FRAKTUR HUMERUS
RSUD DEMANG SEPULAU RAYA
1. Ceria
2. Daryati
3. Joko Setyo Budi
4. Rian Aprizal
5. Kholina
6. Yudi muhtar
7. Desi Masnia
8. Serly
9. Yulianti
10. Susy Hairani
11. Yulianti
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah subhanallahu taala atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Fraktur Humerus” ini dapat diselesaikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Statse Keperawatan Medikal Bedah
(KMB) PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU (UMPRI) LAMPUNG TAHUN 2022 dan meningkatkan pemahaman penulis maupun
pembaca mengenai fraktur humerus.
Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan terima kasih
kepada ibu Rita Sari, S.Kep, Ners selaku pembimbing penulisan makalah ini. Penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan dan sejawat di Universitas
Muhammadiyah Pringsewu atas segala suport kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan
dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena
itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna
menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.2. TUJUAN 1
1.3. MANFAAT 1
BAB 2 ISI 2
2.2.1. DEFENISI 9
2.2.2. ETIOLOGI 9
2.2.3. EPIDEMIOLOGI 9
2.2.4. KALSIFIKASI 10
2.2.4.1. FRAKTUR PROKSIMAL HUMERUS 10
2.2.4.2. FRAKTUR SHAFT HUMERUS 13
2.2.4.3. FRAKTUR DISTAL HUMERUS 13
2.2.5. DIAGNOSIS 18
2.2.5.1. ANAMNESIS 18
2.2.5.2. PEMERIKSAAN FISIK 19
2.2.5.3. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS 23
2.2.5.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 24
2.2.6. PENATALAKSANAAN 24
2.2.7. KOMPLIKASI 26
BAB 3 KESIMPULAN 24
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan
Medikal Bedah (KMB) dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai
fraktur humerus.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai
fraktur humerus sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus fraktur humerus di
klinik sesuai kompetensi dokter umum.
BAB II
KONSEP PENYAKIT
Anatomic neck
2.2.2. Etiologi
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.2
Trauma dapat bersifat2:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa2:
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau
fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian tulang
2.2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus dari seluruh
kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7% kasus dari seluruh
fraktur.7 Sedangkan kejadian fraktur distal humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari
seluruh fraktur.8 Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan yang
paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus, terutama pada wanitu tua
dengan osteoporosis.8
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan umur rata-rata
64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus merupakan fraktur ketiga yang paling
sering terjadi setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih
sering pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata-rata 54,8 tahun.7
2.2.4. Klasifikasi
Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fraktur Proximal Humerus
2. Fraktur Shaft Humerus
3. Fraktur Distal Humerus
2.2.4.1. Fraktur Proksimal Humerus(9,10)
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang terkait dengan
osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan tulang
(osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena high-energy trauma,
contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain
peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat
digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan pinggang
setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.
MINIMAL DISPLACEMENT
II
ANATOMICAL NECK
III
SURGICALL NECK
IV
GREATER TUBEROSITY
LESSER TUBEROSITY
ARTICULAR SURFACE
VI
FRACTURE DISLOCATION
Klasifikasi Gartland(9)
Tipe I : tidak ada pergeseran
Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai
angulasi atau rotasi
Tipe III : pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
2. Transkondiler Fraktur(9)
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
3. Interkondiler Fraktur(9)
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur humerus distal
yang lain.
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
4. Kondiler Fraktur(9)
a. Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen
b. Pada Anak
Lateral Condyler Physeal Fractures(9)
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari seluruh fraktur
distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak berusia 6 tahun.
Klasifikasi Milch :
Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui celah
kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter- harris tipe IV. Siku
stabil dikarenakan troklea intak.
Tipe II : garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh
karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I : fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler Intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
Medial Condyler Physeal Fractures(9)
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini
timbul pada fraktur salter-harris tipe II.
Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe VI.
Klasifikasi kilfoyle :
Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan otot
fleksor
2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1. Anamnesis12
Anamnesis terdiri dari:
1. Auto anamnesis:
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa. Ditanyakan persoalan:
mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan; penderita bercerita tentang keluhan
sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai ketidakberesan; bagian apa dari
anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada pengertian yang berbeda misalnya “…
sakit di tangan ….”, yang dimaksud tangan oleh orang awam adalah anggota gerak atas
dan karenanya tanyakan bagian mana yang dimaksud, mungkin saja lengan bawahnya.
Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau beberapa
penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan anamnesis demikian
perlu pengetahuan tentang penyakit.
Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik, terus-
menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan
-
3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai nyeri,
sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah yang dimaksud instability atau kekakuan otot menurun/melemah/kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif (ditanya oleh
pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala penyakit) dipikirkan
kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang didapat pada anamnesis dapat
dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.
2. Allo anamnesis:
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah orang
lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/bayi atau orang tua yang
sudah mulai dementia atau penderita yang tidak sadar/sakit jiwa; oleh karena itu perlu
dicatat siapa yang memberikan allo anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu rumah tangga
dapat memberikan keterangan yang lebih baik
- juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan keterangan
yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.
