KEPERAWATAN ANAK II
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu: Dian Susmarini, S.Kep., Ns., MN.
Kelompok 2:
Keperawatan Reguler A
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan suatu kondisi yang banyak dijumpai pada kasus
penyakit sistemik dan penyakit ginjal yang dapat merusak glomerulus. Penyakit ini
umumnya adalah kumpulan klinis akibat rusaknya glomerulus ginjal. Pada banyak
kasus terjadi pada anak-anak usia 1-2 tahun dan beberapa pada usia 8 tahun dengan
kasus yang paling tinggi berada pada rentang usia 2-6 tahun (Elizabeth, 2015;
Manalu, 2019). Rasio kejadian laki-laki dan perempuan sebesar 2:1 hingga 3:2,
sedangkan pada kasus pada anak yang lebih tua prevalensi perbandingannya
hampir sama. Di Indonesia sendiri laporan kasus yang diperoleh hanya sebanyak 6
kasus per 100.000/tahun yang terjadi pada anak usia di bawah 14 tahun. Sementara
itu, 20% kasus sindrom nefrotik pada anak ini hasil daripada biopsi pada ginjalnya
terdapat scar deposit di glomerulus (Elizabeth, 2015).
Oleh sebab itu, sebagai bagian dari tenaga kesehatan di lingkup klinis perawat
perlu memahami keilmuan yang berkaitan dengan sindrom nefrotik sebagai dasar
praktik berbasis teori dan penelitian terbarukan. Hal ini ditujukan sebagai bentuk
tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik guna menekan
angka morbiditas dan mortalitas sehingga derajat kesehatan optimal dapat tercapai
dengan baik.
B. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Defisini
Sindrom nefrotik atau yang sering disebut dengan SN adalah penyakit
yang terjadi pada ginjal dan sering dijumpai pada anak-anak dengan angka
kejadian yaitu 15 kali lebih banyak daripada orang dewasa (Immawati,2017).
Sindrom ini merupakan penyakit klinis yang ditandai dengan adanya gejala
edema, proteinuria masif hingga >40mg/m², hipoalbuminemia jika kadar
albumin didalam tubuh < 2,5 g/dl serta dapat disertai dengan adanya
hipokolesterolemia jika didalam tubuh kadar kolesterol mencapai angka
>200mg/dL² (Mainnah et. al, 2019).
B. Etiologi
Dalam Brunner & Suddarth, 2013; Elizabeth, 2015; Tanto. et all, 2014; Wong.
et al, 2020, terdapat beberapa yang menjadi penyebab terjadinya sindrom
nefrotik yaitu:
a. SN kongenital/ bawaan
Penyebab sindrom nefrotik akibat dari kelainan bawaan saat lahir
yang diturunkan sebagai suatu kelainan genetik autosomal-resesif yang
terjadi hingga tiga bulan awal kehidupan. Pada bayi yang kurang dari 6
bulan umumnya mempunyai prognosis buruk dan bersifat herediter.
b. SN primer/ idiopatik
Penyebab primer ini dikenal juga dengan sindrom nefrotik perubahan
minimal atau Minimal Change Nephrotic Syndrome (MCNS) yang
merupakan penyebab dari banyak kasus SN seperti genetik tipe HLA
(HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-B12), usia, ras, geografis.
c. SN sekunder
Penyebab sekunder merupakan manifestasi klinis setelah ataupun
yang menyertai kerusakan glomerulus. SN sekunder ini terjadi akibat
penyakit sistemik ataupun infeksi seperti sistemic lupus
eritematous/SLE, purpura Henoch-Schonlein, silifis, hepatitis B.
C. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme yang berperan yaitu:
1. Imunitas seluler
Secara imunologis sel T memproduksi circulating factor yaitu
vascular permeability factor (VPF). VPF merupakan asam amino yang
serupa dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). Apabila
terdapat gangguan dalam imunitas seluler khususnya sel T dapat terjadi
nefrotik sindrom. Gangguan tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler
glomerulus mengalami peningkatan dan terjadi pelebaran pada celah
diafragma sehingga kebocoran protein dapat terjadi (Dedi dalam Jafar,
2018).
2. Imunitas humoral
Terjadi diawali karena adanya antigen yang masuk ke dalam
sirkulasi yang menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang larut dalam
darah (soluble). Kemudian soluble ini menimbulkan sistem komplemen
C3 dalam tubuh bereaksi dan bersatu dengan soluable. Gabungan dari
komplemen C3 dengan soluble akhirnya membentuk deposit yang
akhirnya terjebak di bawah epitel kapsula bowman yang secara
imunofloresensi tampat terlihat seperti benjolan yang dinamakan humps.
Humps berada di sepanjang membrane basalis glomerulus yang
berbentuk granuler atau noduler. Adanya komplemen C3 dalam humps
menimbulkan permeabilitas membrane basalis terganggu yang pada
akhirnya protein dan eritrosit dapat melewati membrane basalis serta
dapat ditemukan dalam urin (Syarifuddin dalam Jafar, 2018).
