Anda di halaman 1dari 33

PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

BIDANG TEKNOLOGI PASCAPANEN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MENEKAN KEHILANGAN


PANGAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN
MASYARAKAT

Disampaikan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Nusa Cendana
Kupang, 30 September 2021
Foto Orator

Prof. Ir. Lince Mukkun, MS., PhD

1
Yang Terhormat,
• Bapak Rektor sebagai Ketua Senat Universitas Nusa Cendana
• Para Wakil Rektor Universitas Nusa Cendana
• Sekretaris Senat, Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Nusa Cendana
• Direktur dan para Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Nusa Cendana
• Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Nusa Cendana
• Para Ketua dan Sekretaris Lembaga, dan Kepala Biro di lingkungan Universitas Nusa
Cendana
• Para Kepala UPT, Ketua Program Studi serta seluruh pejabat di lingkungan Universitas
Nusa Cendana
• Para Dosen, Tenaga Kependidikan, Mahasiswa dan seluruh sivitas akademika Universitas
Nusa Cendana
• Perwakilan Rohaniawan
• Para Alumni Universitas Nusa Cendana
• Para tamu undangan serta segenap keluarga yang berbahagia.
Salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama, patutlah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, oleh karena
hanya atas Anugerah dan Kasih KaruniaNya sehingga kita bisa hadir dalam Rapat Senat
Terbuka Luar Biasa di Auditorium Universitas Nusa Cendana ini dalam keadaan sehat
walafiat.
Saya mengucapkan limpah terimakasih kepada Rektor sebagai Ketua Senat Universitas Nusa
Cendana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Pidato
Pengukuhan Saya sebagai Guru Besar dalam Bidang Teknologi Pascapanen pada Fakultas
Pertanian Universitas Nusa Cendana di hadapan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Yang
Terhormat ini.
Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu para Hadirin yang telah
berkenan meluangkan waktu dan tenaga untuk menghadiri acara ini di Auditorium
Universitas Nusa Cendana.
Kehadiran Bapak/Ibu, Tamu Undangan sekalian merupakan kehormatan yang tak ternilai
harganya bagi saya.
Hadirin yang saya Muliakan,
Ijinkan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini, menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru
Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Pascapanen dengan judul:

2
PERANAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MENEKAN KEHILANGAN
PANGAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN
MASYARAKAT.

Hadirin yang saya hormati,


Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, dan karena itu kebutuhan atas pangan
merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar. Menurut Undang-undang Pangan No
18 Tahun 2012 pangan adalah kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap rakyat
Indonesia sehingga harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan
beragam dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Asas penyelenggaraan pangan di
Indonesia harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat,
pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan. Tujuan utama dari UU Pangan tersebut yaitu agar
memanfaatkan sumber daya alam nasional secara optimal dan mengurangi ketergantungan
terhadap impor (Prabowo, 2010; Winata & Santoso, 2020).

Ketahanan Pangan didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan. Berdasarkan pada konsep dasar ketahanan pangan di atas, aspek
strategis dalam ketahanan pangan dapat dibedakan menjadi 2 aspek, yaitu makro dan mikro.
Aspek makro antara lain : ketersediaan dan stabilitas pangan. Sedangkan aspek mikro antara
lain akses pangan dan penggunaan pangan. Terpenuhinya kondisi masing- masing aspek ini
secara simultan adalah syarat mutlak untuk terwujudnya ketahanan pangan yang mantap
(Sandyatma, 2015).

Peningkatan ketersediaan pangan diarahkan pada peningkatan produksi dalam negeri pada
komoditas padi, jagung, kedelai, daging dan gula. Pada Tabel 1 terlihat bahwa produksi bahan
pangan pokok seperti padi, jagung, dan kedelai mengalami fluktuasi peningkatan dari tahun ke
tahun, kecuali pada komoditas kedelai yg mengalami penurunan sejak 2 tahun terakhir (BPS,
2021). Sejak 2013 hingga 2019, produksi jagung meningkat hampir dua kali lipat dari 18,5
juta ton menjadi 33 juta ton per tahun. Produksi beras meningkat dari 41,43 juta ton gabah
pada 2013 menjadi 47,17 juta ton pada 2017 tetapi kemudian menurun dari 33,94 juta ton pada
2018 menjadi 31,31 juta ton pada 2019. Sedangkan produksi kedelai mengalami stagnan (Arif
et al., 2020).

3
Tabel 1. Neraca Pangan Indonesia Tahun 2013 sampai 2019 (dalam juta ton)

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019


BERAS
Produksi 41.43 41.18 43.83 46.13 47.17 33.94 31.31
Impor 0.47 0.84 0.86 1.28 0.31 2.25 0.44
Rasio Ketergantungan 1.13 2.01 1.93 2.71 0.86 6.15 1.38
JAGUNG
Produksi 18.51 19.01 19.61 23.58 28.92 30.06 33
Impor 3.3 3.4 3.5 1.1 0.45 0.48
Rasio Ketergantungan 15.13 15.17 15.14 4.46 1.53 1.57
KEDELAI
Produksi 0.78 0.95 0.96 0.86 0.54 0.98 0.36
Impor 1.79 1.97 2.26 2.26 2.67 2.59 2.67
Rasio Ketergantungan 69.65 67.67 70.19 72.44 83.18 72.55 88.12

Menurut Kementan, sebuah negara dapat disebut berhasil dalam swasembada jika rasio
ketergantungan impornya tidak melebihi 10% konsumsi domestik. Berdasarkan kriteria ini,
Indonesia dapat dianggap berhasil dalam swasembada beras, kecuali pada 2018, saat rasio
ketergantungan impor beras negara ini mencapai angka agak tinggi sebesar 6,2%, rata-rata
hanya sekitar 2,3% konsumsi beras dalam negeri selama periode 2013–2019 berasal dari impor.
Relatif besarnya ketergantungan pada impor beras untuk memenuhi permintaan dalam negeri
ini menimbulkan kekhawatiran besar pada masa krisis akibat pandemi COVID-19. BPS
menunjukkan bahwa dalam kuartal pertama 2020, menurut perbandingan antar tahun, produksi
pangan di Indonesia mengalami kontraksi sebesar 10%.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi pada beberapa tahun terakhir, Indonesia mencatat
beberapa perkembangan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Menurut
laporan World Bank (2020), Indonesia menjelma menjadi negara berpenghasilan menengah ke
atas dengan pendapatan per kapita nasional bruto (PPNB) sebesar US$4,050 pada 2019.
Peningkatan pendapatan berdampak terhadap peningkatan akses terhadap pangan dan
prevalensi gizi kurang (undernutrition) terus menurun selama beberapa tahun terakhir . Salah
satu hasilnya, Indonesia berhasil secara stabil menurunkan kemiskinan dari 14,1% pada 2009
menjadi 9,2% pada 2019 (BPS, 2020).

4
Di tengah upaya peningkatan ketahanan pangan dan gizi, Indonesia kini menghadapi krisis
yang belum pernah ada sebelumnya, yakni krisis yang disebabkan pandemic Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19). Pandemi ini berkonsekuensi terganggunya kondisi perekonomian
Indonesia dengan jatuhnya perdagangan barang dan jasa, hilangnya pekerjaan dan penghasilan,
serta turunnya produk dalam negeri. Untuk menghadapi permasalahan tersebut maka
pemerintah menyusun beberapa kebijakan yaitu meningkatkan produksi bahan pangan dengan
memanfaatkan lahan pekarangan, melakukan urban farming, dan diversifikasi pangan dengan
cara memanfaatkan pangan local (Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2020).

Kehilangan pangan (food loss) merupakan faktor lain yang menyebabkan ketersediaan pangan
berkurang. Menurut laporan FAO (2011) sekitar 1.3 miliar ton per tahun bahan pangan yang
diproduksi terbuang selama proses produksi, penanganan dan penyimpanan, pengolahan,
distribusi dan konsumsi. Kehilangan pangan yang cukup besar tersebut jika bisa dicegah,
maka dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat dan diperkirakan
akan mencapai 10.5 milliar pada tahun 2050. Di Indonesia, kehilangan pangan diprediksi
sebesar rata-rata 31 persen per tahun, dan kehilangan terbesar terdapat pada sub rantai
pascapanen. Kehilangan selama kegiatan pascapanen rata-rata sebesar 8 persen, sedangkan di
negara maju hanya sekitar 3 persen.

Penanganan pascapanen selama ini belum mendapat perhatian seperti pada kegiatan produksi.
Padahal jika dilihat dari besarnya kehilangan yang terjadi pada rantai pascapanen maka
seharusnya bidang pascapanen juga menjadi bidang prioritas. Kegiatan pascapanen
didefenisikan sebagai berbagai tindakan atau perlakuan terhadap hasil pertanian setelah panen
sampai komoditas sampai ke konsumen. Besarnya kehilangan pascapanen bahan pangan
bervariasi tergantung jenis bahan pangan, dan kondisi suatu negara atau daerah (Delgado et al.,
2017). Pada biji-bijian, kehilangan pascapanen mencapai 24 persen, sedang sayuran dan buah-
mencapai 51 persen. serta 38 persen pada umbi-umbian. Selain kehilangan secara kuantitatif,
juga secara kualitatif seperti berkurangnya nilai gizi, adanya cemaran mikroba dan mikotoksin
yang dapat mengganggu kesehatan konsumen. Berdasarkan hal tersebut, maka penanganan
pascapanen sangat penting untuk mencegah kehilangan baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif. Pada orasi ini penulis membahas aspek pascapanen bahan pangan yang penting di
Nusa Tenggara Timur sebagai daerah lahan kering kepulauan yaitu jagung dan sorgum yang
menjadi focus penelitian penulis sejak tahun 2014 hingga tahun 2019.

