Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR HUMERUS
RSUD DEMANG SEPULAU RAYA

Oleh : Kelompok Bedah

1. Ceria
2. Daryati
3. Joko Setyo Budi
4. Rian Aprizal
5. Kholina
6. Yudi muhtar
7. Desi Masnia
8. Serly
9. Yulianti
10. Susy Hairani
11. Yulianti

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU (UMPRI) LAMPUNG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah subhanallahu taala atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Fraktur Humerus” ini dapat diselesaikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Statse Keperawatan Medikal Bedah
(KMB) PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU (UMPRI) LAMPUNG TAHUN 2022 dan meningkatkan pemahaman penulis maupun
pembaca mengenai fraktur humerus.
Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan terima kasih
kepada ibu Rita Sari, S.Kep, Ners selaku pembimbing penulisan makalah ini. Penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan dan sejawat di Universitas
Muhammadiyah Pringsewu atas segala suport kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan
dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena
itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna
menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Gunung sugih, Mei 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. LATAR BELAKANG 1

1.2. TUJUAN 1

1.3. MANFAAT 1

BAB 2 ISI 2

2.1. ANATOMI HUMERUS 2

2.2. FRAKTUR HUMERUS 9

2.2.1. DEFENISI 9
2.2.2. ETIOLOGI 9
2.2.3. EPIDEMIOLOGI 9
2.2.4. KALSIFIKASI 10
2.2.4.1. FRAKTUR PROKSIMAL HUMERUS 10
2.2.4.2. FRAKTUR SHAFT HUMERUS 13
2.2.4.3. FRAKTUR DISTAL HUMERUS 13
2.2.5. DIAGNOSIS 18
2.2.5.1. ANAMNESIS 18
2.2.5.2. PEMERIKSAAN FISIK 19
2.2.5.3. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS 23
2.2.5.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 24
2.2.6. PENATALAKSANAAN 24
2.2.7. KOMPLIKASI 26
BAB 3 KESIMPULAN 24

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Saraf dan Otot Yang Menggerakkan Humerus 3


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus. Fraktur tersebut
umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma
juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang humerus tersebut, misalnya vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), putus atau robek (avulsi
atau ruptur), gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf (neuropraksia, aksonotmesis,
neurolisis).1
Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus ditanggulangi
sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi
rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi.1,2
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada
tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma juga sangat penting untuk diketahui.1

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan
Medikal Bedah (KMB) dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai
fraktur humerus.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai
fraktur humerus sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus fraktur humerus di
klinik sesuai kompetensi dokter umum.

BAB II
KONSEP PENYAKIT

2.1. Anatomi Humerus dan Jaringan Sekitarnya


Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari ekstremitas
superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan skapula dan pada bagian
distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang, ulna dan radius.3
Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang bersendi
dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk articulatio gleno-humeri. Pada
bagian distal dari caput humeri terdapat collum anatomicum yang terlihat sebagai sebuah
lekukan oblik. Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal dari
collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang
teraba pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan tuberculum minus terdapat sebuah
lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu
penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri
perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan collum chirurgicum
karena fraktur sering terjadi pada bagian ini.3
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder pada ujung
proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk segitiga hingga akhirnya
menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan
corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas
deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus.3
Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian distal dari
humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral
humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di
atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea
humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa
coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna
ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar yang
menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus
lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal
humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf
yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat
dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan kulit di atas area posterior dari
epicondylus medialis.3
Berikut ini merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan humerus.
Tabel 2.1. Saraf dan Otot yang Menggerakkan Humerus4
Otot Origo Insertio Aksi Persarafan
Otot-Otot Aksial yang Menggerakkan Humerus
M. pectoralis Clavicula, Tuberculum Aduksi dan Nervus
major sternum, majus dan merotasi medial pectoralis
cartilago sisi lateral lengan pada sendi medialis dan
costalis II- sulcus bahu; kepala lateralis
VI, intertubercul clavicula
terkadang aris dari memfleksikan
cartilago humerus lengan dan kepala
costalis I-VII sternocostal
mengekstensikan
lengan yang fleksi
tadi ke arah truncus
M. latissimus Spina T7-L5, Sulcus Ekstensi, aduksi, Nervus
dorsi vertebrae intertubercul dan merotasi thoracodorsalis
lumbales, aris dari medial lengan pada
crista sacralis humerus sendi bahu;
dan crista menarik lengan ke
iliaca, costa arah inferior dan
IV inferior posterior
melalui
fascia
thoracolumb
alis
Otot-Otot Scapula yang Menggerakkan Humerus
M. deltoideus Extremitas Tuberositas Serat lateral Nervus axillaris
acromialis deltoidea dari mengabduksi
dari humerus lengan pada sendi
clavicula, bahu; serat anterior
acromion memfleksikan dan
dari scapula merotasi medial
(serat lengan pada sendi
lateral), dan bahu, serat
spina posterior
scapulae mengekstensikan
(serat dan merotasi lateral
posterior) lengan pada sendi
bahu.

