Anda di halaman 1dari 57

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP

DENGAN PELAKSANAAN PROGRAM PENYAKIT


THALASEMIA PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN
KUNINGAN TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan

Disusun Oleh :

GALURA YUSUF KELANA


CKR0180131

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KUNINGAN
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP

DENGAN PELAKSANAAN PROGRAM PENYAKIT

THALASEMIA PADA MASYARAKAT DI

KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2022

Penyusun : GALURA YUSUF KELANA

NIM : CKR0180131

Program Studi : PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

Kuningan, Januari 2022

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ade Saprudin, S.KM., M.KM Ns. Rany Muliany Sudirman, S.Kep., M.Kep
NIK. 630217.200701.017
NIK. 850914.201102.045

11
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya, Alhamdulill ah penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Proposal yang berjudul “Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Dengan

Pelaksanaan Program Penyakit Thalasemia Pada Masyarakat di Kabupaten Kuningan

Tahun 2022”. Proposal ini disusun untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi

S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan (STIKKU). Adapun

dalam penyusunan Proposal ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan motivasi

dari berbagai pihak.

Penulis menyadari dalam penyusunan Proposal ini masih jauh dari kata

sempurna, dari segi teknik penulisan maupun teori. Untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk

bahan perbaikan dimasa yang akan datang.

Selama proses penulisan laporan penelitian ini, peneliti menyadari

banyak mengalami kesulitan dan hambatan. Namun dengan bimbingan, arahan,

dan motivasi dari berbagai pihak sehingga Alhamdulillah peneliti dapat

menyelesaikan laporan penelitian tepat pada waktunya. Maka dalam kesempatan

kali ini peneliti menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang

terhormat:

12
1. Prof. Dr. Hj. Dewi Laelatul Badriah, M. Kes, AIFO. Selaku Ketua Yayasan

Pendidikan Bhakti Husada Kuningan.

2. Abdal Rohim.,S.Kp.,M.H, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Kuningan.

3. Ns. Neneng Aria Nengsih, S.Kep., M.Kep Selaku Ketua Program Studi S-1

Ilmu Keperwatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan.

4. Bapak Ade Saprudin, S.KM., M.KM Selaku Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, arahan serta memberi banyak saran demi

terselesaikannya penulisan proposal ini dan motivasi selama proses penulisan

sehingga peneliti mendapat kemudahan dalam menyelesaikan laporan

penelitian ini.

5. Ns. Rany Muliany Sudirman, S.Kep., M.Kep Selaku Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi selama proses penulisan

laporan penelitian sehingga menumbuhkan semangat peneliti agar

menyelesaikan penulisan tepat pada waktunya.

6. Seluruh Staf Dosen Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Kuningan yang telah membantu dalam penyusunan Proposal ini.

7. Seluruh Staf Administrasu dan Pengelola Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Kuningan yang telah memfasilitasi penulisan dalam penyusuna

Proposal ini.

8. Bapak Haswidi, SE beserta jajarannya yang telah berkenan bekerjasama

bersama serta peneliti untuk melakukan penelitian.

13
9. Yang sangat saya cintai orangtua saya Mamah dan Bapak dan beserta

keluarga yang selalu memberikan dukungan serta kasih sayang yang tiada

hentinya yang menjadikan dorongan motivasi untuk penulisan laporan

penelitian ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan angkatan 2018 yang selalu mendukung

dan membantu peneliti memberikan semangat dan motivasi selama proses

penulisan laporan penelitian ini, terutama teman-teman Reguler D.

11. Dan tak lupa Sahabat – Sahabat saya Apip Saeful, Asep Syariffudin, Dimas

Januar, Kramayudha Arnansyah, Syaeful Robi Gunawan semoga dengan

iringan do’a kita semua dapat melewati masa-masa ini tepat pada waktunya.

Semoga Allah memberikan balasan atas jasa yang telah diberikan dan

menjadikan ladang pahala bagi kita semua, aamiin. Peneliti menyadari bahwa

dalam penulisan laporan penelitian ini masih terdapat banyak sekali kekurangan

dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu peneliti mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari pembaca demi terciptanya perbaikan di masa yang

akan datang.

Besar harapan penulis, Proposal ini bermanfaat khususnya bagi penulis,

dan umumnya bagi pembaca.

Wassalamua’laikum Wr. Wb

Kuningan, Januari 2022

Penulis

14
DaftarIsi

15
16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik (penurunan jumlah

sel darah merah karena adanya penghancuran sel darah merah secara

berlebihan) herediter yang diturunkan secara resesif. Secara klinis dibedakan

atas thalasemia mayor dan minor. Penyakit ini ditandai dengan adanya

kelainan sintesis rantai globin. Jika sintesis rantai globin terjadi penurunan

maka akan menyebabkan anemia dan mikrositosis karena sintesis

hemoglobinnya menurun (Kiswari, 2014).

Penyakit thalasemia menurut Cristanto (2014), yaitu :

a. Thalasemia Alfa

Thalasemia Alfa merupakan jenis thalasemia yang

mengalami penurunan sintesis dalam rantai alfa. Thalasemia ini

memiliki gejala yang lebih ringan bila dibandingkan dengan

thalasemia beta, beberapa kasus ditemukan thalasemia alfa ini sering

terjadi tanpa gejala. Keadaan sel darah merah yang mikrositik.

Umumnya jenis thalasemia alfa ini banyak dijumpai di beberapa

tempat di Asia Tenggara.

b. Thalasemia Beta

Thalasemia beta merupakan jenis yang mengalami penurunan

pada rantai beta. Jenis thalasemia beta mempunyai tanda dan

gejala yang sudah mulai terlihat bila dibandingkan dengan jenis

thalasemia rantai alfa dan memiliki gejala yang bervariasi. Dalam

17
jenis thalasemia ini gangguan yang terjadi adalah sintesis rantai

alfa – beta yang tidak berpasangan.

Pada jenis thalasemia beta, jenis ini dibagi kembali menjadi

tiga bagian yaitu :

1) Thalasemia minor/thalasemia trait ditandai oleh anemia

mikrostik, bentuk heterozigot, biasanya tidak memberikan

gejala klinis.

2) Thalasemia intermedia ditandai oleh splenomegaly,

anemia berat, bentuk homozigot.

3) Thalasemia mayor anemia berat, bentuk homozigot, tidak

dapat hidup tanpa transfuse, biasanya memberikan gejala

klinik (Cristanto, 2014).

Secara umum terdapat dua jenis thalasemia, yaitu

(Hidayat,2017) :

1) Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.

Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai

dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah.

Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa

menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel – sel

darah merahnya jadi lebih cepat rusak dan umurnya pun

sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan

transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya.

Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat

18
lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat

adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala

lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies

cooley. Facies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor,

yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi

menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu

keras untuk mengatasi kekuranganhemoglobin. Penderita

thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian

lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor

harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur

hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita

thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan.

Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-

lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti,

semakin berart penyakitnya, kian sering pula si penderita

harus menjalani tranfusi darah.

2) Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen

penyakit thalasemia,tanda-tanda penyakit thalasemia

tidak muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah,

namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga

akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka

menderita thalasemia mayor. Pada garis keturunan

pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia dengan

19
berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia,

lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan.

Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dam akan tetap

ada di sepanjang hidup penderitamya, tapi tidak

memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya.

Menurut World Health Organization (WHO), penyakit thalasemia

merupakan penyakit genetik terbanyak di dunia yang saat ini sudah

dinyatakan sebagai masalah kesehatan dunia. Kurang lebih 7% dari penduduk

dunia mempunyai gen Thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai

dengan 40% kasusnya, di Asia dan Indonesia merupakan negara yang

termasuk dalam kelompok beresiko tinggi untuk penyakit Thalasemia (Dahnil

& Mardiniyah, 2017).

