Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENGENDALIAN BIOLOGI

“TAHAPAN-TAHAPAN DALAM MENYUSUN


PROGRAM PHT”

Disusun Oleh :

Nama :Nanda Lia Putri Sari

Nim :(2019411005)

Dosen Pengampuh : Dra. Marmaini., M.P

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam keadaan lapangan terdapat sejumlah hama yang menyerang
tanaman. Diantaranya ada yang berstatus hama utama sebab dari segi ekonomi
paling merugikan; ada yang berstatus hama kurang penting, sebab tidak begitu
merugikan, hama sekunder, hama yang timbulnya sewaktu-waktu dan hama
potensial. Status sesuatu spesies hama dapat berubah dari berstatus hama
utama menjadi hama kurang penting atau sebaliknya. Juga tergantung dari
perkembangannya.
Sebaiknya penyusunan program PHT ditujukan untuk menanggulangi
hama utama dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap spesies-spesies
hama yang lain. Artinya jangan sampai program yang kita buat itu malah
menyebabkan spesies hama yang tidak penting berubah status menjadi hama
penting. Tahap pertama dalam menyusun program PHT harus dilakukan
terlebuh dahulu, sebelum masuk tahap berikutnya.

1.2. Tujuan
Tujuan pembelajaran pada materi ini adalah bagaimana menyusun
program PHT dilapangan yang ditujukan untuk menanggulangi hama utama
dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap spesies-spesies hama yang
lain. Tahapan itu adalah menentukan status hama, identifikasi dan informasi
tentang ekobiologinya. Setelah itu ditentukan tingkat kerusakan ekonomi,
kerusakan ekonomi, ambang ekonomi dan posisi keseimbangan umum.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Menentukan Status Hama, Identifikasi dan Informasi Tentang


Eko-biologinya.

Suatu spesies menjdi hama, tergantung pada fase hidup spesies itu sendiri,
fase pertumbuhan tanaman, musim tanam, dan teknik agronominya. Misalnya
penggerek padi putih, Scirpophaga innotata ulatnya yang berstatus hama,
imagonya tidak. Walang sangit, Leptocoryxa oratorius hanya menjadi hama pada
bulir tanaman padi yang masih masak susu. Lalat kacang, Ophiomyia phaseoli
berstatus hama berbahaya ketika bibit kedelai masih dalam fase kecambah.
Nyamuk berstatus berbahaya ketika sudah menjadi imago, jentiknya tidak. Yang
berstatus hama dari nimfa sampai dengan imago misalnya wereng coklat dan kutu
daun, Aphid untuk menentukan apakah statusnya hama utama atau tidak (kurang
penting) sebagai hama diperlukan berbagai informasi kuantitatif mengenai daerah
pencamnya kelimpahannya, jenis kerugian yang ditimbulkannya dan berapa
besarnya dinilai dengan uang. Informasi-informasi ini dapat diperoleh dengan
mengumpulkan data dari survey dilapangan. Ada beberapa metoda survey yang
dapat ditempuh untuk memperoleh data yang seakurat mungkin. Namun dalam
keadaan memaksa (kurang biaya dan tenaga, wabah sudah meluas dan harus
secepatnya diambil keputusan pengendalian dengan PHT), surveinya terpaksa
harus dibatasi pada perolehan informasi yang penting-penting saja. Data yang
mungkin diperoleh lebih bersifat kualitatif dan segi kuantitatifnya berdasarkan
estimasi-estimasi saja.

Setelah dapat ditentukan spesies hama utama tersebut kemudian dilakukan


identifikasi yang tepat. Identifikasi tidak cukup hanya berdasarkan morfologi
hama itu, tetapi yang lebih tepat ialah berdasarkan konsep biologi yaitu hubungan
reproduksinya, sebab perpindahan bahan-bahan genetiknya hanya melalui
reproduksi yang menjamin kontinuitas spesies tersebut (NAS, 1971). Identifikasi
hama itu merupakan kunci keberhasilan pengendaliannya. Kesalahan identifikasi
dapat mengakibatkan kekeliruan dalam pengendaliannya.

Contoh 1 : Dalam mengendalikan spesies lalat yang menyebabkan kematian


ternak hewan di Amerika Serikat bagian selatan, diusahakan sanitasi dengan
menyingkirkan bangkai-bangkai hewan yang telah mati. Ini dilakukan untuk
menghilangkan lalat-lalat yang selalu mengerumuni bangkai tersebut. Sebab lalat
itulah yang dipercaya penyebab kematian hewan tersebut, tetapi usaha sanitasi ini
tidak berhasil. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa lalat yang
mengerumuni bangkai itu bukan penyebabnya. Spesies yang benar benar
menyebabkan kematian hewan tersebut adalah spesies lain, namanya Coehliomyia
hominivorax, sedang yang mengerumuni dan memakan bangkai diidentifikasi
sebagai Coehliomyia macellina. Morfologi keduanya hampir sama tetapi
ekobiologinya berbeda Coehliomyia hominivorax meletakan telur-telurnya
didalam luka-luka hewan itu dan ulat-ulat yang keluar memakan dagingnya
hingga hewan yang terinfeksi menjadi makin kurus dan akhirnya mati. Kemudian
baru datang spesies lalat yang kedua untuk memakan bangkai hewan itu (Oka,
2005).

