Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Sebelum adanya penelitian ini sudah banyak peneliti yang mengangkat

penelitian mengenai legenda dengan beragam metode, dan teori yang digunakan.

Maka dari itu, untuk menghindari plagiasi pada penelitian ini peneliti melakukan

penelusuran terhadap penelitian terdahulu sebagai kajian kepustakaan, yang mana

terdapat beberapa penelitian yang mengkaji tentang folklor yang berhubungan

dengan penelitian mengenai deskriptif naratif, nilai budaya pada legenda yang

menjadi kepercayaan masyarakat, dan resepsi atau taggapan masyarakat setempat.

Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang diteliti

oleh peneliti, yakni penelitian Rohmah (2016), Ummah (2018), dan Fikri (2019).

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain:

Pertama, Rohmah (2016) dalam tulisannya yang berjudul Legenda Kayangan Api

Dalam Sastra Lisan di Desa Sendangharjo Kecamatan Ngasem Kabupaten

Bojonegoro Jawa Timur, yang memaparkan struktur naratif, nilai budaya, dan

resepsi masyarakat legenda Kayangan Api. Rumusan masalah dalam

penelitiannya meliputi (1) bagaimanakah struktur naratif legenda Kayangan Api,

(2) bagaimana fungsi dalam cerita legenda Kayangan Api, (3) bagaimana nilai

budaya dalam legenda Kayangan Api, (4) bagaimana makna dalam legenda

Kayangan Api, (5) presepsi masyarakat dalam legenda Kayangan Api. Dengan

tujuan penelitian untuk mendeskripsikan struktur naratif, fungsi, nilai budaya,

makna, dan presepsi

13
14

masyarakat dalam legenda Kayangan Api. Penelitian ini termasuk penelitian

deskriptif kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Hasil penelitian ini berupa,

temuan struktur naratif yang berupa (1) struktur awal, (2) alur tengah, dan (3)

akhir. Fungsi merujuk sebagai, (1) hiburan, (2) pendidikan, (3) kritik sosial, (4)

peleraian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (5) senjata potensial dari

masyarakat. Nilai budaya merujuk pada kategori, (1) nilai kepribadian, dan (2)

nilai kemsyarakatan. Makna simbol ditemukan dalam simbol verbal dan non

verbal. Simbol verbal mengacu pada doa atau mantra, simbol non verbal

mengacu pada,

(1) letak kayangan api, (2) api abadi dan pohon cinta, (3) kegiatan bersih desa, (4)

air blukutuk sebagai obat, dan (5) empat pilar di sekeliling api abadi. Presepsi

masyarakat merujuk pada, (1) menyampingkan budaya, dan (2) kepercayaan

terhadap air blukuthuk.

Kedua, penelitian dengan judul Legenda Air Beranak di Desa Solokuro

Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan (Kajian Makna, Nilai Budaya, dan

Resepsi Masyarakat) yang ditulis oleh Siti Khoiroh Ummah (2018). Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan memaparkan

rumusan masalah yang meliputi (1) bagaimana makna cerita legenda Air beranak,

(2) bagaimana nilai budaya pada legenda Air beranak, dan (3) bagaimana resepsi

masyarakat pada legenda Air beranak, dengan tujuan penelitian mendeskripsikan

makna, nilai budaya, dan resepsi masyarakat yang terdapat pada legenda Air

beranak. Hasil dari penelitian ini yaitu (1) simbol verbal: tongkat, kepek, batu

kura, dan simbol nonverbal: kamdowo, (2) nilai budaya: nilai kepercayaan yang

berkaitan erat antara manusia dengan sang pencipta, nilai kemasyarakatan yang

berkaitan erat
15

antara manusia dengan sesamanya, dan nilai yang berhubungan dengan alam

sekitar, dan (3) resepsi masyarakat yang didapat adalah keyakinan yang diyakini

masyarakat mengenai Air beranak yang berupa peninggalan sejarah budaya dan

dianggap memiliki kekuatan megic sehingga menjadi tempat yang dikeramatkan.

Ketiga, Fikri (2019) dalam tulisannya yang berjudul Legenda Sumur

Banyu Legi di Desa Wonorejo Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan Kajian

Struktur Naratif, Nilai Budaya, dan Resepsi Masyarakat. Analisis ini bertujuan

untuk mendeskripsikan sruktur naratif, nilai budaya, dan resepsi masyarakat yang

terdapat dalam legenda sumur Banyu Legi. Metode yang digunakan ialah metode

kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini diproyeksikan untuk mengetahui

struktur cerita, kandungan nilai budaya, serta bagaimana resepsi masyarakat

terhadap cerita. Hasil dari penelitian ini, yaitu (1) struktur naratif meliputi alur,

terem dan fungsi, serta pelaku legenda sumur Banyu Legi, (2) nilai budaya

meliputi: nilai hakikat manusia, nilai hakikat manusia dengan sesamanya, dan

nilai hakikat manusia dengan alam, dan (3) resepsi masyarakat yang didapat

adalah keyakinan masyarakat mengenai pemanfaatan air sumur Banyu Legi

dengan budayanya yang khas sehingga dijadikan sejarah yang harus dilestarikan.