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi

thalasemia. Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia adalah

sekitar 3-8%. Jika presentase thalasemia mencapai 5%, denganangka

kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk, maka diperkirakan ada sekitar

3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir di Indonesia setiap tahunnya. Hasil

Riset Kesehatan Dasar atau Rikesdas tahun 2012, menunjukan bahwa

prevelensi nasional thalasemia adalah 0,1%. Ada 5 provinsi yang menunjukan

prevelensi thalasemialebih tinggi dari prevalensi nasional yaitu : Aceh 13,4%,

Jakarta 12,3%, Sumatra Selatan 5,4%, Gorontalo 3,1%, dan Kepulauan Riau

3%. Setiap tahun, sekitar 300 ribu anak dengan thalasema akan dilahirkan dan

20
sekitar 60-70 ribu diantaranya adalah penderita dari jenis Beta-thalasemia

mayor (Bruno, 2019).

Sementara di Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penderita

thalasemia terbanyak di Indonesia. Penderita thalasemia di Indonesia terdata

sekitar 9.000 penyandang thalasemia mayor (berat), dari jumlah itu 40% atau

3.264 berasal dari Jawa Barat (Susanah, 2018).

Pada tahun 2016, prevalensi Thalasemia mayor di Indonesia

berdasarkan data UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia mencapai

jumlah 9.121 orang. Berdasarkan data Yayasan Thalasemia

Indonesia/Perhimpunan Orang Tua Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa

penyandang thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan dari 4.896

penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028 penyandang pada tahun 2018

(Kemenkes RI, 2019).

Belum ada obat umtuk menyembuhkan pasien thalasemia. Menurut

(Wong, 2009). Terapi suppotif bertujuan memperthankan kadar Hb yang

cukup untuk mencegah ekspansi sumsum tulang dan defor,itas tulang yang

diakibatkannya,secara menyeduakan eritrosit dalam jumlah yang cukup untuk

mendukung pertumbuhan dan aktifitas fisik yang normal. Transfusi darah

diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 gr/dl atau bila anak terlihat lemah dan

tidak nafsu makan (Ulfa & Wibowo, 2017).

Berdasarkan hasil data di Paguyuban Thalasemia Kuningan penulis

mendapatkan data penyandang thalasemia di kabupaten kuningan pada tahun

2012 sebanyak 48 orang dan pada tahun 2021 menngkat menjadi sebanyak

21
137. Berdasarakan hasil wawancara kepada 10 masyarakat di kecamatan

Kuningan, didapatkan hasil 5 dari 10 masyarakat yang diwawacara kurang

paham tau mengenai penyakit thalasemia, 2 dari 10 masyarakat yang

diwawancarai sedikit paham terhadap penyakit thalasemia dan 3 dari 10

masyarakat yang diwawancara paham akan penyakit thalasemia.

Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan pelaksanaan program

penyakit thalasemia khusunya pada masyarakat kabupaten Kuningan Jawa

Barat tahun 2022.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan

masalahnya adalah “Apakah ada hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap

Dengan Pelaksanaan Program Penyakit Thalasemia pada Masyarakat di

Kabupten Kuningan Tahun 2022 ?’

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan

pelaksanaan program penyakit thalasemia pada masyarakat di kabupaten

kuningan tahun 2022.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gambaran pengetahuan penyakit thalasemia pada

masyarakat di kabupaten kuningan tahun 2022.

22
2. Mengidentifikasi gambaran sikap pengetahuan penyakit thalasemia pada

masyarakat di kabupaten kuningan tahun 2022.

3. Mengidentifikasi pelaksanaan penyakit thalasemia pada masyarakat di

kabupaten kuningan tahun 2022.

4. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan

program penyakit thalasemia pada masyarakat di kabupaten kuningan

pada tahun 2022.

5. Menganalisis hubungan antara sikap dengan pelaksanaan program

penyakit thalasemia pada masyarakat di kabupaten kuningan pada tahun

2022.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

tambahan kajian, dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya di

bidang Keperawatan Komunitas, tentang hubungan antara pengetahuan dan

sikap dengan pelaksaan program penyakit thalasemia pada masyarakat di

kabupaten kuningan tahun 2022.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Responden

Penelitian ini dapat meningkatkan informasi dan wawasan

mengenai pengetahuan terhadap penyakit thalasemia.

2. Bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan

23
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peningkatan

program pengetahuan penyakit thalasemia bagi masyarakat di

Kabupaten Kuningan.

3. Bagi Peneliti

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan penyakit

thalasemia.

4. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan peningkatan

kualitas Profesi Keperawatan.

5. Bagi STIKes Kuningan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran dan

referensi bagi penelitian selanjutnya.

24
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Thalasemia

2.1.1 Fisiologis darah

Sistem hematologi termasuk kedalam sistem vital

kedalam tubuh tapi berbentuk cairan berbeda dari organ

tubuh lainnya. Sistem ini terdiri dari darah dan tempat

pembentukan darah. Darah pada tubuh manusia diproduksi di

sumsum tulang tubuh. Darah merupakan suspensi dari partikel

dalam larutan koloid cair yang mengandung elektrolit.

Perannya adalah sebagai medium pertukaran antara sel-sel

yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta

memiliki sifat protektif terhadap organisme sebagai suatu

keseluruhan, khususnya terhadap darah sendiri (Mutaqin,

2015).

Dalam tubuh manusia sekitar 8% dari berat badan

tubuh manusia adalah volume darah normal atau sekitar 5

liter. Darah mengalir diseluruh tubuh dalam pembuluh darah,

dan akan menyalurkan oksigen dari paru-paru ke seluruh

tubuh untuk metabolisme sel. Selain mengangkut oksigen,

darah balik juga mengangkut sisa-sisa metabolisme sel ke

paru-paru, kulit, dan ginjal yang nantinya akan dibuang keluar

dari tubuh seperti CO2, urin, dan keringat. Darah juga

25
berfungsi sebagai penyalur antibodi atau sel darah putih yang

dapat menjangkau keseluruh bagian tubuh. (Lyndon, 2014)

Komposisi darah manusia terdiri atas komponen

cairan darah yang disebut plasma darah. Plasma darah 91%

terdiri dari air yang berperan sebagai medium transpor, dan

elemen padat lain sebanyak 9%. Zat padat tersebut terdiri

dari protein seperti: albumin, globulin, dan fibrinogen

sekitar 7% dan 2% cairan lainnya berupa unsur anorganik

seperti ion-ion natrium, kalsium, kalium, fosfor, besi, dan

iodium. Unsur organik berupa zat-zat nitrogen non-protein,

urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino, lemak netral,

fosfolipid, kolesterol, glukosa, dan berbagai enzim sperti

amilase, protease, juga lipase. Dari tiga jenis protein

serum, albumin yang dibentuk di hati merupakan 58% dari

seluruh protein serum. Fungsi utama dari albumin dalam

darah adalah mempertahankan volume darah dengan

menjaga tekanan osmotik koloig, pH dan keseimbangan

elektrolit, serta transpor ion logam, asam lemak, steroid,

hormon, dan obat-obatan (Lyndon, 2014).

Globulin merupakan bagian (38%) dari protein

serum, globuklin dibentuk didalam hati dan jaringan

limfoid. Antibodi dan protombin dibentuk oleh globulin

serum. Fibrinogen yang jumlahnya 4% penting bereran

26
dalam pembekuan darah. Sel darah dibagi menjadi eritosit

(sel darah merah) nilai normalnya 4,2-6,2 juta/mm3 darah

dan sel darah putih (leukosit) yang nilai normalnya 5.000-

10.000/ mm3 darah. Perbandingan eritrosit dan leukosit

dalam plasma darah sekitar 500 – 1000 eritrosit berbanding

dengan satu leukosit. Leukosit dapat berada dalam beberapa

bentuk, yaitu : eosinofil, basofil, monosit, neutrofil, dan

limfosit. Komponen

27
seluler darah ini normalnya menyusun 45% volume darah. Warna merah

dalam darah dihasilkan dari hemoglobin yang terkandung dalam sel darah

merah (Mutaqin, 2015).

Darah pada tubuh dibentuk atau diproduksi oleh sumsum tulang,

sumsum tulang terletak pada bagian dalam tulang spons dan bagian tengah

rongga tulang panjang. Dari berat badan total, 4-5% merupakan sumsum

tulang sehingga merupakan zat yang paling besar dalam tubuh. Sumsum

tulang dapat berwarna merah atau kuning. Sumsum merah merupakan

sumsum tulang utama untuk pembentukan sel darah merah aktif

(hematopoetik), sedangkan sumsum tulang kuning tersusun terutama oleh

lemak dan tidak aktif dalam produksi elemen darah.

