Anda di halaman 1dari 7

I.

JUDUL PENELITIAN:
KAJIAN BPTJ MENJADI SEBUAH OTORITAS TRANSPORTASI

II. LATAR BELAKANG:


Permasalahan transportasi Jabodetabek telah menjadi isu nasional sejak beberapa
tahun terakhir. Kemacetan lalu lintas yang semakin parah merupakan indikasi yang
paling nyata dari seriusnya permasalahan tersebut. Data dari Bappenas
menunjukkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta sekitar Rp67 triliun per tahun,
tentunya nilai kerugian akan semakin membengkak apabila perhitungan dilakukan
dalam skala yang lebih luas di lingkup Jabodetabek.
Sementara di sisi lain Jabodetabek menyumbang 60 % dari pergerakan ekonomi
nasional, dengan demikian transportasi di jabodetabek yang menjadi urat nadi
perekonomian apabila tidak dibenahi juga akan berdampak terhadap perekonomian
secara nasional pula.
Nilai kerugian ekonomi itu bisa membesar jika memasukkan kota di sekitarnya
seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Salah satu penyebab terjadinya
kemacetan tersebut karena Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek) terlambat membangun moda transportasi massal dan infrastruktur
lainnya. Kondisi itu diperparah dengan tidak terintegrasinya angkutan umum di
Jabodetabek, karena masing-masing pemerintah daerah (pemda) membangun
prasarana dan sarana transportasi serta Infrastruktur lainnya secara parsial atau
dengan kata lain adalah sendiri-sendiri. Selain itu pula, kebijakan dari pemerintah
pusat yang sering tumpang tindih dalam hal mengatasi kemacetan ibu kota semakin
memperparah kondisi, contohnya adalah kebijakan pembatasan kendaraan pribadi.
Dimana dapat kita lihat secara garis besar, Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Perhubungan belum menemukan titik temunya.
Pada tahun 2010 lalu, Pemerintah telah melakukan studi yang menghasilkan
rekomendasi perlunya pengelolaan transportasi di Jabodetabek ditangani oleh satu
badan otoritas tersendiri selevel Menteri dan Kapolri. Namun pada kenyataannya
rekomendasi tidak dapat dilaksanakan secara penuh, pada tahun 2015 muncul
Perpres No.103/2015 yang mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola
Transportasi Jabobetabek (BPTJ) sebagai institusi pengelola transportasi di
Jabodetabek.
Berbeda dengan rekomendasi studi yang pernah dilakukan, BPTJ yang akhirnya
berdiri ini bukan sebagai badan otoritas yang selevel menteri maupun Kapolri tetapi
merupakan unit kerja setingkat eselon I di bawah Kementerian Perhubungan. Lebih
dari itu, BPTJ yang baru efektif terbentuk pada tahun 2016 ini juga memiliki
kewenangan terbatas yaitu mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi di
Jabodetabek dengan mengkoordinasikan semua pemerintah daerah dan
kelembagaan/instansi lain yang terkait di dalamnya.
Mengapa saya signifikan untuk membawa permasalahan ini untuk diteliti, karena
menurut saya permasalahan transportasi di ibukota sangatlah kompleks. Bukan
hanya sekedar pengaturan, penataan dan pelaksanaan kebijakan saja di wilayah
ibukota, namun lebih luas lagi menyangkut wilayah sekitarnya seperti Jabodetabek.
BPTJ dengan posisi saat ini belum mempunyai kewenangan untuk pengambilan dan
pelaksanaan kebijakan yang kuat, tepat dan berdampak luas (karena seperti yang
sudah disampaikan sebelumnya, kota penyangga di sekitar Jabodetabek
mempunyai pemerintah daerah yang mungkin berprinsip wilayahnya saja aman) dan
juga instansi pusat. Sehingga penyelesaian permasalahan transportasi yang diambil
atau dilaksanakan tidak sepenuhnya menghasilkan solusi yang optimal bagi
transportasi di ibukota dan sekitarnya. BPTJ harus berperan menjadi sebuah badan
otoritas yang mempunyai hak dan kuasa penuh terhadap wilayah yang diamanahkan
untuk dikelolanya dengan baik.

