Disusun Oleh :
Nim :(2019411005)
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan pembelajaran pada materi ini adalah bagaimana menyusun
program PHT dilapangan yang ditujukan untuk menanggulangi hama utama
dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap spesies-spesies hama yang
lain. Tahapan itu adalah menentukan status hama, identifikasi dan informasi
tentang ekobiologinya. Setelah itu ditentukan tingkat kerusakan ekonomi,
kerusakan ekonomi, ambang ekonomi dan posisi keseimbangan umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Suatu spesies menjdi hama, tergantung pada fase hidup spesies itu sendiri,
fase pertumbuhan tanaman, musim tanam, dan teknik agronominya. Misalnya
penggerek padi putih, Scirpophaga innotata ulatnya yang berstatus hama,
imagonya tidak. Walang sangit, Leptocoryxa oratorius hanya menjadi hama pada
bulir tanaman padi yang masih masak susu. Lalat kacang, Ophiomyia phaseoli
berstatus hama berbahaya ketika bibit kedelai masih dalam fase kecambah.
Nyamuk berstatus berbahaya ketika sudah menjadi imago, jentiknya tidak. Yang
berstatus hama dari nimfa sampai dengan imago misalnya wereng coklat dan kutu
daun, Aphid untuk menentukan apakah statusnya hama utama atau tidak (kurang
penting) sebagai hama diperlukan berbagai informasi kuantitatif mengenai daerah
pencamnya kelimpahannya, jenis kerugian yang ditimbulkannya dan berapa
besarnya dinilai dengan uang. Informasi-informasi ini dapat diperoleh dengan
mengumpulkan data dari survey dilapangan. Ada beberapa metoda survey yang
dapat ditempuh untuk memperoleh data yang seakurat mungkin. Namun dalam
keadaan memaksa (kurang biaya dan tenaga, wabah sudah meluas dan harus
secepatnya diambil keputusan pengendalian dengan PHT), surveinya terpaksa
harus dibatasi pada perolehan informasi yang penting-penting saja. Data yang
mungkin diperoleh lebih bersifat kualitatif dan segi kuantitatifnya berdasarkan
estimasi-estimasi saja.
Contoh 2: Ketika hama penggerak batang padi putih mewabah dijalur pantura
ada yang mengira, bahwa penggerak tersebut adalah yang kuning, Scirpophaga
incertulas, sebab sejak adanya pengairan Jatiluhur, yang putih, Scirpophaga
innotata menghilang dan digantikan oleh yang kuning tadi yang menjadi hama
endemik didaerah itu. Berdasarkan identifikasi yang teliti disimpulkan bahwa,
yang berkembang mencapai tingkat wabah ialah yang putih, Scirpophaga innotata.
Dengan mengumpulkan informasi tentang ekobiologinya dapat disusun teknologi
PHT yang menekankan kepada cara-cara fisik, mekanik, sanitasi dan pola tanam,
hingga wabah hama tersebut dapat diatasi (Oka, 2005).
Identifikasi hama utama tadi harus sampai pada spesies, hal yang tidak selalu
mudah. Untuk ini diperlukan koleksi referensi (reference collection) yang tersedia
dibalai-balai penelitian dan Universitas tertentu. Bila perlu lembaga-lembaga
penelitian luar negri tertentu mungkin dapat menolong dengan mengirimkan
spesimen hama tersebut kesana.
Informasi tentang eko-biologi hama utama tersebut amat diperlukan, seperti
prilaku, daur hidup, dinamika populasi, interaksinya dengan musuh-musuh alam
dan tanaman inangnya, pengaruh lingkungan fisik dan teknik agronomi yang
diterapkan. Ini dapat diperoleh dari studi pustaka hasil-hasil penelitian. Apabila
belum ada perlu dilakukan penelitian/studi tersendiri. Berdasarkan informasi-
informasi tersebut dapat dirancang suatu model pengendalian PHT yang
sederhana, terarah dan seefisien mungkin.
Tujuan usaha pertanian dari segi mikro (produsen) ialah mencapai keuntungan
bersih yang sebesar-besarnya dalam bentuk uang. Ini akan dicapai bila dapat
direncanakan perbandingan antara keuntungan dan ongkos pribadi (benefit/cost
ratio) yang sebesar besarnya. Dengan sendirinya petani akan mengusahakan
pemilihan masukan-masukan yang se-efisien mungkin, namun masih mampu
mendatangkan hasil yang setinggi-tingginya dalam jumlah dan mutunya. Jenis-
jenis masukan yang merupakan keharusan misalnya, Pupuk-pupuk kimia (N, P,
K), termasuk berapa jumlahnya untuk ketepatan dosis, jenis dan jumlah bibit yang
bermutu dan paling laku nantinya, peralatan yang paling diperlukan dalam proses
produksi dan penyimpanan, ongkos sewa tanah, tenaga kerja, dan pestisida berikut
alat serta ongkos aplikasinya untuk mengendalikan hama.