5
I. PENANGANAN PASCAPANEN JAGUNG

Jagung merupakan bahan pangan utama bagi penduduk dan bahan baku makanan
ternak. Selain itu, jagung dijadikan sebagai salah satu bahan baku industri rumah tangga seperti
industri keripik jagung dan jenis makanan olahan lainnya yang merupakan salah satu makanan
khas dari NTT. NTT merupakan daerah penghasil jagung ketiga secara nasional setelah Jawa
Timur dan Jawa Barat. Produksi jagung di NTT pada tahun 2019 berjumlah 884 326 ton,
dengan luas panen sebesar 335 901 ha. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan
daerah dengan luas panen tertinggi yaitu 60 856 Ha dan total produksi sebesar 152 307 ton
(BPS NTT, 2020). Jagung dapat berfungsi sebagai beras bila dinilai dari kandungan gizinya.
Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap kilogramnya, bahkan
protein jagung (82,8 g) lebih tinggi dari pada beras yang hanya 68 g (Dep Kes, 1990). Jagung
dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan. Masyarakat NTT merupakan kelompok
masyarakat yang banyak mengkonsumsi jagung baik dalam keadaan basah maupun pipilan
yaitu 1.57 kg/kapita/minggu, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi jagung
nasional sebesar 0.77 kg/kapita/minggu (Sabarella et al., 2019).

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, terjadi kenaikan produksi jagung nasional dari 17,6 juta
ton pipilan kering pada tahun 2011 menjadi 19,6 juta ton pada tahun 2018. Namun demikian,
kenaikan produksi jagung secara nasional tidak mampu mensuplai kebutuhan dalam negeri
sehingga impor masih diperlukan. Penanganan pascapanen yang tepat sangat penting dalam
upaya mengurangi susut hasil, baik susut kuantitas maupun susut kualitas. Belum optimalnya
penanganan pascapanen menyebabkan produk yang dihasilkan tidak mampu bersaing dipasar.
Masalah yang sering muncul adalah mutu jagung yang kurang sesuai dengan standar dan harga
yang relatif rendah. Dengan demikian, dalam penanganan pascapanen antara lain pemanenan,
pengupasan, pengeringan, pemipilan, penyimpanan, pengangkutan, grading, dan standarisasi
perlu untuk ditingkatkan kualitasnya dalam upaya meningkatkan daya saing jagung.
Permasalahan ini semakin diperparah dengan rawannya jagung terhadap kontaminan
mikotoksin. Jagung yang kaya akan karbohidrat merupakan substrat yang cocok untuk
pertumbuhan kapang toksigenik dan pembentukan mikotoksin. Produksi mikotoksin ditunjang
dengan kondisi iklim tropis Indonesia yaitu suhu, curah hujan dan kelembabannya cukup tinggi
yang sangat mendukung berkembangbiaknya kapang penghasil mikotoksin tersebut. Bhat dan
Miller (1991) menyatakan bahwa sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar mikotoksin
seperti aflatoksin, deoksinivalenol, zearalenon, okratoksin A dan fumonisin. Pitt et al. (1998),
melaporkan bahwa kapang yang menyerang jagung baik petani, pengumpul, pedagang pada

6
daerah Bogor dan Yogyakarta adalah Aspergillus flavus, Fusarium moniliforme, A. niger dan
Eurotium rabrum. Aflatoksin merupakan salah satu jenis toksin yang paling toksik yang
dihasilkan oleh kapang A. flavus dan A. parasiticus, tumbuh pada kisaran suhu yang luas, yaitu
dari 10 sampai 43oC dengan suhu optimum 32-33oC dan pH optimum 6 (Bahri et al., 2004).
Infeksi kapang berlangsung mulai dari benih, produksi, panen dan pascapanen. Oleh karena
itu maka seluruh aktivitas yang terlibat dalam proses produksi dan pasca produksi menentukan
kadar aflatoksi dalam produk jagung tersebut. Perlu diketahui bahwa kesepakatan terbaru
tentang batas maksimum kadar aflatoksin yang diperbolehkan pada semua komoditas yang
diperdagangkan di pasar dunia adalah 15 ppb, terutama di Amerika dan Eropa ditetapkan
berkisar antara 5-20 ppb. Di Indonesia, Direktorat POM telah memberlakukan peraturan batas
maksimum untuk AFB1 dan aflatoksin total berturut-turut sebesar 20 ppb dan 35 ppb.

Rantai Pascapanen Jagung

Adapun tahap kegiatan pascapanen jagung menurut Firmansyah et al., 2010 yaitu (1)
pemanenan, (2) pengeringan, (3) pemipilan, (4) pengangkutan, (5) penyimpanan, dan (6)
klasifikasi dan standarisasi mutu. Waktu panen menentukan mutu biji jagung. Pemanenan
yang terlalu awal menyebabkan banyaknya butir muda sehingga kualitas dan daya simpan biji
rendah. Sebaliknya, pemanenan yang terlambat menyebabkan penurunan kualitas dan
peningkatan kehilangan hasil akibat cuaca yang tidak menguntungkan atau serangan hama dan
penyakit di lapang. Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan kadar air biji jagung agar
aman disimpan. Kadar air biji yang aman untuk disimpan berkisar antara 12-14%.

Rantai pascapanen jagung di Timor diawali dengan panen dengan ciri-ciri daun, batang,
dan tongkol jagung sudah mengering. Penundaan panen dilakukan dengan tujuan agar tongkol
mengering dengan sendirinya. Setelah panen, tongkol jagung di angkut ke rumah dan siap
untuk disimpan tanpa pengeringan terlebih dahulu.. Sebelum penyimpanan, 10 tongkol jagung
diikat, kemudian ikatan disusun diatas para-para di dapur. Energi panas dari tungku akan
mengeringkan jagung tongkol yang disimpan, namun energi panas yang dihasilkan tidak
merata sehingga banyak jagung yang rusak akibat serangan hama ‘fufuk” (Sitophilus zeamais)
dan jamur karena pengeringan yang tidak sempurna (Mukkun et al., 2014).

Persentase Kerusakan Biji Jagung

Biji jagung yang rusak yaitu biji yang berlubang, pecah, ditumbuhi jamur, dan terjadinya
penyimpangan warna. Persentase kerusakan biji di kedua kabupaten sangat bervariasi yaitu
berkisar dari 0,33 sampai 67,40 persen dengan rata-rata 12,99 persen di Kabupaten Kupang,

7
sedang di Kabupaten TTS berkisar dari 0,14 sampai 84 persen dengan rata-rata 11,84 persen.
Tingginya persentase kerusakan biji sejalan dengan tingginya kadar air biji yaitu 15 % sampai
17 %, sehingga diduga kadar air yang tinggi pada biji merupakan penyebab utama dari
kerusakan jagung selama penyimpanan.

Jamur pada bahan pangan menyebabkan penurunan mutu baik kuantitas maupun kualitas.
Infeksi jamur selama penyimpanan menyebabkan biji pada jagung berubah warna, bahkan biji
rusak sehingga tidak dapat dikonsumsi. Persentase kerusakan biji ditentukan oleh jenis jamur,
praktek penanganan pascapanen seperti pengeringan, dan kondisi tempat penyimpanan.

Kerusakan biji jagung oleh jamur-jamur penyimpanan seperti Aspergillus, Fusarium,


Penicillium, dan Rhizopus telah dilaporkan oleh Fandohan et al., (2003) yaitu dapat mencapai
50 persen di daerah tropis, dan merupakan penyebab kedua setelah serangga sebagai penyebab
utama kerusakan jagung selama penyimpanan. Menurut Williams dan Donald (1983), jamur-
jamur tersebut menyebabkan busuk, perubahan warna biji, penurunan viabilitas, dan
kontaminasi mikotoksin.

Persentase Biji Yang Terinfeksi Jamur

Rata-rata persentase biji jagung yang terinfeksi jamur cukup tinggi yaitu 70,42 persen di
Kabupaten Kupang dan di Kabupaten TTS sebesar 61,11 persen. Tingginya infeksi jamur pada
biji jagung baik di Kabupaten Kupang dan TTS disebabkan karena kadar air biji yang sesuai
bagi perkembangan jamur yaitu masing-masing 14,96 dan 13,41 persen. Kastanja (2007)
melaporkan bahwa kadar air biji antara 14 % sampai 17 % sangat sesuai bagi perkembangan
jamur dan serangga dalam penyimpanan jagung. Menurut Alborch et al., (2011) kadar air dan
temperatur merupakan faktor kunci yang berpengaruh terhadap perkembangan dan infeksi
jamur dalam penyimpanan. Jagung biasanya dipanen pada kadar air 18 % sampai 20 %
kemudian dikeringkan. Pengeringan tidak sempurna merupakan keadaan yang sesuai bagi
pertumbuhan jamur (Marín et al., 1998). Barney et al., (1995) dan Rees (2004), melaporkan
bahwa pertumbuhan jamur dalam penyimpanan di negara tropis terutama disebabkan oleh
meningkatnya kadar air biji, dan fluktuasi temperatur yang menyebabkan migrasi air dan
kondensasi.

Tingginya infeksi jamur-jamur penyebab kerusakan jagung, serta penghasil toksin seperti
Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium menjadi indikator penanganan pacapanen jagung di
Pulau Timor yang tidak memadai. Penundaan pemanenan memungkinkan terjadi infeksi jamur
di lapang dan akan terbawa ke tempat penyimpanan. Fusarium spp. merupakan salah satu

8
spesies yang menyerang di lapang sebelum panen, tetapi berkembang lebih lanjut dalam
penyimpanan apabila kondisi lingkungan memungkinkan. Sedangkan A. flavus, A. parasiticus,
F. verticillioides dan F. proliferatum merupakan jamur pascapanen jagung penyebab
kerusakan dan penghasil mikotoksin (Almeida et al., 2000).