M. Fossa Tuberculum Merotasi medial Nervus


subscapularis subscapularis minus dari lengan pada sendi subscapularis
dari scapula humerus bahu
M. Fossa Tuberculuum Membantu M. Nervus
supraspinatus supraspinata majus dari deltoideus subscapularis
dari scapula humerus mengabduksi pada
sendi bahu
M. Fossa Tuberculum Merotasi lateral Nervus
infraspinatus infraspinata majus dari lengan pada sendi suprascapularis
dari scapula humerus bahu
M. teres Angulus Sisi medial Mengekstensikan Nervus
major inferior dari sulcus lengan pada sendi subscapularis
scapula intertubercul bahu dan
aris membantu aduksi
dan rotasi medial
lengan pada sendi
bahu
M. teres Margo Tuberculum Merotasi lateral dan Nervus axillaris
minor lateralis majus dari ekstensi lengan
inferior dari humerus pada sendi bahu
scapula
M. Processus Pertengahan Memfleksikan dan Nervus
coracobrachi coracoideus sisi medial aduksi lengan pada musculocutaneus
alis dari scapula dari corpus sendi bahu
humeri
Anatomic neck

Gambar 2.1. Tampilan Anterior Humerus5

Anatomic neck

Gambar 2.2. Tampilan Posterior Humerus5


Gambar 2.3. Tampilan Anterior Saraf di Sekitar Humerus5

Gambar 2.4. Tampilan Lateral Saraf di Sekitar Humerus5


Gambar 2.5. Tampilan Aliran Darah di Sekitar Humerus5

Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang melingkari


periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera akibat
patah tulang humerus bagian tengah. Secara klinis, pada cedera nervus radialis didapati
ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu
melakukan fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam.1
Gambar 2.6. Nervus Radialis dan Otot-Otot yang Disarafinya6

2.2. Fraktur Humerus


2.2.1. Defenisi
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.2

2.2.2. Etiologi
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.2
Trauma dapat bersifat2:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa2:
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau
fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian tulang

2.2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus dari seluruh
kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7% kasus dari seluruh
fraktur.7 Sedangkan kejadian fraktur distal humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari
seluruh fraktur.8 Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan yang
paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus, terutama pada wanitu tua
dengan osteoporosis.8
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan umur rata-rata
64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus merupakan fraktur ketiga yang paling
sering terjadi setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih
sering pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata-rata 54,8 tahun.7

2.2.4. Klasifikasi
Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fraktur Proximal Humerus
2. Fraktur Shaft Humerus
3. Fraktur Distal Humerus
2.2.4.1. Fraktur Proksimal Humerus(9,10)
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang terkait dengan
osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan tulang
(osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena high-energy trauma,
contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain
peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat
digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan pinggang
setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.

Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang:


1. Caput/kepala humerus
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft
Klasifikasi menurut Neer, antara lain:
1. One-part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis fraktu
2. Two-part fracture :
 anatomic neck
 surgical neck
 Tuberculum mayor
 Tuberculum minor
3. Three-part fracture :
 Surgical neck dengan tuberkulum mayor
 Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four-part fracture
5. Fracture-dislocation
6. Articular surface fracture
I

MINIMAL DISPLACEMENT

2-PART 3-PART 4-PART

II

ANATOMICAL NECK

III

SURGICALL NECK

IV

GREATER TUBEROSITY

LESSER TUBEROSITY

ARTICULAR SURFACE

VI

FRACTURE DISLOCATION

2.2.4.2. Fraktur Shaft Humerus(9)


Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah fraktur sepertiga
tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10% sepertiga distal diafisis.
Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan dapat terjadi
pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan neurovaskuler adalah penting
dengan memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan
neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari sindroma kompartemen.
Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada manipulasi lembut.
Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus :
a. Fraktur terbuka atau tertutup
b. Lokasi : sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal
c. Derajat : dengan pergeseran atau tanpa pergeseran
d. Karakter : transversal, oblique, spiral, segmental, komunitif
e. Kondisi intrinsik dari tulang
f. Ekstensi artikular

2.2.4.3. Fraktur Distal Humerus9


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk semua
kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur humerus.(9)
Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung atau trauma
tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh atau terpeleset dengan
posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur atau dipukul
benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh
namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa usia
pertengahan atau wanita usia tua.(9,10)
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat bengkak,
kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku lengannya seperti
akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan
neurovaskuler dalam batas normal.(9,10)
1. Suprakondiler Fraktur
Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah
siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang
mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini dapat
dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran posterior) dan flexion
type (pergeseran anterior) berdasarkan pada bergesernya fragmen distal dari humerus.
Jenis fleksi adalah jenis yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung
pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi
dan dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal
humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.(11)
Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh
pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit
fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang
berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen didapati fraktur humerus
suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke posterior.(11)
Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami
pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal. Nadi
perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk mencari ada
tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vaskularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara
cepat dapat terjadi: "acute volksman ischaemic" dengan tanda-tanda: pulseless; pale;
pain; paresa; paralysis.(11)
Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan
ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan sensorik pada
bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari. Gangguan sensorik didapati pada bagian
volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu
jari dengan jari lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada
cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I
dan II untuk melakukan fleksi.
a. Pada Dewasa
 Fraktur suprakondilus extension type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang
terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal terdesak ke
belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke dalam. Ujung
fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak bagian anterior, kadang
mengenai arteri brachialis atau n. medianus. Periosteum posterior utuh,sedangkan
periosteum anterior ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang
signifikan.(11)
 Fraktur suprakondilus flexion type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada sendi siku
pada distal humeri.(11)
b. Pada Anak
Angka kejadiannya pada anak sekitar 55% sampai 75% dari semua fraktur siku.
Insidensi puncaknya adalah pada anak berusia 5-8 tahun. 98% dari fraktur
suprakondiler pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi. Gejala klinisnya
adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat digerakkan. Dapat ditemukan Pucker
Sign, cekungan dari kulit pada bagian anterior akibat penetrasi dari fragmen proximal
ke muskulus brakhialis. Pada anak, fraktur suprakondiler dapat diklasifikasikan
menurut Gartland.(9)

Klasifikasi Gartland(9)
Tipe I : tidak ada pergeseran
Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai
angulasi atau rotasi
Tipe III : pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
2. Transkondiler Fraktur(9)
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
3. Interkondiler Fraktur(9)
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur humerus distal
yang lain.
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
4. Kondiler Fraktur(9)
a. Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen
b. Pada Anak
 Lateral Condyler Physeal Fractures(9)
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari seluruh fraktur
distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak berusia 6 tahun.

Klasifikasi Milch :
Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui celah
kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter- harris tipe IV. Siku
stabil dikarenakan troklea intak.
Tipe II : garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh
karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I : fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler Intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
 Medial Condyler Physeal Fractures(9)
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini
timbul pada fraktur salter-harris tipe II.
Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe VI.
Klasifikasi kilfoyle :
Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan otot
fleksor

2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1. Anamnesis12
Anamnesis terdiri dari:
1. Auto anamnesis:
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa. Ditanyakan persoalan:
mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan; penderita bercerita tentang keluhan
sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai ketidakberesan; bagian apa dari
anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada pengertian yang berbeda misalnya “…
sakit di tangan ….”, yang dimaksud tangan oleh orang awam adalah anggota gerak atas
dan karenanya tanyakan bagian mana yang dimaksud, mungkin saja lengan bawahnya.
Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau beberapa
penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan anamnesis demikian
perlu pengetahuan tentang penyakit.
Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik, terus-
menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan
-
3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai nyeri,
sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah yang dimaksud instability atau kekakuan otot menurun/melemah/kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif (ditanya oleh
pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala penyakit) dipikirkan
kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang didapat pada anamnesis dapat
dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.