Menentukan tingkat kerusakan ekonomi (TKE) ini tidak mudah, sebab akan
bervariasi dari daerah kedaerah, dari musim ke musim dan perubahan nilai
ekonomi manusia terhadap hasil (Stem, et, al, 1959 dalam Oka, 2005). Misalnya
bila harga suatu hasil komoditi sangat tinggi dipasaran akan menyebabkan tingkat
kerusakan ekonominya relatif sangat sangat rendah, Contoh : suatu jenis tanaman
anggrek yang sangat mahal, tingkat kerusakan ekonominya akan sangat rendah,
dibandingkan dengan jenis-jenis yang harganya murah. Hal ini disebabkan karena
jenis tanaman yang sangat mahal itu bila sedikit saja terserang hama harganya
akan sangat turun. Orang akan bersedia mengeluarkan ongkos pengendalian yang
jumlahnya kira-kira sama dengan harga hasil yang hilang karena hama tadi atau
kalau mungkin yang ongkosnya masih dibawah harga hasil yang hilang itu.
Jumlah populasi wereng coklat yang rendah (beberapa ekor pada satu rumpun)
tidak menyebabkan kerusakan apa-apa, karena jumlahnya masih dibawah tingkat
kerusakan ekonomi. Bila jumlahnya sempat meningkat terus-menerus sampai
beberapa ribu per rumpun sudah jauh melampaui tingkat kerusakan ekonomi,
tanaman akan hangus seperti tebakar (hopperburn); dalam keadaan demikiaan
populasinya pun mulai memencar ke tanaman-tanaman sekelilingnya. Jadi ada
hubungan erat antara jumlah populasi dengan pemencarannya. Jumlah populasi
yang tinggi dengan pemencaran yang luas menempatkan hama tersebut kedalam
status ekonomi yang utama.
Gambar 13: Posisi keseimbangan umum hama ini terletak diatas tingkat kerusakan
ekonomi dan ambang ekonomi, hingga sering diaplikasikan insektisida agar tidak
terjadi kerusakan ekonomi, contoh : Musadomestica (lalat) dalam kualitas bangsal
perusahaan susu. (Stem et, al 1959 dalam Oka, 2005).
Apa sebab-sebabnya hama itu selalu berfluktuasi? Dalam keadaan alami
hama selalu berpotensi untuk meningkatkan jumlah populasinya hingga mencapai
potensi biotiknya (r-max). namun ini tidak pernah terjadi karena interaksinya
dengan tanaman inang dan faktor-faktor yang bertautan padat (cuaca). Makin
meningkat kepadatan populasi hama itu makin kuat kerja musuh-musuh alamnya
yang menurunkan kepadatan hama itu. Dengan menurunnya kepadatan populasi
hama itu daya kerja musuh-musuh alamnya juga menurun. Dengan menurunnya
kerja musuh-musuh alami itu kepadatan populasi hama dapat meningkat lagi.
Demikian seterusnya hingga kepadatan populasi hama selalu berfluktuasi.
Pengaruh cuaca yang buruk juga menurunkan kepadatan populasi hama itu. Bila
cuaca membaik kepadatan populasi hama dapat meningkat lagi. Keadaan cuaca
tidak dipengaruhi oleh kepadatan populasi hama. Tanaman inang yang
resisten/toleran ikut berperan menekan kepadatan populasi hamanya.
Hama itu "tidur" (tidak efektif) dimusim dingin dalam bentuk telur
didalam sista (hibernation).
Lingkungan didalam tanah sedikit sekali berpengaruh terhadap nematoda
itu;
Nematoda itu tidak mempunyai musuh-musuh alam yang berarti, karena
itu jumlah telur didalam tanah sebelum tanam memberikan indikasi yang
baik tentang tingkat serangan nantinya
Kehilangan hasil merupakan fungsi linier dengan tingkat serangan dan
oleh karena itu dengan memonitor telur-telumya didalam tanah sebelum
tanam potensi kehilangan hasil dapat diperkirakan;
Efektifitas, harga dan biaya aplikasi nematisida DD tersebut telah
diketahui.
