MAKALAH
Disusun Oleh :
Nurul Hidayah 1901016091
Nabila Anis Saputri 1901016095
Muhammad Isyfa’lana 1901016100
Abdullah Akmal K 1901016101
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika kita renungi judul makalah ini maka memang terdengar ringan
diucapkan akan tetapi jika memang kita terapkan maka akan semakin
mendalamkan keyakinan kita bahwa al-Qur’an sangat penting dibaca,
dipelajari, digali, dipahami, di jiwai, dan diaktualisasikan dalam kehidupan
nyata. Bagaimana upaya kita membangun generasi pengamal al-Qur’an, yang
menjunjung tinggi al-Qur’an, berpegang teguh kepada al-Qur’an, cinta
terhadap al-Qur’an dan bangga dengan al-Qur’an. Inilah yang akan menjadi
topik pembahasan kami pada hari ini, yaitu “Membangun Generasi Qurani”.
Berlandaskan surat Al Qashas Ayat 26, yakni :
ُت ا ْستَْأ ِجرْ هُ ۖاِ َّن خَ ْي َر َم ِن ا ْستَْأ َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ ااْل َ ِميْن
ِ َت اِحْ ٰدىهُ َما ٰيٓاَب
ْ َقَال
Dipenghujung ayat yang kita simak tadi terdapat kalimat Alqawiyyul amiin
yang artinya kuat nan dipercaya. Dua sifat ini menyifati sesosok pemuda
bernama Musa.Yang pertama Al qawwi, Dalam surat Albaqarah ayat 247
menggambarkan sosok yang kuat dengan yakni memiliki ilmu yang luas dan
tubuh yang perkasa. Kita membutuhkan generasi-generasi seperti ini. Berotak
cerdas, berwawasan luas, dan mau bekerja keras. Maka pribadi yang berilmu
dan memiliki etos kerja akan sanggup membangun dan menjalankan Syariat
Islam tersebut sebagaimana mestinya.
Maka Jika kita jadi pedagang jauhi penyelewengan dalam pekerjaan. Jika kita
jadi wartawan, jauhi mengada-ngada dalam berita. Jika kita jadi suami atau
1
istri, jauhi berselingkuh diluar rumah, jika kita jadi pejabat, jauhi korupsi
kolusi dan nepotisme. Sikap dan pribadi inilah yang kita butuhkan untuk
membangun generasi qur’ani.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
yang bathil buatan manusia. Seperti digambarkan Rasulullah SAW :
“Sewaktu Aisyah RA, ditanya tentang budi-pekerti Rasul Shallahu alaihi wa
sallam, ia berkata : “Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an menjadi satu-satunya sumber bagi kehidupan mereka, menjadi
ukuran, dan dan dasar berpikir mereka. Ketika itu, bukan manusia tidak
memiliki peradaban di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Bukan.
Justru saat itu peradaban Romawi, ilmu pengetahuan, dan hukum Romawi,
yang sekarang masih menjadi ciri atau ideologi Eropa. Bahkan terdapat
pengaruh peradaban Yunani, yang begitu kuat, di dalam kehidupan, sumber
peradaban materi, yang sekarang terus mengalami dekadensi, yang menuju
kehancurannya.
Mengapa generasi pertama dakwah ini, membatasi diri, dan tidak mau
menerima berbagai peradaban dan pemikiran yang ada waktu, dan sudah
sangat maju? Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ingin membentuk sebuah
generasi baru, yang dikenal dengan “Generasi Qur’ani”. Mereka yang benar-
benar hidup dibawah naungan Al-Qur’an. Tidak hidup dibawah pengaruh
atau terkontaminasi dengan peradaban Romawi dan Yunani, yang merupakan
induk dari peradaban materialisme. Ada peradaban India, Cina, Romawi,
Yunani, Persia, semuanya mengelilingi jazirah Arab dari Utara dan Selatan.
Agama Yahudi dan Nashrani juga hidup di jazirah Arab, yang melahirkan
peradaban dan budaya paganisme.
