Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN DISKUSI SINDROM NEFROTIK

KEPERAWATAN ANAK II
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu: Dian Susmarini, S.Kep., Ns., MN.

Kelompok 2:

1. Anita Permata Sari I1B019023


2. Gita Sabrina Pratiwi I1B019025
3. Silvia Tri Wahyu Christaputri I1B019027
4. Risa Putri Fitria I1B019031
5. Putri Juniar Pangesti I1B019033
6. Asika I1B019035
7. Lisa Qoriana Rohmani I1B019037
8. Sahla Nurannisa I1B019039
9. Muhammad Dimas Pradana I1B019041
10. Rina Audina I1B019045

Keperawatan Reguler A

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan suatu kondisi yang banyak dijumpai pada kasus
penyakit sistemik dan penyakit ginjal yang dapat merusak glomerulus. Penyakit ini
umumnya adalah kumpulan klinis akibat rusaknya glomerulus ginjal. Pada banyak
kasus terjadi pada anak-anak usia 1-2 tahun dan beberapa pada usia 8 tahun dengan
kasus yang paling tinggi berada pada rentang usia 2-6 tahun (Elizabeth, 2015;
Manalu, 2019). Rasio kejadian laki-laki dan perempuan sebesar 2:1 hingga 3:2,
sedangkan pada kasus pada anak yang lebih tua prevalensi perbandingannya
hampir sama. Di Indonesia sendiri laporan kasus yang diperoleh hanya sebanyak 6
kasus per 100.000/tahun yang terjadi pada anak usia di bawah 14 tahun. Sementara
itu, 20% kasus sindrom nefrotik pada anak ini hasil daripada biopsi pada ginjalnya
terdapat scar deposit di glomerulus (Elizabeth, 2015).

Sindrom nefrotik adalah kumpulan kondisi klinis seperti proteinuria berat,


albuminuria, hipoproteinuria, hiperkolesterolemia, dan edema (Tanto. et all, 2014).
Pada penderita anak prognosis penyakit ini dapat berjalan sensitif sehingga perlu
adanya penanganan yang tepat di tatanan klinis seperti rumah sakit. Hal ini
bertujuan untuk dilakukannya pemeriksaan dengan cepat dan tepat sehingga
penanganan dan evaluasi lebih lanjut dapat ditegakkan sesuai dengan kondisi
permasalahan secara spesifik hingga pasien dapat menuju ke kondisi perbaikan
yang optimal.

Oleh sebab itu, sebagai bagian dari tenaga kesehatan di lingkup klinis perawat
perlu memahami keilmuan yang berkaitan dengan sindrom nefrotik sebagai dasar
praktik berbasis teori dan penelitian terbarukan. Hal ini ditujukan sebagai bentuk
tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik guna menekan
angka morbiditas dan mortalitas sehingga derajat kesehatan optimal dapat tercapai
dengan baik.

B. Tujuan

Setelah melakukan diskusi pembelajaran mengenai sindrom nefrotik diharapkan


mahasiswa akan mampu:

1) Memahami definisi sindrom nefrotik;


2) Memahami etiologi sindrom nefrotik;
3) Memahami patofisiologi sindrom nefrotik;
4) Menyusun pathway sindrom nefrotik;
5) Memahami manifestasi klinis sindrom nefrotik;
6) Mengetahui pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik;
7) Menyusun asuhan keperawatan untuk kasus sindrom nefrotik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defisini
Sindrom nefrotik atau yang sering disebut dengan SN adalah penyakit
yang terjadi pada ginjal dan sering dijumpai pada anak-anak dengan angka
kejadian yaitu 15 kali lebih banyak daripada orang dewasa (Immawati,2017).
Sindrom ini merupakan penyakit klinis yang ditandai dengan adanya gejala
edema, proteinuria masif hingga >40mg/m², hipoalbuminemia jika kadar
albumin didalam tubuh < 2,5 g/dl serta dapat disertai dengan adanya
hipokolesterolemia jika didalam tubuh kadar kolesterol mencapai angka
>200mg/dL² (Mainnah et. al, 2019).