Dalam masa anak-anak, sumsum merah lebih banyak terdapat pada

tubuh dibandingkan dengan sumsum kuning. Sesuai dengan pertambahan

usia, sumsum merah ini lama-lama berubah menjadi sumsum kuning, tapi

masih mempertahankan potensi untuk kembali menjadi sumsum merah atau

jaringan hemapoetik jika diperlukan. Pada orang dewasa sumsum merah

paling banyak terdapat pada tulang iga, kolumna vetebralis, dan tulang pipih

lainnya (Lyndon, 2014).

Sumsum sangat banyak mengandung pembuluh darah dan tersusun

atas jaringan ikat yang mengandung sel bebas. Sel paling primitif dalam

populasi sel bebas ini adalah stem sel yang merupakan prekusor dari dua

garis keturunan sel yang berbeda. Garis keturunan mieloid meliputi :

eritrosit, berbagai jenis leukosit, dan trombosit. Garis keturunan limfoid

berdiferensiasi menjadi limfosit. (Mutaqin, 2015).

2.1.1.1 Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sel darah merah atau eritrosit berbentuk cakram bikonkaf

yang tidak berinti dan beridameter sekitar 8 µm. Eritrosit ini

bersifat fleksibel, jadi eritrosit mampu melerwati kapiler yang


diameternya 4 µm. Selain flesibel membran sel darah merah juga

sangat tipis, sehingga gas (O2 atau CO2) dapat dengan mudah

berdifusi melaluinya. Sel darah merah yang matur terdiri atas

hemoglobin, yang menyusun hinggan 95% massa sel. Jumlah besar

hemoglobin dalam darah ini menjalankan fungsi utamanya, yaitu

mengangkut oksigen dan karbondioksida. Sel darah merah tidak

berinti dan hanya sedikit memiliki enzim metabolisme

dibandingkan dengan sel lainnya (Mutaqin, 2014).

Dalam tubuh jumlah sel darah merah (eritrosit) sekitar 5

juta/mm2 pada orang dewasa. Usia sel darah merah 120 hari, dan

kesimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dan

penggantian sel setiap hari. Pembentukan sel darah merah

dirangsang oleh hormon glikoprotein, suatu eritropoetin yang

dikeluarkan ole ginjal. Pembentukan ertitopoetin ini juga

diperngaruhi oleh hipoksia jaringan (kurangnya kadar oksigen

dalam tubuh).

Sel darah merah mulai dibentuk melalui adanya

proeritroblast yang kemudian berdiferensiasi menjadi eritroblas di

dalam sumsum tulang. “Eritroblast (sel berinti yang dalam proses

pematangan di sumsum tulang menimbun hemoglobin) pada 24

jam kemudian menjadi basofil eritroblast dan pada hari berikutnya

menjadi polikomatrofil ertitroblast. Selanjutnya nuklues keluar dari

inti sel pada hari ke-4” menurut Price (1995) dalam Mutaqin, Arif

(2015).

Pada hari berikutnya sel darah merah memasuki peredaran

darah sebagai retikulosit sumsum tulang. Retikulosit adalah

stadium akhir dari perkembangan sel darah merah belum matang

dan mengandung jala yang terdiri atas serat-serat retikular.


29
Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama 24 jam sampai

48 jam pematangan. Retikulum kemudian larut dan menjadi sel

darah merah yang matang atau matur.

Untuk produksi eritrosit normal, sumsum tulang

memerlukan besi, vitamin b, asam folat, piridoksin (viatmin B6)

dan faktor lainnya. Defisiensi faktor-faktor tersebut selama

eritropoesis mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah

dan anemia. Sel darah merah yang sudah tua atau berumur 120 hari

atau yang mengalami kerusakan akan di hancurkan oleh makrofag

dari sistem retikuloendotelial, khususnya dalam hati dan limfa.

Penghancuran sel darah merah oleh sel retikuloendotelial ini

menghasilkan pigmen yang disebut bilirubin. Bilirubin merupakan

hasil metsbolisme yang disekresikan dalam empedu. Hemoglobin

difagositosi dalam limfa, hati, dan sumsum tulang. Kemudian

direduksi menjadi globin dan hemoglobin untuk masuk kembali

kedalam sumber asam amino. Besi yang dibebaskan dari heme dan

sebagian besar diangkut oleh transterin ke sumsum tulang untuk

pembentukan sel darah merah baru. Sisa besi disimpan didalam hati

dan jaringan tubuh lain dalam bentuk feritin dan hemosiderin.

Cadangan ini akan digunakan lagi di kemudian hari (Lyndon,

2014).

2.1.1.2 Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih atau leukosit dibagi menjadi 2 kategori,

yang pertama granulosit dan yang kedua mononuklear

(agranulosit). Normal leukosit yang terdapat dalam darah sekitar

5.000-10.000 sel/mm3, dengan perbandingan granulosit 60% dan

40% sel mononuklear. Perbedaan leukosit dan eritrosit sangat jelas

terlihat dibawah mikroskop, dengn adanya inti, ukurannya yang


30
lebih besar dan perbedaan kemampuan mengikat warna pada

leukosit. Fungsi utama dari leukosit adalah melindungi tubuh

terhadap invasi bakteri, virus, atau benda asing lain yang masuk.

(Lyndon, 2014).

2.1.1.3 Trombosit

Trombosit adalah partikel keci, berdiameter 2µm-4 yang

terdapat dalam sirkulasi plasma darah. Jumlah normal trobosit

dalam darah sekitar 200.000-400.000/mm3 darah, tergantung pada

jumlah yang dihasilkan, bagaimana digunakan, dan kecepatan

kerusakan trombosit.

Fungsi utama trombosit sebagai pembekuan darah dengan

mekanisme ketika komponen cairan darah di tranformasi menjadi

cairan semisolid yang dinamakan bekuan darah, bekuan darah

tersebut tersusun atas sel-sel darah yang terperangkap dalam jaring-

jaring fibrin. Fibrin dibentuk oleh protein dalam plasma melalui

urutan reaksi yang kompleks (Mutaqin, 2015).

2.1.2 Thalasemia

2.1.2.1 Definisi

Thalasemia termasuk kedalam gangguan hematologi genetik

dan anemia kronis (hemoglobinopati), dimana usia darah merah atau

eritrosit kurang dari 120 hari (Mutaqin, 2015). Thalasemia

merupakan penyakit genetik, yang disebabkan oleh kurangnya

sintesis rantai polipeptid yang menyusun rantai globin dan

hemoglobin. Kurangnya sintesis globin dan hemoglobin itulah yang

menyebabkan pasien dengan thalasemia identik dengan kekurangan

darah merah (eritrosit) dan termasuk kedalam kelompok anemia

hemolitik.

31
Thalasemia dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu thalasemia

mayor dan thalasemia minor. Thalasemia minor adalah keadaan

dimana pasien tersebut hanya pembawa sifat atau carrier, yang

nantinya apabila seseorang dengan thalasemia minor menikah

dengan thalasemia minor kembali kemungkinan anaknya akan

menderita thalasemia mayor sebesar 25% (Thalasemia International

Foundation, 2014).

2.1.2.2 Etiologi

Penyakit thalasemia adalah penyakit herediter dan diturunkan

dari orang tua. Orang tua yang beresiko melahirkan anak dengan

thalasemia, jika kedua orang tua karier atau pembawa sifat dan

anaknya berpeluang 25% akan menderita thalasemia, 25% lain

berpeluang menjadi individu sehat dan 75% lainnya menjadi karier

thalasemia. Secara teori keadaan thalasemia disebabkan oleh

kerusakan gen atau mutasi pada HB gen globin, yang merombak sub

unit beta dalam kebanyakan hemoglobin pada orang dewasa (WHO,

2016). Mutasi ini mengakibatkan pengurangan sintesis β-globin,

eritropoesis tidak efektif, hemolisis kronis, dan anemia. Dalam kasus

dengan tingkat keparahan yang hebat atau severe, transfusi sel darah

merah jangka panjang atau seumur hidup sering dilakukan, juga

pencegahan komplikasi dari pemberian transfusi yang sering

dilakukan (Lyndon, 2014).