Untuk mempermudah memahami poin-poin yang terdapat pada penelitian

terdahulu, ketiga penelitian terdahulu di atas diperinci dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1
Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan

No. Peneliti Judul Metode Hasil


1. Nadhofatu Legenda metode Struktur naratif yang
Rohmah Kayangan kualitaif berupa (1) struktur awal,
(2016) Api dalam bersifat (2) alur tengah, dan (3)
Sastra Lisan deskriptif akhir. Fungsi merujuk
16

di Desa sebagai, (1) hiburan, (2)


Sendangharjo pendidikan, (3) kritik
Kecamatan sosial, (4) peleraian yang
Ngasem menyenangkan dari
Kabupaten kenyataan, dan (5)
Bojonegoro senjata potensial dari
Jawa Timur masyarakat. Nilai budaya
merujuk pada kategori,
(1) nilai kepribadian, dan
(2) nilai kemsyarakatan.
Makna simbol ditemukan
dalam simbol verbal dan
non verbal. Simbol verbal
mengacu pada doa atau
mantra, simbol non
verbal mengacu pada, (1)
letak kayangan api, (2)
api abadi dan pohon
cinta, (3) kegiatan bersih
desa, (4) air blukutuk
sebagai obat, dan (5)
empat pilar di sekeliling
api abadi. Presepsi
masyarakat merujuk
pada, (1)
menyampingkan budaya,
dan (2) kepercayaan
terhadap air blukuthuk.
2. Siti Legenda Air metode (1) simbol verbal:
Khoiroh Beranak di kualitaif tongkat, kepek, batu kura,
Ummah Desa bersifat dan simbol nonverbal:
(2018) Solokuro deskriptif kamdowo, (2) nilai
Kecamatan budaya: nilai
Solokuro kepercayaan yang
Kabupaten berkaitan erat antara
Lamongan manusia dengan sang
(Kajian pencipta, nilai
Makna, Nilai kemasyarakatan yang
Budaya, dan berkaitan erat antara
Resepsi manusia dengan
Masyarakat) sesamanya, dan nilai
yang berhubungan
dengan alam sekitar, dan
(3) resepsi masyarakat
yang didapat adalah
keyakinan yang diyakini
17

masyarakat mengenai Air


beranak yang berupa
peninggalan sejarah
budaya dan dianggap
memiliki kekuatan megic
sehingga menjadi tempat
yang dikeramatkan.
3. Ahmad Legenda metode (1) struktur naratif
Ariful Sumur Banyu kualitaif meliputi alur, terem dan
Yusuf Legi di Desa bersifat fungsi, serta pelaku
(2019) Wonorejo deskriptif legenda sumur Banyu
Kecamatan Legi, (2) nilai budaya
Sambeng meliputi: nilai hakikat
Kabupaten manusia, nilai hakikat
Lamongan manusia dengan
Kajian sesamanya, dan nilai
Struktur hakikat manusia dengan
Naratif, Nilai alam, dan (3) resepsi
Budaya, dan masyarakat yang didapat
Resepsi adalah keyakinan
Masyarakat masyarakat mengenai
pemanfaatan air sumur
Banyu Legi dengan
budayanya yang khas
sehingga dijadikan
sejarah yang harus
dilestarikan.

Beberapa penelitian di atas memiliki persamaan penelitian yang akan

dilakukan yaitu sama-sama mengkaji tentang struktur naratif, nilai budaya, dan

resepsi masyarakat dalam sebuah legenda. Selain itu beberapa penelitian di atas

juga sama-sama menggunakan metode deskriptif kualitatif yang didasarkan

dengan pendekatan naturalistik, dengan objek legenda yang sama-sama terletak di

Pulau Jawa khususnya Jawa Timur yang mana mempengaruhi adanya budaya

yang terdapat dalam penelitian di atas.

Perbedaan pada penelitian di atas dengan penelitian yang diteliti terletak

pada: 1) Alur cerita pada legenda yang diteliti berlatar belakang berbeda dengan
18

penelitian di atas, 2) Kondisi latar tempat terjadinya legenda yang diteliti memiliki

kondisi yang sangat berbeda dengan penelitian di atas, latar tempat yang dijadikan

objek penelitian terletak di peradaban sejarah yaitu peninggalan Sunan Sendang,

3) Tokoh dan konflik yang diteliti berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu

di atas, tokoh dan konflik dalam legenda yang diteliti dipengaruhi sosok tokoh

yang dianggap sebagai wali. Maka dari itu hasil penilitian ini diharapkan dapat

memunculkan hasanah keilmuan baru dengan kemenarikan objek sastra lisan yang

diteliti tersebut.