2. Allo anamnesis:
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah orang
lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/bayi atau orang tua yang
sudah mulai dementia atau penderita yang tidak sadar/sakit jiwa; oleh karena itu perlu
dicatat siapa yang memberikan allo anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu rumah tangga
dapat memberikan keterangan yang lebih baik
- juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan keterangan
yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.

2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik2,12


Dibagi menjadi dua yaitu (1) pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan (2) pemeriksaan setempat (status lokalis).
1. Gambaran umum:
Perlu menyebutkan:
a. Keadaan Umum (K.U): baik/buruk, yang dicatat adalah tanda-tanda vital yaitu:
- Kesadaran penderita; apatis, sopor, koma, gelisah
- Kesakitan
- Tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu
b. Kemudian secara sistematik diperiksa dari kepala, leher, dada (toraks), perut
(abdomen: hepar, lien) kelenjar getah bening, serta kelamin
c. Ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang belakang)

2. Pemeriksaan lokal:
Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari anggota terutama
mengenai status neuro vaskuler. Pada pemeriksaan orthopaedi/muskuloskeletal yang
penting adalah:
a. Look (inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan

b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai dari
posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun si pasien, karena itu perlu
selalu diperhatikan wajah si pasien atau menanyakan perasaan si pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai

c. Move (pergerakan terutama mengenai lingkup gerak)


Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selaiam untuk mendapatkan
kooperasi anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk mengetahui gerakan normal si
penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita dapat berkomunikasi dengan
sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan abnormal di daerah fraktur
(kecuali pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah pergerakan
mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankilosis dan hal ini dapat disebabkan oleh faktor intra
artikuler atau ekstra artickuler.
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan
kerusakan tulang subkondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament dan
kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (penderita sendiri disuruh
menggerakkan) dan pasif (dilakukan oleh pemeriksa).
Selain pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting
untuk melihat kemajuan/kemunduran pengobatan.
Selain diperiksa pada posisi duduk dan berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri dan
jalan. Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena
instability, nyeri, discrepancy, fixed deformity.
Anggota gerak atas:
- Sendi bahu: merupakan sendi yang bergerak seperti bumi (global joint); ada
beberapa sendi yang mempengaruhi gerak sendi bahu yaitu: gerak tulang
belakang, gerak sendi sternoklavikula, gerak sendi akromioklavikula, gerak sendi
gleno humeral, gerak sendi scapula torakal (floating joint).
Karena gerakan tersebut sukar diisolasi satu persatu, maka sebaiknya gerakan
diperiksa bersamaan kanan dan kiri; pemeriksa berdiri di belakang pasien, kecuali
untuk eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka pemeriksa ada di samping
pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon terhadap humerus).
Gerak pronasi dan supinasi adalah gerakan dari antebrachii dan memiliki sumbu
ulna; hal ini diperiksa pada posisi siku 90˚ untuk menghindari gerak rotasi dari
sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Pada dasarnya merupakan gerak dari radio karpalia dan posisi netral adalah pada
posisi pronasi, dimana jari tengah merupakan sumbu dari antebrachii. Diperiksa
gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar deviasi.
- Jari tangan:
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai gerakan aposisi
terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan adduksi, ekstensi, dan fleksi.
Jari-jari lainnya hamper sama, MCP (Meta Carpal Phalangeal Joint) merupakan
sendi pelana dan deviasi radier atau ulnar dicatat tersendiri, sedangkan PIP
(Proximal Inter Phalanx) dan DIP (Distal Inter Phalanx) hanya diukur fleksi dan
ekstensi.