2.1.2.3 Patofisiologi Thalasemia

Dalam keadaan normal, HbF (fetal hemoglobin) yang terdiri

dari dua rantai α dan dua rantai y terdapat pada eritrosit janin

mulai dari minggu keenam kehamilan. Kemudian HbF mulai

digantikan oleh HbA (adult hemoglobin) yang terdiri dari dua


32
rantai α dan dua rantai ß sejak sebelum kelahiran. Rantai y

digantikan dengan rantai ß, berikatan dengan rantai α membentuk

HbA. Reduksi dari rantai globin ß menyebabkan penurunan

sintesis dari HbA serta meningkatnya rantai globin α bebas. Hal

ini menyebabkan terbentuknya eritrosit yang hipokromik dan

mikrositik. Ketidakseimbangan sintesis rantai globin α dan ß

mempengaruhi derajat talasemia.

Presipitat yang terbentuk dari akumulasi rantai α

membentuk badan inklusi pada eritrosit, menyebabkan kerusakan

membran eritrosit serta destruksi dini eritroblas yang sedang

berkembang di sumsum tulang. Kerusakan membran menyebabkan

imunoglobulin dan komplemen berikatan dengan membran,

memberi sinyal kepada makrofag untuk menyingkirkan

prekursor eritroid dan eritrosit yang rusak. Sel retikuloendotelial

menyingkirkan eritrosit abnormal dari limpa, hati, dan sumsum

tulang sebelum masa hidupnya berakhir, sehingga tercipta keadaan

anemia hemolitik.

Eritropoiesis yang tidak efektif serta hemolisis inilah tanda

utama dari talasemia ß. Eritrosit masih dapat mempertahankan

produksi rantai y, dimana rantai y mampu berikatan dengan rantai α

bebas yang berlebihan membentuk HbF. Karena pengikatan

tersebut, kadar rantai α bebas turun sehingga mengurangi gejala

penyakit dan menyediakan hemoglobin tambahan yang mampu

mengikat oksigen. Namun, kenaikan kadar HbF ini juga berakibat

meningkatnya afinitas oksigen yang mengakibatkan terjadinya

hipoksia. Keadaan anemia beserta hipoksia menstimulasi produksi

eritropoietin. Eritropoietin merupakan sitokin yang menginduksi

eritropoiesis, menghambat apoptosis dan mengizinkan sel


33
progenitor eritroid berproliferasi. Eritropoiesis yang tidak efektif

meningkat, menyebabkan perluasan dan deformitas tulang. Pada

pasien yang tidak rutin menjalani transfusi, terjadi peningkatan

eritropoiesis lebih dari normal.

Akibatnya, terjadi hiperplasia sumsum tulang 15-30 kali

normal dengan manifestasi berupa fasies talasemia, penipisan

korteks pada banyak tulang dengan kecenderungan terjadinya

fraktur, dan penonjolan tulang tengkorak dengan penampakan

“rambut berdiri/hair-on-end” pada foto sinar X. Fasies talasemia,

atau disebut facies Cooley, khas pada talasemia akibat

pembesaran tulang tengkorak dan tulang wajah dengan bentuk muka

mongoloid. Pembesaran abdomen akibat pembesaran hati dan

limpa terjadi karena destruksi eritrosit yang berlebihan dan

hemopoiesis ekstramedular. Hemolisis ini juga menyebabkan ikterik.

Eritropoiesis yang tidak efektif menghambat produksi hepcidin oleh

hati. Hepcidin bertugas menghambat absorpsi besi dan pelepasan

besi dari makrofag serta hepatosit.

Maka, pada talasemia beta terjadi peningkatan absorpsi besi

serta pelepasan besi dari makrofag, berakibat penumpukan besi

pada sirkulasi dan kemudian pada organ-organ. Besi disimpan

dalam jaringan dalam bentuk ferritin, yang kemudian terdegradasi

menjadi hemosiderin, sehingga pada talasemia beta kadar ferritin

serta hemosiderin meningkat. Mulainya gejala klinis talasemia ß

mayor terjadi berangsur-angsur. Pada umur 6-12 bulan, bayi

tampak pucat, iritabel, anoreksia, demam, dan adanya

pembesaran abdomen. Anemia berat menjadi nyata 3-6 bulan setelah

lahir pada saat sintesis rantai y tidak digantikan oleh sintesis rantai ß.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran


34
anemia hipokromik berat dan mikrositosis. Karakteristik

talasemia mayor adalah berkurangnya kadar hemoglobin <7 g/dl

yaitu saat hipoksia mulai terjadi. Morfologi eritrosit abnormal,

dengan banyak mikrosit, poikilosit bizzare teardrop cell, dan sel

target. Rendahnya kadar hemoglobin dapat menimbulkan gejala

seperti pusing, lesu, lelah, dan ketidakmampuan untuk

berolahraga. Gangguan tumbuh kembang umum terjadi pada

35
pasien talasemia mayor anak dan remaja disebabkan oleh

anemia kronik dan penumpukan besi akibat transfusi rutin

(Ribeil, 2017). Berikut secara singkat pathway penyakit thalasemia :

Faktor Genetik, Produksi rantai globin Produksi HB berkurang


penurunan HbA berkurang / tidak ada
dan erithropoeiesis
Sel darah merah
Jumlah eritrosit menurun mudah rusak / ruptur
(karena Imatur)

Anemia

Anemia Berat Asupan nutrisi Lambung Usus Kalsium terus

ke jaringan digunakan untuk


menurun produksi
Penurunan eritrosit
Gg. Tumbuh Penururna
Penuruna Penipisan
n
n O2 ke kerja korteks
dan peristaltik
jaringan tulang
usus
Proses
konstipasi
pencernaa
n makanan
Kompensasi menurun Resiko
jantung Gangguan fraktur
(peningkatan Nyeri akut
curah eleminasi
jantung) Gangguan
Hipertrofi otot
jantung pemenuha
Kardiomegali Transfusi RBC n nutrisi

Kontaksi otot Penumpukan Zat


besi hasil
jantung
metabolisme RBC
menuru
n
Takikardia
Kerja hati dan limfa Hepatomegali dan
bertambah limfadenopati

Modifikasi Dari :
Mutaqin 2014, Lyndon 2014

36
2.1.2.4 Klasifikasi

Thalasemia diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu

thalasemia minor atau α-Thalasemia dan thalasemia mayor atau β-

Thalasemia (Mutaqin, 2015).

1) α-Thalasemia

Thalasemia minor ini dapat disebut juga sebagai pasien yang

membawa sifat atau carrier. Kebanyakan tidak bergejala dan

pasien tidak tahu bahwa dirinya pembawa sifat dan tergolong

terhadap kelompok individu sehat yang beresiko.

2) β-Thalasemia

Pasien dengan thalasemia mayor sudah terdeteksi seblum usia

menginjak satu tahunm. Gejala yang dicurigai sebagai

thalasemia mayor adalah anemia simtomatik pada usia 6-12

bulan, nilai Hb rendah (3-4 g%), kelemah, pucat, pertumbuhan

dan perkembangannya terhambat, dan splenomegali (pada anak

lebih besar).Gejala khas yang muncul pada pasien thalasemia

mayor adalah bentuk muka mongoloid (hidung pesek, tanpa

pangkal hidung, jarak antara dua mata lebar, tulang dahi juga

melebar) dan kuning atau pucat sampai kehitaman pada kulit (

penimbuanan besi dari trasfusi).

2.1.2.5 Tanda dan Gejala

1. Thalasemia Mayor

a. Anemia berat, kelainan tulang, gagal tumbuh, komplikasi yang

mengancam hidup pada bayi.

b. Anemis dan ikterik pada kulit dan sklera (tanda awal

ditemukan pada usia 3 sampai 6 bulan)

c. Pembengkakan abdomen, karena splenomegali atau

hepatomegali
37
d. Infeksi berulang pada anak

e. Kecenderungan epitaksis atau pendarah lainnya.

f. Anoreksia

g. Wajah mongoloid, karena hiperaktivitas sumsum tulang yang

mempertebal dar tulang hidung.

2. Thalasemia Minor

a. Anemia ringan

b. Biasanya asimptomatis, sering kali tidak terdeteksi jika tidak

melakukan pemeriksaan khusus thalasemia (Lyndon, 2014).