Adapun sumbangsi penelitian terdahulu di atas yaitu berupa referensi baik

kajian teori, metode, pendekatan, atau hasil yang nantinya bisa dijadikan

gambaran awal penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin

memfokuskan kajian pada struktur naratif, nilai budaya, dan resepsi masyarakat

pada legenda Sumur Leng Songo, desa Sendangagung, Kecamatan Paciran,

Kabupaten Lamongan yang sebelumnya belum pernah diteliti. Dalam upaya

mengungkapakan hal tersebut, yakni dengan melakukan peneleitian yang berjudul

Legenda Sumur Leng Songo, Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran,

Kabupaten Lamongan (Kajian Struktur Naratif, Nilai Budaya, dan Resepsi

Masyrakat).

B. Deskripsi Konseptual dan Subfokus Penelitian

Pada landasan teori ini dijelaskan konstruk-konstruk teoretis yang meliputi,

(1) Sastra, (2) Sastra Lisan, (3) Legenda, (4) Folklor (5) Stuktur Naratif, (6) Nilai

Budaya, dan (7) Resepsi Masyarakat.


19

1. Sastra

Sastra sampai saat ini masih sulit diejawantahkan dengan pengertian

yang saklek atau aturan-aturan yang mengikat. Sastra lebih mengedepankan

estetika sebagai wujud kepuasan konsumen ketika menikmati karya sastra dan

estetika tersebut rata-rata dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Maka dari

itu banyak peneliti yang menganggap bahwa karya sastra yang indah adalah

karya sastra yang bermanfaat bagi seorang konsumen atau membaca seperti yang

diujarkan oleh Horace. Penikmat karya sastra akan mendapatkan kesenangan

dari tulisan yang indah dan mengharumkan, juga mendapatkan pengetahuan

yang tidak pernah disadari keberadaannya di sekeliling.

Memahami sastra tidak hanya dilakukan secara global juga perlu melihat

elemen terkecil yang ada di dalam sastra. Sastra yang diciptakan dengan

kepekaan pengarang menampilkan “ruang yang kompleks” untuk dipahami dari

berbagai macam sisi (Sutardi, 2011:1-2). Selanjutnya, Sutardi (2011:2)

memaparkan bahwa karya sastra merupakan representasi dari realitas. Karya

sastra sebagai hasil karya manusia memiliki hubungan dengan kehidupan.

Menurut Ratna (2005:312), hakikat karya sastra adalah rekaan atau yang lebih

sering disebut imajinasi. Imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang

berdasarkan kenyataan. Imajinasi tersebut juga diimajinasikan oleh orang lain.

Meskipun pada hakikatnya karya sastra adalah rekaan, karya sastra

direkonstruksikan atas dasar kenyataan. Teeuw (2004:3) mengatakan bahwa,

sastra sebagai hasil kreatifitas manusia yang terus-menerus diciptakan sesuai

dengan gejala sosial zaman yang memiliki sistem untuk dikupas secara lebih

dalam.
20

Ada beberapa definisi sastra, yaitu: Pertama sastra adalah segala sesuatu

yang tertulis atau tercetak. Dengan demikian, maka segala yang tertulis adalah

sastra. Kedua sastra yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “Sastra

imajinati” memiliki keterkaitan dengan istilah tulisan yang indah (Wiyatmi

dalam Wellek dan Warren, 2008:14-15). Sastra juga menawarkan dua hal utama

yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama

adalah memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan

cerita yang menarik , mengajak pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat

karenanya, “mempermainkan” emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus

cerita, dan kesemuanya itu dikemas dalam bahasa yang juga tidak kalah

menarik. Serta tujuan menyenangkan dan memuaskan pembaca tidak peduli

pembaca dewasa ataupun anak-anak , adalah termasuk esensial dalam sastra

(Lukens dalam Nurgiyantoro, 2016:3).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra

merupakan karya kreatif imajinatif yang mengandung kebebasan yang

diciptakan oleh manusia memalui media bahasa yang dalam garis besarnya

mengacu pada gejala sosial atau proses kehidupan masyarakat dan hadir dalam

masyarakat guna memberikan hiburan serta mengajak pembaca untuk masuk dan

menyelami karya tersebut. Maka dari itu dalam hal ini karya sastra sangatlah

penting dan melekat di dalam kehidupan masyarakat.

2. Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan sastra lama yang berkembang melalui lisan oleh

masyarakat. Endraswara (2013:151) mengatakan bahwa sastra rakyat memiliki


21

tradisi turun temurun yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut.

Sebagai karya sastra yang disampaikan melalui mulut ke mulut maka sastra lisan

tidak lepas dengan sejarah dan kebudayaan. Menurut Hutomo (dalam Sudikan,

2015:3) sastra lisan merupakan kesusastraan yang mencangkup ekspresi

kesusastraan warga yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan. Oleh

karena itu sastra lisan merupakan warisan budaya yang memiliki arti yang sangat

penting bagi masyarakat.

