Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK


DENGAN NEFROTIK SYNDROME

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Anak Profesi Ners yang Diampu
Oleh Ns. Ninis Indriyani, M. Kep., Sp. An

Disusun Oleh:
Ardhika Pramana Citra
NIM. 2020.04.040

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
ANAK DENGAN NEFROTIK SYNDROME

Disahkan pada tanggal : November 2020


Di : Banyuwangi

Mahasiswa,

Ardhika Pramana Citra


NIM. 2020.04.040
Mengetahui,
Pembimbing Klinik, Pembimbing Institusi,

……………………….. Ns. Ninis Indriani, M. Kep., Sp. An


NIDN. 0724127803

Kepala Ruangan,

………………………..
KONSEP TEORI NEFROTIK SYNDROME (NS)

A. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering
dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-
gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50
mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau
dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai
hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit
tertentu atau tidak diketahui (Amin & Hardhi, 2016). Sindrom nefrotik
idiopatik merupakan penyakit glomerulus yang umumnya terjadi pada anak,
dan ditandai dengan adanya peningkatan permeabilitas dari membranfiltrasi.
Penyakit ini ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia
dan edema (Qisty Ahla, 2013).
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis yang
ditandai dengan hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti
dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan
edema. Dan hal ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik pada anak dapat terjadi
pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.
Pada anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan
perempuan bervariasi dari 2:1 hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua, remaja
dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama
(Elizabeth, 2015).
Berdasarkan pengertian diatas, Sindrom nefrotik pada anak
merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik
proteinuria, hipoalbumininemia, hiperlipidemia yang disertai edema.

B. Etiologi dan Klasifikasi


Sindrom Nefrotik terjadi karena rusaknya ginjal (Sindrom Nefrotik
Primer), atau oleh penyakit lain (Sindrom Nefrotik Sekunder). Pada kedua
kondisi ini, terjadi kerusakan pada sistem penyaringan pada ginjal yang
disebut glomerulus. Sistem tersebut merupakan pembuluh darah kecil yang
bertugas mengeliminasi zat-zat yang tidak diperlukan tubuh dan kelebihan
cairan. Saat glomerulus rusak, tidak hanya produk sisa dan kelebihan cairan
yang dikeluarkan oleh ginjal, tetapi juga protein-protein yang dibutuhkan oleh
tubuh seperti albumin (Cohen, 2020).
Albumin merupakan protein yang menjaga volume cairan dalam
pembuluh darah. Jika terjadi kebocoran albumin, darah kehilangan
kemampuannya untuk menyerap cairan dari sel-sel tubuh ke dalam pembuluh
darah dan menyebabkan edema. Kebocoran albumin diukur dari kadar protein
dalam urine. Glomerulus yang rusak dapat mengeluarkan albumin 20 kali
lebih banyak dari normalnya, yaitu sekitar 3 gram atau lebih (Cohen, 2020).
Penyebab sindrom Nefrotik Primer umumnya dikaitkan dengan
kelainan genetik juga dan biasanya disebabkan oleh formasi jaringan parut
pada glomerulus. Kondisi ini disebut Focal Segmental Glomerulosclerosis
(FSGS). Penyakit ginjal umum lainnya yang menyebabkan sindrom Nefrotik
adalah nefropati membranosa atau terdapat deposit molekul imun pada
glomerulus yang menyebabkan penebalan pada glomerulus dan mengganggu
fungsinya. Penyakit perubahan minimal (minimal changes disease) dapat
ditandai dengan fungsi ginjal yang jadi tidak normal. Meski saat diamati di
bawah mikroskop, glomerulus tampak normal atau hampir normal. Kondisi
inilah yang menjadi penyebab terbanyak sindrom Nefrotik pada anak (Cohen,
2020).
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh penyakit lain yang
mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Kondisi ini disebut sindrom nefrotik
sekunder. Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik
sekunder, antara lain Diabetes, Lupus, penyakit infeksi, seperti kusta, sifilis,
HIV, malaria, atau penyakit hepatitis B dan hepatitis C, Rheumatoid artritis,
Henoch-Schonlein purpura, Amiloidosis, kanker seperti leukemia atau
limfoma, Sindrom Sjogren, Erythema multiforme. Selain beberapa penyakit
di atas, mengonsumsi obat-obatan yang memengaruhi kerja ginjal, seperti
obat antiinflamasi nonsteroid atau interferon alfa, juga dapat meningkatkan
risiko seseorang terkena sindrom nefrotik. Menyalahgunakan heroin juga
berisiko menimbulkan sindrom nefrotik (Cohen, 2020).
Selain itu sindrom nefrotik juga dapat terjadi pada kongenital, atau
biasa disebut dengan Sindrom Nefrotik Kongenital (SNK). Sindrom nefrotik
kongenital (SNK) adalah sindrom yang timbul dalam usia 3 bulan pertama
dengan kejadian kurang lebih 1,5 % dari semua sindrom nefrotik pada anak.
Sindrom nefrotik kongenital (SNK) dapat diklasifikasikan berdasarkan
presentasi klinis, riwayat keluarga, hasil laboratorium, gambaran histologis,
dan molekular genetik. Secara garis besar SNK terdiri atas:
1. SNK primer yaitu,
a. SNK tipe Finnish
b. SNK tipe non Finnish
c. Sklerosis mesangial difus (diffuse mesangial sclerosis),
d. SN idiopatik; yaitu SN kelainan minimal dan glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS)
2. SNK yang berhubungan dengan sindrom malformasi,
a. Sindrom Denys-Drash
b. SNK dengan malformasi otak (congenital nephrotic syndrome and
brain malformation, CNSBM)
c. Sindrom Lowe
d. Nail patella syndrome
3. SNK sekunder atau didapat, disebabkan oleh
a. Infeksi : sifilis kongenital, virus sitomegali, hepatitis, rubella, malaria,
toksoplasmosis, HIV (Tapia & Bashir, 2019).
C. Pathway