2.2.5.3. Pemeriksaan Radiologis12:


Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi
fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka
sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara
sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua:
1. Dua posisi proyeksi; dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan
lateral
2. Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proximal dan distal sendi yang
mengalami fraktur
3. Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak
terutama pada fraktur epifisis
4. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang.
Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan
tulang belakang
5. Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian.
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya,
apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.

2.2.5.4. Pemeriksaan Laboratorium12


Pemeriksaan laboratorium meliputi:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut/menahun
2. atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi
hati/ginjal
3. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test

2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum13:
1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur. Bila
tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk
sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan
pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin.12
1. Fraktur proksimal humeri9,12
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama waktu itu
penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil membongkokkan badan
meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi
dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).
2. Fraktur shaft humeri 9,12
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi kedua
fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila kedudukn sudah cukup
baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab (sugar tong splint). Immobilisasi
dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast terutama
dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan proksimal
terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus dilakukan
open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi n.
Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan
kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau
aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu
hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humeri9,12
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum. Setelah
tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai tak teraba.
Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba lagi. Dalam posisi
fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal
dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai
internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan
dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda
Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk
immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya
berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik
dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humeri9,12
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau tanpa
dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka dan
dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.

5. Fraktur interkondiler humeri9,12


Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi dengan gips
sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal
tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan
plate-screw.
6. Fraktur kondilus lateral & medial humeri9,12
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi tertutup,
kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang baik, perlu
dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-
screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan debridement dan dilakukan fiksasi luar.

2.2.7. Komplikasi12
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
1. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada n.Sirkumfleksi aksilaris menyebabkan
paralisis m.Deltoid.
2. Apabila pada fraktur medial humerus disertai komplikasi cdera n.Radialis, harus
dilakukan operasi reduksi dan internal fiksasi dengan plate screw untuk humerus disertai
eksplorasi n.Radialis.
3. Sindroma kompartemen yang biasa disebut dalam 5 P (Pain, Pallor, Pulselesness,
Paraesthesia, Paralysis), terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan nekrosis otot-
otot dan saraf.
4. Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara fungis
baik, tapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku
dengan teknik French osteotomy.

3.3 ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses

keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan kehilangan

kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses keperawatan. Tanpa pengkajian

keperawatan yang tepat, tidak ada diagnose keperawatan, dan tanpa diagnose

keperawatan, tidak ada tindakan keperawatan mandir (Herman, 2015) Pengkajian

meliputi:

a. Identitas Pasien

Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,

status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register, tanggal MRS,

alasan MRS, diagnosa medis.

b. Initial survey/pengkajian primer

Untuk menentukan apakah pasien responsif atau tidak menggunakan metode

AVPU.A (Alert): Pasien terjaga, responsif, berorientasi, dan berbicara dengan

petugas.V (Verbal): Petugas memberikan rangsangan berupa suara (memanggil

pasien). Pasien akan memberikan respon berupa mengerang, mendengus, berbicara


atau hanya melihat petugas.P (Painful): Jika pasien tidak memberikan respon dengan

suara, maka anda perlu melakukan pemberian rangsangan nyeri dengan cara

menggosok sternum atau sedikit cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada

respon apapun dengan suara atau dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu Sukma. Dkk.

2011, setelah pasien sampai di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway,

Breathing,Circulation, Disability Limitation, Exposure (ABCDE), Parahita, Putu

Sukma. dkk. (2011).

1) Airway : Penilaian kelanaran airway pada pasien yang mengalamifraktur meliputi,

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,

fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha

untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral servikal karena

kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini

dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi leher.

2) Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjaminventilasi yang baik.

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan

diafragma. Dada pasien harus dibuka uantuk melihat pernapasan yang baik.

3) Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekanlangsung sisi area

perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan

perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural, parasardial, atau abdomen) pada

kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok,

dimana pasien dengan fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-

tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus.

4) Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilaiadalah tingkat

kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan

penurunan oksigen dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan


pada otak. Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap

keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi.

5) Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jikaperlu dapat

membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan fisik

thoraks. Di Rumah Sakit pasien harus di buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi

pasien. Setelah pakain dibuka, penting agar pasien tidak kedinginan pasien harus

diberikan slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena.