Rasulullah SAW membatasi para Shahabat, yang ingin membentuk sebuah
generasi baru, yang akan menjadi suri tauladan, bagi seluruh umat manusia,
sepanjang sejarahnya. Tidak mungkin Islam akan dapat menjadi sebuah
peradaban baru, yang akan membangun kehidupan umat manusia dengan
sebuah minhaj baru, yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk
perbudakan yang ada. Rasulullah SAW hanya membatasi para Shahabat
dengan Al-Qur’an, dan nilai-nilai kemuliaan yang ada dalam Al-Qur’an.
Rasulullah SAW dengan rencananya, khususnya dalam periode ‘formatifnya’
(pembentukan), tidak memberi kesempatan kepada para Shahabat sedikitpun
4
mereguk nilai-nilai diluar Al-Qur’an. Al-Qur’an yang Beliau terima dari
Malaikat Jibril disampaikan kepada para Shahabat, dan mereka
mengamalkannya dengan penuh keimanan. Karena itu, generasi pertama yang
merupakan bentukan Rasulullah SAW, merupakan generasi paling mulia,
generasi yang merupakan kelompok yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai
‘asy-syabiquna awwalun’ (mereka yang pernah istijabah menerima Al-
Qur’an), dan istijabah terhadap dakwah Rasulullah SAW.
Maka, ketika itu, Rasulullah SAW marah kepada Umar bin Khatthab, waktu
itu melihat Umar di tangannya ada selembar buku Taurat. Beliau bersabda :
“Demi Allah, seandainya Nabi Musa hidup di kalangan kamu sekarang ini, ia
pasti mengikuti saya”. (HR. al-Hafiz Abu Ya’ala, dari Hammad, dari as-Syabi
dari Jabir)
5
baru dalam kehidupan ummat manusia, yang sebelumnya dibelenggu
peradaban jahiliyah yang menyembah berhala dan materialisme, dan telah
membawa kesesatan bagi kehidupan manusia di Makkah telah berakhir.
يَقُو ُلkْت َرسُو َل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم َ َع َْن َأبي ُأ َما َمةَ ْالبَا ِهلِ ُّى رضى هللا عنه ق
ُ ال َس ِمع
ا ْق َر ُءوا ْالقُرْ آنَ فَِإنَّهُ يَْأتِى يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َشفِيعًا َألصْ َحابِ ِه.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
Al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah.
Lalu bertanya kepada penghafalnya,“Kamu kenal saya? Sayalah membuat
kamu bergadang tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di
siang harimu… ” kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya,
dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan
dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami
bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu
6
belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan al-
Albani).
7
untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya” (HR.
Ibnu Majah).
8
mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan lepas darinya dan
tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua kali. (HR al-
Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim). Agar para orangtua dapat
mengarahkan anak melangkah menuju ilmu, belajar, serta mencintai ilmu
dan ulama, ada beberapa hal penting yang harus ditempuh:
a. Tanamkan bahwa menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt.
Kecintaan anak kepada Allah, yang seyogyanya sudah terlebih dulu
ditanamkan, akan memunculkan ketaatan pada perintah-Nya dan
takut akan azab-Nya, termasuk dalam menuntut ilmu. Cinta dan
takut kepada Allah akan memunculkan sikap konsisten dalam
mencari ilmu tanpa bosan dan dihinggapi rasa putus asa.
b. Tanamkan bahwa al-Quran adalah sumber kebenaran.
Al-Quran sebagai sumber kebenaran (QS al-Maidah [5]: 48) sejak
awal harus disampaikan oleh orangtua kepada anak. Semua yang
benar menurut al-Quran itulah yang harus dan boleh dilakukan. Ini
memerlukan keteladanan orangtua. Dengan begitu, anak akan
melihat realisasi al-Quran sebagai sumber kebenaran dalam setiap
perilaku orangtuanya. Begitu pula ketika menilai suatu keburukan,
semuanya dinilai dengan standar al-Quran.
c. Ajarkan metode belajar yang benar menurut Islam.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab As-
Syakhshiyah al-Islâmiyyah jilid 1, bahwa Islam mengajarkan metode
belajar yang benar, yaitu:
• Mempelajari sesuatu dengan mendalam hingga dipahami apa
yang dipelajari dengan benar.