B. Etiologi
Dalam Brunner & Suddarth, 2013; Elizabeth, 2015; Tanto. et all, 2014; Wong.
et al, 2020, terdapat beberapa yang menjadi penyebab terjadinya sindrom
nefrotik yaitu:
a. SN kongenital/ bawaan
Penyebab sindrom nefrotik akibat dari kelainan bawaan saat lahir
yang diturunkan sebagai suatu kelainan genetik autosomal-resesif yang
terjadi hingga tiga bulan awal kehidupan. Pada bayi yang kurang dari 6
bulan umumnya mempunyai prognosis buruk dan bersifat herediter.
b. SN primer/ idiopatik
Penyebab primer ini dikenal juga dengan sindrom nefrotik perubahan
minimal atau Minimal Change Nephrotic Syndrome (MCNS) yang
merupakan penyebab dari banyak kasus SN seperti genetik tipe HLA
(HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-B12), usia, ras, geografis.
c. SN sekunder
Penyebab sekunder merupakan manifestasi klinis setelah ataupun
yang menyertai kerusakan glomerulus. SN sekunder ini terjadi akibat
penyakit sistemik ataupun infeksi seperti sistemic lupus
eritematous/SLE, purpura Henoch-Schonlein, silifis, hepatitis B.

C. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme yang berperan yaitu:
1. Imunitas seluler
Secara imunologis sel T memproduksi circulating factor yaitu
vascular permeability factor (VPF). VPF merupakan asam amino yang
serupa dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). Apabila
terdapat gangguan dalam imunitas seluler khususnya sel T dapat terjadi
nefrotik sindrom. Gangguan tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler
glomerulus mengalami peningkatan dan terjadi pelebaran pada celah
diafragma sehingga kebocoran protein dapat terjadi (Dedi dalam Jafar,
2018).
2. Imunitas humoral
Terjadi diawali karena adanya antigen yang masuk ke dalam
sirkulasi yang menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang larut dalam
darah (soluble). Kemudian soluble ini menimbulkan sistem komplemen
C3 dalam tubuh bereaksi dan bersatu dengan soluable. Gabungan dari
komplemen C3 dengan soluble akhirnya membentuk deposit yang
akhirnya terjebak di bawah epitel kapsula bowman yang secara
imunofloresensi tampat terlihat seperti benjolan yang dinamakan humps.
Humps berada di sepanjang membrane basalis glomerulus yang
berbentuk granuler atau noduler. Adanya komplemen C3 dalam humps
menimbulkan permeabilitas membrane basalis terganggu yang pada
akhirnya protein dan eritrosit dapat melewati membrane basalis serta
dapat ditemukan dalam urin (Syarifuddin dalam Jafar, 2018).