Kandungan Aflatoksin B1

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa 34 sampel jagung ( 94,44 persen) mengandung AFB1
dengan kisaran 1,18 sampai 58,79 ng/g, 11 sampel (30,55 persen) mengandung AFB1 lebih
besar dari 20 ng/g atau lebih besar dari kandungan AFB1 yang diperkenankan dalam bahan
makanan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar sampel jagung yang berasal dari
Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang mengandung AFB1 walaupun masih di bawah nilai
ambang batas maksimum yang diijinkan untuk digunakan untuk konsumsi manusia dan pakan
ternak menurut ketentuan SNI yaitu 20 ng/g, namun ada 30 persen sampel melebihi 20 ng/g.
Berdasarkan data tersebut maka jagung perlu mendapat perhatian serius baik selama produksi
maupun setelah panen mengingat jagung merupakan sumber pangan utama manusia dan hewan
di daerah NTT. Aflatoksin bersifat karsinogenik, maka IARC (International Agency Research
on Cancer) pada tahun 1988 mengklasifikasikan aflatoksin sebagai bahan karsinogenik kelas I
dan AFM1 dalam grup 2B (IARC, 1998). Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak diketahui
dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa aflatoksikosis (Bahri et al., 1995),
menurunnya kekebalan terhadap penyakit, penurunan produksi telur yang menyebabkan
kerugian ekonomi (Oswiler, 1976). Di samping itu, aflatoksin yang dikonsumsi oleh hewan
ternak dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkan seperti aflatoksin M1
pada susu (Roussi et al., 2002) maupun telur (Trucksess dan Stoloff, 1984).

Tabel 2. Hasil Analisis Aflatoksin B1 pada Jagung di Kabupaten Kupang dan TTS

Asal Sampel Jenis Jagung Kadar Aflatoksin B1 (ng/g)


Lokal Kuning (Benih) 0,18
Lokal Kuning 10,16
Lokal Putih 33,65
Baumata Timur Hibrida 43,33
Pioner 30,45
Lamuru 2,53
BISI 2 24,13
Lokal Kuning 5,46
Oebesi Lokal Kuning (Benih) 1,18
Lokal Putih 29,85
Lokal Putih (Benih) 10,92
Buraen
Lokal Kuning 5,23

9
Lokal Kuning (Benih) tt
Lokal Putih 23,57
Lokal Kuning 2,67
Sonraen Lokal Kuning (Benih) tt
Lokal Putih 58,79
Lokal Kuning 24,65
Pakubaun Lokal Kuning (Benih) 0,76
Lokal Putih 2,45
Lokal Putih 36,70
Benlutu
Metro 12,31
Lokal Putih 18,75
Boentuka
Lokal Kuning 3,55
Lokal Putih (Benih) 3,83
Tetaf Lokal.Putih 10,76
Lokal Kuning (Benih) 8,12
Lokal Putih 34,00
Supul
Lokal Putih (Benih) 2,83
Lokal Kuning 6,56
Bena
Lokal Putih 10,76
Lokal Kuning 1,53
Linamnutu
Lokal Putih 10,12
Lokal Putih 33,53
Tublopo
Lokal Kuning (Benih) 4,70

Pengaruh Kadar Air Awal Biji Terhadap Kerusakan Biji Jagung Selama Penyimpanan

Lama waktu penjemuran sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air awal biji. Tanpa
penjemuran, kadar air biji jagung mencapai 31.28 %, yaitu kadar air yang sesuai bagi
pertumbuhan jamur dan serangga penyimpanan. Sebaliknya dengan penjemuran, kadar air
menurun secara bertahap, dan mencapai 12,96 % dengan penjemuran selama 10 hari (Gambar
1). Petani jagung di Timor biasanya tidak melakukan penjemuran setelah panen namun
langsung disimpan sehingga terjadi kerusakan jagung yang serius selama penyimpanan
(Mukkun, et al., 2014). Kadar air awal penyimpanan yang tinggi sangat sesuai bagi
perkembangan serangga seperti Sitophilus zeamais dan jamur seperti Aspergillus spp. Selain
itu, jamur Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin yang di kenal sebagai mikotoksin
penyebab penyakit kanker hati (Hettiarachche et al., 2001).

10
Gambar 1. Pengaruh Lama Penjemuran terhadap Kadar Air Biji Jagung

Total kerusakan biji menunjukkan bahwa dengan penjemuran dengan sinar matahari selama
10 hari mencegah kerusakan biji sehingga kerusakan biji pada akhir pengamatan (minggu ke
12) hanya 6.50 persen, lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan
tanpa penjemuran yang mencapai 60 persen.
Pengendalian terhadap hama penyimpanan selain dilakukan dengan pengaturan kadar air,
petani melakukan pengasapan dengan menggunakan beberapa jenis tanaman untuk mencegah
kehadiran dan perkembangan hama penyimpanan. Hasil penelitian dengan menggunakan daun
mimba, daun srikaya, daun gamal dan daun kosambi (Tabel 3) terlihat bahwa jenis tanaman
tersebut secara significan mencegah perkembangan populasi S. zeamais dan menurunkan
kerusakan biji (Tabel 4) dalam penyimpanan (Mukkun et al, 2016). Pengasapan dengan daun
kosambi mampu menekan perkembangan populasi S. zemais dan juga mencegah kerusakan biji
akibat serangan hama S. zeamais.

Tabel 2. Rata – rata Populasi S.zeamais Selama Penyimpanan Jagung dengan Pengasapan
Menggunakan bahan Nabati
Perlakuan Populasi S. zeamais
1 2 3 4
Tanpa Bahan Nabati 9,67 c 12,67 c 18,33 b 25,33b
Mimba 6,67 b 8,33 b 12,67 ab 18,00 b
Srikaya 7,00 b 10,00 bc 13,33 ab 18,67 b
Gamal 8,67 bc 13,00 c 17,67 bc 23,67 b
Kosambi 2,67 a 4,00 a 6,00 a 9,33 a
Keterangan : angka-angka yang di ikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5 %

11
Tabel 3. Persentase Kerusakan Biji Jagung dalam Penyimpanan Jagung yang Diasapi
Menggunakan Bahan Nabati yang Berbeda
Perlakuan kerusakan biji (%)
1 2 3 4
Tanpa Bahan Nabati 9.94 c 13.42 b 15.93 b 19.32 b
Mimba 6.40 b 7.42 ab 11.45 ab 15.10 b
Srikaya 6.91 b 10.28 b 12.35 ab 16.15 ab
Gamal 6.99 bc 13.11 b 16.67 b 19.07 b
Kosambi 2.12 a 2.60 a 4.08 a 6.39 a

Keterangan : angka-angka yang di ikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ 5 %

II. PENANGANAN PASCAPANEN SORGHUM

Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman yang cocok dikembangkan di NTT karena
mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kekeringan, dapat berproduksi pada lahan
marginal, dan relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Selain itu, biji sorgum dapat
digunakan sebagai bahan pangan, bahan baku industri pangan dan pakan ternak (Suarni, 2010;
Aqil dan Bunyamin, 2013).

Mekanisme ketahanan sorgum terhadap kekeringan disebabkan oleh sistem perakaran sorgum
yang lebat, ekstensif dan bercabang, sehingga apabila terjadi stress kekeringan maka sistem
perakaran dengan cepat menyerap air sehingga terjadi recovery secara cepat. Lapisan lilin yang
tebal pada permukaan dan ketiak daun mengatur penyerapan dan transpirasi air sehingga
kehilangan air terkontrol. Selain itu, sorgum mempunyai kemampuan untuk mengatur tekanan
osmotik sel (osmoregulasi), sehingga ketika terjadi stress kekurangan air, maka tekanan
potensial menurun dan stomata akan tertutup sehingga proses transpirasi akan berjalan lambat
(Aqil dan Bunyamin, 2013).

Ditinjau dari nilai gizi, sorgum mempunyai kandungan nutrisi yang tidak kalah penting dengan
bahan pangan lainnya. Biji sorgum mengandung 73% karbohidrat, 3.5 % lemak, dan 10 %
protein, serta senyawa fungsional seperti antioksidan, mineral terutama Fe, serat,
oligosakarida, β glukan termasuk karbohidrat non-starch polisakarida (Mudjisihono dan
Damarjati, 1987; Suarni, 2010). Selain sebagai sumber nutrisi seperti karbohidrat, protein, dan
lemak, sorgum juga kaya akan senyawa-senyawa lain yang sangat bermanfaat. Serat pangan
(dietary fiber) merupakan bagian yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena dapat
mencegah penyakit jantung, obesitas, hipertensi, diabetes. Senyawa fenolik dalam sorgum

12
berfungsi sebagai antioksidan sehingga mampu mencegah kanker dan tumor, serta dapat
menghambat perkembangan berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus seperti HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Dicko et al., 2000). Moraes et al., (2015) mengemukakan
bahwa sorgum dapat dikembangkan menjadi bahan pangan fungsional karena memiliki
kandungan gluten dan indeks glikemik (IG) yang rendah, sehingga sangat sesuai untuk diet
khusus. Melihat keunggulan sorgum seperti telah diuraikan, maka pengembangan sorgum di
NTT perlu digalakkan, untuk mengangkat kembali bahan pangan lokal sebagai bahan pangan
pengganti beras dalam rangka mengatasi rawan pangan yang sering terjadi dan untuk tujuan
diversifikasi pangan.