Teeuw (dalam Endraswara, 2013:151) berpendapat bahwa kelisanan

masih terdapat diberbagai pelosok masyarakat. Kelisanan di daerah yang banyak

budayanya justru sangat menarik untuk diteliti karena kemurnian kelisanan bisa

tertunjang dengan banyaknya budaya yang masih terlestarikan. Tetapi seiring

dengan perkembangan zaman, banyak sastra lisan yang memudar karena tidak

dapat dipertahankan. Selain keterbatasan memori manusia dalam mengingat,

perkembangan teknologi yang semakin canggih di era revolusi industri 4.0

sewasa ini ikut menggeser sastra lisan yang pernah ada, yang seharusnya dapat

dijaga kelestariannya.

Menurut Hutomo (dalam Sudikan, 2015:4-5), sastra lisan dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu sastra lisan primer dan sastra lisan skunder. 1) Sastra

lisan primer mmpunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Penyebaranya melalui mulut

ke mulut, yaitu ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun

ruang melalui mulut. b) Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa,

masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. c)

Menggembangkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat. d) tidak diketahui siapa


22

Pengarangnya, dan karena itu milik masyarakat. e) Bercorak puitis, teratur dan

berulan-ulang , yang bertujuan untuk menguatkan ingatan dan menjaga keaslian

sastra lisan agar tidak cepatberubah. f) tidak mementinkan fakta dan kebenaran,

lebih menekankan pada aspek khayalan atau fantasi yang tidak diterima oleh

masyarakat modern, tetapi sastra lisan memiliki fungsi penting di dalam

masyarakatnya. g) Terdiri dari berbagai versi, dan h)bahasa, menggunakan gaya

bahasa lisan (sehari-hari) mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak

lengkap. 2) Sastra lisan skunder merupakan system reproduksi sastra tulis,

sebagai wujud penyebarluasan informasi atau sosialisasi sastra tulis. Kehadiran

teknologi komunikasi telah memberi peluang tumbuhnya sastra lisan baru yang

diekspresikan melalui media.

Sebagaimana sastra tulis, sastra lisan juga memiliki wilayah kajian

sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra. Sejarah sastra lisan mempelajari

asal-usul cerita rakyat (dongen, mite, fabel), migrasi cerita sakyat, perubahan

(transformasi) cerita, perkembangan puisi lisan, dan lain sebagainya. Teori

sastra lisan mempelajari seluk beluk yang terkait dengan ontologi sastra,

epistemologi sastra, dan aksiologi sastra. Di pihak lain, bagi peneliti sastra lisan,

“kritik sastra lisan” mempersoalkan apakah sebuah teks lisan itu bernilai sastra

atau tidak bernilai sastra (Hutomo dalam Sudikan, 2015:5).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa sastra

lisan merupakan cerita yang berkembang dalam masyarakat yang disebarkan

lewat mulut ke mulut dengan memuat sejarah dan budaya keayaan masyarakat.

Cerita lisan sering disebut sebagai cerita rakyat yang tidak dikenal siapa
23

pengarangnya, dan memiliki wilayah kajian sejarah sastra, teori sastra, dan kritik

sastra.

3. Legenda

Legenda merupakan cerita rakyat zaman dahulu yang berhubungan

dengan sejarah. Legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa

yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal

sekarang. Legenda sering dipandang tidak hanya merupakan cerita belaka

namun juga dipandang sebagai “sejarah” kolektif, namun hal itu juga sering

menjadi perdebatan mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah

mengalami distorsi (Danandjaja, 1986:66).

Maka dari itu, legenda terkesan dengan kenyataan yang telah terjadi pada

masa lampau yang keadaanya hampir mirip dengan keadaan sekarang. Legenda

juga bukan semata-mata cerita hiburan, namun lebih dari itu dituturkan untuk

mendidik manusia serta membekali mereka terhadap ancaman bahaya yang ada

dalam lingkungan kebudayaan. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai

ciri-ciri yang mirip dengan mite yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak

dianggap suci. Berbeda dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia walaupun

terkadang tokoh tersebut memiliki sifat-sifat luar biasa dan seringakali

berhubungan dengan makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya adalah di dunia

seperti apa yang kita kenal kini karena terjadinya belum terlalu lampau (Bascom

dalam Danandjaja, 1986:50).

Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2016:181-182) mengatakan bahwa legenda

sama halnya dengan mitos, legenda juga termasuk bagian dari cerita rakyat.
24

Perbedaan legenda dengan mitos tidak pernah jelas. Keduanya sama-sama

menampilkan cerita yang menarik dengan tokoh-tokoh yang hebat yang berada

di luar batas-batas kemampuan manusia lumrah. Hal yang membedakannya

adalah bahwa mitos sering dikatakan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan

supranatural yang di luar jangkauan manusia. Sebaliknya, walau sama-sama

menghadirkan tokoh-tokoh yang hebat, legenda tidak mengaitkan tokoh-tokoh

itu dengan atau sebagai dewa-dewa atau yang berkekuatan supranatural,

melainkan dengan tokoh, peristiwa, atau tempat-tempat nyata mempunyai

kebenaran sejarah.