Dari kedua mekanisme tersebut menyebabkan tubuh kekurangan protein


karena terjadi proteinuria (Jafar, 2018). Kompensasi dari hati untuk mensistensis
albumin tidak cukup untuk menutup kekurangan sehingga terjadi
hipoalbuminemia (Kharisma, 2017). Kondisi seperti ini menimbulkan tekanan
onkotik plasma menurun dan tidak dapat menyeimbangkan tekanan hidrostatik
plasma. Dengan demikian, tekanan hidrostatik tinggi seolah-olah mendorong
cairan plasma ke ruang interstisial yang menyebabkan timbulnya edema
(Kharisma, 2017). Kejadian edema menyebabkan volume intravaskuler menurun
menyebabkan tubuh untuk berkompensasi dengan mengaktifkan sistem renin-
angiotensin-aldosteron dan ADH sehingga terjadi retensi air dan natrium
(Kharisma, 2017). Hipoalbumin juga menimbulkan dapat merangsang LDL dan
VLDL, turunnya katabolisme lipoprotein, dan terjadi peningkatan precursor
kolesterol sehingga dapat terjadi hiperlipidemia (Jafar, 2018).
Pada kondisi proteinuria globulin keluar dari tubuh bersama dengan
vitamin D (globuin berikatan dengan vitamin D dan tiroksin). Kehilangan
vitamin D yang aktif dapat menurunkan absorpsi kalsium dalam usus sehingga
terjadi hipokalsemia (Mainnah et.al, 2019). Nefrotik sindrom juga terjadi
peningkatan agregasi platelet, peningkatan fibrinogen dan faktor koagulasi, dan
penurunan antitrombin menyebabkan kondisi hiperkoagulability (Tjokroprawiro,
2015). Dengan demikian, adanya kondisi hiperkoagulability meningkatkan
risiko terjadinya trombosis (Tjokroprawiro, 2015).
D. Pathway

SN Kongenital SN Primer/Idiopatik SN Sekunder

Kerusakan Glomerulus

Filtrasi ginjal terganggu

Proteinuria
Turunnya
Hyperlipidemia katabolisme
lipoprotein Hipoalbuminemia Tekanan hidrostatik tinggi

Kolesterol naik
Sindrom Nefrotik Perubahan
Edema
turgor kulit
Sakit Kepala
Kelebihan
Kerusakan
Volume Cairan
Nyeri Akut Integritas Kulit

Asites Penurunan filtrasi


glomerulus

Tekanan abnominal
Menekan diafragma meningkat Kehilangan
Imunoglobulin
Penurunan ekspansi melalui urin
Merangsang saraf
paru
simpatis abdominal
Kadar
Ketidakefektifan Imunoglobulin
Pola Nafas Mual dan muntah menurun

Anoreksia Resiko Infeksi

Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang dari Kebutuhan
Tubuh
E. Manifestasi klinik
Menurut Tanto 2014; Nilawati 2016; dan Albar 2016, terdapat beberapa
manifestasi klinis pada sindrom nefrotik yaitu:
1. Proteinuria dan albuminuria
Pada kelainan glomerulus terjadi kerusakan membran basal glomerulus dan
sel podosit. Akibatnya, albumin yang bermuatan negatif dapat melewati
membran basal glomerulus dan celah-celah yang terbentuk antar sel podosit.
Celah antar sel podosit inilah yang diperkirakan menyebabkan proteinuria
masif. 
2. Hipoproteinemia yang disebabkan proteniuria
3. Edema, 
Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai tampak di
daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra, skrotum, atau labia dan
berkembang menjadi edema umum dan masif yang disebut anasarca. Edema
bersifat piting dan bergantung posisi tubuh sehingga tampak jelas di muka
saat bangun pagi dan di tungkai pada siang hari. (Sari Pediatri, 2016)
Ada dua mekanisme pada pasien sindrom nefrotik :
a. Rendahnya kadar albumin menurunkan onkotik plasma sehingga terjadi
transudasi dari ruang pembuluh darah ke ruang ekstraseluler 
b. Adanya defek sekresi natrium oleh ginjal sehingga menyebabkan tekanan
darah meningkat. Tekanan darah yang tinggi serta tekanan onkotik yang
randah memprovokasi transudasi cairan ke ruang ekstraseluler. (Tanto,
2014)
4. Hiperlipidemia, beberapa mekanisme yang menyebabkan abnormalitas lipid
pada sindrom nefrotik diantaranya :
a. Peningkatan sintesis LDL, VLDL, dan Lp(a) oleh hepar akibat
hipoalbuminemia
b. Defek pada lipoprotein lipase perifer sehingga meningkatkan kadar
VLDL
c. Hilangnya HDL melalui urin
5. Hiperkolesterolemia
adanya kondisi hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, termasuk lipoprotein. Sehingga, katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim
utama yang mengambil lemak dari plasma
6. Lipiduria
peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan
mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan khas oval fat
bodies dan fatty cast pada sedimen urin. 
7. Gangguan keseimbangan nitrogen yang disebabkan proteinuria
8. Hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh peningkatan sintesis protein oleh
hati dan kehilangan protein melalui urin (Arsita, 2017)
9. Gangguan metabolisme kalsium, tulang, dan hormon tiroid
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui
urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma (Arista, 2017)
10. Urin berbusa yang menjadi tanda awal proteinuria, yakni terbentuknya
garam-garan empedu atau protein albumin dalam urin. 
11. Hipertensi yang terjadi karena adanya defek sekresi natrium oleh ginjal,
sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat. 
12. Garis putih pada kuku (Muehrcke’s band) yang merupakan tanda
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan konsekuensi dari hilangnya
albumin melalui urin. Ketika kadar albumin menurun, maka terjadi
mekanisme kompensasi oleh hepar dengan meningkatkan sintesis albumin.
Namun, pada pasien sindrom  nefrotik, mekanisme kompensasi ini
menumpul sehingga kadar albumin semakin menurun. 
13. Anorexia 
Penurunan fungsi ginjal akan meimbulkan gangguan keseimbangan asam
dan basa, sehingga menimbulkan sensasi mual, sehingga terjadi anoroexia.
14. Diare yang disebabkan oleh edema mukosa usus. 
15. Asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura dapat terjadi akibat edema
pretibia yang lebih berat. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul
gejala sesak napas.
16. Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau
makan, tampak lemah, nyeri perut, dll.