Berbagai permasalah yang dihadapi dalam pengembangan sorgum antara lain mutu benih yang
rendah sehingga daya tumbuh jg rendah, dan kurangnya dukungan di bidang pascapanen.
Petani belum memiliki pengetahuan teknologi pascapanen yang memadai terutama dalam hal
pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran. Kulit biji tebal menyulitkan petani dalam
pengolahannya menjadi beras sorgum. Rasa yang sepat dan warna yang kecoklatan sebagai
akibat adanya senyawa tannin juga merupakan kendala yang harus diatasi. Biji sorgum juga
sangat rentan terhadap hama gudang, sehingga biji yang disimpan cepat rusak dan daya
kecambah yang sangat rendah.

Sorgum lokal asal NTT memiliki keragaman yang tinggi, dengan sifat fisik dan kimia yang
beragam. Ada 53 sampel sorgum lokal yang berhasil dikoleksi dari 7 kabupaten di NTT dan
berdasarkan kemiripan dan perbedaan sifat fisik terutama warna malai dan kulit biji maka
paling sedikit ada 31 jenis atau aksesi lokal saat ini (Tabel 4). Berdasarkan kandungan
tanninnya, maka 13 aksesi dikelompokkan dalam sorgum bertanin sedang, sedangkan aksesi
lainnya dikelompokkan dalam sorgum rendah tannin (Mukkun et al., 2018). Sorgum yang
memiliki kadar tannin tinggi memiliki rasa beras yang sepat dan kurang pulen dibandingkan
dengan yang bertanin rendah.

Tabel 4. Karakteristik Jenis Sorgum Hasil Koleksi di NTT

Asal Sampel Jumlah Warna Malai/Biji Jumlah Jenis Nama Lokal


jenis Sampel
Lembata 5 Coklat kemerahan 3 Lokal Bolok
Krem 3 Kawali Wolo
Putih 1 Numbu Wolo
Hitam bintik putih 1 Lokal Wotan

13
Putih, bagian bawah warna 1 Lokal Wotan
merah
Flores Timur 4 Krem 2 Kawali -
Putih 1 Numbu Watablolo bura
Hitam 1 Lokal Watablolo
miten
Coklat kemerahan 1 Lokal Watablolo
me’a
Sumba Timur 8 Putih, ½ bagian pangkal 3 Lokal Watar hamu
biji coklat
Merah marun 1 Lokal Watar hamu
Merah 2 Lokal Watar hamu
Kuning kecoklatan 2 Lokal Watar hamu
Hitam pekat 3 Lokal Watar hamu
Hitam 1 Lokal Watar hamu
Putih 2 Numbu Watar hamu
Coklat kemerahan 1 Lokal Watar hamu
Rote Ndao 3 Hitam 2 Lokal Beladai hitam
Putih bercak hitam 4 Lokal Beladai putih
Merah kecoklatan 1 Lokal Beladai merah
Kab. Kupang 3 Coklat kemerahan 4 Lokal Jagung rote
Hitam pekat 1 Lokal Jagung rote
Krem 3 Lokal Jagung rote
Belu 3 Putih 1 Super 1 Batar anaruk
Coklat kemerahan 2 Lokal Batar anaruk
Hitam 1 Lokal Batar anaruk
Sabu Raijua 5 Hitam kemerahan 1 Lokal Terae
Merah 1 Lokal Terae
Coklat 1 Lokal Terae
Hitam 1 Lokal Terae
Putih 1 Lokal Terae
Jumlah 31 53

Rantai Pascapanen Sorgum

. Adapun rantai pascapanen sorgum meliputi panen, pengeringan malai, perontokan,


pengeringan biji, pengemasan, dan penyimpanan. Hasil pengamatan terhadap susut tercecer
selama kegiatan pascapanen (Tabel 5) sorgum menunjukkan bahwa perontokan secara manual
merupakan titik paling kritis dalam rantai pascapanen sorgum dengan jumlah susut tercecer
terbesar yaitu sebesar 14.51 persen. Selain itu, pengeringan malai dan biji juga merupakan
salah satu sumber kehilangan hasil yaitu sekitar 2 persen.

14
Tabel 5. Susut tercecer pada kegiatan pascapanen sorgum Varietas Kawali

Kegiatan Pascapanen Susut Tercecer (%)


Panen 0.01
Pengeringan malai 2.00
Perontokan
a. Manual (dipukul dengan kayu) 10.00
b. Mesin perontok sederhana 5.00
c. Mesin perontok besar 0.5
Pengeringan biji 2.50
Penyimpanan *
Total
a. Manual (dipukul dengan kayu) 14.51
b. Mesin perontok sederhana 9.51
c. Mesin perontok besar (bantuan Litbang 5.01
Pertanian)

*) penyimpanan tidak dilakukan karena biji hasil panen sudah terserang hama Sitophilus
zeamays

Sifat Kimia Sorgum

Kandungan gizi dari beberapa jenis sorgum (Tabel 6) bervariasi dan berpotensi sebagai sumber
gizi penting. Kandungan protein berkisar dari 9,03 sampai 12,73% mengindikasikan bahwa
sorgum dapat menjadi salah satu sumber protein bagi pemenuhan kebutuhan protein nabati.
Jenis sorgum lokal hitam memiliki kandungan protein tertinggi yaitu 12,73% diikuti oleh jenis
Okin dan terendah pada jenis local coklat, walaupun tidak berbeda secara signifikan antar jenis
sorgum.

Tabel 6. Kandungan Nutrisi Beberapa Jenis Sorgum (Mukkun et al., 2021)


Jenis Sorgum Komposisi Kimia (%)
Protein Lemak Serat Kadar Air Kadar Karbohidrat
Kasar Abu
Numbu 9,93a 1,81c 1,22b 8,83c 0,97b 76,73d
Kawali 9,29a 1,30a 2,02c 8,97d 0,81a 77,52d
Okin 10,47a 1,85c 1,05a 8,84c 1,24c 75,74cd

15
Lokal Hitam 12,73a 2,66d 2,02c 8,65b 2,87g 70,24a
Lokal Merah 10,16a 1,98c 3,10e 9,91f 1,76f 73,81bc
Lokal coklat 9,03a 3,28e 2,97d 9,06e 1,58e 72,91b
Lokal putih 10,32a 1,56b 3,25f 8,55a 1,45d 74,64bc

Kandungan lemak juga dipengaruhi secara signifikan oleh jenis sorgum, dimana jenis sorgum
berwarna memiliki kandungan lemak lebih tinggi dibandingkan sorgum berwarna putih. Jenis
sorgum hitam mengandung lemak tertinggi (3,28%) disusul oleh jenis sorgum merah (2,66%)
dan coklat (1,98%). Menurut de Morais Cardoso et al. 2017, kandungan lemak sorgum
berkisar 1.24 - 3.07 g/100g dan 83 – 88% merupakan lemak tidak jenuh.

Sorgum berwarna hitam mengandung total mineral paling tinggi (2,87%), sedang terendah
pada jenis sorgum Kawali (0,81%) dengan warna kulit biji putih, sehingga sorgum berwarna
merupakan sumber mineral yang baik. Sorgum merupakan sumber mineral yang baik
terutama Ca, Fe, dan Zn (Martino et al. 2012, Susila 2014). Menurut Susila (2014), sorgum
kaya akan zat besi, yaitu 5,4mg/100g dibandingkan dengan beras yang mengandung zat besi
rendah (1,8 mg/l00g), sehingga sorgum berwarna hitam sangat sesuai untuk mengatasi masalah
kekurangan zat besi yang prevalensinya cukup tinggi pada manusia. Kandungan serat kasar
dari jenis sorgum yang diamati berbeda secara signifikan yaitu berkisar dari 1,05 sampai 3,25
persen pada jenis sorgum local putih. Serat pangan terdiri dari serat yang larut dan tidak larut
yang masuk dalam system pencernaan, akan difermentasi oleh bakteri spesifik dan
menghasilkan asam lemak rantai pendek dan memiliki efek bermanfaat bagi kesehatan (Guine
et al., 2006). Beberapa benefit efek dari serat yaitu mengurangi konstipasi (Guine et al., 2006),
menurunkan kadar kolesterol dan menurunkan insidensi penyakit jantung coroner (Romero et
al., 2002), mencegah obesitas (Murakami et al. 2007), mencegah diabetes (Hannan et al. 2007;
Chung et al. 2011), mencegah kanker colon (Wakai et al., 2007), dan meningkatkan harapan
hidup bagi penderita kanker payudara (Guine et al., 2006).

Kandungan Pati

Sebagian besar polisakarida pada sorgum berupa amilum yaitu antara 86,45% sampai 99,76%,
terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida yang tersusun atas unit
unit glukosa berantai lurus dengan ikatan 1,4-D-glukopiranosida, sedangkan amilopektin
tersusun atas unit yang sama namun terdapat pula percabangan-percabangan dengan ikatan 1,6-
D- glukopiranosida. Amilopektin merupakan fraksi utama pati beras, namun kandungan

16
amilosa yang paling menentukan mutu nasi yang dihasilkan, serta menentukan sifat fisik
lainnya (Swinkels, 1985).