III. PERUMUSAN MASALAH:


Tumpang tindih kebijakan, baik dengan pemerintah daerah maupun dengan
Kementerian terkait lainnya. Ini adalah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan
mengapa BPTJ yang terbentuk pada tahun 2015 dan mulai menjalankan tugas serta
fungsinya pada tahun 2016 perlu didorong kembali agar dapat menjadi sebuah
badan otoritas transportasi wilayah, khususnya wilayah Jabodetabek. Badan otoritas
yang mempunyai kewenangan sangat luas dan mutlak untuk mengatur dan
menjalankan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan, khususnya
di sector transportasi dan/atau perhubungan.
Jika sudah dibentuk, harapannya BOTJ (Badan Otoritas Transportasi Jabodetabek,
rencana BPTJ menjadi sebuah otoritas transportasi) tak hanya mengatur tentang
integrasi transportasi antar wilayah saja, namun juga mengurus rencana penataan
wilayah dan permukiman. Sebenarnya ini lebih makro. Bukan transportasi saja,
bahwa transportasi itu tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan tata guna yaitu
mendistribusikan jumlah penduduk, mengatur konsentrasi penduduk, mengatur
teknis berkaitan dengan insentif dengan pendapatan yang diperoleh pemerintah
daerah dan sebagainya. Pembentukan otoritas ini sama seperti yang dilakukan
Amerika Serikat dan Singapura. Tujuannya tidak hanya mengintegrasikan
transportasi, tetapi menyangkut hal yang lebih luas.
Oleh karena itu agar pembenahan transportasi Jabodetabek dapat terwujud
solusinya adalah memperkuat BPTJ menjadi sebuah Badan Otoritas yang memiliki
kewenangan penuh di bawah Presiden langsung. Hal ini mengingat penyelesaian
permasalahan transportasi di wilayah ini tidak melulu hanya masalah pembiayaan
namun juga penataaan yang bersifat lintas wilayah administratif dan juga
kemampuan sumber daya manusia yang tidak mungkin dilimpahkan ke Pemprov
DKI Jakarta saja, atau Kementerian Perhubungan saja.
Otoritas BPTJ harus ditingkatkan dari sekedar pejabat setingkat eselon I menjadi
lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah
presiden, dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang
mengoordinasikan seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas Batam.

IV. PERTANYAAN - TUJUAN PENELITIAN


1. Bagaimana Indeks kemacetan Ibukota sebelum adanya BPTJ dibandingkan
dengan setelah adanya BPTJ?
2. Bagaimana strategi BPTJ dalam menyelesaikan persoalan kemacetan dan
keruwetan transportasi di Ibukota dan wilayah sekitarnya? Kapan target itu akan
ter-realisasi?
3. Apakah pencapaian BPTJ saat ini sudah sesuai dengan rencana induk
transportasi Jabodetabek yang telah disusun? Jika belum tercapai, bagaimana
GAP GAP yang terbentuk jika dibandingkan realisasi dengan rencana?
4. Bagaimana BPTJ merumuskan, menetapkan, melaksanakan dan mengelola
kebijakan penyelesaian permasalahan transportasi wilayah? Apakah ada
benturan dengan kebijakan kebijakan dari pemerintah daerah setempat? Jika
ada benturan, bagaimana BPTJ melaksanakannya agar tujuan utama dari
kebijakan untuk penyelesaian masalah dapat tepat?
5. Bagaimana tugas dan fungsi (Contoh Badan Otoritas di Singapura (LTA, Land
Transport Authority)) melaksanakan perannya? Apakah benar benar efektif
dalam menjalankan kebijakan serta apakah menghasilkan penyelesaian
permasalahan secara optimal?
6. Bagaimana konsep badan otoritas transportasi yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia jika case study diambil dari beberapa negara?
Tujuan Penilitian ini pada akhirnya adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana
tingkat keefektifan dan keefisienan peran BPTJ dalam mengatasi permasalahan
kemacetan serta keruwetan transportasi di Ibukota serta wilayah sekitarnya, seperti
Jabodetabek. Dan memberikan gambaran bagaimana sebuah badan otoritas
transportasi (dengan case study dari negara negara lain yang sesuai untuk di
terapkan di Indonesia) dapat menjadi sebuah solusi yang lebih baik untuk
perumusan, penetapan, pelaksanaan dan pengelolaan kebijakan untuk penyelesaian
permasalahan transportasi ibukota dan sekitarnya.