Kerusakan Glomerulus
Proteinuria
Turunnya
Hyperlipidemia katabolisme
lipoprotein Hipoalbuminemia Tekanan hidrostatik tinggi
Kolesterol naik
Sindrom Nefrotik Perubahan
Edema
turgor kulit
Sakit Kepala
Kelebihan
Kerusakan
Volume Cairan
Nyeri Akut Integritas Kulit
Tekanan abnominal
Menekan diafragma meningkat Kehilangan
Imunoglobulin
Penurunan ekspansi melalui urin
Merangsang saraf
paru
simpatis abdominal
Kadar
Ketidakefektifan Imunoglobulin
Pola Nafas Mual dan muntah menurun
Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang dari Kebutuhan
Tubuh
E. Manifestasi klinik
Menurut Tanto 2014; Nilawati 2016; dan Albar 2016, terdapat beberapa
manifestasi klinis pada sindrom nefrotik yaitu:
1. Proteinuria dan albuminuria
Pada kelainan glomerulus terjadi kerusakan membran basal glomerulus dan
sel podosit. Akibatnya, albumin yang bermuatan negatif dapat melewati
membran basal glomerulus dan celah-celah yang terbentuk antar sel podosit.
Celah antar sel podosit inilah yang diperkirakan menyebabkan proteinuria
masif.
2. Hipoproteinemia yang disebabkan proteniuria
3. Edema,
Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai tampak di
daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra, skrotum, atau labia dan
berkembang menjadi edema umum dan masif yang disebut anasarca. Edema
bersifat piting dan bergantung posisi tubuh sehingga tampak jelas di muka
saat bangun pagi dan di tungkai pada siang hari. (Sari Pediatri, 2016)
Ada dua mekanisme pada pasien sindrom nefrotik :
a. Rendahnya kadar albumin menurunkan onkotik plasma sehingga terjadi
transudasi dari ruang pembuluh darah ke ruang ekstraseluler
b. Adanya defek sekresi natrium oleh ginjal sehingga menyebabkan tekanan
darah meningkat. Tekanan darah yang tinggi serta tekanan onkotik yang
randah memprovokasi transudasi cairan ke ruang ekstraseluler. (Tanto,
2014)
4. Hiperlipidemia, beberapa mekanisme yang menyebabkan abnormalitas lipid
pada sindrom nefrotik diantaranya :
a. Peningkatan sintesis LDL, VLDL, dan Lp(a) oleh hepar akibat
hipoalbuminemia
b. Defek pada lipoprotein lipase perifer sehingga meningkatkan kadar
VLDL
c. Hilangnya HDL melalui urin
5. Hiperkolesterolemia
adanya kondisi hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, termasuk lipoprotein. Sehingga, katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim
utama yang mengambil lemak dari plasma
6. Lipiduria
peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan
mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan khas oval fat
bodies dan fatty cast pada sedimen urin.
7. Gangguan keseimbangan nitrogen yang disebabkan proteinuria
8. Hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh peningkatan sintesis protein oleh
hati dan kehilangan protein melalui urin (Arsita, 2017)
9. Gangguan metabolisme kalsium, tulang, dan hormon tiroid
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui
urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma (Arista, 2017)
10. Urin berbusa yang menjadi tanda awal proteinuria, yakni terbentuknya
garam-garan empedu atau protein albumin dalam urin.
11. Hipertensi yang terjadi karena adanya defek sekresi natrium oleh ginjal,
sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat.
12. Garis putih pada kuku (Muehrcke’s band) yang merupakan tanda
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan konsekuensi dari hilangnya
albumin melalui urin. Ketika kadar albumin menurun, maka terjadi
mekanisme kompensasi oleh hepar dengan meningkatkan sintesis albumin.
Namun, pada pasien sindrom nefrotik, mekanisme kompensasi ini
menumpul sehingga kadar albumin semakin menurun.
13. Anorexia
Penurunan fungsi ginjal akan meimbulkan gangguan keseimbangan asam
dan basa, sehingga menimbulkan sensasi mual, sehingga terjadi anoroexia.
14. Diare yang disebabkan oleh edema mukosa usus.
15. Asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura dapat terjadi akibat edema
pretibia yang lebih berat. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul
gejala sesak napas.
16. Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau
makan, tampak lemah, nyeri perut, dll.
F. Pemeriksaan penunjang
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap dinrom nefrotik, terdapat pemeriksaan
penunjang yang membantu, yaitu:
1. Pemeriksaan Urin
Urinalisis atau tes urin merupakan pemeriksaan yang berfungsi untuk
mendeteksi adanya kelainan dalam tubuh yang dapat dilihat melalui zat yang
terkandung dalam urine. Proteinuria atau kandungan protein tinggi dalam
urine akan didapatkan dalam urine penderita nefrotik sindrom
(Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
2. Pemeriksaan sedimen Urine
Sedimen urine berfungsi untuk mendeteksi bahan yang tidak larus dalam
urine, prosedur yang dilakukan adalah dengan penyaringan urine. Hematuri
mikroskopis akan ditemukan didalam urine penderita nefrotik sindrom
(Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
3. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan darah lengkap meliputi eritrosit, leukosit dan platelet.