Virus, bakteri, protozoa inflamasi Perubahan


glomerulus permeabilitas
DM peningkatan viskositas darah membrane
Sistemik lupus eritematous regulasi glomerlurus
kekebalan terganggu proliferasi
Mekanisme
abnormal leukosit
Kerusakan penghalang
glomerlurus protein

Protein & Kegagalan Kebocoran


albumin lolos dalam proses molekul besar
dalam filtrasi & filtrasi (immunoglobuli
masuk ke urine n)

Gangguan Protein dalam Protein dalam Pengeluaran


citra tubuh urine meningkat darah menurun IgG dan IgA

Pembengka Proteinuria Hipoalbuminemia Sel T dalam


kan pada sirkulasi
periorbita menurun

Ekstravaksi SINDROM Gangguan


Mata cairan NEFROTIK imunitas

Penumpukan Volume Resiko infeksi


Oedema cairan ke ruang intravaskuler
intestinum
Reabsorbsi
ADH air

Penekanan Paru-paru Asites Hipervolemia


pada tubuh
terlalu dalam
Efusi pleura Tekanan
abdomen Menekan
meningkat diafragma
Nutrisi & O2 Ketidakefektifan
bersihan jalan Otot pernafasan
Mendesak
nafas tidak optimal
rongga lambung

Anoreksia,
Hipoksia Metabolism nausea, vomitus Nafas tidak
jaringan anaerob adekuat
Gangguan
Iskemia Produksi asam Ketidakefektif
pemenuhan
laktat an pola nafas
nutrisi

Nekrosis
Menumpuk di Defisit Nutrisi Volume urin
otot yang diekskresi
Ketidakefek
tifan perfusi
jaringan Kelemahan, Oliguri
perifer keletihan,
mudah capek