Dari paparan di atas legenda adalah suatu cerita yang terjadi di masa

lampau yang berkembang dalam masyarakat melalui mulut ke mulut dengan

sifatnya yang sekuler atau kedunawian dan sangat berhubungan dengan sejarah,

legenda dan sejarah tidak dapat dipisahkan walaupun keduanya merupakan

elemen yang berbeda tetapi legenda pasti berhubungan dengan sejarah akan

tetapi sejarah belum tentu berhubungan dengan legenda dan keduanya rata-rata

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu, legenda juga merupakan

bagian penting dalam sastra lisan sebagai cerita rakyat. Begitu banyak cerita

rakyat yang berkembang dalam masyarakat, ini disebabkan karena legenda

terkesan nyata dan rata-rata dapat dipertanggungjawabkan. Legenda sering

disamakan dengan mitos, sebetulnya keduanya tersebut memiliki ciri yang sama

tetapi ada unsur yang membedakan bahwa mitos biasanya menampilkan tokoh-

tokoh hebat yang didekatkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan

supranatural yang di luar jangkauan manusia, sedangkan legenda lebih

menyajikan tokoh-tokoh hebat yang


25

terkemas dengan tempat-tempat nyata atau peristiwa yang mempunyai kebenaran

sejarahnya.

4. Folklor

Folklor adalah bagian dari sastra lisan, kebudayaan yang berkembang

melalui sastra lisan semakin menguatkan bahwa keduanya adalah bagian yang

tidak bisa dipisahkan. Danandjaja (1986:66) mengatakan kaitannya dengan

legenda sastra lisan juga memiliki bagian lain yakni folklor. Folklor yang

merupakan bagian dari cerita rakyat, dan bagian dari sastra lisan yang pernah

hidup menjadi milik masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun temurun

yaitu dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Danandjaja (dalam Yuana,

2015:17) menyatakan, folk adalah sinonim dengan kolektif. Yang juga memiliki

ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta memiliki kesadaran

kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Di pihak lain, yang dimasudkan

dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan

secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat pembantu pengingat mnemonic device.

Brunvand seorang ahli folklore dari AS (dalam Danandjaja, 1986:21-22,)

menggolongkan folklore dalam 3 tipe yaitu (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian

lisan , dan (3) folklor bukan lisan. Folklor lisan adalah folklore yang bentuknya

memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) foklor yang termasuk ke dalam

kelompok besar ini antara lain, (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,

julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional

seperti seperti peribahaa, pepatahm pemeo, (c) pertanyaan tradisional seperi

teka-
26

teki, (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair, (e) cerita prosa rakyat

seperti mite, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat.

Folklor sebagai lisan yaitu folklore yang bentuknya merupakan campuran

unsur lisan dan bukan lisan. Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial. Yang

termasuk dalam folklor sebagian lisan, adalah: (a) kepercayaan rakyat

(takhayul), kepercayaan ini sering dianggap tidak berdasarkan logika karena

tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan

praktek (kebiasaan) dan diwariskan melalui media tutur kata, (b) permainan

rakyat, disebarkan melalui tradisi lisan dan banyak disebarkan tanpa bantuan

orang dewasa. Contoh: congkak, teplak, galasin, bekel, main tali,dsb (c) teater

rakyat,

(d) tari rakyat, (e) pesta rakyat, dan (f) upacara adat yang berkembang di

masyarakat didasarkan oleh adanya keyakinan agama ataupun kepercayaan

masyarakat setempat. Upacara adat biasanya dilakukan sebagai ungkapan rasa

terima kasih pada kekuatan-kekuatan yang dianggap memberikan perlindungan

dan kesejahteraan kepada mereka.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun

cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklore ini terbagi dua sub

kelompok, yakni material dan bukan material. Bentuk-bentuk yang tergolong

dalam kelompok material: arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian adat,

perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.

Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional,

bunyi isyarat, dan musik rakyat.

5. Struktur Naratif
27

Struktur sama halnya dengan bagian, Struktur adalah hubungan antara

unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan (Hutomo, 2015:35). Dalam

hal ini, hubungan antar unsur tersebut dapat berupa hubungan dramatik, logika

maupun waktu. Jadi dalam struktur itu ada satuan unsur pembentuk dan

susunannya. Bisa disimpulkan bahwa bagian yang terdapat di dalam sebuah

karya dan sebagai pondasi karya tersebut itu merupakan sebuah struktur.

Narasi merupakan pengisahan atau kisah dalam sebuah cerita. Garis

globalnya struktur naratif merupakan bagian yang terbentuk dalam narasi sebuah

cerita. Hutomo dalam Sudikan (2015:35) menyatakan bahwa unsur-unsur

pembentuk itu merupakan satuan-satuan operasional yang dapat digunakan

untuk keperluan pengalihan, pengurangan, pengikhtiaran dan lain-lain.