Contoh 2: Ketika hama penggerak batang padi putih mewabah dijalur pantura
ada yang mengira, bahwa penggerak tersebut adalah yang kuning, Scirpophaga
incertulas, sebab sejak adanya pengairan Jatiluhur, yang putih, Scirpophaga
innotata menghilang dan digantikan oleh yang kuning tadi yang menjadi hama
endemik didaerah itu. Berdasarkan identifikasi yang teliti disimpulkan bahwa,
yang berkembang mencapai tingkat wabah ialah yang putih, Scirpophaga innotata.
Dengan mengumpulkan informasi tentang ekobiologinya dapat disusun teknologi
PHT yang menekankan kepada cara-cara fisik, mekanik, sanitasi dan pola tanam,
hingga wabah hama tersebut dapat diatasi (Oka, 2005).

Identifikasi hama utama tadi harus sampai pada spesies, hal yang tidak selalu
mudah. Untuk ini diperlukan koleksi referensi (reference collection) yang tersedia
dibalai-balai penelitian dan Universitas tertentu. Bila perlu lembaga-lembaga
penelitian luar negri tertentu mungkin dapat menolong dengan mengirimkan
spesimen hama tersebut kesana.
Informasi tentang eko-biologi hama utama tersebut amat diperlukan, seperti
prilaku, daur hidup, dinamika populasi, interaksinya dengan musuh-musuh alam
dan tanaman inangnya, pengaruh lingkungan fisik dan teknik agronomi yang
diterapkan. Ini dapat diperoleh dari studi pustaka hasil-hasil penelitian. Apabila
belum ada perlu dilakukan penelitian/studi tersendiri. Berdasarkan informasi-
informasi tersebut dapat dirancang suatu model pengendalian PHT yang
sederhana, terarah dan seefisien mungkin.

2.2. Tingkat Kerusakan Ekonomi (TKE), Kerusakan Ekonomi Ekonomi


(AE), dan Posisi nbangan Umum (PKU) serta Ambang Pengendalian.

Tujuan usaha pertanian dari segi mikro (produsen) ialah mencapai keuntungan
bersih yang sebesar-besarnya dalam bentuk uang. Ini akan dicapai bila dapat
direncanakan perbandingan antara keuntungan dan ongkos pribadi (benefit/cost
ratio) yang sebesar besarnya. Dengan sendirinya petani akan mengusahakan
pemilihan masukan-masukan yang se-efisien mungkin, namun masih mampu
mendatangkan hasil yang setinggi-tingginya dalam jumlah dan mutunya. Jenis-
jenis masukan yang merupakan keharusan misalnya, Pupuk-pupuk kimia (N, P,
K), termasuk berapa jumlahnya untuk ketepatan dosis, jenis dan jumlah bibit yang
bermutu dan paling laku nantinya, peralatan yang paling diperlukan dalam proses
produksi dan penyimpanan, ongkos sewa tanah, tenaga kerja, dan pestisida berikut
alat serta ongkos aplikasinya untuk mengendalikan hama.

Sebelum PHT diterapkan tanaman "dilindungi" dengan pestisida dengan


penyemprotan secara berkala sampai beberapa kali dalam satu musim tanam,
tanpa memperdulikan ada hama atau tidak. Konsep "melindungi" tanaman yang
demikian berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau terjadi ledakan serangan hama.
Pendekatan ini menyebabkan masukan untuk pestisida menjadi mahal. Misalnya
untuk "melindungi" tanaman kubis atau bawang merah frekuensi penyemprotan
untuk semusim tidak kurang dari 16-20 kali Pengeluaran insektisida untuk
disemprotkan pada tanaman kubis mencapai 30% dari total biaya produksi
(Woodford et, al, 1981, dalam Sastrosiswojo, 1993).
Belum termasuk "harga" lingkungan dan kesehatan manusia pelakunya yang
terkena dampak negatif pestisida. Sebaliknya konsep PHT menekankan pada
penggunaan pestisida yang rasional, bila perlu saja, berdasarkan tingkat kerusakan
yang diperhitungkan secara ekonomi merugikan yang disebut tingkat kerusakan
ekonomi (TKE). (economic injury level). Apakah yang dimaksud dengan tingkat
kerusakan ekonomi (TKE). Stem et, al (1959) dalam Oka (2005) adalah pakar-
pakar entomologi yang pertama mengemukakan pengertian tersebut untuk
menanggulangi hama Aphid pada tanaman alfalfa dengan mengintegrasikan
komponen-komponen pengendalian biologi dan insektisida. Mereka
mendefinisikan tingkat kerusakan ekonomi (TKE) sebagai berikut : Kepadatan
populasi hama yang terendah yang akan mengakibatkan kerusakan ekonomi (KE).
Kerusakan ekonomi adalah besarnya kerusakan yang akan membenarkan
pengeluaran ongkos untuk pengendalian buatan.

Menentukan tingkat kerusakan ekonomi (TKE) ini tidak mudah, sebab akan
bervariasi dari daerah kedaerah, dari musim ke musim dan perubahan nilai
ekonomi manusia terhadap hasil (Stem, et, al, 1959 dalam Oka, 2005). Misalnya
bila harga suatu hasil komoditi sangat tinggi dipasaran akan menyebabkan tingkat
kerusakan ekonominya relatif sangat sangat rendah, Contoh : suatu jenis tanaman
anggrek yang sangat mahal, tingkat kerusakan ekonominya akan sangat rendah,
dibandingkan dengan jenis-jenis yang harganya murah. Hal ini disebabkan karena
jenis tanaman yang sangat mahal itu bila sedikit saja terserang hama harganya
akan sangat turun. Orang akan bersedia mengeluarkan ongkos pengendalian yang
jumlahnya kira-kira sama dengan harga hasil yang hilang karena hama tadi atau
kalau mungkin yang ongkosnya masih dibawah harga hasil yang hilang itu.