Komposisi antara amilosa dan amilopektin akan menentukan karakteristik reologi seperti
gelatinisasi, retrogradasi, dan gelling (de MoraisCardoso et al., 2017). Berdasarkan kadar
amilosa beras digolongkan menjadi tiga yaitu beras dengan kadar amilosa rendah (10 – 20 %),
menengah (21 – 25 %), dan tinggi (26 – 33 %) (Allidawati dan Kustianto, 1989). Semakin
tinggi kadar amilosa, semakin nasi yang diperoleh bersifat pera yaitu mengeras setelah dingin
dan kurang lengket. Hasil kajian memperlihatkan bahwa dari 7 jenis beras sorgum yang diuji,
hanya 2 jenis sorgum yang digolongkan sebagai jenis beras sorgum yang memiliki kandungan
amilosa yang menengah, yaitu biji sorgum Kawali dan sorgum lokal coklat dengan kandungan
amilosa berturut-turut sebesar 21,41% dan 22,10%. Beras sorgum dari 5 aksesi sorgum
lainnya tergolong beras yang berkadar amilosa rendah atau lebih kecil dari 20%. Sorgum lokal
putih tergolong waxy sorgum karena memiliki kandungan amilosa rendah (7,29%).

Kandungan polifenol, antosianin dan aktivitas antioksidan aksesi sorgum

Ada perbedaan yang signifikan kandungan total polifenol, anthocyanin, dan aktifitas
antioksidan dari sorgum yang diuji (Tabel 7). Kandungan polifenol tertinggi ditemukan pada
sorgum local berwarna hitam (23,07 mg/g), disusul oleh Kuwali (18,49 mg/g), local merah
(17,01 mg/g), dan local coklat (15,17 mg/g). Sedangkan sorgum local yang berwarna putih
mengandung polifenol yang paling rendah yaitu 2,52 mg/g. Perbedaan jumlah polifenol dalam
biji sorgum menyebabkan warna biji bervariasi dari putih, merah, kuning, dan hitam (Girard &
Awika, 2018). Sejalan dengan kandungan polifenol, aktifitas antioksidan juga lebih tinggi pada
sorgum local berwarna dibandingkan dengan yang berwarna putih. Sorgum yang berwarna
hitam memiliki kemampuan aktifitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan jenis
sorgum lainnya dengan nilai CD50 terendah yaitu 4,05 mg. Hasil ini membuktikan bahwa
kandungan polifenol berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan berupa kemampuan
menangkap radikal bebas yang berasal dari 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) yang
ditampilkan dalam bentuk CD50 yaitu jumlah ekstrak metanol tepung sorgum yang mampu
menangkap 50% radikal bebas DPPH. Jenis sorgum berwarna hitam, merah, dan coklat yang
memiliki kemampuan antioksidan tinggi dapat selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
untuk pembuatan berbagai produk olahan pangan fungsional yang dapat digunakan oleh
masyarakat yang tergolong rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif. Senyawa polifenol
utama yang dimiliki oleh berbagai jenis sereal dan legume seperti sorgum adalah tannin yaitu

17
senyawa oligomer dari flavan-3-ol dan flavan-3,4-diol (Haard dan Chism, 1996). Tanin sering
dianggap memiliki dampak negatif pada serapan gizi dari pangan yang dikonsumsi karena
mampu membentuk kompleks tannin-protein ataupun kompleks tannin-mineral sehingga daya
cerna gizi protein dan beberapa jenis mineral menjadi berkurang. Namun, belakangan ini
tannin dan kelompok polifenol lainnya yang terdapat dalam bahan pangan dianggap memiliki
nilai positif karena dapat berperan sebagai antioksidan yang mampu menghambat berbagai
proses oksidasi yang merugikan bagi kesehatan manusia (Moraes et al. 2015; Maurya et al.
2007).

Tabel 7. Kandungan Polifenol dan Antosianin ((Mukkun et al., 2021)


Jenis Total Polifenol Antosianin Tannin (%) CD50 (g)
(mg/g) (mg/g)
b
Numbu 7,49 0,95 0,95b 475,67b
f
Kawali 18,49 0,84 0,84a 5,19b
Okin 13,10c 1,10 1,10c 476,70b
g
Lokal hitam 23,07 3,24 0,85a 4,05a
Lokal Merah 17,01e 0,12 2,59d 6,22a
d
Lokal Coklat 15,17 1,49 5,49e 5,67a
a
Lokal Putih 2,52 tt 1,23c 750,13b

Sorgum berwarna memiliki aktivitas antioksidan 3 sampai 10 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan sorgum tidak berwarna. Oleh karena itu sorgum berwarna sangat
potensial untuk diolah menjadi bahan pangan fungsional. Menurut Awika et al. 2003 aktifitas
antioksidan sorgum dapat dipertahankan selama pengolahan, yaitu 57-78% saat pemanggangan
dan 70-100% saat ekstrusi. Hal ini menyiratkan bahwa sorgum berwarna dapat diproses
menjadi pangan yang bersifat fungsional.

Sorgum hitam yang mengandung tannin rendah namun tinggi antosianin memiliki aktifitas
antioksidan yang cukup tinggi seperti juga sorgum merah dan coklat (Tabel 7). Antosianin
dilaporkan berkontribusi terhadap tingginya aktifitas antioksidan pada buah-buahan (Dicko et
al., 2006).

Sorgum berwarna hitam mengandung total anthocyanin (3.24 mg/g) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sorgum tidak berwarna, bahkan sorgum local putih kandungan
antosianinnya tidak terdeteksi (Tabel 7). Kandungan antosianin sorgum hitam jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan sumber utama antosianin seperti strawberry dengan kandungan
antosianin rata-rata 0.15 – 0.35 mg/g, red grape 0.3 – 7.5 mg/g, black berry 1.15 mg/g, dan red
cabbage 0.3 – 0.9 mg/g (Clifford, 2000). Selain itu antosianin pada sorgum lebih stabil karena

18
kadar air biji yang rendah (10-14%) dibandingkan dengan buah-buahan dengan kadar air > 80
% (Awika et al., 2005).

Sorgum Warna Hitam, Merah dan Coklat sebagai Sumber Antioksidan dan Pewarna
Potensial

Sorgum warna hitam mengandung total polifenol paling tinggi (23.07 mg/g) dibandingkan
dengan jenis sorgum uji lainnya (Tabel 7) dengan aktifitas antioksidan tertinggi yaitu CD 50
hanya 4.05 mg. Hasil uji korelasi juga menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara
kandungan total polyphenol dan aktifitas antioksidan (R2 = 0.860). CD 50 adalah banyaknya
larutan ekstrak yang dapat menangkap 50% radikal bebas, sehingga semakin rendah nilai CD
50 maka aktifitas antioksidan semakin tinggi. Hal ini berarti senyawa phenol berkontribusi
sebesar 86% terhadap aktifitas antioksidan. Sorgum berwarna hitam juga mengandung
anthocyanin paling tinggi (3,24 mg/g), sehingga tingginya senyawa phenol dan aktifitas
antioksidan disebabkan oleh tingginya senyawa anthocyanin dan juga tannin pada sorgum
berwarna merah dan coklat. Hasil ini sejalan dengan Dykes and Rooney 2007 yang
melaporkan bahwa condensed tannins dan zat warna seperti anthocyanins meningkatkan
phenol dan aktivitas antioksidan pada sorgum berwarna. Selain itu terdapat korelasi yang erat
(R2 = -0.837) antara aktivitas antioksidan dan kandungan antocyanin menunjukkan bahwa 84%
dari aktifitas antioksidan adalah kontribusi dari anthocyanin. Anthocyanin yang paling
dominan dari sorgum hitam yaitu 3-deoxyanthocyanidins yang lebih stabil dibandingkan
dengan anthocyanin pada buah-buahan dan sayuran yang saat ini digunakan sebagai sumber
anthocyanin untuk tujuan komersial (Awika, Rooney, and Waniska 2005; Dykes, Rooney, and
Rooney 2013). Dengan demikian, sorgum hitam sangat kompetitif sebagai sumber pewarna
alami makanan, dan juga sebagai sumber senyawa antioksidan yang dapat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh.
Condensed tannins yang juga dikenal sebagai proanthocyanidins atau procyanidin, tersusun
atas unit-unit flavanol terpolimerisasi, dan berkontribusi terhadap astringensi makanan.
Senyawa ini biasa ditemukan pada sorgum yang kulitnya berwarna, red finger millet, dan
barley (Dykes and Rooney 2007). Antosianin dan tannin merupakan anggota flavonoids yang
memiliki efek bermanfaat bagi kesehatan yaitu sebagai anti viral, anti fungal, anti bacterial,
anti toxic, anti allergic, dan anti imflammatory (Guine et al., 2006). Tingginya senyawa
bioaktif pada sorgum yang berdampak positif pada kesehatan baik sebagai antioksidan maupun
sebagai penghambat pertumbuhan pathogen menyebabkan sorgum demikian dapat
dikategorikan sebagai bahan pangan fungsional (Przybylska-Balcerek et al., 2019).