2.1.2.6 Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemerikasaan Komposisi darah

a. Hitung darah lengkap, bertujuan untuk menentukan jumlah

elemen darah dalam volume tertentu dan medeteksi kelainan

kuantitatif (sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).

b. Sedian apus darah tepi, menunjukan kematangan dan ciri

morfologi elemen darahnya dan mendeteksi kelainan

kuantitatif.

2. Pemeriksaan Fungsi Sel Darah Merah

a. Hematokrit, atau packed cell volume, mengidentifikasikan

persentase sel darah merah per volume cairan dalam darah

lengkap.

b. Mean corpuscular volume (MCV) menggambarkan ukuran sel

darah merah. Sel darah merah yang belum matang atau

defisiensi zat besi menunjukan peningkatan MCV.

c. Hitung retikulosit digunakan untuk menilai produksi eritrosit

dengan menentukan konsentrasi perkursor eritosit (yang

biasanya terdapat pada sirkulasi daraf perifer dalam jumlah


38
kecil).

2.1.2.7 Penatalaksanaan

Satu-satunya pengobatan yang paling berpotensi dapat

menyembuhkan pasien dengan β-Thalasemia adalah transplantasi

sumsum tulang (Allogeneic Hematopoietic-cell Transplantation).

Tetapi terapi ini sangat mahal dan beresiko bagi pasien, sangat sulit

untuk menemukan donor yang cocok untuk pasien thalasemia.

Secara teori transplantasi ini hanya dapat dilakukan pada anak-anak

dan pendonor harus kembar identik dengan pasien. Kendala lain

adalah alat dan tenaga medis yang belum banyak terdapat di negara-

negara Timur Tengah dan Asia Tenggara (TIF, 2014).

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien thalasemia

bertujuan untuk mempertahankan Hb diatas 10 g/dl. Beberapa terapi

ini dilakukan pada pasien thalasemia :

a. Transfusi sel darah merah (PRC) dengan dosis 15-10 ml/kg

biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu sekali, tergantung kepada

kondisi pasien.

b. Terapi atau pemberian obat kelasi besi (iron chelating drugs)

pada pasien thalasemia bertujuan untuk mengurangi kadar besi

dalam darah yang banyak menumpuk akibat dari transfusi darah.

Besi yang tertimbun dalam tubuh akan diekskresikan melalui

urin. Terapi ini juga mencegah komplikasi siderosis miokardium

(Mutaqin, 2015).

2.1.2.8 Pencegahan

1. Pencegahan Primer

Konseling genetik pranikah, yang bertujuan untuk mencegah

pernikahan antara sesama individu dengan resiko tinggi atau

pembawa sifat. Perkawinan antara dua pembawa sifat atau carrier


39
dalam hukum Mendel, berpotensi menghasilkan keturunan 25%

Thalasemia Mayor, 50% Thalasemia Minor, dan 25% normal.

2. Pencegahan Sekunder

a. Diagnosa prenatal

Untuk mengetahui apakah janin menderita thalasemia saat berusia

8-10 minggu, dengan menggunakan prosedur khusus untuk

menilai produksi sel darah merah dalam tubuh janin. Akses untuk

pemeriksaan prenatal ini belum terdapat di Indonesia, akses

terdekat alat untuk pendeteksi ini ada di Singapura.

b. Skrining

Skrining merupakan proses untuk mengidentifikasi kesehatan

seseorang yang beresiko terhadap beberapa hal yang mengancam

kesehatan. Skrining juga dilakukan agar memberikan manfaat

bagi individu ataupun keluarga, juga berperan dalam

mengendalikan penyakit atau mengidentifikasi karier penyakit

dalam komunitas, misal thalasemia, hemofilia dan penyakit

genetik lainnya. Dalam penyakit thalasemia ini skrining dapat

dibagi menjadi dua :

a) Skrining Pranikah

Skrining yang dilakukan individu atau keluarga yang akan

menikah, bertujuan untuk mengetahui apakah pasangan

tersebut adalah golongan kelompok beresiko atau bukan.

Dimana kelompok beresiko ini yang bila menikah dengan

sesama beresiko atau carrier atau pembawa sifat, maka

kemungkinan besar memiliki ketrunan dengan penyakit

thalasemia.

b) Skiring Thalasemia

40
Pemeriksaan hematologi rutin, gambaran darah tepi, dan

analisis DNA. Pencegahan ini prinsipnya sama dengan

skrining pranikah tetapi skrining thalasemia lebih spesifik

terhadap penyakit thalasemia, dan juga menentukan apakah

individu tersebut merupakan pembawa sifat atau bukan. Jika

individu dinyakatakan sebagai carrier atau pembawa sifat

thalasemia makan pernikahan dengan sesama pembawa sifat

harus dihindari (Carr dan Susan, 2015).

2.1.2.9 Resiko Penyakit Thalasemia

Penyakit thalasemia ini merupakan penyakit genetik atau penyakit

bawaan yang diturunkan berdasarkan hukum mendel (Pustika, 2018).

Hukum Mendel ini digunakan sebagai acuan bagaimana orang tua

pembawa sifat atau karier thalasemia dapat menurunkan penyakit

thalasemia pada keturunannya (anak) atau menjadi karier thalasemia juga

atau anak yang sehat. Dalam hukum mendel pada penyakit thalasemia

menggambarkan bila kedua orang tua adalah pembawa sifat thalasemia

maka anaknya berpeluang 25% sehat, 25% mengidap thalasemia, 50%

carrier atau pembawa sifat (TIF, 2010).

41
Gambar 2.1
Hukum Mendel pada penyakit Thalasemia
Sumber : Thalasemia International Federation, 2014

Apabila telah diketahui dalam sebuah keluarga, anggotanya

(anak) menderita penyakit thalasemia maka sudah dipastikan kedua

orang tuanya adalah karier thalasemia (TIF, 2014). Maka jika diketahui

kedua orang tua merupakan karier thalasemia, kemungkinan besar

struktur keluarga orang tua (paman, bibi, keponakan, dan sepupu)

tersebut kemungkinan besar merupakan karier thalasemia juga yang

dilihat berdasarkan hukum mendel. Dalam hal ini struktur keluarga dari

ayah dan ibu penderita thalasemia dikatakan termasuk kedalam keluarga

beresiko thalasemia, dan menjadi sasaran penting untuk dilakukannya

tindakan pencegahan thalasemia (YTI, 2015). Gambaran lebih jelas

mengapa struktur keluarga thalasemia menjadi kelompok beresiko

mempunyai keturunan thalasemia.

42
Gambar 2.2
Hukum Mendel Karier Thalasemia
Sumber : Thalassemia Foundation of Canada 2019

2.2 Konsep Pengetahuan

2.2.1 Pengertian

Pengetahuan adalah hasil dari keingintahuan individu dan setelah

individu melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui pranca indera manusia, yakni indera pengelihatan, penciuman,

rasa dan rabas. Sebagian besar infirmasi atau pengatahuan yang didapat

individu didapatkan melalui idera pengelihatan dan pendengarah.

(Notoatmodjo, 2014).

2.2.2 Tingkat Pengetahuan

Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk

pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni pengetahuan, sikap, dan

praktik/tindakan. Enam tingkatan pengetahuan yang termasuk dalam ranah

kognitif (C1-C6) menurut Benjamin Bloom adalah (Anderson & Karthwohl,

2010) :

1. Pengetahuan / Knowledge

Menekankan pada mengingat (recall), seperti mengungkapkan dan

mengenal kembali sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami yang

disimpan dalam ingatan. Bagian ini juga berisikan mengenali dan

mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, ururtan,

metodologi dan prinsip dasar.

2. Memahami / Comprehension

Bentuk informasi yang dirubah menjadi bentuk yang lebih dipahami oleh

orang lain. Misalkan bagan, tabel, maupun diagram perubahan jumlah

penduduk, atau dalam penyakit ini mungkin dapat menguraikan

bagaimana cara penyakit thalasemia diturunkan.


43
3. Aplikasi / Application

Pada tingkat ini, individu diharapkan dapat memecahkan suatu masalah,

misalkan menjadi kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur,

metode, rumus ataupun teori dan lain sebagainya.