Contoh lain: Masyarakat selalu "diajarkan" untuk hanya membeli hasil-hasil


pertanian (buah-buahan, sayuran) yang memenuhi standar kosmetik yang tinggi
yaitu bebas dari noda-noda bekas serangan hama. Permintaan demikian
menyebabkan tingkat kerusakan ekonomi komoditi tersebut menjadi sangat
rendah. Jadi kepadatan populasi hama yang sangat rendah sekalipun sudah
dianggap merugikan. Produsen akan bersedia mengeluarkan ongkos pengendalian
sebesar nilai kerugian yang akan dideritanya oleh serangan hama yang
kepadatannya masih sangat rendah itu. Penelitian tingkat kerusakan ekonomi itu
juga harus memperhitungkan interaksi sejumlah variabel yang lain, yang
terpenting diantaranya adalah kepadatan populasi, pemencaran populasi, tingkat-
tingkat pertumbuhan tanaman yang diserang, perilaku hama, varietas tanaman,
kemampuan tanaman untuk mengkompensasi kerusakan, kondisi tanaman,
interaksi antara hama dan musuh-musuh alamnya, faktor cuaca dan kondisi tanah,
daya dukung tanaman dan interaksinya dengan gulma (Smith, 1983). Berikut ini
dikemukakan beberapa contoh :

Jumlah populasi wereng coklat yang rendah (beberapa ekor pada satu rumpun)
tidak menyebabkan kerusakan apa-apa, karena jumlahnya masih dibawah tingkat
kerusakan ekonomi. Bila jumlahnya sempat meningkat terus-menerus sampai
beberapa ribu per rumpun sudah jauh melampaui tingkat kerusakan ekonomi,
tanaman akan hangus seperti tebakar (hopperburn); dalam keadaan demikiaan
populasinya pun mulai memencar ke tanaman-tanaman sekelilingnya. Jadi ada
hubungan erat antara jumlah populasi dengan pemencarannya. Jumlah populasi
yang tinggi dengan pemencaran yang luas menempatkan hama tersebut kedalam
status ekonomi yang utama.

Sejumlah pengalaman dalam sekolah-sekolah lapangan pengendalian hama


terpadu (SLPHT) menunjukan bahwa, varietas varietas modern tanaman padi
ketika masih dalam masa pertumbuhan anakan, meskipun timbul gejala sundep
sampai 20% (serangan penggerek batang padi), secara ekonomi belum merugikan
karena tanaman tersebut masih mampu mengkompensasi anakan-anakan yang
terserang tadi. Jadi gejala sundep yang mencapai 20% itu belum mencapai tingkat
kerusakan ekonomi karena itu belum perlu dikeluarkan ongkos pengendalian
dengan insektisida. Musuh-musuh alam ikut menentukan tingkat kerusakan
ekonomi, sebab musuh musuh alam ini sangat membantu menurunkan jumlah
populasi hama. Misalnya hama wereng coklat pada tanaman padi, meskipun
jumlah populasi hama itu sampai beberapa ekor/tunas, karena bekerjanya musuh-
musuh alam cukup efektif, terutama laba-laba, populasi hama tersebut tidak
bertambah, malah kadang-kadang menurun. Jumlah populasi hama yang sedikit
itu belum merugikan secara ekonomi, jadi tidak perlu dikeluarkan ongkos
pengendalian dengan insektisida. Tanaman kedelai varietas wilis, setelah masa
berbunga, meskipun sekitar 30% daunnya habis oleh serangan hama-hama daun
karena tidak disemprot, hasil yang diperoleh tidak berbeda dibandingkan dengan
tanaman yang secara berkala diperlakukan dengan insektisida. Jadi jumlah
populasi hama yang menyebabkan kehilangan daun sebanyak itu belum mencapai
tingkat kerusakan ekonomi sehingga belum perlu diperlakukan dengan
insektisida. Varietas tanaman yang tahan atau toleran terhadap suatu spesies
hama, karena daya dukungnya cukup kuat, tingkat kerusakan ekonominya
mungkin akan lebih tinggi dibandingkan dengan varietas yang rentan yang daya
dukungnya sangat rendah. Adanya spesies-spesies gulma tertentu disekitar
pertanaman pokok yang memberikan perlindungan dan makanan bagi musuh-
musuh alam, akan meningkatkan jumlah populasinya. Dengan banyaknya
populasi musuh-musuh alam ini jumlah populasi hamanya dapat ditekan rendah-
rendah saja hingga tidak mencapai tingkat kerusakan ekonomi; sehingga tidak
perlu mengongkosi pengeluaran untuk insektisida.