V. KELOGISAN
Mencontoh Singapura dengan Land Transportation Authority (LTA), yang
merupakan Otoritas Transportasi di negara tersebut yang mempunyai kewenangan
luas dan tegas mengatur transportasi. Transportasi di Singapura adalah salah satu
contoh system transportasi terbaik di Asia Tenggara, bahkan dunia. Kita lihat
bagaimana Singapura dapat mengatur transportasinya dengan baik dan terintegrasi,
serta juga pelayanan yang sangat maksimal. Pembatasan kendaraan pribadi disana
tidak ada tumpeng tindih kebijakan dengan stakeholder lainnya, karena LTA disini
mempunyai dan diberi kewenangan dan penugasan yang jelas oleh negara untuk
dijalankan mengatasi permasalahan.
Wright, Steve (2015), dalam jurnalnya yang berjudul A European Model for Public
Transport Authorities in Small and Medium Urban Areas, menyimpulkan bagaimana
sebuah otoritas transportasi independent dapat menjadi solusi efektif dan efisien
dalam mengatasi kepadatan, keruwetan dan kemacetan ibu kota dan kota kota
besar di Eropa. Bahkan negara negara Eropa, mengkaji bagaimana otoritas
transportasi dapat juga terbentuk untuk level kota kecil dan medium. Karena
memang disana kepadatan dan luasan wilayah adalah hal mutlak, serta mobilitas
warga antar negara sudah menjadi hal biasa. Sehingga dalam penelitiannya, jika
tidak diatur dengan baik dengan otoritas, maka simpul simpul masalah baru akan
muncul, yang pada akhirnya kumulatif dapat menjadi besar.

VI. METODE & DESAIN


Jenis penelitian yang akan saya lakukan adalah penelitian kualitatif kuantitatif
deskriptif. Metode pengumpulan data yang akan saya lakukan adalah dengan:
a. FGD dengan stakeholder Perhubungan di Luar Negeri;
b. Pemberian Kuesioner dengan stakeholder Perhubungan di Luar Negeri serta
kepada sampel Pelajar Indonesia di Luar Negeri dan pelaksana otoritas transportasi
di negara tersebut. Yang mengangkat isu secara garis sebagai berikut: 1)
bagaimana system transportasi di negara tsb?; 2) Apakah anda puas dengan
layanan transportasi di negara tsb?; 3) Apa yang anda ketahui dengan Otoritas
Transportasi di negara tsb?; 4) Bagaimana menurut anda jika tidak ada Otoritas
Transportasi di negara tsb?;
c. Analisis data transportasi di negara tersebut;
d. Analisis Rencana Induk Transportasi Jabodetabek saat ini.
Mengapa saya mengambil 4 langkah tersebut di atas?. Karena menurut saya kajian
ini harus lengkap untuk ditilik dari segala aspek. Mulai dari aspek di Indonesia
sendiri sampai dengan best practice serta manfaat, keefektifan dan keefisienan di
negara yang akan menjadi tujuan case study.
Tidak semua otoritas transportasi di negara lain berhasil. Banyak aspek yang dapat
mempengaruhinya. Mulai dari budaya masyarakat sampai dengan kondisi yang
memang sudah pelik. Kondisi pelik yang terjadi ini, bukan berarti otoritas transportasi
gagal, namun memerlukan waktu yang lebih lama, biaya yang besar dan SDM
mumpuni yang sesuai minimal. Banyak negara berhasil, contoh adalah Singapura,
USA, Kanada, dan negara negara Eropa. Namun adapula yang belum berhasil,
contoh India. Namun dalam hal ini, semua kegagalan yang terjadi bukan menjadi
penghambat, namun dapat dijadikan pembelajaran dalam penerapannya nantinya.
Berikut gambaran rencana penelitian:
a. Semester 1 dan 2 Tahun 2022: Studi literatur, pengayaan jurnal dan karya ilmiah,
study case dengan atase Perhubungan (Contoh saat ini mungkin adalah Singapura,
Kanada dan USA);
b. Semester 1 Tahun 2023: FGD dengan stakeholder Perhubungan di Luar Negeri
dengan output adalah Laporan hasil FGD yang detail terkait pengayaan dan best
practice transportasi serta Peran dan Fungsi otoritas transportasi;
c. Semester 2 Tahun 2023: Pemberian Kuesioner dengan stakeholder Perhubungan
di Luar Negeri serta kepada sampel Pelajar Indonesia di Luar Negeri dan pelaksana
otoritas transportasi di negara tersebut. Output adalah Laporan Kuesioner.
d. Semester 1 Tahun 2024 : Analisis data transportasi di negara tersebut; Analisis
Rencana Induk Transportasi Jabodetabek saat ini.
e. Semester 2 Tahun 2024 : Proses penyusunan disertasi penelitian dan
menyelesaikan tahap tahap sampai dengan selesai.

