang masih rendah.

Wahyudin (dalam Andriana Rian, 2019) menarik kesimpulan dari penelitiannya mengenai
penyebeb rendahnya kemampuan koneksi matematis diantaranya sebagai berikut:
Rendahnya tingkat pencapaian kemampuan koneksi matematis di sebabkan oleh
salah satu faktornya adalah cara mengajar guru, jadi di lihat masih banyak sekali
guru mengajar dengan komunikasi satu arah (one way traffic communication),
sehingga guru mengambil peran sebagai pemberi ilmu pengetahuan saja,
sedangkan siswa diperlakukan sebagai audiens atau penerima ilmu pengetahuan
yang saja.

Dari fakta diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya tingkat penguasaan koneksi
matematis siswa diduga karena tindakan yang dilakukan di dalam kelas yang tidak mendukung
untuk terjadinya proses yang mengarahkan pada kebiasaan berfikir dan bernalar seperti yang
diharapkan yaitu berfikir secara terstruktur serta saling terhubung dikenal dengan istilah
terkoneksi, ini jelas permasalahan dalam dunia pendidikan karena sistem doktrinasi secara verbal
tanpa diikuti dengan kemampuan membangun pikiran siswa oleh guru, jelas hanya akan
menyebabkan pembelajaran matematika kurang bermakna. Padahal inilah yang seharusnya
menjadi perhatian terutamanya bagi seorang pendidik yang bertanggung jawab mengembangkan
pikiran siswa agar pembelajaran di kelas memberikan makna dan nilai positif dalam kehidupan
setiap siswa. Semua perbaikan yang dilakukan oleh guru seharusnya merujuk kepada tujuan
peningkatan kemampuan siswa agar kemampuan matematis siswa tidak rendah.

Rendahnya tingkat pencapaian kemampuan koneksi matematis di sebabkan oleh salah satu
faktornya adalah cara mengajar guru, jadi di lihat masih banyak sekali guru mengajar dengan
komunikasi satu arah (one way traffic communication), sehingga guru mengambil peran sebagai
pemberi ilmu pengetahuan saja, sedangkan siswa diperlakukan sebagai audiens atau penerima
ilmu pengetahuan saja.

Berdasarkan (Permendikbud, nomor 104, tahun 2014) tentang hasil belajar “Selain
kemampuan kognitif yang penting yang harus dimiliki siswa, kemampuan afektif juga menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan di indonesia. Kemampuan afektif
tersebut adalah efikasi diri (self-efficacy)”.

Widyastuti (dalam Armania, 2016) menemukan bahwa secara umum self-efficacy


matematika siswa masih tergolong rendah, bahkan 40,69% diantaranya termasuk dalam kategori
sangat rendah. Hasil serupa juga diperoleh Nursilawati (dalam Mayestika, 2016, hlm. 4)
didapatkan ada 68% dari keseluruhan yaitu 100 siswa memiliki self-efficacy yang rendah.

Berdasarkan teori yang ada efikesi merupakan pilihan tidakan-tindakan yang dilakukan oleh
seorang peserta didik. Semuanya itu tidaklah bisa dipastikan bahwa setiap siswa yang
berwawasan luas dan memiliki kemampuan matematis tinggi dia dipastikan memiliki efikesi
yang tinggi pula. Disini bisa di pahami dan dilihat dari dua penelitian diatas secara persentasi
lebih dari setengahnya siswa dalam satu kelas memiliki kemampuan self-efficacy yang rendah,
dugaan inilah yang pada kesempatan penelitian ini akan di siapkan sebuah alterlatif untuk
menjawab permasalahan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas kemampuan matematika yaitu dalam konteks ini adalah koneksi
matematis dan jugs self-efficacy siswa didapat data yang menunjukan bahwa kemampuan
tersebut masih rendah, sehingga diperlukan pembelajaran dengan model yang mampu membantu
siswa dalam proses belajar di dalam kelas agar pembelajaran menjadi lebih menarik dan
kemampuan siswa dalam matematika dapat meningkat. Dari banyaknya model pembelajaran
yang ada, peneliti memilih model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending) dengan harapan, model pembelajaran inilah yang bisa memberikan solusi untuk
permasalahan rendahnya kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa SMA

CORE merupakan singkatan dari suatu model pembelajaran yang terdiri dari empat kata
yang memiliki kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran, yaitu Connecting, organizing,
reflecting, extending (Suyatno dalam Hartawan Yudi dkk, 2018). Proses pembelajaran dengan
menerapkan Model pembelajaran CORE mengharapkan siswa mampu mengonstruksikan
pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru
dengan pengetahuan lama, kemudian memikirkan kembali konsep yang sedang dipelajari serta
diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka dalam proses pembelajaran yang
berlangsung. Penerapan model pembelajaran CORE dalam proses pembelajaran sangat
ditekankan pada aktivitas berpikir siswa, sehingga setiap aspek dalam model pembelajaran ini
membantu siswa dalam mengkrontrusikan konsep-konsep dalam materi sehingga memberikan
pemahaman konsep yang dipelajari oleh siswa.

Berdasarkan uraian diatas model pembelajaran CORE dapat menjembatani siswa untuk
menghubungkan koneksi antara konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika
dengan keilmuan diluar disiplin ilmu matematika seperti fisika, biologi ,kimia , dll, serta mampu
menghubungkan ide-ide matematika kepada aktivitas sehari - hari. Dikarenakan Pembelajaran
CORE sendiri salah satu tahapannya Connecting yang menghubungkan dan mengorganisasikan
pengetahuan baru dengan pengetahuan lama. Serta Kemampuan Koneksi Matematis sendiri
berdasarkan NCTM difokuskan Pada siswa kelas IX sampai XII, Oleh kerena itu, peneliti
merasa berkeinginan untuk melaksanakan sebuah penelitian dengan judul “peningkatan
kemampuan koneksi dan self-efficacy matematis siswa SMA melaluai model pembelajaran
CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending)”.

Anda mungkin juga menyukai