Seperti disinggung diatas faktor sosio/ekonomi merupakan komponen-


komponen penting dalam menentukan tingkat kerusakan ekonomi: harga hasil,
harga pestisida, berikut peralatannya dan ongkos tenaga kerja untuk menyemprot.
Keengganan produsen untuk memikul resiko kegagalan berproduksi juga sangat
berpengaruh dalam menentukan keputusan. Terutama bagi para petani yang
pemilikan tanahnya sangat sempit itu sangat takut kalau-kalau hasilnya gagal
karena serangan hama. Mereka dihadapkan pada situasi ketidakpastian.
Kekhawatiran ini makin bertambah karena kebanyakan dari mereka kekurangan
uang kontan dan harus meminjam terlebih dahulu untuk dapat berusaha tani.
Kekhawatiran dan perasaan ketidak pastian ini disebabkan Karena kurang
pengertian akan situasi sebenarnya yang terjadi dalam agroekosistem yang
dikelolanya (hubungan hama-musuh alam- keadaan pertumbuhan tanaman-
varietas teknik-teknik agronomi). Dalam keadaan demikian mereka sangat
cenderung untuk "melindungi" saja tanaman dengan penyemprotan-penyemprotan
pestisida secara berkala.
Konsep yang erat hubungannya dengan tingkat kerusakan ekonomi, adalah
ambang ekonomi (AE) (Stem, et,al. 1959 dalam Oka, 2005) yang definisinya
adalah sebagai berikut: Ambang ekonomi adalah kepadatan populasi yang harus
dilakukan pengendalian untuk mencegah populasi hama mencapai tingkat
kerusakan ekonomi (disingkat menjadi KE). Dengan sendirinya ambang ekonomi
ini lebih rendah dari tingkat kerusakan ekonomi untuk memberikan kesempatan
mempersiapkan pengendalian dan agar perlakuan tersebut sempat memperlihatkan
pengaruhnya sebelum populasi hama mencapai tingkat kerusakan ekonomi. Para
ahli berpendapat nilai ambang ekonomi menggambarkan populasi maksimal
serangga atau makhluk lainnya yang potensial menjadi hama per tegakan tanaman
atau satuan luas sebelum kehadirannya menyebabkan kerusakan. Saat jumlah
melebihi ambang, itulah saat melakukan pengendalian. Selanjutnya konsep posisi
keseimbangan umum (PKU) yang definisinya sebagai berikut Posisi
keseimbangan umum ialah kepadatan rata-rata populasi selama suatu priode
(biasanya lama) dalam keadaan tidak adanya perubahan yang terus-menerus. Jadi
kepadatan rata-rata populasi dalam keadaan alami yang tidak diganggu oleh
campur tangan manusia.

Konsep-konsep tingkat kerusakan ekonomi (TKE), kerusakan ekonomi (KE),


ambang ekonomi (AE) dan posisi keseimbangan (PKU), merupakan dasar dalam
pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Secara teori keempat
konsep itu digambarkan sebagai berikut (Stem, et, al. 1959 dalam Oka, 2005).

Gambar 9, 10, 11, 12, 13 skema fluktuasi populasi-populasi arthopoda secara


teori sekitar posisi keseimbangan umum, ambang ekonomi dan tingkat kerusakan
ekonomi:
Gambar 10: Fluktuasi kepadatan populasi hama yang tidak pernah mencapai
status ekonomi, sebab fluktuasinya yang tertinggi masih berada jauh di bawah
tingkat kerusakan ekonomi dan ambang ekonomi, contoh : Aphis medicaginis
pada alfalfa di California. Populasi tersebut tidak dikendalikan.(Stem et, al 1959
dalam Oka, 2005)

Gambar 11: Posisi keseimbangan umum populasi arthopoda berada dibawah


ambang kerusakan ekonomi, tetapi fluktuasi populasinya yang tertinggi sekali-kali
melampaui ambang ekonomi. Contoh: Grapholitha molesta pada pohon persik di
California. Dikendalikan pada titik-titik hama mencapai garis ambang ekonomi.
(Stern et, a.l 1959 dalam Oka, 2005)
Gambar 12: Posisi keseimbangan umum hama ini berada dibawah tingkat
kerusakan ekonomi, tetapi fluktuasinya sering melampaui ambang ekonomi.
Contoh Lygus spp pada alfalfa di Amerika Serikat bagian barat. Dikendalikan
pada setiap titik hama mencapai ambang ekonomi. (Stern et, al 1959 dalam Oka,
2005)

Gambar 13: Posisi keseimbangan umum hama ini terletak diatas tingkat kerusakan
ekonomi dan ambang ekonomi, hingga sering diaplikasikan insektisida agar tidak
terjadi kerusakan ekonomi, contoh : Musadomestica (lalat) dalam kualitas bangsal
perusahaan susu. (Stem et, al 1959 dalam Oka, 2005).
Apa sebab-sebabnya hama itu selalu berfluktuasi? Dalam keadaan alami
hama selalu berpotensi untuk meningkatkan jumlah populasinya hingga mencapai
potensi biotiknya (r-max). namun ini tidak pernah terjadi karena interaksinya
dengan tanaman inang dan faktor-faktor yang bertautan padat (cuaca). Makin
meningkat kepadatan populasi hama itu makin kuat kerja musuh-musuh alamnya
yang menurunkan kepadatan hama itu. Dengan menurunnya kepadatan populasi
hama itu daya kerja musuh-musuh alamnya juga menurun. Dengan menurunnya
kerja musuh-musuh alami itu kepadatan populasi hama dapat meningkat lagi.
Demikian seterusnya hingga kepadatan populasi hama selalu berfluktuasi.
Pengaruh cuaca yang buruk juga menurunkan kepadatan populasi hama itu. Bila
cuaca membaik kepadatan populasi hama dapat meningkat lagi. Keadaan cuaca
tidak dipengaruhi oleh kepadatan populasi hama. Tanaman inang yang
resisten/toleran ikut berperan menekan kepadatan populasi hamanya.