F. Pemeriksaan penunjang
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap dinrom nefrotik, terdapat pemeriksaan
penunjang yang membantu, yaitu:
1. Pemeriksaan Urin
Urinalisis atau tes urin merupakan pemeriksaan yang berfungsi untuk
mendeteksi adanya kelainan dalam tubuh yang dapat dilihat melalui zat yang
terkandung dalam urine. Proteinuria atau kandungan protein tinggi dalam
urine akan didapatkan dalam urine penderita nefrotik sindrom
(Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
2. Pemeriksaan sedimen Urine
Sedimen urine berfungsi untuk mendeteksi bahan yang tidak larus dalam
urine, prosedur yang dilakukan adalah dengan penyaringan urine. Hematuri
mikroskopis akan ditemukan didalam urine penderita nefrotik sindrom
(Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
3. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan darah lengkap meliputi eritrosit, leukosit dan platelet.
Penderita nefrotik sindrom dapat ditemukan trombositosis dan peningkatan
leukosit (Tjiptaningrum & Aulia, 2019).
4. Biopsi Ginjal
Pengambailan sampel jaringan ginjal untuk mengetahui tanda-tanda
kerusakan ginjal dan menentukan subtipe penyakit (Arsita,2017)

G. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan b.d tekanan hidrostatik tinggi
b. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot nafas
c. Nyeri akut b.d agen biologis
d. Resiko infeksi b.d imunosupresi
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis
f. Kerusakan integritas kulit b.d imunodefisiensi

H. Asuhan Keperawatan

Diagnosis NOC Intervensi

1.Keseimbangan cairan NIC : Manajemen


Kelebihan volume Indikator Skala Skala Elektrolit/Cairan
cairan b.d tekanan awal akhir
hidrostatik tinggi Keseimbangan 2 5 Observation :
intake dan
 Pantau adanya tanda dan
output dalam
gejala overhidrasi yang
24 jam
memburuk.
Berat badan 2 5
 Monitor perubahan status
stabil
Turgor kulit 2 5 paru dan jantung yang
Asites 2 5 menunjukkan kelebihan
Edema perifer 2 5 cairan.
 Monitor manifestasi dari
1 : sangat terganggu ketidakseimbangan
2 : banyak terganggu elektrolit.
3: cukup terganggu  Monitor efek samping
4 : sedikit terganggu dari obat yang diresepkan
5 : tidak terganggu  Monitor respon pasien
terhadap terapi yang
2.Eliminasi urin
diberikan.