Intoleransi
aktivitas
D. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom nefrotik (SN) didasarkan pada kerusakan
membran glomerulus ginjal, sehingga meningkatkan permeabilitas
glomerulus. Kapiler glomerulus dilapisi oleh fenestrated endothelium, dilapisi
oleh epitel glomerulus atau podosit, serta terdapat celah filtrasi di antara
podosit. Ketiga struktur tersebut membentuk glomerular filtration barrier.
Kerusakan pada permukaan endotel, membran dasar glomerular, atau podosit
akan menyebabkan perubahan fungsi filtrasi glomerulus, sehingga terjadi
proteinuria atau albuminuria. Selain itu, hilangnya albumin menyebabkan
penurunan tekanan koloid plasma, yang berakibat muncul edema pada SN.
Hipotesis lain penyebab edema adalah retensi natrium primer pada tubulus
renal (Tapia & Bashir, 2019).
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada SN
bawaan. Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, terutama
pada pasien sindrom nefrotik yang resisten terhadap steroid. Sebuah studi in
vitro, menunjukkan bahwa podosit mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan
IL-13. Aktivasi reseptor tersebut mengganggu permeabilitas glomerulus,
sehingga mengakibatkan proteinuria. SN juga dikaitkan dengan perubahan
metabolisme lipid dan dislipidemia, penurunan aktivitas lipoprotein lipase di
endotelium, otot, dan jaringan adiposa, serta penurunan aktivitas lipase hati
dan peningkatan kadar enzim PCSK9 (Cohen, 2020).
Menurut Betz & Sowden (2009), Sindrom nefrotik adalah keadaan
klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan protein, hipoalbumin,
hiperlipidemia dan edema. Hilangnya protein dari rongga vaskuler
menyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma dan peningkatan tekanan
hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga
interstisial dan rongga abdomen. Penurunan volume cairan vaskuler
menstimulasi system renin– angiotensin yang mengakibatkan diskresikannya
hormone antidiuretik dan aldosterone. Reabsorsi tubular terhadap natrium
(Na) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume
intravaskuler. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema.
Koagulasi dan thrombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume
vaskuler yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urine dari
koagulasi protein. Kehilangan immunoglobulin pada urine dapat mengarah
pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Khasanah, 2017).

E. Manifestasi Klinis
Gejala utama sindrom nefrotik adalah penumpukan cairan dalam
tubuh atau edema. Edema terjadi akibat rendahnya protein dalam darah,
sehingga menyebabkan cairan dari dalam pembuluh darah bocor keluar dan
menumpuk di jaringan tubuh.
Pada anak-anak, edema yang disebabkan sindrom nefrotik dapat
diamati dari pembengkakan di wajah. Sedangkan pada orang dewasa, edema
dapat diamati dari pembengkakan di tumit, yang diikuti pembengkakan di
betis dan paha.
Gejala sindrom nefrotik lain yang dapat muncul adalah:
 Urine yang berbusa akibat adanya protein dalam urine.
 Diare.
 Mual.
 Letih, lesu, dan kehilangan nafsu makan.
 Bertambahnya berat badan akibat penumpukan cairan tubuh.
Sindrom nefrotik yang disebabkan oleh penyakit lain juga akan
menimbulkan gejala penyakit tersebut. Contohnya, sindrom nefrotik yang
disebabkan oleh rheumatoid arthritis dapat menimbulkan gejala nyeri sendi
(UK, 2019).