Teori struktur naratif yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

struktur naratif yang dikembangkan oleh Maranda. Konsep yang digunakan oleh

Maranda berisi model-model penganalisisan struktur sastra lisan, yang

menggunakan satuan unsur yang bernama terem (term) dan fungsi (fungtion),

(Sudikan, 2015:36-37). Terem berhubungan dengan konteks kesejarahan,

sedangkan fungsi adalah peranan yang dipegang oleh terem.

Model yang dikemukakan oleh Maranda berasal dari Levi-Strauss untuk

mengkaji saling pengaruh antara struktur bawah dan struktur atas dalam jaringan

hubungan struktur masyarakat. Oleh Maranda formula itu digunakan untuk

menunjukan pola perulangan dalam cerita rakyat (folklor) dan didalamnya

disertakan penafsiran psikososial dan penafsiran lainnya (Sudikan, 2015:45).


28

Penafsiran psikososial yaitu menafsirkan diri dari objek penelitin itu sendiri baik

itu tingkah laku, kehidupan sehari-hari dan batin social masyarakatnya.

Terem (term) adalah simbol yang dilengkapi dengan konteks ke-

masyarakatan dan kesejarahan. Selain itu, terem dapat berupa dramatis personae,

pelaku magis, gejala alam. Semua itu merupakan segala subjek yang dapat

berbuat atau melakukan peran tertentu dalan cerita. Terem-terem ini satu sama

lain saling bertentangan. Semua terem ini dapat dikategorikan sebagai peran

tunggal dan peran ganda (Sudikan, 2015:36). Terem pertama (TP) terdapat

dalam unsur peran tunggal dalam awal cerita sebelum pemecahan suatu krisis.

Terem kedua (TK) yang juga disebut sebagai “mediator” dapat dijumpai pada

unsur peran ganda dalam situasi sebelum suatu krisis terselesaikan. Hal tersebut

digambarkan dalam skema sebagai berikut

TK

TP

Krisis

(alur cerita rakyat)

Sedangkan fungsi (function) ialah peranan yang dipegang oleh terem,

dengan demikian fungsi mempengaruhi terem, maksudnya wujud itu hanya

seperti apa yang diekspresikan dalam terem yang memberinya wujud nyata.

Simpulannya terem itu berubah-ubah, sedangkan fungsi itu tetap. Berikut adalah

skemanya:

Fungsi : Kebaikan Keburukan

A A
29

Terem : B B

Catatan : kedudukan A dapat digantikan oleh B.

Sedangkan formula Levi-Strauss yang dikembangkan oleh Maranda

adalah sebagai berikut:

-1
Fx (a):fy(b)::fx(b):fa (y)

Penjelasan :

(a) adalah terem pertama (TP) yang menyatakan unsur dinamik;

(b) adalah terem kedua atau TK (mediator)

fx adalah fungsi yang memberi kekhasan kepada terem pertama (a) fy

adalah fungsi yang bertentangan dengan fungsi pertama, pertama kekhasan pada

terem kedua (b) dalam permunculannya yang pertama:

Pemakaian tanda : dan :: menunjukan hubungan sebab akibat ; Terem (b)

secara pilihan diberi kekhasan oleh kedua fungsitersebut, karena itu dapat

menjadi mediator pertentangan dua anggota pertama, rumus itu menunjukan titik

balik alur, dan anggota akhir menunjukan penyelesaian. Menurut Maranda

rumus itu dapat juga diuraikan sebagai berikut : tiga anggota pertama yaitu fx(a),

fx (b) terakhir, yaitu fa-1, yang merupakan hasil atau keadaan sebagai akhir dari

proses pengantar (mediasi).Rumus itu mengandung perubahan fungsi terem-

terem, karena (a) yang menjadi terem itu sekali waktu terbalik menjadi tanda

fungsi terbalik menjadi fungsi a-1 dan y yang merupakan tanda fungsi berubah

menjadi (y), yaitu sebuah terem yang merupakan hasil akhir dari proses itu.

Perubahan itu menurut tafsiran Maranda perlu memperhitungkan pola struktur,

sehingga hasil akhir itu bukan hanya pemulangan yang siklus kepada titik

berangkat setelah
30

kekuatan pertama ditiadakan, tetapi suatu langkah helicoidal, keadaan baru

berbeda dengan keadaan awal, bukan saja dalam hal meniadakannya tetapi

karena keadaan akhir itu lebih besar daripada peniadaan itu. Dengan kata lain

jika pelaku

(a) diberi kekhasan dengan fungsi negative fx (sehingga menjadi penjahat), dan

pelaku (b) itu dapat berperan sebaliknya yaitu berfungsi negatif, yang prosesnya

menuju kemenangan yang lebih lengkap, yaitu proses dari keruntuhan terem (a)