Indikator Skala Skala


Nursing Intervention :
awal akhir
 Batasi cairan yang sesuai
Pola 2 5  Timbang berat badan
eliminasi harian dan pantau gejala
urin  Jaga pencatatan intake
dan output yang akurat
 Berikan resep diet yang
Bau urine 2 5
teapat untuk cairan
tertentu
Education :
Jumlah 2 5
urin  Instruksikan pasien dan
keluarga mengenai alasan
untuk pembatasan cairan,
Warna 2 5
tindakan hidrasi, atau
urin
administrasi elektrolit
tambahan
1 : sangat terganggu
2 : banyak terganggu
Collaboration :
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu  Konsultasikan dengan
5 : tidak terganggu dokter jika tanda dan
gejala keridakseimbangan
cairan dan/atau elektrolit
menetap atau memburuk.

2. Manajemen Eliminasi
Perkemihan

Observation :

 Monitor eleminasi urin


termasuk frekuensi,
konsistensi, bau,
volume,dan warna.

Nursing Intervention :

 Batasi cairan sesuai


kebutuhan.
 Catat waktu eliminasi
terakhir.
 Instruksikan untuk segera
merespon keinginan
mendesak untuk
berkemih.
 Bantu pasien
mengembangkan rutinitas
eliminasi dengan tepat.
Education :

 Anjurkan pasien/keluarga
untuk mencatat output
urin yang sesuai.

Collaboration :

 Rujuk ke dokter jika


sesuatu terjadi.
NIC :
Ketidakefektifan 1.Status pernafasan
pola nafas b.d 1.Monitoring Pernafasan
keletihan otot nafas
Indikator Skala Skala Observation :
awal akhir
 Monitor kecepatan irama,
kedalaman, dan kesulitan
Frekuensi 2 5 bernafas.
pernafasan  Monitor pola nafas
(seperti takipneu,
Irama 2 5 bradipneu).
pernafasan  Monitor saturasi oksigen
pada pasien sesuai dengan
protokol yang ada.
Kedalama 2 5
 Monitor kelelahan otot-
n inspirasi
otot diafragma dengan
pergerakan parasoksikal.
1 : deviasi berat dari kisaran
normal
2 : deviasi cukup berat dari kisaran Nursing Intervention :
normal  Catat pergerakan dada,
3 : deviasi sedang dari kisaran catat ketidaksimetrisan,
normal penggunaan otot-otot
4 : deviasi ringan dari kisaran bantu nafas, dan retraksi
normal pada otot supraclaciculas
5 : tidak ada deviasi dari kisaran dan interkosta.
normal
 Auskultasi suara nafas,
catat area dimana terjadi
penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan
Indikator Skala Skala keberadaan suara nafas
tambahan.
awal akhir  Berikan bantuan terapi
nafas.
Suara 2 5  Posisikan pasien miring
auskultasi ke samping untuk
pernafasan mencegah aspirasi.
 Pasang sensor
pemantauan oksigen non-
Penggunaan 2 5
invasif (seperti pasang
otot bantu
pada jari, hidung, dan
nafas
dahi) dengan mengatur
alarm pada pasien
Retraksi 2 5 beresiko tinggi.
dinding
dada
2. Terapi Oksigen

Sianosis 2 5 Observation :

 Monitor aliran oksigen.


Pernafasan 2 5  Monitor efektifitas terapi
cuping oksigen.
hidung  Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa
1 : sangat berat alat tersebut tidak
2 : berat menganggu upaya pasien
3 : cukup untuk bernafas
4 : ringan
5 : tidak ada Nursing Intervention :

 Bersihkan mulut, hidung


dan trakea dengan tepat.
 Pertahankan patenan jalan
nafas.
 Amati tanda-tanda
hipventilasi induksi
oksigen.
 Pantau adanya tanda-
tanda keracunan oksigen.