Tingkat kepadatan populasi hama itu sendiripun ikut mengatur jumlah


populasinya. Jadi kepadatan populasi hama tersebut selalu berfluktuasi sekitar
suatu garis yang dinamakan posisi keseimbangan umum (PKU) (Stern et, al. 1959.
dalam Oka, 2005). Bila kepadatan populasi suatu hama relatif rendah-rendah saja
berarti letak garis posisi keseimbangan umumnya rendah. Sebaliknya bila jumlah-
jumlah kepadatan populasinya tinggi letak garis posisi keseimbangan umum itu
tinggi. Kenyataan di ekosistem alam mengesankan, bahwa letak garis PKU dari
kebanyakan populasi hama rendah. Fluktuasi kepadatan populasi hamanya
memang selalu terjadi, tetapi kepadatan yang tertinggi tidak pernah menyebabkan
tanaman-tanaman sampai rusak berat. Karena itu boleh dikatakan tidak terjadi
masalah hama pada tanaman-tanaman yang terserang.

Sebaliknya dalam agroekosistem sering terjadi, bahwa letak garis PKU


suatu hama tinggi dan kepadatan populasinya sangat berfluktuasi, mungkin karena
bekerjanya faktor-faktor lingkungan (musuh-musuh alam dan fisik) kurang efektif
atau tanaman inangnya rentan. Jadi letak garis PKU suatu spesies hama ditentukan
oleh interaksi spesies hama itu sendiri dengan faktor-faktor biologi dan fisik yang
membatasi perkembangannya.
Dari kepentingan produsen konsep-konsep tersebut (PKU, TKE, Ked an
AE) sangat penting artinya, apakah PKU suatu spesies populasi hama rendah atau
tinggi dan apakah fluktuasi kepadatannya yang tertinggi mencapai TKE, yang
mengakibatkan KE. Dimana letaknya AE agar dapat diambil keputusan
pengendalian dengan insektisida agar populasi hama tidak terus meningkat
mencapai TKE.

Berikut ini dikemukakan satu contoh bagaimana menerapkan konsep TKE


tersebut dalam pengendalian nematode sista, Heterodera rostochiensis pada
tanaman kentang dengan nematosida DD (Mumford and Norton, 1984).
Nematosida DD itu harus diaplikasikan sebelum tanam. Selanjutnya tersedia
beberapa informasi nematoda itu sebagai berikut : bioekologi

 Hama itu "tidur" (tidak efektif) dimusim dingin dalam bentuk telur
didalam sista (hibernation).
 Lingkungan didalam tanah sedikit sekali berpengaruh terhadap nematoda
itu;
 Nematoda itu tidak mempunyai musuh-musuh alam yang berarti, karena
itu jumlah telur didalam tanah sebelum tanam memberikan indikasi yang
baik tentang tingkat serangan nantinya
 Kehilangan hasil merupakan fungsi linier dengan tingkat serangan dan
oleh karena itu dengan memonitor telur-telumya didalam tanah sebelum
tanam potensi kehilangan hasil dapat diperkirakan;
 Efektifitas, harga dan biaya aplikasi nematisida DD tersebut telah
diketahui.

Berdasarkan informasi-informasi tersebut diatas TKE untuk aplikasi DD itu


dapat ditentukan:

(keuntungan pengendalian) (biaya pengendalian)

PXDXKXQ = C

P = harga kentang/ton ($120)

D = kehilangan hasil (ton/ha) untuk 1 telur/gram tanah (0,1)


K= pengurangan serangan oleh DD (80%)

Q = tingkat serangan (telur/gram tanah) dan C= ongkos pengendalian DD/Ha


($300)

C 300 Telur
TKE = = =31 tanah
PDK 120 X 0,1 X 80 % gram

Jadi pada kepadatan telur 31 buah/gram tanah harus dilakukan


pengendalian dengan DD, sebab pada angka inilah hasil yang didapat
diselamatkan setara dengan biaya pengendalian. Konsep TKE Sterm et, al. 1959
(dalam Oka, 2005) tersebut diatas menurut Mumford dan Norton (1984)
didasarkan atas analisa titik impas (break-even point) yaitu, bahwa nilai hasil yang
dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian setara dengan biaya yang
dikeluarkan untuk pengendalian (harga pestisida, alat dan tenaga).