dan menegakan nilai yang positif (y)struktur, sehingga hasil akhir itu bukan

hanya pemulangan yang siklus kepada titik berangkat setelah kekuatan pertama

ditiadakan, tetapi suatu langkah helicoidal, keadaan baru berbeda dengan

keadaan awal, bukan saja dalam hal meniadakannya tetapi karena keadaan akhir

itu lebih besar daripada peniadaan itu. Dengan kata lain jika pelaku (a) diberi

kekhasan dengan fungsi negative fx (sehingga menjadi penjahat), dan pelaku (b)

itu dapat berperan sebaliknya yaitu berfungsi negative, yang prosesnya menuju

kemenangan yang lebih lengkap, yaitu proses dari keruntuhan terem (a) dan

menegakan nilai yang positif (y) pada hasil akhir dan terem.(y) itu diberi

kekhasan oleh sebuah fungsi kebalikan dari terem pertama. Jadi apabila dua

kecenderungan yang berlawanan yaitu x dan y.

Dalam pambukaan awal suatu cerita menimbulkan pertentangan yang

mendalam antara dua terem (a) dan (b) sehingga terjadi konflik, maka akan

terjadi pergerakan (*) berikut ini:

-1
((fx (b))*(fx(a)) fa (y)

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan gambaran

struktur alur yang ada adalam cerita, untuk menuliskan urutan terem dan fungsi
31

dalam penelitian ini mula-mula ditulis terem dan fungsi, jadi (fx (b)) dan (fx(a)),

serta tanda : dan : : digunakan untuk menunjukan sebab akibat.

6. Nilai Budaya

Budaya merupakan salah satu unsur yang berkembang dalam masyarakat.

Istilah “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, yaitu bentuk

jamak dari buddhi yang berarti “akal. Dengan demikian kebudayaan dapat

diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Koentjaraningrat

(2009:146) memperjelas bahwa dalam istilah “antropologi-budaya” budaya dan

kebudayaan tidak dibedakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu

singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Kata culture

merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari

kata colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau

bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta

tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.

Dalam bahasa sehari-hari “kebudayaan” dibatasi hanya pada hal-hal yang

indah (seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan, dan filsafat)

saja. Sedangkan dalam ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang

lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009:144).

Koentjaraningrat (2009:146) juga menjelaskan bahwa di samping istilah

“kebudayaan” ada pula istilah peradaban. Istilah tersebut biasa dipakai untuk

menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah.
32

Misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan , kepandaian

menulis, kenegaraan dan lain sebagainya. Istilah “pradaban” sering dipakai

untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai system teknologi, ilmu

pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan system kenegaraan dari masyarakat

kota yang maju dan kompleks.

Koentjaraningrat (2000:25) menyatakan bahwa nilai budaya adalah nilai

yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian

besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem

nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam

bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang

mempengaruhinya dalam mengambil alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-

tujuan pembuatan yang tersedia. Selanjutnya Theodorson (dalam Pelly, 1994:23)

mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan

pedoman serta prinsip- prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku.

Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif

sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat

sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.

Budaya manusia memiliki paling sedikit tiga wujud yaitu: a) wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma dan

sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran dari warga masyarakat atau

dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan warga masyarakat yang

bersangkutan, b) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat yang bersangkutan, c) wujud

kebudayaan
33

sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa kebudayaan fisik yang

berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan,

(Koentjaraningrat, 2015:150).

Kluchohn (dalam Koentjaraningrat, 2015:30), menyatakan bahwa nilai

kebudayaan dapat dikelompokkan ke dalam lima masalah dasar kehidupan

manusia, yaitu (1) masalah hakikat hidup manusia, 2) hakikat karya hidup

manusia, 3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, 4) hakikat

manusia dengan alam hidup sekitarnya, dan 5) hakikat manusia dengan

sesamanya. Secara gampangnya lima hal di atas merujuk kepada tiga poin inti

yang terdapat dalam kebudayaan, pertama adalah hakikat hidup manusia

(manusia dengan tuhan atau dengan dirinya sendiri), kedua adalah hakikat hidup

manusia dengan alam sekitarnya, dan ketiga adalah hakikat manusia dengan

sesama manusia.

Puerso (dalam Herususanto 2012:2) menyatakan bahwa kebudayaan

meliputi segala manifistasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang

bersifat rohani seperti, agama, kesenia, filsafat ilmu pengetahuan, tata Negara

dan lain sebagainya. Kebudayaan juga diartikan sebagai manifestasi kehidupan

setiap orang dan setiap kelompok orang dimana manusia hidup begitu saja

ditengah alam, namun berusaha mengubah alam itu, yang kemudian

diperpadukan berbagai perbuatan atau tindakan manusia dan diangkat dalam

keseluruhannya. Dengan demikian kebudayaan merupakan cerita tentang

perubahan-perubahan riwayat manusia.