Parahita, Putu Sukma. Dkk. (2011).

c. Pengkajian Sekunder

Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cidera muskuloskeletal adalah

anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cidera -

cidera lain yangmungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan

tidak terobati.Apabilapasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil

riwayat SAMPLE dari pasien, yaitu Subyektif, Allergies, Medication, PastMedical

History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanismekecelakaan) Parahita, Putu

Sukma. Dkk. (2011). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk

mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika

kitamasih curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat

SAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum

pasien sampai di rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang

penting untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan

cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas

ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya dapatdilakukan dengan Look, Feel,


Move. Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan,

dan memar.

Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan

eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat

dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang

bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanyacrush injury dengan ancaman

sindroma kompartemen. Parahita, Putu Sukma. Dkk. (2011)

Pada pemerikasaan Feel, kitamenggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri

tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of

Motion dan gerakan abnormal.Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba

pulsasi bagian distal dari fraktur danjuga memeriksa capillary refill pada ujung jari

kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi

mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakanalat Doppler yang dapat

mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang

normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi danadanya

gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yangmembesar

atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma

arteria. Parahita, Putu Sukma. Dkk. (2011)

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera

muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel

syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf

perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
d. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum : dikaji GCS pasien

2) System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema, nyeri tekan.

3) Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada nyeri kepala

4) Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek menelan.

5) Muka : kaji ekspresi wajah pasien wajah, ada tidak perubahan fungsi maupun

bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.

6) Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi perdarahan)

7) Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat bantu

pendengaran.

8) Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping hidung.

9) Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil, perdarahan gusi, kaji

mukosa bibir pucat atau tidak.

10) Paru :

(a) Inspeksi : kaji ada tidaknya pernapasan meningkat.

(b) Palpasi : kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(c) Perkusi : kaji ada tidaknya redup atau suara tambahan.

(d) Auskultasi : kaji ada tidaknya suara nafas tambahan.

11) Jantung

(a) Inspeksi : kaji ada tidaknya iktus jantung.

(b) Palpasi : kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.

(c) Perkusi : kaji suara perkusi pada jantung

(d) Auskultasi: kaji adanya suara tambahan.


12) Abdomen

(a) Inspeksi : kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia

(b) Auskultasi : kaji suara Peristaltik usus pasien

(c) Perkusi : kaji adanya suara

(d) Palpasi : ada atau tidak nyeri tekan

13) Ekstremitas

(a) Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile, perubahan

bentuk tulang

(b) Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillaryrefile, dan perubahan

bentuk tulang

d. Riwayat kesehatan Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang

nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap pasien. Ini bisa

berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan

kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan

mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang

lain (Paul Krisanty. dkk. 2016).

e. Riwayat Kesehatan Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk

berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti

kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering

sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat

proses penyembuhan tulang.

f. Riwayat kesehatan Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu

faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering

terjadi pada beberapa keturunan,dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara

genetik (Paul Krisanty. Dkk. 2016).

g. Riwayat dan mekanisme trauma

Dilakukan pengkajian riwayat terjadinya trauma dan mekanisme atau bagaimana

trauma terjadi.

h. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan

sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan

kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2

proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena

adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x- ray harus atas dasar indikasi

kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal

yang harus dibaca pada x-ray:

1) Bayangan jaringan lunak.

2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau

juga rotasi.

3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.


4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain

tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur

yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga

mengalaminya.

2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah

di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda

paksa.Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara

transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

(Paul Krisanty. dkk. 2016).

i. Pemeriksaan Laboratorium

1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahappenyembuhan tulang.

2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang danmenunjukkan kegiatan osteoblastik

dalam membentuk tulang.

3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase(LDH-5), Aspartat Amino

Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan

tulang.

j. Pemeriksaan lain-lain :

1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi.


2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan

pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma

yang berlebihan.

5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada

tulang.MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur(Paul Krisanty.

dkk. 2016).