19
IV. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah saya sampaikan, maka perkenankan saya di akhir orasi ini
menyampaikan beberapa penegasan sebagai berikut:

1. Penanganan pascapanen hasil pertanian berperan sangat penting dalam usaha


peningkatan ketersediaan dan ketahanan pangan penduduk. dengan cara menekan food
loss baik kuantitas maupun kualitas.
2. Jagung sebagai salah satu tanaman pangan andalan di NTT perlu mendapat perhatian
serius terutama penerapan teknologi pascapanen pada setiap rantai pascapanen untuk
mencegah kerusakan dan kehilangan baik kuantitas maupun kualitasnya.
3. Panen, pengeringan, dan penyimpanan jagung merupakan titik kritis dalam pengelolaan
pascapanen jagung, karena itu perlu penerapan teknologi yang baik pada tahap tersebut.
4. Sorgum lokal asal NTT memiliki keragaman yang tinggi, dengan sifat fisik dan kimia
yang beragam, perlu dikembangkan untuk mencegah dari kepunahan.
5. Sorgum local terutama yang berwarna memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi
bahan pangan utama dan juga sebagai bahan pangan fungsional. Sedangkan jenis local
berwarna putih dapat dikembangkan menjadi tepung bebas gluten yang bernilai
ekonomi tinggi.
6. Kegiatan pascapanen sorgum mulai dari pemanenan, pengeringan malai, perontokan,
pembersihan, pengeringan biji, dan penyimpanan sangat penting untuk mendapat
perhatian serius. Total kehilangan yang pascapanen yang dilakukan yaitu > 10 persen,
dengan kehilangan terbesar pada kegiatan perontokan secara manual dan mesin tanpa
dilengkapi penampung biji yang memadai.
7. Penyimpanan biji mengalami kerusakan serius sebagai akibat adanya serangan hama
Sitophylus zeamays. Infestasi hama ini telah terjadi sejak sorgum masih dipertanaman
karena panen yang terlambat, dan selama penundaan perontokan dan pengeringan.
Kadar air biji yang tinggi juga merupakan faktor penyebab kerusakan biji oleh hama
dan jamur.

DAFTAR PUSTAKA

Alborch. L., M. R. Bragulat, M. L. Abarca, and F. J. Cabañes. 2011. Effect of water activity,
temperature and incubation time on growth and ochratoxin A production by
Aspergillus niger and Aspergillus carbonarius on maize kernels. International
Journal of Food Microbiology 147(1): 53–57.

20
Ali, N. Sardjono, A. Yamashita, T. Yoshizawa. 1998. Natural Occurrence of Aflatoksin and
Fusarium Mycotoxins (Fumonisins, Deoxynivalenol, Nivalenol, and Zearalenone) in
Corn from Indonesia. Food Add Contaminant. 15 : 337-348
Almeida, A. P., Corrêa, B., Malozzi, M. A. B., Swazaki, E., Valente Soares, L. M., 2000.
Mycoflora and aflatoxin/fumonisin production by fungal isolates from freshly
harvested corn hybrids. Brazilian Journal of Microbiology 31, 321-326.
Arif, S., Isdijoso, W., Fatah, A. R., & Tamyis, A. R. (2020). Tinjauan Strategis Ketahanan
Pangan dan Gizi di Indonesia: Informasi Terkini 2019-2020.
Awika, J. M., Rooney, L. W., & Waniska, R. D. (2005). Anthocyanins from black sorghum
and their antioxidant properties. Food Chemistry, 90(1–2), 293–301.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.03.058
Awika, J. M., Rooney, L. W., Wu, X., Prior, R. L., & Cisneros-Zevallos, L. (2003).
Screening Methods to Measure Antioxidant Activity of Sorghum (Sorghum bicolor) and
Sorghum Products. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51(23), 6657–6662.
https://doi.org/10.1021/jf034790i
Chung, I. M., Kim, E. H., Yeo, M. A., Kim, S. J., Seo, M. C., & Moon, H. I. (2011).
Antidiabetic effects of three Korean sorghum phenolic extracts in normal and
streptozotocin-induced diabetic rats. Food Research International, 44(1), 127–132.
https://doi.org/10.1016/j.foodres.2010.10.051
Clifford, M. N. (2000). Anthocyanins--nature, occurrence and dietary burden. J Ournal of the
Science of Food and Agriculture, 80(2), 1063–1072.
https://doi.org/10.1201/9781420039443
de MoraisCardoso, L., Pinheiro, S. S., Martino, H. S. D., & Pinheiro-Sant’Ana, H. M. (2017).
Sorghum (Sorghum bicolor L.): Nutrients, bioactive compounds, and potential impact
on human health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 57(2), 372–390.
https://doi.org/10.1080/10408398.2014.887057
Delgado, L., Schuster, M., & Torero, M. (2017). The Reality of Food Losses: A New
Measurement Methodology. International Food Policy Research Institute, IFPRI
Discussion Paper 01686, 40. https://mpra.ub.uni-muenchen.de/80378/
Dicko, M. H., Gruppen, H., Traore, A. S., Voragen, A. G. J., & Berkel, W. J. H. van. (2006).
Phenolic compounds and related enzymes as determinants of quality in fruits and
vegetables. Journal of the Science of Food and Agriculture, 1(1), 21–38.
https://doi.org/10.1002/jsfa.885
Dykes, L., & Rooney, W. L. (2007). Phenolic Compound in Cereal Grains and Their Health
Benefits. In Cereal Food World.
Dykes, L., Rooney, W. L., & Rooney, L. W. (2013). Evaluation of phenolics and antioxidant
activity of black sorghum hybrids. Journal of Cereal Science, 58(2), 278–283.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2013.06.006
Girard, A. L., & Awika, J. M. (2018). Sorghum polyphenols and other bioactive components
as functional and health promoting food ingredients. Journal of Cereal Science, 84,
112–124. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2018.10.009
Guine, R., Lima, M. J., & Barroca, M. J. (2006). Role And Health Benefits of Different
Functional Food Components (Vol. 1).

21
Hannan, J. M. A., Ali, L., Rokeya, B., Khaleque, J., Akhter, M., Flatt, P. R., & Abdel-Wahab,
Y. H. A. (2007). Soluble dietary fibre fraction of Trigonella foenum-graecum
(fenugreek) seed improves glucose homeostasis in animal models of type 1 and type 2
diabetes by delaying carbohydrate digestion and absorption, and enhancing insulin
action. British Journal of Nutrition, 97(3), 514–521.
https://doi.org/10.1017/S0007114507657869
Martino, H. S. D., Tomaz, P. A., Aguiar Moraes, É., Lopes, L., Conceição, D., Da, D.,
Oliveira, S., Aparecida, V., Queiroz, V., Avelino, J., Rodrigues, S., Pirozi, M. R., Maria,
H., Ana, P.-S., Machado, S., Ribeiro, R., & Para Correspondência:, E. (2012). Chemical
characterization and size distribution of sorghum genotypes for human consumption.
Artigo Original/Original Article Rev Inst Adolfo Lutz, 71(2), 337–344.
Maurya, S., Singh, R., Singh, D. P., Singh, H. B., Srivastava, J. S., & Singh, U. P. (2007).
Phenolic compounds of Sorghum vulgare in response to Sclerotium rolfsii infection.
Journal of Plant Interactions, 2(1), 25–29. https://doi.org/10.1080/17429140701422504
Moraes, É. A., Marineli, R. D. S., Lenquiste, S. A., Steel, C. J., Menezes, C. B. De, Queiroz,
V. A. V., & Maróstica Júnior, M. R. (2015). Sorghum flour fractions: Correlations
among polysaccharides, phenolic compounds, antioxidant activity and glycemic index.
Food Chemistry, 180, 116–123. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.02.023
Mukkun, L., Lalel, H. J. D., & Kleden, Y. L. (2021). The physical and chemical
characteristics of several accessions of sorghum cultivated on drylands in East Nusa
Tenggara , Indonesia. Biodiversitas, 22(5), xx. https://doi.org/10.13057/biodiv/d2205xx
Mukkun, L., Lalel, H. J. D., Richana, N., Pabendon, M. B., & Kleden, Y. L. (2018). The
diversity of local sorghum ( Sorghum bicolor L . Moench ) in Nusa Tenggara Timur
province The diversity of local sorghum ( Sorghum bicolor L . Moench ) in Nusa
Tenggara Timur province. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,
144(012065), 6–13.
Murakami, K., Sasaki, S., Okubo, H., Takahashi, Y., Hosoi, Y., & Itabashi, M. (2007).
Dietary fiber intake, dietary glycemic index and load, and body mass index: A cross-
sectional study of 3931 Japanese women aged 18-20 years. European Journal of
Clinical Nutrition, 61(8), 986–995. https://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1602610
Prabowo, R. (2010). Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di
Indonesia. Mediagro, 62(2), 62–73.
Przybylska-Balcerek, A., Frankowski, J., & Stuper-Szablewska, K. (2019). Bioactive
compounds in sorghum. European Food Research and Technology, 245(5), 1075–1080.
https://doi.org/10.1007/s00217-018-3207-0
Romero, A. L., West, K. L., Zern, T., & Fernandez, M. L. (2002). The seeds from Plantago
ovata lower plasma lipids by altering hepatic and bile acid metabolism in guinea pigs.
Journal of Nutrition, 132(6), 1194–1198. https://doi.org/10.1093/jn/132.6.1194
Sabarella, Komalasari, W. B., Wahyuningsih, S., Saida, M. D. N., Manurung, M., Sehusman,
Rinawati, & Supriyati, Y. (2019). Buletin Konsumsi Pangan. In Agus Sumantri (Ed.),
Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Vol. 09, Issue 01).
Sandyatma, Y. H. (2015). Pemantapan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Pangan
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. In Ketahanan Pangan di Indonesia (Vol. 148, pp.
148–162).

22
Susila, B. A. (2014). KEUNGGULAN MUTU GIZI DAN STFAT FUNGSIONAL
SORGUM ( Sorghum vulgare ). Pascapanen Untuk Pengembangan Industri Berbasis
Pertanian, 527–534.
Wakai, K., Date, C., Fukui, M., Tamakoshi, K., Watanabe, Y., Hayakawa, N., Kojima, M.,
Kawado, M., Suzuki, K., Hashimoto, S., Tokudome, S., Ozasa, K., Suzuki, S.,
Toyoshima, H., Ito, Y., & Tamakoshi, A. (2007). Dietary fiber and risk of colorectal
cancer in the Japan Collaborative Cohort Study. Cancer Epidemiology Biomarkers and
Prevention, 16(4), 668–675. https://doi.org/10.1158/1055-9965.EPI-06-0664
Winata, S., & Santoso, R. P. (2020). Desk-Review- Tantangan Pangan dan Energi Indonesia
di masa Depan :
https://docs.google.com/viewerng/viewer?url=http://researchinstitute.penabulufoundatio
n.org/wp-content/uploads/2020/10/Desk-Review-Food-And-Energy-9-Oktober-
2020.pdf&hl=en_US

23
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama Lengkap : Prof. Ir. Lince Mukkun, MS., PhD.