PXDXKXQ = C
C 300 Telur
TKE = = =31 tanah
PDK 120 X 0,1 X 80 % gram
Konsep yang dikemukakan oleh Headley (1975) dalam Oka (2005) tidak
menyebutkan AE, tetapi mengusahakan keuntungan yang maksimal dari suatu
pengendalian. Jadi ia hanya menggunakan TKE saja. Ia mendefinisikan TKE
sebagai tingkat populasi hama yang terendah yang akan menyebabkan kerusakan
yang nilainya diatas biaya pengendalian buatan. Pengertian TKE disini adalah
batas kritis pengendalian dalam arti kepadatan populasi yang menghasilkan nisbah
keuntungan biaya pengendalian melebihi nilai 1. jadi tindakan pengendalian akan
dibenarkan bila perbandingan diantara nilai hasil yang diselamatkan masih
melebihi biaya pengendalian. Bila demikian definisi TKE versi Headley (1975)
dalam Oka (2005) sebenarnya adalah AE menurut Stern, et,al (1959) dalam Oka
(2005). Gambar 13 dibawah ini menjelaskan hal itu.
Gambar 14: Hubungan hipotesis antara nilai kerusakan yang disebabkan oleh
populasi spesies hama dan biaya pengendalian untuk menurunkan populasi hama
dibawah ambang kerusakan ekonomi (Headley, 1975 dalam Oka, 2005).
Pada titik PO jumlah populasi masih sedikit, pada P1 jumlah populasi
hama sudah bertambah, hingga menyebabkan kerusakan yang nilainya misalnya
Rp 100,-. Bila dikendalikan untuk menurunkan populasi ke PO biayanya
mencapai Rp 200,-. Perbandingan antara nilai kerusakan yang diselamatkan
dengan biaya yang dikeluarkan =1:2=0,5. jadi belum perlu melakukan
pengendalian pada P1. bila jumlah populasinya mencapai P2 dan segera
dikendalikan, nilai kerusakan yang dapat diselamatkan seharusnya masih lebih
besar dari Rp 200,- (mengikuti definisi diatas tadi) biaya pengendalian untuk
menurunkan populasi hama dari P2 ke PO adalah Rp 200,- pada P2 inilah jumlah
populasi hama minimum yang membenarkan pengendalian, sebab nilai kerusakan
yang diselamatkan lebih besar dengan biaya pengendalian. Dalam gambar 13
perbandingan antara nilai kerusakan yang terselamatkan dengan biaya
pengendalian adalah 1:1. bila jumlah populasi hama diperkirakan mencapai P3
atau P4, maka nilai kerusakan yang dapat dicegah dengan menurunkan populasi
ke P0 melampaui biaya Rp 200,- itu. Perbandingannya berturut-turut menjadi 2:1
dan 2,5:1 seperti disajikan dalam grafik. Jadi sudah terlambat!
Y=(1+P) X
Dimana:
Konsep ambang batas mulai dikenal sejak terbitnya buku The Integrated
Control Concept pada tahun 1959. Buku yang ditulis oleh Van Bosch, VM Stern,
RF Smith, dan KS Hagen itu menguraikan konsep tentang tingkat ekonomi
pengendalian hama. Menurut buku itu, kehadiran organisme pengganggu tanaman
(OPT) pada populasi sedikit tidak menjadi masalah karena kerusakan yang
ditimbulkan relative kecil. Saat itu pengendalian secara khusus, misalnya dengan
pestisida kimia, belum diperlukan karena biayanya terlalu tinggi dibandingkan
nilai kerusakan yang dicegahnya. Saat populasi hama atau serangan penyakit
menunjukkan gejala meluas sampai melebihi ambang, barulah pengendalian
dilakukan secara ekstensif. Itu pun sebatas mengurangi populasinya sampai di
bawah tingkat ambang, bukan memberantas sampai habis sama sekali.
Pemberantasan dengan memperhitungkan ambang lebih efektif, hemat, dan
meminimalkan potensi merusak lingkungan.
Dari prinsip PHT dapat dipahami bahwa dalam PHT keputusan kapan
pengendalian dengan pestisida dilakukan ditentukan oleh berapa aras ambang
pengendalian suatu hama, dan hasil pemantauan hama yang ada di lapangan.
Dengan membandingkan hasil pemantauan yang berupa populasi hama dan
musuh alami pada suatu saat dengan ambang pengendalian maka petugas
pengambil keputusan dapat menetapkan perlu atau tidaknya diadakan
pengendalian dengan pestisida.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad. 1993. Ambang Ekonomi dan Taktik Pengambilan Contoh
Mumford, J.D., and G.A. Norton. 1984. Economics of Decision making in pest
Nasir Saleh dan D.M. Tantera. 1991. Penyakit Virus dan Mikroplasma padi, Buku
Oka. Ida Nyoman. 2005. Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University