2. Pemeriksaan lokal:
Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari anggota terutama
mengenai status neuro vaskuler. Pada pemeriksaan orthopaedi/muskuloskeletal yang
penting adalah:
a. Look (inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai dari
posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun si pasien, karena itu perlu
selalu diperhatikan wajah si pasien atau menanyakan perasaan si pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum13:
1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur. Bila
tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk
sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan
pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin.12
1. Fraktur proksimal humeri9,12
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama waktu itu
penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil membongkokkan badan
meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi
dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).
2. Fraktur shaft humeri 9,12
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi kedua
fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila kedudukn sudah cukup
baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab (sugar tong splint). Immobilisasi
dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast terutama
dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan proksimal
terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus dilakukan
open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi n.
Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan
kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau
aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu
hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humeri9,12
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum. Setelah
tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai tak teraba.
Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba lagi. Dalam posisi
fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal
dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai
internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan
dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda
Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk
immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya
berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik
dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humeri9,12
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau tanpa
dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka dan
dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.
2.2.7. Komplikasi12
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
1. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada n.Sirkumfleksi aksilaris menyebabkan
paralisis m.Deltoid.
2. Apabila pada fraktur medial humerus disertai komplikasi cdera n.Radialis, harus
dilakukan operasi reduksi dan internal fiksasi dengan plate screw untuk humerus disertai
eksplorasi n.Radialis.
3. Sindroma kompartemen yang biasa disebut dalam 5 P (Pain, Pallor, Pulselesness,
Paraesthesia, Paralysis), terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan nekrosis otot-
otot dan saraf.
4. Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara fungis
baik, tapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku
dengan teknik French osteotomy.
keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan kehilangan
keperawatan yang tepat, tidak ada diagnose keperawatan, dan tanpa diagnose
meliputi:
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
suara, maka anda perlu melakukan pemberian rangsangan nyeri dengan cara
menggosok sternum atau sedikit cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada
respon apapun dengan suara atau dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu Sukma. Dkk.
2011, setelah pasien sampai di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway,
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha
kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi leher.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada pasien harus dibuka uantuk melihat pernapasan yang baik.
perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan
kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok,
dimana pasien dengan fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-
tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus.
kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
thoraks. Di Rumah Sakit pasien harus di buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi
pasien. Setelah pakain dibuka, penting agar pasien tidak kedinginan pasien harus
diberikan slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena.
c. Pengkajian Sekunder
anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cidera -
cidera lain yangmungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan
tidak terobati.Apabilapasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil
History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanismekecelakaan) Parahita, Putu
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika
kitamasih curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat
pasien sampai di rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang
penting untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan
cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas
dan memar.
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanyacrush injury dengan ancaman
tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of
pulsasi bagian distal dari fraktur danjuga memeriksa capillary refill pada ujung jari
kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
d. Pemeriksaan Fisik
2) System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema, nyeri tekan.
3) Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada nyeri kepala
5) Muka : kaji ekspresi wajah pasien wajah, ada tidak perubahan fungsi maupun
6) Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi perdarahan)
7) Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat bantu
pendengaran.
9) Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil, perdarahan gusi, kaji
10) Paru :
(b) Palpasi : kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
11) Jantung
(b) Palpasi : kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
13) Ekstremitas
(a) Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile, perubahan
bentuk tulang
(b) Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillaryrefile, dan perubahan
bentuk tulang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap pasien. Ini bisa
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
terjadi pada beberapa keturunan,dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
trauma terjadi.
h. Pemeriksaan Radiologi
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x- ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
i. Pemeriksaan Laboratorium
tulang.
j. Pemeriksaan lain-lain :
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
dkk. 2016).
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
37
Gejala & Tanda Mayor Manajemen nyeri
Subjektif Observasi
Mengeluh sulit Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,kualitas, intensitas nyeri.
menggerakkan ekstremitas Identifikasi skala nyeri
Objektif Identifikasi respons nyeri non verbal
Kekuatan otot menurun Identifikasi faktor yang memperberat danmemperingan nyeri
Rentang gerak (ROM) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentangnyeri.
menurun Identifikasi pengaruh budaya terhadap responnyeri.
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Gejala & Tanda Minor Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
Subjektif sudah diberikan
Nyeri saat bergerak Monitor efek samping penggunaan analgetik
Enggan melakukan pergerakan Terapeutik
Merasa cemas saat bergerak Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangirasa nyeri
Objektif Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Sendi kaku Fasilitasi istirahat dan tidur
Gerakan tidak terkoordinasi Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
Gerakan terbatas nyeri
Fisik lemah Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
(PPNI, T. P.. SDKI, 2017)
38
4. Implementasi
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42;
Sistem Muskuloskeletal.
2. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone,
2007, Bab. 14; Trauma.
3. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal
System: The Appendicular Skeleton.
4. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular
System.
5. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter 48;
General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
6. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
7. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview
8. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults.
Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415
9. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
10. Thompson, J.C. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
11. Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at
www.emedicine.com. Accessed on 4thMarch 2012
12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi.
13. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000,
Bab 7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.