Untuk menentukan TKE hama-hama lain lebih sulit, sebab sejumlah


variebel tehnik ikut berperan dalam menentukan fungsi kerusakan (peranan
musuh-musuh alam, respons tanaman terhadap hama, perubahan cuaca) dan sosial
ekonomi.(harga hasil, penilaian konsumen, faktor resiko, ketidak pastian) ikut
menentukan. Misalnya tanaman padi yang memperlihatkan gejala "sundep"
sampai 20% ketika masih berumur sekitar 2 bulan, belum tentu sudah mencapai
TKE, sebab tanaman seumur itu akan mengkompensasi tunas-tunas yang
terserang tadi. Kemampuan mengkompensasi kerusakan tergantung dari varietas
tanaman padi yang ditanam. Petani sendiri akan kesulitan menentukan TKE yang
mendekati ketepatan. Penelitian-penelitian harus dapat memberikan jawabnya.
Andaikan telah dapat ditentukan, bahwa TKE sundep adalah 25%, AE per definisi
menurut Stern et, al, (1959) dalam Oka, 2005, harus dibawah itu, tetapi beberapa
persen apakah, 15%, 20%, atau 24% sundep? Tidak dapat dipastikan berapa
persen yang paling tepat. Menentukannya tergantung pada tingkat keefektifan
insektisida yang akan dipergunakan dan keberanian untuk mengambil resiko. Juga
mungkin tergantung pada kecepatan perkembangan hama yang akan dikendalikan.
Bila perkembangannya lamban letak AE yang relatif dekat dengan TKE mungkin
masih aman, tetapi bila perkembangan suatu hama cepat, letak AE-nya harus
cukup jauh dibawah TKE, tetapi letaknya yang tepat sulit diperoleh.

Konsep yang dikemukakan oleh Headley (1975) dalam Oka (2005) tidak
menyebutkan AE, tetapi mengusahakan keuntungan yang maksimal dari suatu
pengendalian. Jadi ia hanya menggunakan TKE saja. Ia mendefinisikan TKE
sebagai tingkat populasi hama yang terendah yang akan menyebabkan kerusakan
yang nilainya diatas biaya pengendalian buatan. Pengertian TKE disini adalah
batas kritis pengendalian dalam arti kepadatan populasi yang menghasilkan nisbah
keuntungan biaya pengendalian melebihi nilai 1. jadi tindakan pengendalian akan
dibenarkan bila perbandingan diantara nilai hasil yang diselamatkan masih
melebihi biaya pengendalian. Bila demikian definisi TKE versi Headley (1975)
dalam Oka (2005) sebenarnya adalah AE menurut Stern, et,al (1959) dalam Oka
(2005). Gambar 13 dibawah ini menjelaskan hal itu.

Gambar 14: Hubungan hipotesis antara nilai kerusakan yang disebabkan oleh
populasi spesies hama dan biaya pengendalian untuk menurunkan populasi hama
dibawah ambang kerusakan ekonomi (Headley, 1975 dalam Oka, 2005).
Pada titik PO jumlah populasi masih sedikit, pada P1 jumlah populasi
hama sudah bertambah, hingga menyebabkan kerusakan yang nilainya misalnya
Rp 100,-. Bila dikendalikan untuk menurunkan populasi ke PO biayanya
mencapai Rp 200,-. Perbandingan antara nilai kerusakan yang diselamatkan
dengan biaya yang dikeluarkan =1:2=0,5. jadi belum perlu melakukan
pengendalian pada P1. bila jumlah populasinya mencapai P2 dan segera
dikendalikan, nilai kerusakan yang dapat diselamatkan seharusnya masih lebih
besar dari Rp 200,- (mengikuti definisi diatas tadi) biaya pengendalian untuk
menurunkan populasi hama dari P2 ke PO adalah Rp 200,- pada P2 inilah jumlah
populasi hama minimum yang membenarkan pengendalian, sebab nilai kerusakan
yang diselamatkan lebih besar dengan biaya pengendalian. Dalam gambar 13
perbandingan antara nilai kerusakan yang terselamatkan dengan biaya
pengendalian adalah 1:1. bila jumlah populasi hama diperkirakan mencapai P3
atau P4, maka nilai kerusakan yang dapat dicegah dengan menurunkan populasi
ke P0 melampaui biaya Rp 200,- itu. Perbandingannya berturut-turut menjadi 2:1
dan 2,5:1 seperti disajikan dalam grafik. Jadi sudah terlambat!

Kepada petani-petani individu Rabl (1972, dalam Oka, 2005)


menyarankan dalam menentukan TKE faktor-faktor berikut adalah penting
(dengan asumsi tidak ada biaya-biaya lain) :

1. Hubungan antara kerusakan fisik dengan berbagai kepadatan populasi


hama;
2. Nilai dan ongkos produksi pada berbagai tingkat kerusakan fisik;
3. Kerugian dalam uang dihubungkan dengan berbagai tingkat kerusakan
fisik;
4. Besarnya kerusakan fisik yang dapat dihindarkan oleh pengendalian.
5. Nilai dari berbagai produk yang dapat diselamatkan oleh pengendalian;
6. Biaya-biaya pengendalian.

Berdasarkan informasi tersebut diatas dapat ditentukan tingkat kepadatan


produksi hama yang membenarkan tindakan pengendalian untuk menyelamatkan
hasil yang nilainya setara dengan atau melebihi biaya pengendalian.
Dalam kenyataan dilapangan berbagai faktor eksternal, seperti nilai
lingkungan dan pengaruh pestisida terhadap musuh alam belum diperhitungkan.
Oleh karena itu penentuan TKE untuk hama tertentu mestinya hampir selalu lebih
tinggi dari kenyatan yang terlihat.