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Betz & Sowden (2009), Pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
1. Uji urine
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk mencari hematuri selain
proteinuria. Pada pasien dengan manifestasi tidak khas, maka sebaiknya
dilakukan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, ureum dan kreatinin serta
albumin. Pada usia yang lebih besar dapat dipertimbangkan pemeriksaan
kadar komplemen C3 dan C4, antinuklear antibodi, antibodi HIV, atau
serologi hepatitis A,B,C , meliputi:
a. Urinalisis : proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g/m2/hari), bentuk
hialin dan granular, hematuria
b. Uji dipstick urine : hasil positif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urine : meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine : meningkat
2. Uji darah
a. Kadar albumin serum : menurun (kurang dari 2 g/dl)
b. Kadar kolesterol serum : meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000
mg/dl)
c. Kadar trigliserid serum : meningkat
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit : meningkat
e. Hitung trombosit : meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/ul)
f. Kadar elektrolit serum : bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan
3. Uji diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin). Biopsi ginjal
dipertimbangkan pada :
a. Usia saat onset (kurang dari 1 tahun atau lebih dari 10 tahun);
b. SNDS atau SNRS;
c. Hematuri makroskopis atau persisten;
d. Serologi abnormal;
e. Gagal ginjal persisten bermakna
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan pada anak sindrom nefrotik
yang dengan hematuri, trombositopenia, hipertensi persisten yang tidak jelas
untuk menyingkirkan terjadinya trombosis vena ginjal

G. Penatalaksanaan
Menurut Wong (2008), Penatalaksanaan medis untuk Sindrom
nefrotik mencakup:
1. Pemberian kortikosteroid (prednison atau prednisolon) untuk menginduksi
remisi. Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu terapi.
Kekambuhan diatasi dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk beberapa
hari.
2. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena)
3. Pengurangan edema
a. Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakaan secara cermat untuk
mencegah terjadinya penurunan volume intravaskular, pembentukan
trombus, dan atau ketidakseimbangan elektrolit)
b. Pembatasan natrium (mengurangi edema)
4. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
5. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan edema dan terapi invasif)
6. Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atau agens lain)
7. Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil, atau siklosporin) untuk
anak yang gagal berespons terhadap steroid.
Untuk anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatik, kortikosteroid
adalah pengobatan utama. Agen imunosupresif alternatif (misalnya,
siklofosfamid, mycophenolate mofetil [MMF], penghambat kalsineurin,
levamisol) sering digunakan pada anak-anak dengan sindrom nefrotik yang
bergantung pada steroid atau sering kambuh. Untuk sindrom nefrotik yang
resisten terhadap steroid, penghambat kalsineurin adalah pilihan utama; anak-
anak yang gagal merespons dapat dicoba dengan obat-obatan seperti MMF
atau kortikosteroid nadi intravena dosis tinggi dan berkepanjangan (Cohen,
2020).
Rituximab, suatu antibodi terhadap sel-B, telah terbukti sebagai agen
penghemat steroid yang efektif pada anak-anak dengan sindrom nefrotik
idiopatik ketergantungan steroid. Namun, anak-anak yang bergantung pada
steroid dan inhibitor kalsineurin cenderung tidak mencapai remisi bebas obat
dengan rituximab. Rituximab juga dapat digunakan pada anak-anak dengan
penyakit resisten steroid (Cohen, 2020).
Manfaat rituximab untuk sindrom nefrotik ditunjukkan dalam sebuah
penelitian pada 10 anak-anak dan 20 orang dewasa dengan penyakit
perubahan minimal / glomerulonefritis proliferatif mesangial atau
glomerulosklerosis segmental fokal yang telah menderita dua atau lebih
kekambuhan selama tahun sebelumnya dan berada dalam remisi yang
diinduksi steroid untuk 1 bulan atau lebih. Pada 1 tahun setelah menerima
satu atau dua dosis rituximab, semua pasien mengalami remisi: 18 telah
sepenuhnya disapih dari steroid dan 15 tidak pernah kambuh. Selain itu,
rituximab menghentikan defisit pertumbuhan terkait penyakit pada anak-anak
(Ruggenenti P, 2014).
KONSEP ASKEP NEFROTIK SYNDROME (NS)