4. Analisis / Analysis

Individu pada tingkatan ini diharapkan akan mampu menganalisa

informasi yang diterimanya dan membagi-bagi informasi tersebut

kedalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola informasi tersebut

atau korelasinya. Contohnya individu dapat memilah mana yang dapat

menyebabkan suatu penyakit terjadi atau membandingkan suatu penyakit

di daerahnya dan di daerah lain.

5. Mencipta / Creating

Merencanakan metode penyelesaian masalah yang sesuai dengan kriteria-

kriteria masalahnya, yakni membuat rencana untuk menyelesaikan

masalah.

6. Evaluasi / Evaluation

Pertimbangan-pertimbangan yang dapat individu nilai untuk tujuan

tertentu. kemampuan untuk menilai solusi, gagasan, metodologi, dan

lainnya dnegan menggunakan standar atau kriteria yang ada, untuk

menilai efektivitas atau manfaatnya.

2.2.3 Cara Memperoleh Pengetahuan

Ada berbagai macam cara bagaimana manusia memiliki atau memperoleh

pengetahuan, dari berbagai macam cara tersebut dapat dikelompokan menjadi

dua, yaitu :

a. Cara tradisional atau cara non-ilmiah

1) Cara coba – salah (trial and eror)

Metode ini disebut juga metode coba-coba atau coba-salah yang

44
dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak

berhasil, lalu dicoba kemungkinan lain, terus dicoba sampai masalah

tersebut dapat terpecahkan.

2) Cara kekuasaan atau otoritas

Biasanya terjadi pada masyarakat luas, sumber pengetahuan dapat

berupa pemimpin dalam masyarakat baik formal maupun informal,

seperti ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya. Jadi

pengetahuan didapatkan berdasarkan otoritas atau kekuasaan baik

tradisi atau otoritas pemerintahan.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya dalam

memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan masalah

yang dihadapi pada masa lalu. Tetapi untuk menarik kesimpulan

yang baik diperlukan fikiran kritis dan logis.

b. Cara modern atau cara ilmiah

1) Cara baru dan modern dalam memperoleh pengetahuan pada saat ini

lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini adalah metode penelitian

ilmiah atau lebih dikenal degan metodologi penelitian (Notoatmodjo,

2014).

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut Abrori

(2014), yaitu :

a. Faktor Internal

1. Intelegensia

Intelegensia sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir

45
abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.

Intelegensia ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses

belajar, seperti modal untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi

secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan dan

pengetahuan.

2. Minat

Keinginan yang timbul dari dala diri seseorang untuk mencari tahu

suatu masalah atau objek yang belum ia ketahui sebelumnya. Dalam hal

ini, minat seseorang dalam memperlajari, menerima, dan mengolah hal

baru yang akan menjadikan itu sebagai pengetahuan.

3. Pengalaman

Pengalaman suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal

ini dilakukan dengan cara megulang kemabali oengalaman yang

diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa

lalu.

b. Faktor Eksternal
1. Pendidikan

Suatu kegiatan proses pembelajaran untuk mengembangkan dan

meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu

daat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan juga menentukan mudah

tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka

peroleh.

2. Lingkungan

Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh yang besar dan kuat bagi

seseorang. Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman

yang akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang.

3. Masyarakat

46
Seseorang memperoleh suatu pengathuan dapat diperoleh dari

masyarakat sekitarnya, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu

proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

4. Sarana

Sarana sebagai fasilitas seseorang untuk mendapatkan hal atau sesuatu

yang diinginkan, dalam bidang kesehatan bisa menjadi Rumah Sakit

atau balai pengobatan lainnya. Fasilitas inilah yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, melalui

pendidikan kesehatan atau penyuluhan.

2.3 Konsep Perilaku

2.3.1 Pengertian

Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,

baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati

dari luar (Notoatmodjo, 2014). Menurut Notoatmodjo, perilaku adalah

respon atau reaksi seseorang terhadap suatu rangsangan dari luar.

Berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dapat dibagi

menjadi dua yakni:

1. Perilaku tertutup (covert behavior).

Perilaku tertutup terjadi apabila respon dari suatu stimulus belum

dapat diamati oleh orang lain secara jelas. Respon seseorang terhadap

stimulus ini masih terbatas pada perhatian, perasaan, persepsi,

pengetahuan dan sikap terhadap stimulus tersebut. Bentuk covert

behavior yang dapat diamati adalah pengetahuan dan sikap.

2. Perilaku terbuka (overt behavior).

Perilaku terbuka terjadi apabila respon terhadap suatu stimulus dapat

diamati oleh orang lain. Respon terhadap stimulus tersebut sudah

jelas dalam suatu tindakan atau praktik yang dapat dengan mudah

47
diamati oleh orang lain.

Dari batasan di atas, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan

menjadi 3 kelompok (Notoatmodjo, 2014).

1. Perilaku memelihara Kesehatan (Health Maintanance)

Usaha untuk memelihara dan menjaga kesehatan agar terbebas dari

penyakit atau sakit juga usaha untuk menyembuhkan bila mana sakit.

Perilaku pemeliharaan terdiri dari 3 aspek. Pertama adalah perilaku

pencegahan terhadap penyakit dan penyebuhan penyakit bila sakit serta

pemulihan kesehatan bila sudah terbebas dari sakit atau penyakit.

Kedua adalah perilaku peningkatan kesehatan pada saat kondisi

individu sehat. Juga yang ketiga adalag perilaku gizi atau makanan dan

miniman dapat memelihara dan meningkatkan status kesehatan

seseorang.

2. Perilaku pencarian pengobatan

Merupakan perilaku seseorang saat menderita penyakit atau sedang

sakit, dimulai dari mengobati sendiri, pergi ke palayann kesehatan,

ataupun berobat hingga keluar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Pada aspek ini, mengambarkan bagaimana seseorang mengelola

lingkungannta sehingga tidak merusak kesehatannya sendiir, seperti

menjaga kebersihan, mengelola pembuangan tinja, air minum, sampah,

dan pemeliharaan lingkungan lainnya.

2.3.2 Determianan Perilaku

Dalam konsep perilaku, terdapat banyak teori yang menjelaskan

faktor yang mempengaruhi perilaku. Didalam bidang perilaku kesehatan,

terdapat teori yang menjadi acuan didalam penelitian mengenai

kesehatan di masyarakat yakni teori WHO 1988, (Notoatmodjo, 2014).

48
Menurut teori WHO, terdapat 4 determinan mengapa seseorang

berperilaku yakni:

1. Pemikiran dan perasaan. Hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau

dapat disebut pula pertimbangan pribadi terhadap obyek kesehatan

merupakan langkah awal seseorang untuk berperilaku. Pemikiran dan

perasaan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pengetahuan,

kepercayaan, dan sikap.

2. Adanya acuan atau referensi dari seseorang yang dipercayai. Perilaku

seseorang dapat dipengaruhi oleh orang yang dianggap penting oleh

dirinya seperti tokoh masyarakat. Apabila seseorang itu dipercaya,

maka apa yang dilakukan atau dikatakannya akan cenderung untuk

diikuti.

3. Sumber daya yang tersedia. Adanya sumber daya seperti fasilitas,

uang, waktu, tenaga kerja akan mempengaruhi terjadinya perilaku

seseorang atau masyarakat. Pengaruh ini dapat bersifat positif maupun

negatif.

4. Kebudayaan, kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang ada di masyarakat.

2.3.3 Pengukuran Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2015), perilaku dapat diukur dengan 2 cara,

yaitu cara langsung dan tidak langsung.

1. Langsung

Pengukurang perilaku langsung ini, dengan observasi atau mengamati

terhadap perilaku sasaran (responden), degan menggunakan lembar tilik

maupun lembar observasi.

2. Tidak Langsung

a. Metode recall atau mengingat kembali apa yang telah dilakukan

responden.

49
b. Melalui orang ketiga/orang lain yang dekat dengan responden yang

diteliti.

c. Melalui indikator (hasil perilaku) responden, contoh perilaku

personal hygiene yang dapat diukur dari kebersihan kuku, rambut,

kulit, dan lain-lain.