Di Indonesia penelitian mengenai keputusan pengendalian dengan pestisida


berdasarkan AE belum banyak dilakukan. Di zaman penjajahan belanda dalam
mengendalikan hama yang menyerang daun kelapa, artona catoxantha, keputusan
untuk memangkas daun-daun kelapa dan aplikasi insektisida Derris, berdasarkan
hasil pemantauan jumlah ulatnya. Seorang mantra pengamat harus menurunkan
setiap 2 pelepah/pohon, sampai beberapa puluh pohon. Bila ditemukan pada 2
pelepah daun/pohon 5 stadia Artona hidup (telur, ulat, kepompong, atau
ngengatnya) dan panjang ulat sudah mencapai 8mm pelepah pelepah harus
diperonggol atau segera diperlakukan dengan insektisida Derris (Joa Tjien Mo,
1953 dalam Oka, 2005).

Sastrosiswojo (1987) dalam usahanya memadukan pengendalian hayati dan


kimiawi untuk menanggulangi hama kubis, Plutella xylostella menetapkan
ambang kendali (AK) (diidentikan dengan ambang ekonomi) 0,3 larva stadium 3
dan 4 per tanaman contoh, sudah termasuk peranan parasitoid, Diadegma
eurocephaga, (D. semiclausum). Keputusan aplikasi insektisida menggunakan
rumus sebagai berikut :

Y=(1+P) X

Dimana:

Y = populasi larva P. xylostella yang perlu dikendalikan,

X = populasi larva P. xylostella rata-rata/tanaman

P = tingkat parasitasi larva P. xylostella oleh D semiclausum(angka decimal)

AK tersebut disarankan masih perlu perbaikan sebab kedalamnya belum


dimasukan variable ekonomi yaitu harga insektisida, biaya pengendalian, dan
harga hasil. Namun dengan menggunakan AK 0,3 ulat/tanaman contoh frekuensi
aplikasi insektisida sudah dapat diturunkan dari 16 kali menjadi hanya 2-3 kali
semusim. Tanpa mempengaruhi hasil. Ini suatu penurunan yang sangat
mengesankan.

Untuk mengendalikan ulat grayak, Spadoptera litura yang menyerang tanaman


kedelai, Arifin (1993) menetapkan AE-nya berdasarkan analisis regresi sebagai
berikut :

Apabila biaya pengendalian pada stadia pertumbuhan tanaman V-6-V7, R1-


R2, R3-R4 dan R5-R6, masing-masing diperkirakan Rp 29.000; Rp 37.000; Rp
43.000; dan Rp 43.500; per Ha dan harga kedelai Rp 750/kg. AK ulat grayak
tersebut, masing-masing 0,02; 0,04; 0,04; dan 0,07 kelompok telur atau 5,1; 8,5;
8,4; dan 17,1 ekor ulat instar I atau 3,4; 3,2; 3,2 dan 6,2 ekor ulat instar
III/rumpun. Penemuan ini mungkin masih perlu penyempurnaan ialah memasukan
variabel peranan musuh alam dalam kondisi ekologi tertentu, seperti Chrysopa sp,
Orius sp, laba-laba dan semut. Dengan demikian AK nya mungkin dapat lebih
tinggi.

Konsep ambang batas mulai dikenal sejak terbitnya buku The Integrated
Control Concept pada tahun 1959. Buku yang ditulis oleh Van Bosch, VM Stern,
RF Smith, dan KS Hagen itu menguraikan konsep tentang tingkat ekonomi
pengendalian hama. Menurut buku itu, kehadiran organisme pengganggu tanaman
(OPT) pada populasi sedikit tidak menjadi masalah karena kerusakan yang
ditimbulkan relative kecil. Saat itu pengendalian secara khusus, misalnya dengan
pestisida kimia, belum diperlukan karena biayanya terlalu tinggi dibandingkan
nilai kerusakan yang dicegahnya. Saat populasi hama atau serangan penyakit
menunjukkan gejala meluas sampai melebihi ambang, barulah pengendalian
dilakukan secara ekstensif. Itu pun sebatas mengurangi populasinya sampai di
bawah tingkat ambang, bukan memberantas sampai habis sama sekali.
Pemberantasan dengan memperhitungkan ambang lebih efektif, hemat, dan
meminimalkan potensi merusak lingkungan.

Penentuan ambang pengendalian suatu komoditas di daerah tertentu melalui


survey karena nilai ambang kerusakan akibat serangan suatu OPT setiap musim
akan berbeda-beda. Ambang serangan ulat jenis pemakan daun pada bawang
merah di musim kemarau adalah 5% daun rusak per tanaman sampel atau 1 paket
telur per 10 tanaman sample. Artinya kalau 5% daun tanaman sample rusak maka
itu saatnya melakukan pengendalian. Namun angka itu turun menjadi 10% daun
rusak dan 3 paket telur di musim penghujan karena saat itu populasi hama
berkurang. Secara sederhana ambang batas pengendalian dilakukan dengan
melihat ambang ekonomi dan taraf kerusakan ekonomi.

2.3. Ambang Pengendalian dan Pemantauan

Dari prinsip PHT dapat dipahami bahwa dalam PHT keputusan kapan
pengendalian dengan pestisida dilakukan ditentukan oleh berapa aras ambang
pengendalian suatu hama, dan hasil pemantauan hama yang ada di lapangan.
Dengan membandingkan hasil pemantauan yang berupa populasi hama dan
musuh alami pada suatu saat dengan ambang pengendalian maka petugas
pengambil keputusan dapat menetapkan perlu atau tidaknya diadakan
pengendalian dengan pestisida.