• Meyakini ilmu yang sedang dipelajari hingga bisa dijadikan dasar
untuk berbuat.
• Sesuatu yang dipelajari bersifat praktis, bukan sekadar teoretis,
hingga dapat menyelesaikan suatu masalah.
Dalam mempelajari alam semesta, misalnya, dikatakan secara
teoretis bahwa bulan mengelilingi bumi. Untuk menjadikannya
9
sebagai pemahaman yang mendalam haruslah anak diajak melihat
fakta bulan, yang dari hari ke hari berubah bentuk dan besarnya.
Dengan demikian, anak pun menjadi yakin bahwa perubahan tanggal
setiap harinya adalah karena peredaran bulan. Dengan begitu, ia
dapat mengetahui bahwa menentukan tanggal satu Ramadhan,
misalnya, adalah dengan melihat bulan.
d. Memilihkan guru dan sekolah yang baik bagi anak.
Guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas
di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan
ilmu. Para Sahabat dan Salaf ash-Shâlih sangat serius di dalam
memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka.
Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyâsah, mengatakan, “Seyogyanya
seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang mempunyai
kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam
mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak
kasar di hadapan muridnya.”
Imam Mawardi (dalam Nashîhah al-Mulûk hlm. 172) menegaskan
urgensi memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Wajib
bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi
anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan
baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil
akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang
diambil dari orangtuanya sendiri.”
Begitupun memilihkan sekolah yang baik yang di dalamnya
diajarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama, apalagi
yang merusak akidah anak-anak Muslim. Banyak orangtua memilih
sekolah untuk anaknya sekadar agar anak dapat memperoleh ilmu
dan prestasi yang bagus, tetapi lupa akan perkembangan kekokohan
akidah dan akhlaknya.
Namun demikian, tentulah guru yang paling pertama dan utama
10
adalah orangtuanya, dan sekolah yang paling pertama dan utama
adalah rumah tempat tinggalnya bersama orangtua.
e. Mengajari anak untuk memuliakan para ulama.
Abu Umamah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda (yang artinya): Ada tiga manusia, tidak ada yang
meremehkan mereka kecuali orang munafik. Mereka adalah
orangtua, ulama, dan pemimpin yang adil. (HR ath-Thabrani).
Ulama adalah pewaris para nabi. Memuliakan dan menghormati
mereka, bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan
mereka, adalah di antara adab yang harus dibiasakan sejak kanak-
kanak. Memuliakan ulama menjadikan anak akan memuliakan ilmu
yang diterimanya, yang dengannya Allah menghidupkan hati
seseorang. Abu Umamah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya Luqman berkata
kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk dekat dengan
ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena
sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya
hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan
hujan deras.” (HR ath-Thabrani).
f.Membiasakan seluruh keluarga membaca dan menghapal ayat-ayat
al-Quran dan Hadis Nabi saw.
Dalam membina akidah anak, mengajarkan al-Quran dan Hadis Nabi
saw. adalah hal yang utama dalam membentuk mentalitas anak.
Keduanya merupakan sumber untuk menghidupkan ilmu yang akan
menyinari dan menguatkan akal. Para Sahabat ra. sangat berambisi
sekali mengikat anak-anak mereka dengan al-Quran. Anas bin Malik
ra., setiap kali mengkhatamkan al-Quran, mengumpul-kan istri dan
anak-anaknya, lalu berdoa untuk kebaikan mereka. Pada masa
Rasulullah saw. masih hidup, Ibnu Abbas ra. telah hapal al-Quran
pada usia sepuluh tahun. Imam Syafii rahimahullâh telah hapal al-
Quran pada usia tujuh tahun. Imam al-Bukhari mulai menghapal
11
hadis ketika duduk dibangku madrasah dan mengarang kitab At-
Târîkh pada usia 18 tahun.Membuat perpustakaan rumah, sekalipun
sederhana.