Education :
 Anjurkan pasien untuk
mendapatkan oksigen
tambahan sebelum
perjalanan udara atau
perjalanan ke daratan
tinggi dengan cara yang
tepat.
 Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
penggunaan oksigen di
rumah.

Collaboration :

 Konsultasi dengan tenaga


kesehatan lain mengenal
penggunaan oksigen
tambahan selama kegiatan
dan/atau tidur.
NIC : Manajemen Nyeri :
Nyeri akut b.d agen 1.Kontrol nyeri Akut
cedera biologis
Observation :
Indikator Skala Skala
awal akhir  Lakukan pengkajian
komprehensif dari nyeri
yang meliputi lokasi,
Mengenali 2 5
kapan pertama kali
kapan terjadi
dirasakan, frekuensi,
nyeri
intensitas nyeri, juga
faktor yang meringankan
Menggunaka 2 5 dan memicu nyeri.
n tindakan  Monitor nyeri
pengurangan menggunakan alat
(nyeri)tanpa pengukur yang valid dan
analgesik reliable sesuai usia dan
kemampuan
Melaporkan 2 5 berkomunikasi.
nyeri yang  Eksplorasi pengetahuan
terkontrol dan keyakinan pasien
terkait dengan nyeri
meliputi pengaruh
budaya.
1 : Tidak pernah menunjukkan  Menentukan dampak dari
2 : jarang menunjukkan pengalaman nyeri dalam
3 : kadang-kadang menunjukkan kualitas hidup.
4 : sering menunjukkan
5 : secara konsisten menunjukkan Nursing Intervention :

2.Tingkat nyeri  Yakinkan bahwa pasien


menerima perawatan
analgesik yang tepat
Indikator Skala Skala sebelum nyeri menjadi
awal akhir sangat berat atau sebelum
aktivitas yang memicu
Nyeri yang 2 5 nyeri.
dilaporkan  Pilih dan implementasikan
pilihan intervensi yang
sesuai dengan resiko
Ekspresi nyeri 2 5
pasien baik keuntungan
wajah
dan apa yang disukai
untuk memfasilitasi
1 : berat pengurangan nyeri yang
2 : cukup berat tepat.
3 : sedang  Dukung penggunaan
4 : ringan nonfarmakologi dan
5 : tidak ada pilihan farmakologi
seperti melakukan kontrol
nyeri.
 Cegah dan kelola efek
samping obat.
Education :

 Dukung pasien untuk


memonitor nyerinya
sendiri dan untuk
menggunakan pendekatan
manajemen diri.
Collaboration :

 Kolaborasi dengan pasien,


keluarga, dan profesi
kesehatan lain untuk
memilih dan
mengimplementasikan
tindakan mengontrol
nyeri.
 Gunakan pendekatan
multidisiplin untuk
manajemen nyeri pada
saat tepat.
 Libatkan keluarga dalam
modalitas pengurangan
nyeri, saat
memungkinkan.

Resiko infeksi b.d 1.Kontrol resiko: proses infeksi NIC: Kontrol Infeksi
imunosupresi
Observation:
Indikator Skala Skala
awal akhir  Alokasikan kesesuain
luas ruang per pasien,
seperti yang
Mengidentifikas 2 5
diindikasikan oleh
i faktor resiko
Pusat Pengendalian
infeksi
dan Pencegahan
Penyakit
Mengidentifikas 2 5
i tanda dan Nursing Intervention:
gejala infeksi
 Bersihkan lingkungan
dengan baik setelah
Menggunakan 2 5 digunakan oleh setiap
alat pelindung pasien
diri
 Ganti peralatan
perawatan per pasien
Mencuci tangan 2 5 sesuai protokol
institusi
 Anjurkan pasien
1 : tidak pernah menunjukan
2 : jarang menunjukan mengenai teknik cuci
3 : kadang-kaddang menunjukan tangan dengan tepat
4 : sering menunjukan  Lakukan tindakan-
5 : secara konsisten menunjukan tindakan pencegahan
yang bersifat
universal
 Pastikan penanganan
aseptik dari semua
saluran IV
 Tingkatkan asupan
nutrisi yang tepat