Penderita nefrotik sindrom dapat ditemukan trombositosis dan peningkatan
leukosit (Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
4. Biopsi Ginjal
Pengambailan sampel jaringan ginjal untuk mengetahui tanda-tanda
kerusakan ginjal dan menentukan subtipe penyakit (Arsita,2017)
G. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan b.d tekanan hidrostatik tinggi
b. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot nafas
c. Nyeri akut b.d agen biologis
d. Resiko infeksi b.d imunosupresi
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis
f. Kerusakan integritas kulit b.d imunodefisiensi
H. Asuhan Keperawatan
2. Manajemen Eliminasi
Perkemihan
Observation :
Nursing Intervention :
Anjurkan pasien/keluarga
untuk mencatat output
urin yang sesuai.
Collaboration :
Sianosis 2 5 Observation :
Education :
Anjurkan pasien untuk
mendapatkan oksigen
tambahan sebelum
perjalanan udara atau
perjalanan ke daratan
tinggi dengan cara yang
tepat.
Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
penggunaan oksigen di
rumah.
Collaboration :
Resiko infeksi b.d 1.Kontrol resiko: proses infeksi NIC: Kontrol Infeksi
imunosupresi
Observation:
Indikator Skala Skala
awal akhir Alokasikan kesesuain
luas ruang per pasien,
seperti yang
Mengidentifikas 2 5
diindikasikan oleh
i faktor resiko
Pusat Pengendalian
infeksi
dan Pencegahan
Penyakit
Mengidentifikas 2 5
i tanda dan Nursing Intervention:
gejala infeksi
Bersihkan lingkungan
dengan baik setelah
Menggunakan 2 5 digunakan oleh setiap
alat pelindung pasien
diri
Ganti peralatan
perawatan per pasien
Mencuci tangan 2 5 sesuai protokol
institusi
Anjurkan pasien
1 : tidak pernah menunjukan
2 : jarang menunjukan mengenai teknik cuci
3 : kadang-kaddang menunjukan tangan dengan tepat
4 : sering menunjukan Lakukan tindakan-
5 : secara konsisten menunjukan tindakan pencegahan
yang bersifat
universal
Pastikan penanganan
aseptik dari semua
saluran IV
Tingkatkan asupan
nutrisi yang tepat
Education:
Collaboration:
Education:
Anjurkan pasien
mengenal modifikasi
diet
Collaboration:
Berikan rujukan
Sindrom nefrotik merupakan suatu kondisi yang sering kali dijumpai pada kasus
penyakit sistemik dan penyakit ginjal yang dapat merusak glomerulus. Umumnya
sindrom nefrotik ini merupakan kumpulan klinis akibat rusaknya glomerulus ginjal
seperti proteinuria berat, albuminuria, hipoproteinuria, hiperkolesterolemia, dan edema.
Kasus ini sering terjadi pada anak-anak usia 1-2 tahun dan beberapa pada usia 8 tahun
dengan kasus yang paling tinggi berada pada rentang usia 2-6 tahun serta besar
penderitanya yaitu laki-laki dengan perbandingan 2:1 (Elizabeth, 2015; Manalu, 2019).
Kasus ini memerlukan pengkajian yang lengkap dan analisis yang tepat sehingga dapat
dilakukan penanganan yang spesifik sesuai dengan tanda gejala serta evaluasi yang
menyeluruh untuk menunjang derajat kesehatan yang optimal. Adapun diagnosis yang
dapat muncul pada klien dengan gangguan sindrom nefrotik antara lain kelebihan
volume cairan b.d tekanan hidrostatik tinggi, ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan
otot nafas, nyeri akut b.d agen biologis, resiko infeksi b.d imunosupresi,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis, dan
kerusakan integritas kulit b.d imunodefisiensi. Beberapa intervensi yang dapat
dilakukan untuk menunjang kesehatan pasien antara lain manajemen elektrolit/cairan,
monitoring pernafasan, terapi oksigen, manajemen nyeri akut, kontrol infeksi,
manajemen nutrisi, dan perawatan luka.
Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Ed.12. Jakarta: EGC.
Elizabeth, R. (2015). Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun. J
Agromed Unila. 2(3): 217-221.
Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Penyakit Sindrom Nefrotik. Karya Tulis Ilmiah.
Fakultas Kedokteran. Universitas Islam Bandung.
Mainnah, N M., Hendriyono FX., & Muljanto, S. (2019). Gambaran Kadar Kalsium
Total dan Vitamin D pada Anak Sindrom Nefrotik di RSUD Ulin Banjarmasin.
Homeostasis. 2(3): 451-460.
Manalu, E. (2019). Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Junal Ilmiah WIDYA. 5(3): 1-8.
Tjiptaningrum, A. & Aulia, D., 2019. Gambaran Laboratorium pada Sindroma Nefrotik.
JK Unila, 3(2), pp. 290-295.
Tjokroprawiro, A. (2015). E-book: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.2: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press.
Wong, D. L. et al. (2020). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.