VII. SIGNIFIKASI/ MANFAAT


Jika sudah dibentuk, harapannya BOTJ (Badan Otoritas Transportasi Jabodetabek,
rencana BPTJ menjadi sebuah otoritas transportasi) tak hanya mengatur tentang
integrasi transportasi antar wilayah saja, namun juga mengurus rencana penataan
wilayah dan permukiman. Sebenarnya ini lebih makro. Bukan transportasi saja,
bahwa transportasi itu tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan tata guna yaitu
mendistribusikan jumlah penduduk, mengatur konsentrasi penduduk, mengatur
teknis berkaitan dengan insentif dengan pendapatan yang diperoleh pemerintah
daerah dan sebagainya. Pembentukan otoritas ini sama seperti yang dilakukan
Amerika Serikat dan Singapura. Tujuannya tidak hanya mengintegrasikan
transportasi, tetapi menyangkut hal yang lebih luas.

VIII. KESIMPULAN – SARAN


Oleh karena itu agar pembenahan transportasi Jabodetabek dapat terwujud
solusinya adalah memperkuat BPTJ menjadi sebuah Badan Otoritas yang memiliki
kewenangan penuh di bawah Presiden langsung. Hal ini mengingat penyelesaian
permasalahan transportasi di wilayah ini tidak melulu hanya masalah pembiayaan
namun juga penataaan yang bersifat lintas wilayah administratif dan juga
kemampuan sumber daya manusia yang tidak mungkin dilimpahkan ke Pemprov
DKI Jakarta saja, atau Kementerian Perhubungan saja.

Otoritas BPTJ harus ditingkatkan dari sekedar pejabat setingkat eselon I menjadi
lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah
presiden, dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang
mengoordinasikan seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas Batam.

IX. DAFTAR PUSTAKA

Booz Allen Hamilton, in association with P. N. Bay. 2011. “Regional Organizational


Models for Public Transportation.” Prepared under TCRP Project J-11/Task 10.
Transportation Research Board, Washington, DC.
http://www.apta.com/resources/reportsandpublications/Documents/Organizational_M
odels_TCRP_J11_Task10.pdf, accessed May 5, 2015.

CAPRICE Project. 2011. “CAPRICE Project Good Practice Guide: A Decision


Maker’s Guide.” http://www.caprice-project.info/IMG/pdf/Guide_Caprice_2Mo.pdf,
accessed January 7, 2015.

European Commission. 2013. “Together Towards Competitive and Resource-


Efficient Urban Mobility.” Communication from the Commission to the European
Parliament, the Council, the European Economic and Social Committee, and the
Committee of the Regions. European Commission, Brussells. December.
http://ec.europa.eu/transport/themes/urban/doc/ump/com(2013)913_en.pdf,
accessed January 7, 2015.

Iseki, H. 2008. “Economies of Scale in Bus Transit Service in the USA: How Does
Cost Efficiency Vary by Agency Size and Level of Contracting?” Transportation
Research Part A, 42: 1086-1097.

Naniopoulos, A., E. Genitsaris, and I. Balampekou. 2012. “The Metropolitan


Transport Authority in Europe. Towards a Methodology for Defining Objectives,
Responsibilities and Tasks.” Procedia—Social and Behavioral Sciences, 48: 2804-
2815.

Nash, C., and Bray, D. 2014. “Workshop 5 Report: The Roles and Responsibilities of
Government and Operators.” Research in Transportation Economics, 48: 286-289.

Preston, J. 2010. “What’s So Funny about Peace, Love and Transport Integration?”
Research in Transportation Economics, 29 (1): 329-338.
UITP. 2011. “A Vision for Integrated Urban Mobility: Setting up your Transport
Authority.” International Association of Public Transport. April.

van de Velde, D. 2008. “A New Regulation for the European Public Transport.”
Research in Transportation Economics, 22 (1): 78-84.

Anda mungkin juga menyukai