2.4 Teori Keperawatan

Filosofi pelayanan transpersonal Jean Watson (1979, 1985, 1987)

mendefiniskan hasil kegiatan keperawatan dilihat dari aspek kehidupan manusia.

Kegiatan keperawatan ini bertujuan untuk memahami hubungan antara kesehatan,

penyakit, dan kebiasaan atau nilai-nilai manusia. Maka dari itu kegiatan

keperawatan tertuju pada promosi dan perbaikan kesehatan serta pencegahan suatu

penyakit.

Jean Watson membuat model proses keperawatan, membantu klien dalam

mencapai atau mengelola dan mempertahankan kesehatan. Dalam hal ini termasuk

kedalamnya mempertahankan kesehatan adalah mencegah terjadinya suatu penyakit

yang merugikan individu atau klien. Caring yang bertujuan untuk memberikan

pelayanan untuk mempertahankan kesehatan klien dalam teori ini agar individu

dapat mempertahankan kondisi sakitnya dan juga mencegah dari penyakit yang

dapat timbul di masa yang akan datang (Watson, 1987 dalam Perry & Potter).

50
2.5 Kerangka Konseptual

Bagan 2.1
Hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan pada keluarga beresiko
thalasemia.

Pengetahua Perilaku Faktor yang


n keluarga pencegahan mempengaruhi
: keluarga beresiko :
thalasemia
1. Baik a. Pemikiran
2. Cukup 1. Perilaku dan perasaan
Pencegaha b. Referensi
n Baik c. Sumber daya
2. Perilaku d. Budaya / nilai
Pencegaha (WHO 1988
dalam
Faktor yang mempengaruhi :

1. Faktor Internal :
a. Intelegensia
b. Minat
c. Pengalaman

2. Faktor Eksternal
a. Pendidikan
b. Lingkungan
c. Masyarakat

Sumber : Notoatmodjo 2014, WHO 1988, Arikunto 201

51
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep membahas ketergantungan antar variabel atau visualisasi

hubungan yang berkaitan atau dianggap perlu antara 1 (satu) konsep dengan

konsep lainnya untuk melengkapi dinamika situasi atau hal yang sedang di teliti

(Notoatmojo, 2018). Pada dasarnya kerangka penelitian merupakan suatu

hubungan antara konsep yang akan di teliti. Variebal bebas dalam penelitian ini

adalah pengetahuan dan sikap sementara variabel terikat adalah pelaksanaan

program thalasemia. Keterkaitan antar variabel tersebut dapat dijelaskan dalam

kerangka konsep dibawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Pengetahuan Pelaksnaan Program


Sikap

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Penghubung Variabel

lii
3.2 Definisi Operasional

Menurut Badriah (2019) definisi operasional adalah suatu definisi

mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik

variabel tersebut yang dapat diamati dan benar-benar dilakukan oleh peneliti

sesuai dengan variabel yang terlibat dalam penelitian. Definisi operasional

variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai

berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Pengertian Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala


ukur
Variabel Bebas
1 Pengetahuan Pemahaman Kuesioner Mengisi 1. Baik: Hasil Ordinal
responden tentang Kuesioner persentase
penyakit 76%-100%
thalassemia 2. Cukup: Hasil
persentase
56%-75%
3. Kurang: Hasil
persentase <
56%.
2. Sikap Tindakan Kuesioner Mengisi 1. Positif jika nilai Nominal
responden tentang Kuesioner ≥ mean
pelaksanaan 2. Negatif jika
program thalasemia nilai <
mean/median
Variabel Terikat

3 Pelaksanaan Upaya masyarakat Kuesioner Mengisi 1. Baik jika nilai ≥ Nominal


program dalam Kuesioner mean
melaksanakan 2. Kurang jika
program thalasemia nilai <
mean/median

liii
3.3 Hipotesis

Menurut Badriah (2019), hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris.

Jadi hipotesis dalam penelitian ini adalah : \

1. Ada hubungan pengetahuan dengan pelaksanaan program penyakit

thalasemia pada masyarkat di Desa Garawangi Kabupaten Kuningan

tahun 2022

2. Ada hubungan sikap dengan pelaksanaan program penyakit thalasemia

pada masyarkat di Desa Garawangi Kabupaten Kuningan tahun 2022

liv
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan

rancangan cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2014) penelitian cross

sectional yaitu variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi

pada objek peneliti diukur atau dikumpulkan secara stimulan (dalam waktu

yang bersamaan). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui menganalisis

hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan pelaksaan program penyakit

thalasemia pada masyarakat di Kabupaten Kuningan tahun 2022

4.2 Variabel Penelitian

Notoatmodjo (2014) mengatakan variabel adalah sesuatu yang

digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh

satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu. Sugiyono

(2016) bahwa variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang

hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan”. Sugiyono (2016) variabel adalah

segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya.

lv
4.2.1 Variabel bebas (Independen)

Badriah (2019) menjelaskan bahwa variabel bebas merupakan

suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain. Dikatakan

selanjutnya oleh Badriah (2019) bahwa variabel bebas dapat juga

berarti variabel yang pengaruhnya terhadap variabel lain ingin

diketahui. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan

sikap

4.2.2 Variabel Terikat (Dependen)

Sugiyono (2016) variabel terikat merupakan variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pelaksanaan program.

4.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi

Sugiyono (2016) menjelaskan populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas

dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh masyarakat di Desa Garawangi berjumlah 3793 orang.

4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Badriah (2019), menjelaskan sampel adalah sebagian dari

populasi karena merupakan bagian dari populasi tentu memiliki ciri-ciri

yang dimiliki oleh populasinya. Teknik pengambilan sampel dari

populasi disebut sampling. Nursalam (2013), sampel terdiri atas bagian

lvi
populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian

melalui sampling. Sedangkan sampling merupakan proses menyeleksi

porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada.

Menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat

berbagai teknik sampling yang digunakan.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah menggunakan teknik Proportionate Stratified Random

Sampling, yaitu merupakan teknik pengambilan sampel anggota

populasi yang dilakukan denagn memperhatikan strata-strata yang ada

dalam populasi tersebut. Besarnya sampel dihitung dengan

menggunakan rumus :

Keterangan

N : Besarnya Populasi

n : Besarnya Sampel

d : Tingkat kepercayaan atau derajat ketepatan (0,1)/10%

(Notoatmodjo, 2014)

4.4 Instrumen Penelitian

Badriah (2019) menjelaskan instrumen adalah alat pengumpulan data

yang telah baku atau alat pengumpulan data yang memiliki standar validitas

lvii
dan reabilitas. Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan

untuk pengumpulan data untuk variabel bebas maupun variabel terikat yaitu

dengan menggunakan kuesioner atau angket. Notoatmodjo (2014) kuesioner

merupakan daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah

matang, dimana responden (dalam hal angket) dan interviewee (dalam hal

wawancara) tinggal memberikan jawaban atau memberikan tanda-tanda

tertentu”.

Kuesioner terdari dari identitas responden berisi tentang : nama

(inisial), jenis kelamin, usia, pendidikan, riwayat penyakit. Kuesioner

pengetahuan tentang thalasemia terdiri dari 15 pertanyaan dengan opsi

jawaban Benar (1) dan salah (0), kuesioner pengetahuan merupakan buatan

peneliti sendiri sehingga dilakukan uji validitas dan reliabilitas sebelum

digunakan pada penelitian. Kuesioner motivasi terdiri dari 15 pertanyaan,

buatan peneliti sendiri sehingga dilakukan uji validitas dan reliabilitas

sebelum digunakan pada penelitian. Instrumen pelaksanaan program terdiri

dari pertanyaan tentang pengetahuan thalasemia, jenis thalasemia,fakor

resiko, pencegahan, pengendalian populasi berisiko.