34

Berdasarkan pandangan pakar tersebut, peneliti dapat menyimpulkan

bahwa nilai-nilai budaya adalah nilai yang mengandung resepsi tentang riwayat

manusia yang diperoleh dari hasil cipta, karsa, dan rasa manusia di dunia. Hasil

cipta dan karsa dalam kenyataannya dapat berupa corak pemikiran, ungkapan

perasaan dan tingkah laku dari hasil kelakuan masyarakat tertentu. Manusia dan

kebudayaan merupakan dwitunggal karena pada dasarnya keduanya tidak dapat

dipisahkan, di mana ada sekelompok manusia, maka di situ ada kebudayaan

yang dihasilkan. Kebudayaan berguna bagi manusia atau masyarakat untuk

melindungi diri dari alam, mengatur antara manusia dan sebagai wadah dari

segenap perasaan manusia.

Tiga poin inti yang terdapat dalam kebudayaan: pertama adalah hakikat

hidup manusia (manusia dengan tuhan atau dengan dirinya sendiri), kedua

adalah hakikat hidup manusia dengan alam sekitarnya, dan ketiga adalah hakikat

manusia dengan sesama manusia. Secara garis besar budaya adalah pendorong

perilaku keseharian seseorang terdorong melalui budaya, baik budaya secara

individu maupun kelompok atupun masyarakat brangkat dari keseringan atau

kebiasaan bisa menimbulkan suatu kebudayaan. Maka nilai budaya sangatlah

penting ditekankan dalam masyarakat terlembih dalam pengejawantahan sastra

lisan karena titik nilai dalam kebudayaan apabila sudah membudaya didalam diri

seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di

dalam bertingkahlaku.

7. Resepsi Masyarakat
35

Sejak dahulu sampai sekarang karya sastra itu selalu mendapat

tanggapan- tanggapan pembaca, baik secara perseorangan maupun secara

bersama-sama atau secara masal. Semakin seseorang menanggapi semakin

banyak menunjukkan kepedulian terhadap karya sastra yang telat diciptakan, dan

tanggapan tersebutlah berkaitan dengan sebuah resepsi. Menurut Pradopo

(2012:206), resepsi merupakan ilmu keindahan yang didasarkan pada tangapan-

tangapan atau resepsi- resepsi pembaca terhada karya sastra.

Secara definatif resepsi sastra berasal dari kata recepare (Latin),

reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan

pembaca. Dengan demikian dresepsi didefinisikan sebagai pegelolaan teks, cara-

cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon

terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan

seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam

periode tertentu (Ratna, 2013:165).

Dalam penelitian resepsi sastra Pradopo (2012:210), membedakan

menjadi dua bentuk yaitu: 1) resepsi sastra singkronik, dan 2) resepsi sastra

diakronik. Bentuk resepsi sastra singkronik yaitu cara penelitian terhadap karya

sastra dalam satu masa atau periode. Untuk mengetahui tanggapan-tanggapan

yang bermacam-macam itu melalui kritikus atau melalui pengedaran angket

yang diedarkan untuk masing-masing pembaca. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa nilai sebuah karya sastra dapat terlihat pada suatu kurun

waktu. meneliti karya sastra dalam hubunganya dengan pembaca sezaman.

Sedangkan resepsi
36

diakronik merupakan pengumpulan tanggapan-tanggapan pembaca-pembaca ahli

sebagai wakil pembaca yang telah dilaluinya.

Luxemburg dkk. (dalam Ratna, 2013:167), membedakan resepsi dengan

penafsiran, penafsiran yaitu bersifat teoritis dan sistematis. Oleh karena itu

resepsi termasuk bidang karya sastra. Sedangkan resepsi sastra yakni

sebagaimana dimaksudkan dalam teori kotemporer tidak terbatas sebagai reaksi.

Ciri-ciri penerimaan adalah reaksi, baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut Ratna (2013:166), teori resepsi sastra tampil sebagai sebuah

teori yang dominan, dengan pertimbangan sebgai berikut.

1. Sebagai jalan keluar mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya

memberikan perhatian terhadap unsur-unsur.

2. Timbulnya kesadaran untuk mengakibatkan kembali nilai-nilai

kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal.

3. Kesadaran bahwa nilai karya seni disebabkan oleh pembaca.

4. Kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca.

5. Kesadaran bahwa makna yang terkandung dalam hubungan ambiguitas

antara karya sastra dengan pembaca.

Studi resepsi sastra sangat tepat untuk sastra Indonesia sebab Indonesia

memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama yang sangat beragam. Sebagai

ahli dalam bidang sastra lama, nilai katya sastra dengan demikian terkadang

dalam penemuan antara masa lampau karya sastra dengan kekinian masing-

masing peniliti (Teeuw dalam Ratna, 2013:170).


37

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti dapat menyimpulkan yang

disebut resepsi masyarakat adalah tanggapan dan bentuk penilaian terhadap

karya sastra legenda sumur Leng Songo di masyarakat sekitar legenda tersebut.

Tanggapan atau bentuk penilaian tersebut dari seorang pembaca atau masyarakat

terhadap suatu karya sastra lisan dalam hal ini adalah legenda sumur Leng

Songo.

Anda mungkin juga menyukai