Penerapan PHT dilapangan sangat tergantung pada kelancaran arus informasi


dari lapangan ke para penentu keputusan melalui pemantauan dan kemudian
penentu keputusan menetapkan tindakan yang dilakukan. Proses ini berjalan
sebagi siklus yang terus menerus, mengingat dinamika ekosistem yang dikelola.

Ambang pengendalian atau ambang ekonomi merupakan ambang penentu


keputusan untuk setiap hama yang besarnya ditentukan melalui penelitian atau
secara empiric. Populasi hama pada aras tersebut mengakibatkan kerusakkan
tanaman yang nilainya sama dengan besarnya biaya pengendalian yang
dibutuhkan, sehingga apabila populasi di atas ambang tersebut secara ekonomi
pengeluaran biaya untuk pengendalian dibenarkan. Secara empiric ambang
ekonomi dapat ditentukan sebagai batas adanya populasi hama yangdapat
ditoleransi oleh petani setempat yang dirasakan belum mendatangkan kerugian
yang nyata. Untuk beberapa hama utama pertanian pangan dan pertanian
perkebunan di Indonesia nilai Ambang Ekonomi telah ditetapkan oleh
Departemen Pertanian.
Program pemantauan hama dilakukan secara rutin oleh petugas pengamat
dengan frekwensi tertentu tergantung pada jenis komoditi dan hamanya pada
wilayah pengamatan tertentu. Sistem pemantauan atau monitoring hama di
Indonesia telah lama dikembangkan terutama pada pertanian tanaman pangan.

BAB III

PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

1. Penyusunan program PHT ditujukan untuk menanggulangi hama utama


dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap spesies spesies hama
yang lain. Tahap pertama dalam menyusun program PHT adalah
menentukan status hama, identifikasi dan informasi tentang eko-
biologinya. Dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerusakan ekonomi
(TKE), kerusakan ekonomi (KE), ambang ekonomi (AE), dan posisi
keseimbangan umum (PKU).
2. Suatu spesies menjadi hama, tergantung pada fase hidup spesies hama itu
sendiri, fase pertumbuhan tanaman, musim tanam dan teknik
agronominya. Identifikasi hama utama harus sampai pada spesies.
Informasi tentang eko-biologi hama utama meliputi perilaku, daur hidup,
dinamika populasi, interaksinya dengan musuh-musuh alam dan tanaman
inangnya, pengaruh lingkungan fisik dan teknik agronomi yang
diterapkan.
3. Konsep PHT menekankan pada penggunaan pestisida rasional, bila perlu
saja, berdasarkan tingkat kerusakan diperhitungkan secara ekonomi
merugikan yang disebut tingkat kerusakan ekonomi (TKE). Menurut Stem
et al (1959) dalam Oka (2005) tingkat kerusakan ekonomi (TKE) adalah
kepadatan populasi hama yang terendah yang akan mengakibatkan
kerusakan ekonomi (KE). Kerusakan ekonomi adalah besarnya kerusakan
yang akan membenarkan pengeluaran ongkos untuk pengendalian buatan.
yang yang
4. Penentuan tingkat kerusakan ekonomi harus memperhitungkan interaksi
sejumlah variabel yang lain; yang terpenting diantaranya ialah kepadatan
populasi, pemencaran populasi, tingkat-tingkat pertumbuhan tanaman
yang diserang, prilaku hama, varietas tanaman, kemampuan tanaman
untuk mengkompensasi kerusakan, kondisi tanaman, interaksi antara hama
dan musuh-musuh alamnya, faktor cuaca dan kondisi tanah, daya dukung
tanaman dan interaksinya dengan gulma.
5. Konsep yang erat berhubungan dengan tingkat kerusakan ekonomi, ialah
ambang ekonomi (AE) dan posisi keseimbangan umum (PKU). Menurut
Stern et al (1959) dalam Oka (2005), ambang ekonomi ialah kepadatan
populasi yang harus dilakukan pengendalian untuk mencegah populasi
hama mencapai tingkat kerusakan ekonomi (KE). Posisi keseimbangan
umum adalah kepadatan rata-rata populasi selama suatu priode (biasanya
lama) dalam keadaan tidak adanya perubahan yang terus-menerus. (PKU)
6. Konsep-konsepnTKE,KE,AE dan PKU merupakan dasar dalam
pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad. 1993. Ambang Ekonomi dan Taktik Pengambilan Contoh

Populasi ulat grayak Spodoptera Litura F. Pada Tanaman kedelai. Tesis


SIII. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 204 hlm.

Mumford, J.D., and G.A. Norton. 1984. Economics of Decision making in pest

Management. Annu. 157-174. Rev. Entomol, 29 :

Nasir Saleh dan D.M. Tantera. 1991. Penyakit Virus dan Mikroplasma padi, Buku

II. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, Jl.


Merdeka 99, hlm : 855-874.

National Academy of Sciences (NAS). 1971. Insect Pest Management and

Control, Vol. 3 : 508 pp.

Oka. Ida Nyoman. 2005. Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University

Press. 255 hlm.

Sastrosiswojo Sudarwohadi. 1993. Development Mentation and Adoption of

Integrated Pest Management for Major Vegetable Pest in Indonesia's


Lembang Holticultural Res. Inst. Lembang-Bandung Po Box 587. 20 pp.

SUMBER BUKU SEBAGAI REFERENSI ADALAH “ PENGENDALIAN


HAMA TERPADU” yang di tulis oleh Dra. Marmaini., M.P.

Anda mungkin juga menyukai