2. Diagnosa Keperawatan

a) Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,

gelisah.

b) Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.

c) Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai

dengan pasien nyeri saat bergerak.

d) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan pasien

tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan

e) Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis (balutan)

f) Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan.

(PPNI, T. P.. SDKI, 2017)


3. Rencana Asuhan Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan Pembidaian
Penyebab asuhan keperawatan
 Kerusakan integritas struktur … x 24 jam diharapkan Observasi
tulang mobilitas fisik  Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (mis.fraktur, dislokasi)
 Perubahan metabolism meningkat dengan  Monitor bagian distal area cedera (mis. Pulsasinadi, pengisian kapiler, gerakan
 Ketidakbugaran fisik kriteria hasil: motorik dan sensasi)
 Penurunan kendali otot Mobilitas Fisik  Monitor adanya perdarahan pada area cedera
 Penurunan massa otot  Pergerakan ektremitas  Identifikasi material bidai yang sesuai (mis. Lurusdan keras, panjang bidai
 Penurunan kekuatan otot meningkat melewati dua sendi)
 Keterlambatan perkembangan  Kekuatan otot
 Kekakuan sendi meningkat Terapeutik
 Kontraktur  Rentang gerak (ROM)  Tutup luka terbuka dengan balutan
 Malnutrisi meningkat  Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
 Gangguan musculoskeletal  Nyeri menurun  Minimalkan pergerakan, terutama pada bagianyang cedera
 Gangguan neuromuskuler  Kecemasan menurun  Berikan bantalan (padding) pada bidai
 Kaku sendi menurun  Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cedera
 Indeks masa tubuh di atas
persentil ke-75 sesuai usia  Gerakan tidak  Topang kaki menggunakan penyangga kaki(footboard), jika tersedia
 Efek agen farmakologis terkoordinasimenurun  Tempatkan ekstremitas yang cedera dalam posisifungional, jika
 Program pembatasan gerak  Gerakan terbatas memungkinkan
menurun  Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saatDitemukan
 Nyeri
 Kelemahan fisik  Gunakan kedua tangan untuk menopang areaCedera
 Kurang terpapar informasi
menurun  Gunakan kain gendongan (sling) secara tepat
tentang aktivitas fisik
 Kecemasan
 Gangguan kognitif Edukasi
 Keengganan melakukan  Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedursebelum pemasangan bidai
pergerakan  Jelaskan tanda dan gejala sindrom kompartemen(5P: pulseless, parastesia,
 Gangguan sensori persepsi pain, paralysis, palor)

37
Gejala & Tanda Mayor Manajemen nyeri
Subjektif Observasi
 Mengeluh sulit  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,kualitas, intensitas nyeri.
menggerakkan ekstremitas  Identifikasi skala nyeri
Objektif  Identifikasi respons nyeri non verbal
 Kekuatan otot menurun  Identifikasi faktor yang memperberat danmemperingan nyeri
 Rentang gerak (ROM)  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentangnyeri.
menurun  Identifikasi pengaruh budaya terhadap responnyeri.
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Gejala & Tanda Minor  Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
Subjektif sudah diberikan
 Nyeri saat bergerak Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Enggan melakukan pergerakan Terapeutik
 Merasa cemas saat bergerak  Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangirasa nyeri
Objektif  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Sendi kaku  Fasilitasi istirahat dan tidur
 Gerakan tidak terkoordinasi  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
 Gerakan terbatas nyeri
 Fisik lemah Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
(PPNI, T. P.. SDKI, 2017)

38
4. Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam

rencana perawatan.Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri

(independen) dan tindakan kolaborasi (Tarwoto &Wartonah, 2010).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi

merupakan aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika

pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju

pencapaian tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.

Evaluasi ini akan menentukan apakah intervensi keperawatan harus

diakhiri, dilanjutkan ataupun dirubah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42;
Sistem Muskuloskeletal.
2. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone,
2007, Bab. 14; Trauma.
3. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal
System: The Appendicular Skeleton.
4. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular
System.
5. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter 48;
General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
6. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
7. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview
8. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults.
Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415
9. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
10. Thompson, J.C. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
11. Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at
www.emedicine.com. Accessed on 4thMarch 2012
12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi.
13. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000,
Bab 7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.

Anda mungkin juga menyukai