g. Mempelajari ilmu tak akan lepas dari kitab ataupun buku-buku
sebagai media referensi yang senantiasa akan memenuhi kebutuhan
ilmu. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi hal yang sangat
penting untuk mengkondisikan anak-anak seantiasa dekat dengan
ilmu dan bersahabat dengan kitab-kitab ilmu. Imam asy-Syahid
Hasan al-Banna dalam Risâlah-nya, Sarana Paling Efektif dalam
Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Islam yang Murni,
mengatakan, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam
rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-
buku sejarah Islam, biografi Salafus Shâlih, buku-buku akhlak,
hikmah, kisah perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah
penaklukan berbagai negeri, dan semisalnya….”
h. Mengajak anak menghadiri majelis-majelis kaum dewasa.
Nabi saw. pernah menceritakan bahwa beliau ketika masih kecil juga
turut menghadiri majelis-majelis kaum dewasa. Beliau mengatakan:
“Aku biasa menghadiri pertemuan-pertemuan para pemuka kaum
bersama paman-pamanku….” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan
sanad sahih dalam Musnad-nya [2/157] dan oleh Ahmad [1/190]).
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akalnya akan
meningkat, jiwanya akan terdidik, semangat dan kecintaannya
kepada ilmu akan semakin kuat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb
12
a. Pendidikan masa kehamilan.
Saat hamil Ibu sudah dapat melakukan hal-hal yang dapat
merangsang janin yang masih dalam keadaan fitrah tauhid (QS al-
A‘raf [7]: 172). Secara praktis, ibu mengkondisikan dirinya yang
sedang mengandung janin agar selalu berada dalam suasana hati,
jiwa, dan pikiran yang dipengaruhi oleh akidah Islam dan keterikatan
terhadap syariat Islam.
b.Pendidikan usia bayi (0-1 tahun).
Ibu harus merangsang seluruh pancaindera anak dengan hal-hal yang
tidak dilarang oleh Allah, bahkan pelaksanaan perintah-perintah-
Nya. Bayi berkesempatan sebanyak mungkin menyaksikan ibu yang
sedang menjalankan perintah-perintah Allah. Bayi sering
diperdengarkan bahasa Islam termasuk kalimat thayyibah, shalawat,
istighfar, doa, bacaan al-Quran, dll.
c. Pendidikan usia prasekolah.
Anak sudah dapat dilibatkan secara praktis dalam setiap usaha
penanaman nilai-nilai Islam, seperti :
Mengenalkan Allah melalui ciptaan-Nya dan segala sesuatu
Pemberian Allah untuk manusia.
Menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah dengan
menunjukkan sekaligus mengajak anak melaksanakan perintah Allah
dan meninggalkan larangan Allah dalam kehidupannya sehari-hari.
Membentuk idola para tokoh Islam, terutama para sahabat,
sebagai teladan nilai-nilai Islam.
Menanamkan akhlak Islam.
Mengenalkan dan membiasakan membaca al-Quran secara
bertahap: talqîn, tahfîzh, tadarrus.
Membiasakan mengucapkan kalimat thayyibah sesuai dengan
peristiwa yang dialami anak dalam kehidupan sehari-hari.
Membaca doa sehari-hari.
Membiasakan memanfaatkan waktu dengan kegiatan-kegiatan
13
yang bermanfaat: bermain yang selektif dalam jenis permainannya,
teman bermainnya, waktu, dan tempatnya; menonton TV yang
terkendali waktu dan programnya terutama program berita dan
pengetahuan untuk menumbuhkan sikap intelektualitasnya dan
terbiasa memperhatikan keadaan manusia termasuk kaum Muslim di
berbagai negara dalam berbagai peristiwa; membaca buku
(dibacakan).
Memasukkan anak ke TK Islam yang materi pendidikannya
lebih banyak keislamannya meliputi doa, hadis, surat-surat pendek,
gerakan dan bacaan shalat, kisah-kisah para nabi dan para sahabat,
belajar al-Quran dengan metode iqra, lagu-lagu Islami, dll.