NIP/NIDN : 19620414 198601 2 001/0014046208
Tempat/Tanggal Lahir : Tana Toraja, 14 April 1962
Jabatan/Golongan Ruang : Guru Besar/IV B
Alamat Kantor : Fakultas Pertanian Undana, Jl. Adi Sucipto Penfui,
Kupang-NTT
Alamat Rumah : Perumahan Dosen Undana Unit 3 No 22 Kelapa
Lima, Kupang-NTT
Identitas Keluarga
Suami : Prof. Dr. Ir. Semuel Pakan, MS. (alm.)
Anak-Anak : 1. Adrian S. Pakan, ST
2. dr. Adriani P. Pakan
3. Prisca D. Pakan, S. Si., M.Sc. Stud., Apt.
Menantu : 1. Debby Setianty Riwu, S.K.M
2. Ramatri, SE
3. Rocky Y. Dillak, S.T., M.Cs.
Cucu-cucu : 1. Azalea Sophia Janeeta
2. Laviona Shemariah Pauline Dillak
3. Shelomitha Elzahra Dillak
Orang Tua
Nama Ayah : Manase Mukkun
Nama Ibu : Ludia Kadang
Saudara Kandung : 1. Drs. Lewi Mukkun
2. Yusak Mukkun, S.ST., M.T.
3. Drs. Obed Mukkun
4. Teriposa Mukkun

B. Riwayat Pendidikan
1. SDN Tombang, Kec. Makale, Tana Toraja, Tamat tahun 1974
2. SMP Katolik Sangalla’, Tana Toraja, tamat tahun 1977
3. SMA Katolik Makale, Tana Toraja, Tamat tahun 1980
4. Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar,
tamat tahun 1984 (S1)
5. Jurusan Teknologi Pascapanen, Institut Pertanian Bogor, tamat tahun 1990 (S2)
6. Postharvest Biology and Technology, Curtin University, Western Australia, tamat
tahun 2004 (S3).

24
C. Pengalaman Kerja
1. Dosen tetap pada Fakultas Pertanian Undana sejak tahun 1985 sampai sekarang
2. Kepala Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian Undana, tahun 1987 sampai
1988.
3. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Pertanian Undana, periode
2014 – 2018.
4. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Pertanian Undana, periode
2019-2022.
D. Tanggung Jawab Mengajar pada Fakultas Pertanian Undana
1. Hama dan Penyakit Pascapanen
2. Fisiologi Pascapanen
3. Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Hasil
4. Pengendalian Mutu
5. Mikrobiologi Pertanian
6. Ketahanan dan Keamanan Pangan
7. Ilmu Hama Tumbuhan
8. Mikologi dan Mikotoksin
9. Teknologi Pengemasan
10. Mutu dan Keamanan Pangan
E. Pengalaman Penelitian

1. Pola Aplikasi Pestisida pada Sayuran dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Biotiknya,
tahun 2008 (Hibah A2 Undana).
2. Tingkat Cemaran Aflatoksin pada Kacang Tanah di Kabupaten Kupang, tahun 2008
(DIPA Undana)
3. Bioecology of Migratory Locust (Locusta migratory) in East Nusa Tenggara, tahun
2009 (WHO-FAO).
4. Mempelajari Hubungan Tingkat Padat Populasi Belalang Kembara (Locusta migratoria)
terhadap Perubahan Perilakunya, tahun 2009 (Hibah Strategis Nasional Dikti)
5. The effect of Nitric Oxide Fumigation and Storage Temperature on The effect of Nitric
Oxide Fumigation and Storage Temperature on Antioxidant Activities and Quality of
Strawberry during Storage, tahun 2009 (PAR C Dikti).

25
6. Analisis Pola Aplikasi Pestisida Terhadap Residu Pestisida pada Ekosistem Tanaman
Kubis (Brassica oleracea) untuk Menunjang Pertanian Berkelanjutan, tahun 2011 (Hibah
Fundamental Dikti).
7. Kajian Mutu Fisiko Kimia Minyak Dan Produk Gorengan Di Kota Kupang, 2012 (DIPA
Undana).
8. Pemanfaatan Beberapa Jenis Jamur Entomopatogen Lokal Sebagai Agen Pengendali
Ramah Lingkungan Terhadap Belalang Kembara, tahun 2013 (Hibah Unggulan
Perguruan Tinggi, DIKTI).
9. Pengendalian Aflatoksin Pada Usahatani Jagung Melalui Penerapan Haccp (Hazard
Analysis And Critical Control Points), tahun 2014 (Hibah Unggulan Perguruan Tinggi,
DIKTI).
10. Pengembangan Teknologi Pascapanen Jagung Berbasis Kearifan Lokal Untuk
Meningkatkan Kawalitas Jagung di Kupang, tahun 2016 (Hibah Unggulan Perguruan
Tinggi, DIKTI).

11. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Berbagai Jenis Sorgum Lokal Dan Pengembangan
Produk Pangan Berbasis Sorgum, tahun 2017 (tahun ke 1, KP4S Litbang Pertanian).
12. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Berbagai Jenis Sorgum Lokal Dan Pengembangan Produk
Pangan Berbasis Sorgum, tahun 2018, (tahun ke 2, KP4S Litbang Pertanian).
13. Pemanfaatan Pewarna Alami Asal Tumbuhan Pada Usaha Tenun Ikat Di Nusa Tenggara
Timur (Tahun 1), Tahun 2018 (Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Dikti).
14. Uji Resistensi Beberapa Varietas Sorgum terhadap Hama Sitophylus zeamays dalam
penyimpanan, tahun 2019 (DIPA Faperta Undana).
15. Pemanfaatan Pewarna Alami Asal Tumbuhan Pada Usaha Tenun Ikat Di Nusa Tenggara
Timur, tahun 2019 (Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Dikti).
16. Deteksi Dini Hama Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman
Jagung Di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur, Tahun 2020 (DIPA Faperta
Undana).
17. Uji In Vitro Potensi Trichoderma harzianum Sebagai Agen Pengendali Biologis
Terhadap Patogen Aspergillus Flavus Pada Jagung Dalam Penyimpanan

F. Publikasi Internasional dan Nasional


1. Mukkun, L., Singh, Z., and Phillips, D. 2001. Nitrogen Nutrition affects firmness,
quality, and shelf life of strawberry. Acta Horticulturae, 553: 69-71.

26
2. Mukkun, L., Singh, Z. 2009. Methyl Jasmonate plays a role in fruit ripening of ‘Pajaro
strawberry through stimulation of ethylene biosynthesis. Scientia Horticulturae, 123
(1), 5-10.
3. Mukkun, L. Lalel, H.J.D., Richana, N., Pabendon, M.B., and Kleden, Y.L. 2018. The
diversity of local sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) in Nusa Tenggara Timur
Province. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 144 (1) 012065.
4. Mukkun, L., Lalel, H.J.D., and Tandi Rubak, Y. 2018. Initial Moisture Content of
Corncobs Plays an important role in maintaining its quality during storage. Agritech
38 (2) : 167-171.
5. Ola, A.R.B., Lapailaka, T., Wogo, H.E., Henuk, J.B.D., Simamora, A.V., Mukkun, L.,
Prosch, P., and Pham, C.D. 2021. Bioactive secondary metabolites from the Mangrove
endophytic fungi Nigrospora oryzae. Indones. J. chem. 21 (4) : 1016-1022.
6. Mukkun, L., Lalel, H.J.D., and Kleden, Y.L. 2021. The physical and chemical
characteristics of several accessions of sorghum cultivated on drylands in East Nusa
Tenggara, Indonesia. Biodiversitas 22 (5) : 2520-253.
7. Mukkun, L., Simamora, A.V., and Kleden, Y.L. 2021. Detection of Spodoptera
frugiperda (JE Smith) (Lepidoptera:Noctuidae) in Maize field in East Flores District,
East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Int. J. Trop. Dry Land, 5 (1) : 20-26.
8. Mukkun, L. 2011. Pola Aplikasi Pestisida pada Usaha Tani Sayur-Sayuran di
Kelurahan Tarus dan Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.
Leguminosae, 17 (3): 27-34.
9. Mukkun, L., 2014. Penerapan Teknik Pascapanen Jagung di Pulau Timor, Nusa
Tenggara Timur. Leguminosae, 20 (1) : 10-18.

G. Publikasi pada Prosiding dan Seminar


1. Mukkun, L. 2010. Populasi dan Perubahan Perilaku Belalang Kembara. Prosiding
Seminar Nasional Seminar Nasional Tentang Peranan Entomologi Indonesia dalam
Mendukung Perkembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan Kesehatan Lingkungan,
Bogor, 24 Juni 2010.
2. Mukkun, L. 2011. Potencial Entomopatogenics as Biological Control Agent for
Migratory Locust (Locusta migratory) in East Nusa Tenggara Province. Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Tentang Hidup Sejahtera Bersama Serangga, Bandung, 16
– 17 Februari 2011.