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
1) Umur: Lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-
sekolah (3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem
imunitas tubuh dan kelainan genetik sejak lahir.
2) Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan
anak perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur
anak 3-6 tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak
berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya.
Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama
daerah genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering
bermain dan kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya
juga dapat memicu terjadinya infeksi.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama yang biasa terjadi pada anak dengan nefrotik
sindrom adalah terjadinya edema pada area ekstremitas bawah,
wajah sembab, kelemahan fisik, serta perut membesar (adanya
acites)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat
pengkajian seperti keluhan adanya perubahan urine output,
keluhan bengkak pada wajah dan kaki, lalu keluhan adanya
anoreksia pada serta keluhan sakit kepala dan malaise
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji
apakah klien pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat
dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada
masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat
diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang
terdapat dalam keluarga yang dapat memicu anak terkena penyakit
nefrotik sindrom seperti DM dan faktor resiko lain seperti penyakit
dengan masalah disfungsi ginjal.
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum anak dengan nefrotik sindrom biasanya anak akan
dalam keadaan lesu, lemah dengan kesadaran kompos mentis dan
keadaan tanda tanda vital yang kebanyakan tidak mengalami
perubahan. Tetapi dalam kasus lebih lanjut anak dengan nefrotik
sindrom akan mengalami peningkatan RR dikarenakan anak
mengalami sesak napas karena efusi pleura dan penyempitan jalan
napas.
1) Kepala Leher
Pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada kepala dan leher anak
dengan Nefrotik Sindrom terdapat edema pada area mata dan bisa
pada seluruh permukaan wajah, tidak terdapat nyeri tekan dan tidak
terdapat lesi.
2) Thorak
Hasil pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
thorak pada pasien dengan nefrotik sindrom masih dalam batas
normal. Tetapi untuk kasus lebih lanjut, bisa terjadi penyempitan
jalan napas dikarenakan edema yang terjadi di jalan napas sehingga
menimbulkan sesak dan suara napas tambahan. Pemeriksaan
kardiovaskuler juga masih dalam batas normal. Tidak ditemukan
tanda-tanda kardiomegali atau gangguan kardiovaskuler lainnya.
3) Abdomen
Inspeksi pada anak dengan nefrotik sindrom terdapat distensi
abdomen akibat penumpukan cairan. Hasil pemeriksaan palpasi
adanya nyeri tekan pada area abdomen, perkusi terdengar lebih
pekak, dan auskultasi masih dalam batas normal.
4) Neurologis
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan 12 saraf kranialis.
Namun, status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan
tingkat parahnya azotemia (kelainan biokimia yaitu peningkatan
kadar kreatinin dan nitrogen urea darah dan berkaitan dengan
penurunan laju filtrasi glomerular) pada sistem saraf pusat.
5) Dermatologis
Inspeksi pada kulit, kulit pucat dan terkadang terdapat
penonjolan pembuluh darah. Suhu kulit dingin dan lembab juga
dapat ditemukan pada pemeriksaan palpasi.
6) Ekstremitas
Pemeriksaan ekstremitas biasanya terdapat tanda-tanda
kongesti sirkulasi berupa sianosis perifer, waktu pengisian kapiler
memanjang, pucat, edema perifer, kulit mengkilat, dan vena
menonjol yang diakibatkan oleh terjadinya penumpukan cairan
(Nurarif & Kusuma, 2015)

Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan
b. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan
d. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran
arteri dan atau vena (PPNI, 2018a)
1. INTERVENSI KEPERAWATAN
(PPNI, 2018b)
No. Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
(SLKI) (SIKI)
1. Setelah dilakukan tindakan Pola Napas (L. 01004) Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
asuhan keperawatan selama 1x24 1. Penggunaan 1. Obser
jam, diharapkan pola nafas otot bantu napas menurun (Skala 5) vasi
adekuat 2. Pemanjangan a. Monitor pola napas (Frekuensi,
fase ekspirasi menurun (Skala 5) kedalaman, usaha napas)
3. Frekuensi napas b. Monitor bunyi napas (mis. Gurgling,
membaik (Skala 5) mengi, weezing, ronkhi)
4. Kedalaman 2. Terap
napas membaik (Skala 5) eutik
a. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift
b. Posisikan semi fowler/fowler
c. Berikan oksigen jika perlu
3. Eduka
si
a. Ajarkan Teknik batuk efektif
4. Kolab
orasi
a. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
2. Setelah dilakukan tindakan Keseimbangan Cairan (L.03020) Manajemen Hipervolemia (I. 03116)
asuhan keperawatan selama 3x24 Keluaran urin meningkat (Skala 5) 1. Observasi
jam, diharapkan kelebihan cairan Asupan makanan meningkat (Skala 5) a. Periksa tanda dan gejala hypovolemia
Kembali normal Edema menurun (Skala 5) (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
Membran mukosa membaik (Skala 5) teraba lemah, tekanan darah
Turgor kulit membaik (Skala 5) menurun, tekanan nadi menyempit,
volume urin menurun)
b. Identifikasi penyebab hypervolemia
c. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis.
Kadar natrium, BUN, hematokrit,
berat jenis urine)
d. Monitor tanda peningkatan tekanan
onkotik plasma (mis. Kadar protein
dan albumin meningkat)
2. Terapeutik
a. Batasi asupan cairan dan garam
b. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40
derajat
3. Edukasi
a. Anjurkan melapor jika keluaran urine
<0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
b. Ajarkan cara membatasi cairan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuretic
Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy (CRRT) jika perlu
3. Setelah dilakukan tindakan Status Nutrisi (L. 03030) Manajemen Nutrisi (I. 03119)
asuhan keperawatan selama 3x24 1. Porsi makanan yang di habiskan 1. Observasi
jam, diharapkan defisit nutrisi meningkat (Skala 5) a. Identifikasi status nutrisi
membaik 2. Frekuensi makan membaik (Skala 5) b. Identifikasi kebutuhan kalori dan
3. Nafsu makan membaik (Skala 5) jenis nutrient
c. Monitor asupan makanan
d. Monitor berat badan
e. Monitor hasil laboratorium
2. Terapeutik
a. Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
b. Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
3. Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk jika mampu
b. Ajarkan diet yang di programkan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang di butuhkan
4. Setelah dilakukan tindakan Perfusi Perifer (L. 02011) Promosi Citra Tubuh (I. 09305)
asuhan keperawatan selama 3x24 1. Denyut nadi perifer meningkat (Skala 5) 1. Observasi
jam, perfusi perifer kembali 2. Warna kulit pucat menurun (Skala 5) a. Periksa sirkulasi perifer
normal 3. Edema perifer menurun (Skala 5) b. Monitor panas, kemerahan, nyeri,
4. Turgor kulit membaik (Skala 5) atau bengkak pada ekstremitas
(PPNI, 2018b) 2. Terapeutik
a. Lakukan hidrasi
3. Edukasi
a. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi
DAFTAR PUSTAKA

Amin, H. N., & Hardhi, K. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 2 (H. R.
Nazwar (ed.)). Mediaction Publishing.
Cohen, E. (2020). Nephrotic Syndrome.
https://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
Elizabeth, R. (2015). Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun
Nephrotic Syndrome : New Case on 2 Years Old Child. J Agromed Unila,
2(3), 217–221.
Khasanah, F. N. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. V DENGAN
PNEUMONIA DI RUANG KANTHIL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
BANYUMAS. http://repository.ump.ac.id/3904/
Muna, L. (2018). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Sindrom Nefrotik.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction
Publishing.
PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Qisty Ahla, I. S. K. S. F. (2013). Biomarker Penyakit Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid : Review. Farmaka Suplemen, 4, 1–15.
Ruggenenti P, et al. (2014). Rituximab in Nephrotic Syndrome of Steroid-
Dependent or Frequently Relapsing Minimal Change Disease Or Focal
Segmental Glomerulosclerosis (NEMO) Study Group. Rituximab in steroid-
dependent or frequently relapsing idiopathic nephrotic syndrome. J Am Soc
Ne.
Tapia, C., & Bashir, K. (2019). Nephrotic Syndrome.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/
UK, N. (2019). Nephrotic syndrome in children.
https://www.nhs.uk/conditions/nephrotic-syndrome/
Wong, D. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Vol.1. EGC.

Anda mungkin juga menyukai