Mengajak anak mengikuti kegiatan keislaman ayah atau ibu
setiap ada kesempatan, baik mengikuti maupun mengisi kajian
keislaman.
Mengkondisikan suasana di rumah senantiasa kental warna
keislamannya.
Bapak bisa mengajak anak shalat berjamaah ke masjid atau
manakala bepergian jauh selalu mampir ke masjid untuk menumbuh
kecintaan anak pada masjid.
d.Pendidikan usia sekolah.
Anak-anak sudah mulai diajarkan untuk serius dan terencana dalam
menjalani kehidupan. Penanaman nilai-nilai Islam sudah dapat
dilakukan dengan metode berpikir dan berdialog untuk
menumbuhkan kesadaran akan keterikatannya dengan syariat Islam
dan mempersiapkan anak memasuki usia balig secara matang.
Kegiatannya sehari-hari sudah terjadwal sedemikian rupa sehingga
tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Misalnya, membuat majalah
dinding di rumah, terbiasa mendengarkan program berita setiap hari,
banyak membaca buku untuk memperluas wawasan, mengomentari
apa saja yang dilihat dengan pemikiran-pemikiran Islam dan syariat
Islam, membuat klipping informasi penting, senang mengikuti
14
kegiatan-kegiatan kajian keislaman, dll.
Dengan demikian, program majelis taklim keluarga sudah dapat
dimulai. Waktu belajar adalah ba’da Subuh dan ba’da Maghrib
sekitar 1/2-1 jam sesuai dengan kondisi masing-masing, setiap hari.
Materi pelajaran ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam serta
yang diperlukan oleh umat Islam, yang akan berlanjut dari tingkat
SD, SMP, SMU, dst. Dana yang diperlukan hanya untuk melengkapi
buku-buku pokok sebagai pegangan dan buku-buku referensi
tambahan sebagai pelengkap. Pengajarnya adalah ayah dan ibu. Kita
dapat melakuakn semua itu sambil memotivasi masyarakat sekitar
agar terdorong untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi
unggulan sehingga mereka membutuhkan adanya madrasah diniyah
di lingkungan tersebut.
3. Pendorong Keberhasilan Anak
Setelah kita mengetahui hal-hal yang menyangkut pendidikan dalam
membentuk generasi qur’ani, maka yang terakhir adalah sesuatu yang sering
kita lupakan, yakni mendoakan anak.
Anak-anak kita memang lahir melalui kita, tetapi bukan milik kita.
Sering orangtua menghendaki anaknya begini atau begitu, tetapi dirasa sulit
mencapainya. Tidak perlu mengalah apalagi menyerah. Berusaha terus.
Jangan lupa, ada senjata orangtua yang sangat utama adalah doa. Setiap kali
usai shalat, doakanlah anak-anak kita agar mengenal dan mencintai Allah
dan Rasul-Nya. Bayangkan wajah mereka satu persatu mulai dari yang
terbesar. Doakan satu persatu sambil menyebut namanya. Mintalah kepada-
Nya dengan penuh kesungguhan dan tetes airmata kecintaan. Akan bagus
jika itu dilakukan juga di tengah malam saat para malaikat turun ke langit
dunia, setelah shalat malam. Ya, Allah, jadikanlah anak-anak kami
mengenal dan taat pada-Mu, mencintai-Mu dan Rasul-Mu serta selalu
memegang teguh agama-Mu yang senantiasa mengikuti ajaran-Mu yang
selalu berpedoman pada al-Qur’an-MU. Amin.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
http://www.eramuslim.com/editorial/membentuk-generasi-qur-ani.htm
http://c.1asphost.com/sibin
http://ccc.1asphost.com/assalamquran
http://badkotpasrandakan.wordpress.com/2008/04/21/membangun-generasi-
qurani-menuju-masyarakat-madani/
http://bundakirana.multiply.com/journal/item/10, tim rumah qur’ani As-
Sirny di 09.14
http://informatika.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/360/membentuk-generasi-qurani-
di-era-pandemi
17