27
3. Mukkun, L. 2011. Population dynamic of Locust (Locusta migratoria) in Central
North Timor District, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Tentang Hidup Sejahtera Bersama Serangga, Bandung, 16 – 17 Februari 2011.
4. Harini, T.S., and Mukkun, L. 2011. Life Table Studies of Locust (Locusta migratoria
Meyen) In West Timor Agro-climate conditions. Prosiding Seminar Nasional Tentang
Hidup Sejahtera Bersama Serangga, Bandung, 16 – 17 Februari 2011.
5. Mukkun, L. 2013. Analisis Residu pestisida pada Sayuran Kubis di Kabupaten
Kupang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Undana, Kupang 23 Januari 2013.
6. Mukkun, L., Pecualy, I., Tandi Rubak, Y. 2014. Identifikasi jamur-jamur Penghasil
Mikotoksin dalam Penyimpanan Jagung di Pulau Timor. Seminar Nasional Tentang
Potensi dan pengembangan Tanaman Lokal dalam Menunjang Ketahanan Pangan,
ekonomi Keluarga, dan kelestarian Lingkung. Kupang, 30 September 2014

7. Mukkun, L., Lalel, J.D., Tandirubak, Y. 2016. Pengaruh Kadar Air Awal Terhadap
Kualitas Jagung Dalam Penyimpanan. Prosiding Seminar nasional Fakultas Pertanian
Undana. Kupang, 15 September 2016.
8. Mukkun, L. 2016. Improvement Of Seed Quality During Storage To Conserve Local
Maize Diversity Of Timor, East Nusa Tenggara. Proceeding of International
Conference on Biodiversity, Pontianak, 8 – 9 September 2016.
9. Mukkun, L. Lalel, H.J.D., Tandi Rubak, Y. 2016. Initial Moisture Content of
Corncobs Plays An Important Role In Maintaining Its Quality During Storage.
Proceeding of 1st International Conference on Tropical Agriculture (ICTA).
Yogyakarta, 25-26 September 2016.
10. Mukkun, L., Lalel, H.J.D., Richana, N., Pabendon, M.B., and Kleden, Y.L. 2017.
The Diversity of Local Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) In Nusa Tenggara
Timur. Proceeding of International Conference of Tropical Studies and Its
Aplications. Samarinda, 9 10 November 2017.
11. Mukkun, L., Lalel, H.J.D., Kleden, Y.L. 2018. Plant Based-Dye Application in
Timor Ikat Weaving ( Case Study in Oinlasi Villade, TTS and Taekas Village, TTU.
The 4th International Conf. on Biological Science and Biotechnology (ICBSB),
Medan, 8th Desember 2018.
12. Mukkun, L., and Gandut, Y.R. 2019. Conservation Technology Using Permanent
Planting Hole System Increases Sorghum Production In Dry Land Area. Proceeding

28
of 6th International Agriculture Conference, Bangkok Thailand, 22th – 23th August
2019.
13. Mukkun, L. Lalel, H.J.D., and Kleden, Y.L. 2020. Physico-Chemical
Characteristics and fungsional properties of Dry Land Sorghum. 7th International
Conference on Agriculture, 26th – 27th November 2020.

H. Penulisan Buku

1. Ekologi Serangga, buku referensi, tahun 2007


2. Vertebrata Hama, Buku referensi, tahun 2009.
3. Hama dan Penyakit Pascapanen, buku referensi, tahun 2012
4. Mikotoksin pada Bahan Pangan, buku referensi, tahun 2018.
5. Pesona Pewarna Alami pada Tenun Ikat Timor, buku referensi, tahun 2018
6. Pertanian Konservasi di Lahan Kering, Book Chapter, tahun 2018.
7. Pascapanen Jagung di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, tahun 2019

I. Pengalaman Pengabdian pada Masyarakat

1. Pelatihan Teknis Evaluasi Evaluasi Teknis Capaian Areal Tanaman Gerhan


Kepada Para Dosen Muda dan Alumni Baru Fakultas Pertanian Undana,
(GERHAN), tahun 2008.
2. Pemateri pada Penyuluhan tentang Bioekologi Belalang Kembara di Kefamenanu,
Kab. TTU (FAO), tahun 2009.
3. Pemateri pada Penyuluhan tentang Bioekologi Belalang Kembara di Atambua,
Kab. Belu (FAO), tahun 2009
4. Pemateri pada Penyuluhan tentang Bioekologi Belalang Kembara di Desa
Humusu B, Kec. Insana Utara, Kab TTU, (FAO), tahun 2009.
5. Pemateri pada Penyuluhan Tentang Pembuatan Pisang Sale Berbagai Rasa di Desa
Merbaun, Kec. Amarasi Barat, Kab. Kupang, tahun 2011.
6. Pemateri pada Penyuluhan Tentang Pembuatan Pupuk Bokashi Menggunakan
Aktivator EM-4 di Desa Merbaun, Kec. Amarasi Barat, Kab. Kupang, tahun 2011.
7. Pemateri pada Penyuluhan Tentang Teknik Pembuatan Minyak Kelapa Murni di
Desa Merbaun, Kec. Amarasi Barat, Kab. Kupang, tahun 2011.
8. Pembuatan Pestisida Nabati pada Kelompok Tani Agromandiri, Kelurahan
Lasiana, Kota Kupang. Tahun 2012.

29
9. Penceramah dalam kegiatan “Basic Study Skill bagi Mahasiswa Baru Faperta
Undana Tahun 2012
10. Teknik Budidaya Sayur-Sayuran Organik IbM Kelompok Tani Manafekat-Tuah di
desa Penfui Timur Kec. Kupang tengah, Kab. Kupang, tahun 2013
11. Pemateri pada Penyuluhan tentang Pengembangan Pangan Lokal di Desa Bipolo,
Kec. Kupang Timur, Kabupaten Kupang, tahun 2014.
12. Pelatih dalam kegiatan “IbM Agribisnis Jagung pada kelompok Tani Sepikir,
Kelompok Tani Nisnoni dan Kelompok Tani Tit Het Fen di Desa Bipolo
Kecamatan Sulamu, Kab. Kupang, tahun 2014
13. Pemateri pada Penyuluhan tentang Pengolahan Pangan Lokal dan Strategi
Penyediaan Pangan Jajanan yang Aman bagi Keluarga pada Kelompok Wanita
Tani, Kel. Teun Baun, Kec. Amarasi Barat, Kab. Kupang, tahun 2014.
14. Pelatihan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Hasil Pertanian Berbasis Jagung dan
Ubi-ubian kepada Kel.tani wanita Kewirausahaan Suka Maju Lasiana, Kupang,
NTT, tahun 2016.
15. Pemateri pada kegiatan “Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru
(PKKBMB) Faperta Undana Tahun 2016
16. Pemateri pada Kegiatan Penyuluhan Tentang Pascapanen Sorgum kepada
Kelompok Tani di Desa Kawaloelo, Kecamatan Demonpagong, Kab. Larantuka,
tahun 2016
17. Ibm Budidaya Sayuran Organik Bagi Kelompok Tani “Dahulu Rasa” Dan
“Sehati” Di Desa Mata Air, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang,
DRPM Ristek Dikti, tahun 2017.
18. Melaksanakan Tugas Pendampingan Dan Pengawalan Mahasiswa/Alumni dan
Pemuda Tani Dalam Rangka Peningkatan Produksi Komoditas Tanaman Pangan,
Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan Tahun 2017.
19. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.
20. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.
21. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.
22. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.
30
23. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.
24. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pertanian Konservasi di
Desa Camplong 2, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2017.

J. Membuat/menulis karya pengabdian pada masyarakat yang tidak dipublikasikan

1. Mukkun, L., “Strategi Penyimpanan Pangan Rumah Tangga,” disajikan dalam


Kegiatan PPM IbM Pengolahan Pangan Lokal dan Strategi Penyediaan Pangan
Jajanan Aman Keluarga pada Kel. Wanita Tani, Kelurahan Teun Baun, Kec. Amarasi
Barat, Kab Kupang, 25 Juli 2014, tebal 6 hlm.
2. Mukkun, L., “Teknik Penanganan Pascapanen Jagung,” disajikan dalam Kegiatan
Pelatihan IbM Agribisnis Jagung pada Kelompok Tani Sepikir, Kelompok Tani
Nisnoni, dan Kelompok Tani Tit Het Fen di Desa Bipolo Kecamatan Sulamu, Kab.
Kupang, tgl 5 dan 7 Juli 2014, tebal 7 hlm.
3. Mukkun, L., Modul Pelatihan Panen dan Pascapanen Jagung. Fakultas pertanian
Undana, 2017. Tebal 42 halaman.

K. Keanggotaan Organisasi Profesi

1. Anggota Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2017 sampai sekarang


2. Anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia, tahun 2014 sampai sekarang.
3. Anggota Perhimpunan Fitofatologi Indonesia, 2017 sampai sekarang
4. Anggota Perhimpunan Agronomi Indonesia, Komda NTT, 2018 sampai sekarang
5. Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, 2017 sampai sekarang

L. Penghargaan

1. Satyalancana Karya Satya XX tahun, tahun 2010


2. Dosen Penasehat Akademik Terbaik Fakultas Pertanian Undana, tahun 2017
3. The best presenter pada International Conference in Biodiversity, Pontianak, 9th
October 2016.

M. Keterlibatan Dalam Kegiatan Akademik Profesional

1. Editor, Intonational Journal of Tropical Dry Land, 2017 sampai sekarang.

31
2. Reviewer, Journal Food Process Engineering (Jurnal Scopus Q2), 2019 sampai
sekarang.

N. Daftar Sitasi Artikel Publikasi (sampai dengan Agustus 2021).

1. Scopus, h-Index 3, jumlah artikel 4, jumlah sitasi 88


2. Google Scholar, h-index

32

Anda mungkin juga menyukai