4.4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas adalah ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan dan

keshohihan suatu instrumen (Arikunto, 2016). Disamping itu juga

validitas menunjukan sejauh mana item pertanyaan pada kuesioner

mampu menggambarkan konsep yang akan diukur. Suatu variabel

lviii
pertanyaan dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara

signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan

korelasi Pearson Product Moment dengan rumus sebagai berikut:

N (∑XY) - (∑X∑Y)
r=
V (N∑X2 - (∑X)2 ) (N∑Y2 - (∑Y)2 )

Keputusan Uji :

Bila r hitung lebih besar dari r tabel, artinya variabel valid

Bila r hitung lebih kecil dari r tabel, artinya variabel tidak valid

2. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih

dahulu. dari beberapa variabel pertanyaan yang tidak valid dibuang

sedangkan variabel pertanyaan yang valid kemudian secara bersama-

sama diuji reliabiltasnya. Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran

atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau

diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Reliabilitas

menunjukkan sejauh mana tingkat kekonsistenan pengukuran dari suatu

responden ke responden yang lain atau dengan kata lain sejauh mana

pertanyaan dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan beda

interpretasi dalam pemahaman pernyataan tersebut.

Hasil akhir pengujian dikatakan reliabel jika nilai r alpha

(cronbach) lebih besar dibandingkan dengan nilai r tabel (Hastono, 2009

dalam Sudrajat, 2020). Pengujian dengan membandingkan nilai Alpha

Cronbach’s dengan nilai r tabel, jika nilai Alpha Cronbach’s lebih besar

lix
dari r tabel maka pernyataan instrumen tersebut reliabel, dan bila Alpha

Cronbach’s lebih kecil dari r tabel maka pernyataan tersebut tidak

reliabel. Standar dalam menentukan reliabilitas atau tidak instrumen

penelitian dengan alpha cronbach r hitung diwakili oleh nilai alpha.

Menurut Ghazali (2011) dinyatakan reliabel jika nilai alpa > 0,60 .

4.5 Teknik Pengumpulan Data

4.5.1 Sifat dan Sumber Data

Badriah (2019) menurut sumbernya data penelitian digolongkan

sebagai data primer dan data sekunder. Badriah (2019) data primer

adalah data yang diperoleh langsung oleh subyek penelitian dengan

menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada

subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Sedangkan data sekunder

didapatkan dari data kependudukan desa. Jenis data dalam penelitian ini

adalah kategorik. Notoatmodjo (2014) menjelaskan data kategorik

merupakan data dari hasil penggolongan atau pengklasifikasikan data.

4.5.2 Tata Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode kuesioner untuk mendapatkan jenis kuantitatif.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner. Langkah-langkah pengumpulan data :

a. Tahap Persiapan

lx
Pada tahap awal menyusun proposal penelitian, peneliti

menentukan masalah dan lahan penelitian terlebih dahulu. Kemudian

melakukan pendekatan terhadap objek terkait, untuk melakukan

studi pendahuluan. Studi kepustakaan dilakukan peneliti di

perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan dan dari

internet. Tahap selanjutnya adalah menyusun proposal penelitian

dilanjutkan dengan seminar proposal penelitian. Selanjutnya, peneliti

mempersiapkan instrumen penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan penelitian setelah

mendapatkan surat izin penelitian dari pihak institusi dan pihak Desa.

Sebelum memberikan kuesioner, peneliti melakukan informed cosent

kepada responden. Apabila responden setuju, peneliti memberikan

kuesioner untuk dilakukan pengisian yang sebelumnya telah dijelaskan

terlebih dahulu cara-cara pengisian. Informed Consent dan pengisian

kuesioner.

c. Tahap Pendokumentasian

Pada tahap akhir penelitian, peneliti melakukan penyusunan

laporan hasil penelitian, kemudian peneliti melakukan sidang skripsi untuk

mempertanggungjawabkan hasil penelitian dan menggandakan hasil

penelitian yang sebelumnya telah dinilai oleh para dosen dan penguji.

lxi
4.6 Rancangan Analisis Data

4.6.1 Teknik Pengolahan Data

Badriah (2019) menjelaskan makna pengolahan data penelitian

yang telah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan

data sedemikian rupa agar data tersebut dapat dibaca dan dapat

ditafsirkan. Data yang dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan

data, yaitu :

a. Editing

Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan untuk

pengumpulan dan pengecekan atau memeriksa data yang ada lalu

diperiksa apakah yang ada sudah sesuai dengan jumlah sampel dan

apakah cara pengisian sudah benar atau terdapat kekeliruan.

b. Coding

Setelah dilakukan editing, selanjutnya peneliti memberikan

kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam

melakukan analisis data.

c. Data entry

Peneliti melakukan kegiatan memasukan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel database komputer, kemudian

membuat distribusi frekuensi sederhana atau membuat tabel

kontingensi.

d. Tabulation

lxii
Peneliti melakukan proses pembuatan tabel induk yang

memuat susunan data penelitian berdasarkan klasifikasi yang

sistematik, sehingga lebih mudah untuk dianalisis. Pada tahap ini

data yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur, kemudian

dihitung dan dijumlahkan, kemudian dituliskan dalam bentuk tabel.

4.7 Analisis Data

Teknik analisa data untuk mendapatkan gambaran umum dengan

cara mendeskripsikan variabel yang digunakan dalam penelitian ini

melalui distribusi persentasi.

4.7.1 Analisis Univariat

Badriah (2019) analisis data dilakukan secara univariat untuk

melihat tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umunya hasil analisis

ini menghasilkan distribusi dari persentase dari tiap variabel.

Analisis dalam penelitian ini tujuannya untuk mendapatkan

gambaran umum dengan cara mendeskripsikan variabel yang

digunakan dalam penelitian melalui distribusi frekuensi. Analisis

univariat menggambarkan frekuensi dari seluruh variabel yang

diteliti.

. Untuk menghitung distribusi frekuensi digunakan rumus

sebagai berikut

P=

lxiii
Keterangan : P = Jumlah presentase jawaban

f = Frekuensi jawaban responden

N = Jumlah total pertanyaan

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan satu sama lain, dapat dalam dudukan yang sejajar (pada

pendekatan komparasi) dan kedudukan yang merupakan sebab akibat

atau eksperimentasi (Badriah (2019). Analisis dilakukan dengan uji

statistik Rank Spearman untuk melihat hubungan antara dua variabel

independen dengan variabel dependen yang keduanya berbentuk

kategori dan memiliki skala ordinal. Adapun rumus Rank Spearman

adalah sebagai berikut:

Keterangan:

p = Koefisien korelasi

n = Banyaknya ukuran sampel

= Jumlah kuadrat dari selisih rank variabel x dengan variabel y

Penggunaaan uji Rank Spearman didasarkan karena variabel bebas

dan variabel terikat memiliki skala data jenis skala ordinal. Apabila

nilai p < α (0,05) maka hasil terdapat hubungan yang bermakna, dan

apabila p > α (0,05) maka hasilnya tidak terdapat hubungan yang

bermakna (Notoatmojo, 2002 dalam Nisa, 2019)

lxiv
4.8 Etika Penelitian

Selama melakukan penelitian, peneliti menggunakan prinsip-prinsip

etika yang disampaikan oleh Supardi dan Surahman (2014) yaitu sebagai

berikut :

1) Prinsip Menghormati Martabat Manusia (Respect For Persons).

Tujuan menghormati otonomi keputusan dan melindungi manusia

yang otonominya terganggu dari perlakuan dan penyalahgunaan, serta

meminta persetujuan setelah penjelasan (PSP) disebut juga informed

consent.

2) Prinsip Etik Berbuat Baik (Beneficience)

Prinsip yang menyangkut upaya manfaat maksimal dan kerugian

minimal, yaitu resiko penelitian wajar dibandingkan manfaat yang

diharapkan, desain penelitian memenuhi persyaratan ilmiah, peneliti

dapat melaksanakan penelitian dengan menjaga kesejahteraan subyek,

tidka merugikan subyek penelitian. Prinsip memaksimalkan manfaat,

meminimalkan risiko, “non-mal eficice”, menjaga kesejahteraan

subyek bermanfaat untuk kepentingan individu dan masyarakat.

3) Prinsip Etik Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan antara beban dan manfaat yang diperoleh subyek dari

keikutsertaannya dalam penelitian, keadilan pembagian beban dan

manfaat secara sama, keikutsertaan kelompok yang akan dapat

manfaat, kepuasan pasien akan pelayanan keperawatan.

lxv
4.9 Lokasi Dan Waktu Penelitian

4.9.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Garawangi

4.9.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan bulan Februari 2022

lxvi

Anda mungkin juga menyukai