Anda di halaman 1dari 2

Bagaimanakah pembagian harta milik bersama ini apabila terjadi perceraian?

Barang-barang milik bersama ini dibagi antara kedua belah pihak, suami dan isteri, masing-
masing pada umumnya menerima separuh. Tetapi ada beberapa daerah yang mempunyai
kebiasaan membagi sedemikian rupa, sehingga suami mendapat dua-pertiga dan isteri
mendapat sepertiga, seperti halnya di beberapa daerah Jawa Tengah yang disebut dengan asas
“sagendong sapikul”.
Asas suami mendapat dua-pertigabdan isteri mendapat sepertiga ini terdapat juga di pulau
Bali yang disebut dengan “sasuhun sarembat”. Asas ini juga ada di kepulauan Banggai.
Tetapi pada waktu sesudah perang dunia kedua ini, perkembangan menunjukan dengan jelas,
bahwa kebiasaan asas “sagendong sapikul” atau “sasuhun sarembat” lambat laun akan
lenyap, karena tidak sesuai dengan keinsyafan masyarakat Indonesia yang makin lama makin
kuat, bahwa hal ini harus ada persamaan hak antara wanita dan pria.
Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 25 Februari 1959 Reg. No. 387 K/Sip./1958
menyatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, seorang janda
mendapat separuh dari harta gono-gini.
Keinsyafan mayarakat Indonesia, bahwa harus ada persamaan hak antara wanita dan pria ini,
dalam kwartal kedua tahun 1960 telah dinyatakan dalam keputusan Mahkamah Agung,
tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip./1960 yang menetapkan bahwa harta pencarian itu
harus dibagi sama rata antara suami isteri.
Kalau salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua hak milik bersama itu tetap berada di
bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak yang
masih hidup itu berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama itu guna keperluan
hidupnya. Tetapi apabila untuk keperluan ini ternyata disediakan terlalu berlebihan maka
dapat dibagi oleh para ahli warisa. Kalau ada anak, maka anak itulah yang menerima
bagiannya sebagai barang asal.
Sedangkan kalau tidak ada anak, maka sesudah meninggalnya suami atau isteri barang-
barang tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat isteri menurut pembagian yang
oleh suami isteri.
Selama seorang janda belum kawin lagi, barang-barang gono-gini yang dipegang olehnya
tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin penghidupannya. (Putusan Mahkamah Agung,
tanggal 18 Juli 1959 Reg. No. 189/K/Sip./1959).
Menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 Reg. No. 258 K/Sip./1959,
pembagian gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain daripada anak atau isteri (suami)
dari yang meninggalkan gono-gini. Meskipun sangat jarang terjadi, tetapi ada kemungkinan
pembagian milik bersama ini oleh suami dan isteri terjadi semasa perkawinan masih berjalan,
asalkan ada persetujuan bersama antara suami dan isteri yang bersangkutan. Pembagian ini
dapat diwujudkan dalam bentuk yang diinginkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau
dalam bentuk hibah.
6. BARANG-BARANG HADIAH PADA WAKTU PERNIKAHAN
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya
diperuntukan mempelai bersua, oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta
milik bersama suami isteri.
Di pulau Madura, barang-barang demikian ini disebut “barang pembawaan”. Terhadap
“barang pembawaan” ini di Madura ditetapkan ukuran pembagian yang lain daripada ukuran
pembagian bagi barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan yang disebut “ghuna-
ghana”. Dari barang pembawaan itu suami isteri masing-masing mendapat separuh,
sedangkan dari barang ghuna-ghana suami mendapat dua-pertiga dan isteri hanya mendapat
sepertiga.
Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu terjadi pemberian barang atau kadang-kadang
uang kepada isteri dari bakal suami atau dari anggota famili. Barang-barang pemberian
perkawinan kepada isteri adalah misalnya jiname di Aceh, hoko di Minahasa, sunrang di
bagian terbesar Sulawesi Selatan.
Di daerah Tapanuli terdapat pula kebiasaan adat untuk memberi barang perhiasan kepada
bakal isteri pada saat pernikahan. Barang ini tetap menjadi milik isteri itu sendiri. Bahkan
apabila suami mengambil perhiasan itu untuk kepentingan sendiri, maka perbuatan itu dapat
menjadi salah satu alasan bagi isteri memohon kepada hakim perceraian dari suaminya.
Pada suku Batak, terdapat kebiasan adat pemberian tanah kepada bakal isteri oleh keluarga
isteri itu sendiri pada saat bakal isteri itu menikah. Tanah ini disebut “pauseang” dan tanah ini
tetap menjadi milik isteri.
Sebagai pengecualian terhadap asas umum ini dikenal dengan sebutan “hokas” di daerah
Tapanuli. Hokas ini adalah berujud perlengkapan rumah tangga yang sering diberikan kepada
bakal isteri pada perkawinan dengan jujur. Hokas ini adalah barang pembawaan yang
diberikan oleh ayah bakal isteri.
Hokas yang diberikan kepada mempelai isteri itu menjadi milik suami. Hal ini kiranya lebih
dapat dimengerti apabila barang-barang pembawaan itu dilihat seakan-akan suatu jasa
balasan dari ayah isteri terhadap jujuran yang telah ia terima.

Anda mungkin juga menyukai