Education:

 Ajarkan pasien dan


keluarga mengenai
tanda dan gejala
infeksi dan kapan
harus melaporkannya
ke penyedia
perawatan kesehatan
 Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
cara menghindai
infeksi

Collaboration:

Ketidakseimbangan 1.Status nutrisi NIC: Manajemen Nutrisi


nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Observation:
Indikator Skala Skala
b.d faktor biologis
awal akhir  Tentukan status gizi
dan kemampuan
pasien untuk
Asupan gizi 2 5
memenuhi kebutuhan
gizi
Asupan 2 5  Identifikasi alergi atau
makanan intoleransi makanan
yang dimiliki pasien
Asupan 2 5  Tentukan apa yang
cairan menjadi preferensi
makan bagi pasien
 Tentukan jumlah
Energi 2 5
kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan
Rasio berat 2 5 untuk memenuhi
badan/tingg persyaratan gizi
i badan
Nursing Intervention:

Hidrasi 2 5  Berikan pilihan


makanan sambil
1 : sangat terganggu menawarkan
2 : banyak terganggu bimbingan terhadap
3: cukup terganggu pilihan makanan yang
4 : sedikit terganggu lebih sehat
5 : tidak terganggu  Ciptakan lingkungan
yang optimal pada
saat mengokonsumsi
makanan
 Bantu pasien terkait
perawatan mulut
sebelum makan
 Anjurkan pasien
untuk duduk dalam
posisi tegak di kursi
 Anjurkan keluarga
untuk membawakan
makanan favorit
pasien
 Tawarkan makanan
ringan yang pdat gizi

Education:

 Anjurkan pasien
mengenal modifikasi
diet

Collaboration:

 Berikan rujukan

Kerusakan 1.Integritas jaringan : kulit dan NIC: Perawatan Luka


integritas kulit b.d membran mukosa
imunodefisiensi Observation:

Indikator Skala Skala  Monitor karakteristik


awal akhir luka termasuk
drainase, warna,
ukuran, dan bau
Suhu kulit 2 5
 Ukur luas luka yang
sesuai
Sensasi 2 5
Nursing Intervention:
Elastisitas 2 5  Posisikan untuk
menghindari
Keringat 2 5 menempatkan
ketegangan pada
luka, dengan tepat
Tekstur 2 5
 Reposisi pasien
setidaknya setiap 2
Ketebalan 2 5 jam dengan tepat
 Dorong cairan yang
Perfusi 2 5 sesuai
jaringan  Tempatkan alat-alat
untuk mengurangi
tekanan
1 : sangat terganggu
 Oleskan salep sesuai
2 : banyak terganggu
dengan kulit atau lesi
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu Education:
5 : tidak terganggu
 Anjurkan pasien dan
Indikator Skala Skala keluarga untuk
awal akhir mengenal tanda dan
Lesi pada 2 5 gejala infeksi
kulit
 Anjurkan pasien dan
Pengelupasa 2 5
keluarga pada
n kulit
prosedur perawatan
1 : berat luka
2 : cukup berat
3 : sedang Collaboration:
4 : ringan
 Rujuk pada praktisi
5 : tidak ada
ostomy dengan tepat
 Rujuk pada praktisi
diet
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan suatu kondisi yang sering kali dijumpai pada kasus
penyakit sistemik dan penyakit ginjal yang dapat merusak glomerulus. Umumnya
sindrom nefrotik ini merupakan kumpulan klinis akibat rusaknya glomerulus ginjal
seperti proteinuria berat, albuminuria, hipoproteinuria, hiperkolesterolemia, dan edema.
Kasus ini sering terjadi pada anak-anak usia 1-2 tahun dan beberapa pada usia 8 tahun
dengan kasus yang paling tinggi berada pada rentang usia 2-6 tahun serta besar
penderitanya yaitu laki-laki dengan perbandingan 2:1 (Elizabeth, 2015; Manalu, 2019).
Kasus ini memerlukan pengkajian yang lengkap dan analisis yang tepat sehingga dapat
dilakukan penanganan yang spesifik sesuai dengan tanda gejala serta evaluasi yang
menyeluruh untuk menunjang derajat kesehatan yang optimal. Adapun diagnosis yang
dapat muncul pada klien dengan gangguan sindrom nefrotik antara lain kelebihan
volume cairan b.d tekanan hidrostatik tinggi, ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan
otot nafas, nyeri akut b.d agen biologis, resiko infeksi b.d imunosupresi,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis, dan
kerusakan integritas kulit b.d imunodefisiensi. Beberapa intervensi yang dapat
dilakukan untuk menunjang kesehatan pasien antara lain manajemen elektrolit/cairan,
monitoring pernafasan, terapi oksigen, manajemen nyeri akut, kontrol infeksi,
manajemen nutrisi, dan perawatan luka.

Penanganan tentu dilakukan untuk mengatasi beberapa permasalahan yang


dialami oleh klien sehingga derajat kesehatan klien dapat meningkat. Perawat perlu
mengetahui keilmuan mengenai sindrom nefrotik yang tentunya didasarkan atas dasar
teori terkini dan terbarukan karena dasar tujuan dari pelayanan kesehatan salah satunya
yaitu proses pengobatan dan pemulihan yang optimal. Oleh karena itu, sangat penting
bagi perawat untuk menguasai bidang keilmuan yang berkembang untuk menunjang
kesehatan pasien dan tentunya bentuk pelayanan kesehatan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arsita, E., 2017. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. Jurnal
Kedokteran Meditek, 23(64), pp. 73-82.

Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Ed.12. Jakarta: EGC.

Butcher, H. et al. 2018. Nursing Interventions Classifications (NIC). Ed.7. Indonesia:


Elsevier Inc.

Butcher, H. et al. 2018. Nursing Outcome Classifications (NOC). Ed.6. Indonesia:


Elsevier Inc.

Elizabeth, R. (2015). Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun. J
Agromed Unila. 2(3): 217-221.

Herdman, H. & Kamitsuru, S. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan


Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.
Immawati. (2017). Pengaruh Kepatuhan Pengobatan Terhadap Kejadian Kekambuhan
Pada Anak Pengidap Sindrom Nefrotik. Wacana Kesehatan. 2(2), pp. 191-199.
Jafar, M A. (2018). Perbandingan Aspek Klinis dan Laboratorium Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal dan Bukan Kelainan Minimal pada Anak. Skripsi. Program
Pendidikan Dokter Spesialis. Program Studi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran. Universitas Hasanuddin: Makassar.

Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Penyakit Sindrom Nefrotik. Karya Tulis Ilmiah.
Fakultas Kedokteran. Universitas Islam Bandung.

Mainnah, N M., Hendriyono FX., & Muljanto, S. (2019). Gambaran Kadar Kalsium
Total dan Vitamin D pada Anak Sindrom Nefrotik di RSUD Ulin Banjarmasin.
Homeostasis. 2(3): 451-460.

Manalu, E. (2019). Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Junal Ilmiah WIDYA. 5(3): 1-8.

Tanto, C. et all. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Tjiptaningrum, A. & Aulia, D., 2019. Gambaran Laboratorium pada Sindroma Nefrotik.
JK Unila, 3(2), pp. 290-295.

Tjokroprawiro, A. (2015). E-book: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.2: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press.
Wong, D. L. et al. (2020). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai