Anda di halaman 1dari 23

INSAN KAMIL DALAM PERSPEKTIF MURTADHA MUTHAHHARI

DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI DASAR PERJUANGAN


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Rahmat Gazali
HMI Komisariat Sains dan Teknologi Cabang Gowa Raya
rahmatgazali97@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini berjudul Insan Kamil dalam perspektif Murtadha Muthahhari dan relevansinya
dengan Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk mengetahui konsep insan kamil dalam perspektif Murtadha Muthahhari dan Nilai
Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, untuk mengetahui pentingnya mengenali insan
kamil dan mengetahui langkah seorang muslim khususnya kader Himpunan Mahasiswa Islam
untuk mencapai Insan Kamil. Metode yang digunakan untuk pengkajian ini adalah studi literatur.
Data yang diperoleh dikompilasi, dianalisis kemudian disimpulkan sehingga mendapatkan
beberapa kesimpulan terkait dengan Insan Kamil dalam pandangan Murtadha Muthahhari dan
Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam. Hasil penelitian menunjukkan adanya
relevansi pemikiran antara Murtadha Muthahhari dengan pemikiran tokoh yang digunakan untuk
mengkaji Insan Kamil pada Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, diantaranya
adalah Muhammad Iqbal yang berdasar pada pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Al-Jili. Keduanya sepakat
bahwa menjadi Insan Kamil adalah tahapan yang mampu untuk dicapai oleh seorang manusia
meskipun bukanlah seorang Nabi. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengkajian ini yaitu Insan
Kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaninya; berkembang secara seimbang dan stabil..
Dimana dengan menyeimbangkan potensi dalam dirinya tersebut ia mampu mencerminkan nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Mengenal manusia sempurna menurut Islam penting
bagi muslim, karena merupakan model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita
pun dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran Islam. Karena itu, kita harus
mengetahui apakah manusia sempurna itu, bagaimana sosok spiritual dan intelektualnya dan
apakah ciri-cirinya, sehingga kita dapat membangun diri kita, masyarakat kita dan pribadi-pribadi
lain berdasarkan model itu. Insan Kamil bisa dicapai ketika menghilangkan debu-debu keegoisan,
yang merupakan kotoran yang menempel pada cermin “hati” manusia sehingga merintangi
terpantulnya dengan baik sifat sifat ilahi tersebut. Insan Kamil dalam maknanya yang sederhana
adalah menyatunya fungsi-fungsi kehambaan dan kekhalifaan pada diri manusia. Fungsi
kehambaan akan mengantarkannya menjadi manusia yang dekat dengan Tuhan, sehingga ia
mampu mengaktualisasikan asma dan sifat tuhan dalam dirinya. Fungsi Kekhalifaan menuntutnya
untuk menyempurnakan “tugas-tugas” Tuhan dibumi, dalam rangka meneruskan penciptaan bumi
yang belum sempurna menjadi sempurna. Ini hanya bisa dilakukan jika manusia mengikuti pola-
pola yang ditetapkan Tuhan.
Kata Kunci: Murtadha Muthahhari, Insan Kamil, NDP HMI.

1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan Zaman adalah sebuah hal yang niscaya terjadi. Seorang manusia
yang telah diciptakan oleh Maha Pencipta tak bisa lepas dari dimensi ruang dan
waktu semenjak lahir bahkan sampai kematiannya. Dalam mengarungi kehidupan
ini tentunya manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan,
membutuhkan petunjuk agar mampu mengarahkan jalan hidupnya sebagaimana
mestinya. Namun sepanjang peradaban manusia, telah banyak peristiwa yang
dapat kita telusuri dalam catatan-catatan sejarah manusia. Tentang manusia yang
mampu membawa kebaikan dan juga sebaliknya. Disanalah letak pentingnya
sebuah petunjuk dalam menjalani hidup sebagai mahluk yang diberikan akal agar
digunakan sesuai fungsinya.
Sebagaimana kita ketahui bersama dalam pandangan Islam bahwa manusia
diciptakan oleh Allah SWT untuk menjalankan tugas kekhalifaan. Tugas manusia
sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah[2]:30 dimana
dalam peristiwa penciptaannya, Allah menyampaikan kepada para Malaikat
bahwa Dia akan Menciptakan manusia sebagai khalifah, yakni mengelolah Bumi
sesuai dengan konsep yang Allah berikan. Hal ini semakin mempertegas akan
kebutuhan manusia akan petunjuk dari Penciptanya yaitu Allah SWT.
Meskipun demikian, petunjuk-petunjuk yang diberikan Tuhan tentunya tidak
melahirkan satu atau dua tafsiran saja. Melainkan sangat banyak persepsi dalam
memaknai petunjuk yang ia terima. Hal ini tentunya juga karena Tuhan
memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam memfungsikan akal dan hatinya
untuk mencapai tujuan penciptannya. Salah seorang tokoh dalam Islam yang
cukup berpengaruh dalam memberikan tafsiran persoalan manusia adalah
Murtadha Muthahhari. Hasil pemikirannya pada yang dituangkan pada beberapa
buku ia mengungkapkan istilah Insan Kamil atau manusia sempurna.
Serupa dengan hal ini, dalam Himpunan Mahasiswa Islam terdapat pula
sebuah ulasan yang dituangkan dalam Nilai Dasar Perjuang Himpunan Mahasiswa
Islam. Secara khusus, dalam Tafsiran Nilai Dasar Perjuangan ini membahas
tentang Insan Kamil itu sendiri. Sebagai seorang muslim, menjalankan tugas dari
pencipta adalah hal niscaya untuk menggunakan petunjuk yang berdasar pada

2
ajaran-ajaran yang disampaikan oleh agama yang dipercayai, tiada lain adalah
agama peyempurna yaitu Agama Islam.
Berdasarkan uraian diatas, yang melatar belakangi tulisan ini adalah untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Insan Kamil, untuk mengetahui
pentingnya menjadi Insan Kamil serta langkah yang mesti dilakukan untuk
mencapai status sebagai Insan Kamil.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan jurnal ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud Insan Kamil ?
2. Apa pentingnya mengenali Insan Kamil?
3. Bagaimana langkah seorang muslim khususnya kader HMI untuk menjadi
Insan Kamil?
C. Tujuan
Tujuan dan manfaat penulisan pada makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui maksud dari Insan Kamil;
2. Untuk mengetahui pentingnya menjadi Insan Kamil;
3. Untuk mengetahui langkah seorang muslim khususnya kader HMI untuk
menjadi Insan Kamil.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literaur Data yang
diperoleh dikompilasi, dianalisis kemudian disimpulkan sehingga mendapatkan
beberapa kesimpulan terkait dengan Insan Kamil dalam pandangan Murtadha
Muthahhari dan Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam.

PEMBAHASAN
A. Insan Kamil
1. Konsep Insan Kamil dalam pandangan Murtadha Muthahhari
Insan Kamil adalah manusia teladan atau manusia ideal. Selanjutnya
Murtadha Muthahhari menegaskan: Manusia seperti halnya makhluk-makhluk
yang lain, ada yang sempurna, ada yang tidak, ada yang sakit, yang sehat, cacat
dan ada juga yang utuh. Manusia sehat sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu
manusia sehat yang kamil dan manusia sehat yang tidak kamil. Dalam pandangan

3
Islam, mengenal dan mengkaji atau membicarakan Insan Kamil atau manusia
teladan itu adalah wajib hukumnya, ia merupakan contoh, standar dan model bagi
setiap muslim. Keterangan lebih lanjut diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari
bahwa jika kita hendak menjadi seorang muslim yang sempurna dan ingin
mencapai kesempurnaan manusiawi dalam bimbingan dan pendidikan Islam,
maka terlebih dahulu kita harus mengenal manusia sempurna itu, bagaimana jiwa
dan mentalnya serta apa ciri-cirinya (Murtadha Muthahhari, 2009: 1-2).
Berdasarkan ilustrasi di atas menurut Murtadha Muthahhari, dapat di ambil
kesimpulan bahwa manusia memiliki dua sisi nilai dalam dirinya, yakni pribadi
dan kepribadian, atau badan dan ruh, atau fisik dan mental, di mana nilai yang
satu berbeda dengan lainnya. Sebagian orang yang menganggap bahwa roh,
kepribadian atau mental manusia seratus persen mengikuti badan, fisik atau
raganya, telah membuat suatu kesalahan yaag besar. Mungkinkah jiwa manusia
menderita sakit, sedangkan badannya sehat? Inilah sebuah pertanyaan yang harus
segera dijawab. Jiwa manusia bisa sakit meskipun badannya sehat, karena rohani
manusia merupakan masalah yang tidak tampak, sedangkan jasmani masalah yang
tampak. (Sugihartono, 2006:64).

Telah diketahui bahwa jiwa manusia, bisa terkena gangguan. Al- Qur’an
menekankan hal ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 10:

Artinya:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (Q.S. Al- Baqarah[2]:
10) (Yayasan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971:10)
Menurut Murtadha Muthahhari, syarat-syarat menjadi Insan Kamil yaitu
pertama, ia selalu menang dalam medan pertempuran kemanusiaan. Artinya ia
mampu mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya. Kedua, nilai insaninya
berkembang secara seimbang. Ketiga, nilai insaninya stabil dan tidak satupun dari
nilai-nilai yang berkembang itu tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain. Oleh
sebab itu, syarat menjadi Insan Kamil adalah dengan mengenal Insan Kamil itu
sendiri (Sugihartono, 2006:71).

4
Jika seseorang tidak mengenal Insan Kamil melalui penjelasan Al-Qur’an dan
hadits atau melalui figur-figur nyata hasil didikan Islam, maka orang tersebut
tidak akan dapat terbimbing pada jalan yang telah digariskan oleh Islam. Kita
tidak akan dapat menjadi Muslim hakiki dan masyarakat tidak akan dapat menjadi
masyarakat Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kita wajib mengenal Insan
Kamil, manusia tinggi dan mulia tersebut Dari sini timbul pertanyaan: Apakah arti
kata kamil? Kemudian apa pula arti Insan Kamil (Sugihartono, 2006:72).
Dalam bahasa Arab sering ditemukan dua kata yang arti atau maknanya mirip
satu dengan lainnya, sedangkan antonim (lawan kata) dari kedua kata tersebut
hanya satu kata. Jadi kata tersebut terkadang digunakan sebagai lawan kata dari
kata "ini" dan kadang dipakai sebagai lawan dari kata "itu".
Sebagai contoh kata kamil dan taam memiliki satu lawan kata, yaitu naqish.
alam sebuah ayat Al-Qur’an dua kata di atas digunakan bersamaan:

Artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku,...”(Q.S. Al Maidah[5]: 3 ) (Yayasan
Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971:157).
Para ahli Sastra Arab menjelaskan jika pemakaiannya dibalik, maka dengan
sendirinya akan menyalahi Tata Bahasa Arab. Untuk lebih jelasnya, pertama-tama
kita harus mengetahui perbedaan makna kedua kata tersebut, karena kita tidak
akan dapat memulai pembahasan ini tanpa lebih dahulu memahami perbedaan
antara keduanya.
Dalam bahasa Indonesia tamam atau taam dapat diartikan "utuh" atau "yang
telah selesai". Artinya, sesuatu dapat disebut taam atau "utuh", kalau semua hal
yang diperlukan bagi terwujudnya sesuatu tadi telah tersedia. Dengan kata lain,
kalau sebagian dari hal-hal yang diperlukan bagi terwujudnya sesuatu tersebut
tidak tersedia, maka sesuatu ini dikatakan naqish (kurang) dan cacat; separuhnya
ada, sepertiganya ada, dua pertiganya ada dan seterusnya.
Adapun kata kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan
rampung, dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi; bahkan dari yang tinggi ini

5
ada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya. Bila sesuatu belum dapat dikaitkan
kamil, bukan berarti sesuatu itu belum selesai atau tidak utuh, tetapi dengan
memperoleh kamal, sesuatu tersebut akan berada pada tingkat yang lebih tinggi.
Kamal adalah sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedang tamam adalah sifat
bagi sesuatu secara horisontal. Ketika sesuatu telah sampai pada batas akhirnya
atau selesai secara horisontal, maka dapat dikatakan telah menjadi tamam, dan
ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah memperoleh kamal.
Insan Kamil adalah manusia taam yang mulai melangkah secara vertikal,
sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada batas akhir
kesempurnaan ketika tak seorangpun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia
yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna (Murtadha
Muthahhari, 2009: 5-7).
2. Ciri-ciri Insan Kamil dalam pandangan Murtadha Muthahhari
Menurut Murtadha Muthahhari, ciri-ciri Insan Kamil adalah pertama,
manusia tersebut mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi
insaninya. Kedua, mampu menerima apa yang sudah diberikan Allah; ketiga,
mampu menyerasikan seluruh nilai-nilai insaninya (Sugihartono, 2006:74-75).
Manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap
sempurna; ketika tidak hanya cenderung pada satu nilai dari sekian banyak nilai
yang ia miliki. la dapat dianggap sempurna ketika ma mpu menyeimbangkan dan
menstabilkan serangkaian potensi insaninya. Orang-orang bijak mengatakan:
"Hakikat dan substansi keadilan adalah keseimbangan dan keselarasan"
(Murtadha Muthahhari, 2009: 29).
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah seimbang perkembangan
potensi-potensi insaninya serta tercipta juga keseimbangan dalam
perkembangannya. Insan Kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaninya;
berkembang secara seimbang dan stabil. Tak satu pun dari nilai-nilai itu yang
tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain (Murtadha Muthahhari, 2009: 30).
Al-Qur’an menyebut manusia yang nilai-nilai insaninya berkembang
seimbang dan sempurna ini sebagai "imam" seperti halnya Nabi Ibrahim yang
telah ditegaskan dalam Al Qur’an sebagai berikut :

6
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim
berkata: (dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: "Janji Ku
(ini) tidak mengenal orang-orang yang zalim (Q.S. Al-Baqarah[2]: 124) (Yayasan
Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971: 32).
Ruh manusia dan masyarakat manusia tak ubahnya seperti laut yang selalu
bergelombang terkadang pasang dan terkadang surut. Demikian pula halnya
dengan nilai-nilai insani. Manusia mempunyai suatu kecenderungan normal yang
tidak bertentangan dengan agama, bahkan dianjurkan oleh agama. Namun bisa
jadi dia terjerat dan terjerumus jauh sekali ke dalam satu nilai saja dalam bentuk
kecenderungan yang berlebihan. Akibatnya, ia lupa dan lalai terhadap nilai-nilai
insaninya yang lain, sehingga keseimbangan nilai-nilai insaninya terganggu,
seperti manusia yang hanya sebagian tubuhnya saja berkembang. Manusia seperti
ini tersesat bukan karena jatuh ke dalam jurang kebatilan atau fasad. la tersesat
karena cenderung pada satu nilai secara berlebihan tanpa mempedulikan nilai-nilai
yang lain. Sikap cenderung pada sesuatu secara berlebihan menurut. istilah bahasa
arab disebut dengan ifrath (Murtadha Muthahhari, 2009:33).
Selanjutnya Muthahhari memberi contoh tentang ifrath:
a. Ifrath dalam Ibadah
Salah satu dari nilai-nilai yang sangat ditekankan oleh Islam adalah ibadah.
Ibadah artinya berkhalwat atau menyendiri dengan Allah SWT. Bisa dalam
bentuk salat, doa, munajat, tahajjud dan lain sebagainya.
Ibadah merupakan bagian dari Islam dan sama sekali tak dapat dipisahkan
dari Islam. Ibadah adalah suatu nilai nyata, namun jika tidak waspada, seseorang
atau masyarakat akan terjerumus ke dalamnya secara berlebihan bangga

7
berkesimpulan bahwa Islam hanya terbatas pada ibadah, pergi ke masjid, shalat,
doa, ta'qib, munajat, mengerjakan mustahabbat, membaca Al-Qur'an dan
seterusnya.
Jika masyarakat secara berlebihan hanya menyibukkan diri dengan ibadah,
maka nilai-nilai Islam yang lam lambat laun akan terhapus dan terlupakan,
sebagaimana lelah menjadi bukti sejarah umat Islam, ketika kecenderungan yang
berlebihan ini mendominasi aktivitas umat Islam (Murtadha Muthahhari, 2009:
33-34).
b. Ifrath dalam Mengabdi pada Sesama
Salah satu nilai yang sangat ditekankan Islam dan merupakan suatu nilai
insani yang sangat mulia ialah mengabdi dan berkhidmat pada hambahamba Allah
SWT. Rasulullah saw sendiri sangat menekankan hal ini dalam banyak sabdanya.
Allah SWT berfirman:

Artinya:
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainva kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka indah
orang-orang yang benar (imannya, dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 177) (Yayasan Penyelenggara Pentafsir Al-
Qur’an,1971: 43).

8
Sebagian dari kaum intelektual modern, mengaku telah menemukan suatu
sistem yang sangat berarti yang diberi nama "Humanisme". Apakah arti
humanisme itu? Mereka mengatakan, humanisme adalah pengabdian kepada
masyarakat, pengabdian kepada hamba-hamba Allah SWT. Kita katakan;
memang sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengabdi kepada masyarakat.
Namun, kita juga harus melihat apa yang dibutuhkan mereka.
Taruhlah kita telah mengenyangkan perut mereka dan telah menutupi tubuh
mereka. Ini berarti kita masih berada pada tingkat pemenuhan kebutuhan
sekelompok binatang. Kalau kita tidak melihat adanya nilai-nilai yang lebih tinggi
dari sekedar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer mereka, maka pengabdian
ini setingkat dengan pengabd ian pada sekelompok atau serombongan kambing
dan kuda.
Mengabdi pada manusia memang merupakan suatu nilai yang tinggi, namun
pengabdian ini harus mencakup seluruh nilai insani. Kalau nilai-nilai insani itu
hanya sebatas pada pengabdian (kebutuhan primer), mengapa kita membedakan
antara Abu Dzar dan Mua'wiyah, sedangkan mereka sama-sama manusia?
Berdasarkan logika humanisme ini, kita akan sulit menentukan mana lawan
dan mana kawan. Jika kemanusiaan hanya diartikan pada pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan primer manusia, maka berarti kita telah jatuh dalam ifrath (berlebihan
dalam mengabdi pada manusia) (Murtadha Muthahhari, 2009: 38-39).
c. Ifrath dalam kebebasan
Kebebasan juga merupakan salah satu dari nilai-nilai insani yang sangat
tinggi dan mulia. Ia merupakan bagian dari keinsanan manusia, melampaui batas
kehewanan serta nilai-nilai material. Seseorang yang memiliki sedikit aroma
kemanusiaan akan siap menjalani kelaparan. Telanjang dan berada dalam kondisi
hidup sengsara asalkan hidup bebas dan tidak berada di bawah perintah atau
kekangan orang lain. Yang penting dan utama baginya adalah hidup bebas
merdeka.
Terkadang ada sebagian orang yang berlebihan dalam memandang kebebasan
ini. sehingga terkuburlah nilai-nilai insani yang ada di dalamnya. Kebebasan
sendiri tidak berarti apa-apa. bukanlah suatu nilai, jika tidak didukung oleh
serangkaian nilai-nilai yang lain, seperti ketuhanan, kebijaksanaan, keadilan,

9
irfan, pengabdian pada sesama dan lain sebagainya. Bahkan kebebasan dapat
menggiring seseorang atau suatu masyarakat menuju kesesatan dan mengundang
malapetaka. (Murtadha Muthahhari, 1995: 39-41).
d. Ifrath dalam Isyq (Cinta)
Cinta bagi sebagian orang adalah satu-satunya nilai. Karena cinta, semua nilai
bisa terhapus, bahkan akal fikiran pun ikut terbuang. Kaum urafa dan para sufi
yang hanya cenderung pada nilai cinta, mereka menentang akal dan bahkan secara
terang-terangan menyerang akal.
Hafizh berkata dalam puisinya:
Malaikat tidak mengerti perihal isyq (cinta)
Mintalah cawan dan tuangkan sari bunga
di atas tanah manusia
Dari tegukan arak cinta sufi mengetahui rahasia yang terpendam
Dari arak inilah setiap orang dapat mengetahui mutiara dirinya
Hanya ayam sahur-lah yang mengetahui cerita kumpulan kesempurnaan
(Allah)
Karena tidak setiap yang membaca dapat memahami ma'aninya.

Hafidz ingin mengungkapkan bahwa hanya para sufi dan kaum urafa yang
dapat mendapat ma'rifatullah sampai tingkat sempurna dengan mengendarai
"kendaraan isyq (cinta)." la tujukan beberapa baitnya ini kepada Abu Ali Sina
yang lebih menitik beratkan nilai akal ketimbang cinta. Alhasil. menurut
pandangan mereka, manusia dan kemanusiaan adalah cinta. Sedangkan akal,
karena dianggap sebagai iqal atau pengikat, maka harus dikesampingkan.
Berlawanan dengan itu. ada pula yang beranggapan bahwa akal dan rasio
adalah satu-satunya nilai untuk manusia. Impian yang dibangun oleh para sufi tak
lebih dari khayalan belaka, kata sebagian filosof. Abu Ali Sina sendiri pernah
menyindir kaum urafa dengan mengatakan: "Perkataan mereka lebih mirip
dengan khayalan-khayalan sufiyah. Kita harus maju dengan akal, bukan dengan
khayalan atau fantasi." Dari beberapa nilai insani di atas seperti akal, isyq,
mahabbah, ibadah, zuhd, kebebasan, khidmah dari lain sebagainya, nilai mana
yang dapat mengangkat seseorang pada derajat kamal dan kesempurnaan?

10
Adakah Insan Kamil itu adalah orang yang hanya menyibukkan dirinya
dengan ibadah? Atau orang yang bebas? Atau orang yang asyiq? Atau orang yang
aqil? Atau orang yang zahid? Atau orang yang khadim? Tidak. Tidak satu pun
dari mereka bisa disebul kamil. Insan Kamil adalah manusia yang seluruh nilai
insaniah-nya berkembang secara seimbang dan selaras. Ali r.a., adalah contoh dari
manusia yang mampu mengembangkan seluruh nilai insaniah-nya secara
seimbang (Murtadha Muthahhari, 2009: 41-43).
3. Insan Kamil dalam Perspektif Nilai Dasar Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam
Secara Etimologis, Insan Kamil berarti manusia sempurna (perfect man).
Dalam pengertian terminologisnya seperti yang berkembang dalam ilmu tasawuf,
Insan Kamil dipahami sebagai manusia yang telah dapat mencerminkan nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Karena itu, Tuhan dapat melihat citra
diri-Nya secara utuh. Peringkat ini dapat dicapai seseorang setelah dirinya
menjadi manifestasi sempurna dari hakikat Muhammad sebagai wadah tajalli
(penampakan) Tuhan yang paripurna (Azhari Akmal Tarigan, 2007:86-87).
Konsep ini dikemukakan dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi yang selanjutnya
dikembangkan oleh Al-Jili. Al-Jili sepakat dengan rumusan diatas, tetapi ia
mengolaborasinya sehingga Insan Kamil itu menjadi bertingkat-tingkat. Tingkat
pertama disebut dengan al-bidayah. Pada tingkat ini manusia telah dapat
merealisasikan sifat dan asma Tuhan dalam dirinya. Tingkat kedua disebut dengan
al-tawassuk. Pada tingkat ini manusia menjadi orbit kehalusan sifat
kemanusiaannya yang yang terkait dengan realitas kasih Tuhan. Pengetahuannya
telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian hal-hal ghaib telah
dibukakan kepadanya. Tingkat ketiga disebut dengan al-khitam. Pada tingkat ini,
Insan Kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan dalam dirinya secara utuh.
Iapun telah mengetahui rincian dan rahasia penciptaan takdir. Dengan demikian
pada diri Insan Kamil tingkat ini, sering terjadi kejadian luar biasa (Azhari Akmal
Tarigan, 2007: 87).

11
Perbandingan pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Al-Jili dapat kita lihat melalui tabel
berikut:
NO. Konsep Ibnu ‘Arabi Al-Jili
1. Insan Kamil Wajah Tajallih Tuhan Wajah Tajallih Tuhan
yang paripurna yang paripurna
2. Alam Ibn ‘Arabi mengatakan Penciptaan itu berasal
bahwa alam ini bukan dari tidak ada (‘adam).
diciptakan dari sesuatu Karena menurut-nya jika
yang tidak ada melainkan alam ini diciptakan dari
dari sesuatu yang telah yang ada maka akan
ada, yakni yang terdapat terdapat wujud lain selain
dalam ilmu Tuhan. Wujud wujud Tuhan.
yang ada dalam ilmu
Tuhan itulah yang
kemudian muncul sebagai
alam nyata
3. Nur Ibn ‘Arabi mengatakan Al-Jili nampaknya
Muhammad bahwa Nur Muhammad berbeda pendapat dengan
itu adalah qadim dalam Ibn ‘Arabi Nur
ilmu Tuhan dan baru baru Muhammad bagi al-Jili
saat menyatakan diri pada adalah baru, karena bagi
makhluk al-Jili wujud Tuhan
adalah qadim dan selain
wujud Tuhan adalah
baru.
4. Pembagian Ibn ‘Arabi yang jutru Al-Jili memberikan
Martabat meletakan martabat kedudukan penting
ahadiyah sebagai pering- martabat uluhiyah
kat pertama dalam proses sebagai martabat
tajalli Tuhan. Hal tersebut pertama dan tertinggi, hal
dikarenakan martabat tersebut disebab-kan
ahadiyah merupakan zat dalam martabat uluhiyah

12
murni, tidak berkolerasi tercakup segenap realitas
dengan apapun, baik sifat dari segala sesuatu.
maupun asma. Martabat
ahadiyah adalah mar-tabat
tertinggi dalam tajalli
Tuhan
5. Teori Tajalli Ibn ‘Arabi membawa teori Teori tajalli dan taraqqi
dan Taraqqi tajalli dan taraqqi adalah adalah proses munculnya
proses muncul-nya Insan Insan Kamil.
Kamil.
6. Corak Insan Insan Kamil yang digagas Insam kamil bercorak
Kamil oleh Ibn ‘Arabi bercorak teologis
falsafi
7. Insan Kamil Istilah Insan Kamil oleh Modifikasi konsep Insan
Ibn ‘Arabi digunakannya Kamil yang digagas oleh
untuk melabeli konsep Ibn ‘Arabi Disamping
manusia ideal yang usaha modifikasi yang
menjadi lokus dilakukan oleh al-Jili, ia
penampakan dari Tuhan. juga memberikan uraian
seba-gai usaha untuk
memperjelas dan
menyederhanakan
konsep Insan Kamil yang
digagas oleh sufi
sebelumnya misalnya Ibn
‘Arabi.
(Kiki Muhammad Hakiki, 2018: 183)
B. Pentingnya Mengenali Insan Kamil
Manusia sempurna berarti manusia teladan, unggul dan luhur, dan berbagai
defenisi lainnya. Seperti setiap hal, seorang manusia mungkin sempurna, mungkin
juga tidak sempurna;mungkin sehat mungkin juga cacat. Pribadi sehatpun
mungkin sempurna atau tak sempurna.

13
Mengenal manusia sempurna menurut Islam penting bagi muslim, karena
merupakan model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita pun
dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran islam. Karena itu, kita
harus mengetahui apakah manusia sempurna itu, bagaimana sosok spiritual dan
intelektualnya dan apakah ciri-cirinya, sehingga kita dapat membangun diri kita,
masyarakat kita dan pribadi-pribadi lain berdasarkan model itu (Murtadha
Muthahhari, 2001: 17).
Dari sisi pandang Islam, ada dua cara untuk mengenal pribadi sempurna atau
Insan Kamil. Cara pertama , melihat bagaimana Al-Qur’an dan Sunnah
mendefenisikan manusia sempurna, sekalipun bila yang dimaksudkan adalah
mukmin sempurna atau muslim yang baik. Muslim yang sempurna adalah orang
yang mencapai kesempurnaan dalam Islam: mukmin sempurna adalah orang yang
mencapai kesempurnaan dalam keimanannya.
Cara kedua, melihat para individu sesungguhnya yang terbentuk berdasarkan
teladan Al-Qur’an dan Islam; bukan makhluk khayali atau idealistis, melainkan
kepribadian rill dan objektif yang eksis dalam berbagai tahap kesempurnaan, baik
pada tingkat tertingginya maupun tingkat agak rendah.
Dua cara pengenalan manusia sempurna ini tidak hanya berguna secara
teoritis. Pengetahuan ini juga harus kita gunakan untuk mengikuti jalan Islam
guna menjadi Muslim yang sebenarnya dan menjadikan masyarakat sungguh-
sungguh islami. Dengan begitu, jalan tersebut menjadi terang dan jelas hasilnya
(Murtadha Muthahhari, 2001: 18-19).
C. Langkah seorang muslim khususnya kader HMI untuk mencapai Insan
Kamil
Seperti yang telah diuraikan oleh Azhari Akmal Tarigan(2007:87), bahwa
dalam pandangan para sufi, Insan Kamil adalah tingkatan manusia tertinggi,
ketika dia mapu mengaktualkan segala potensi yang tersembunyi yang
tersembunyi di dalam dirinya. Ini bisa dicapai ketika menghilangkan debu-debu
keegoisan, yang merupakan kotoran yang menempel pada cermin “hati” manusia
sehingga merintangi terpantulnya dengan baik sifat sifat ilahi tersebut. Ketika
seseorang telah mampu memantulkan sifat-sifat ilahi dalam dirinya, setelah ia
berhasil menghapus sifat-sifat keakuannya, maka menurut Al-Jili, ia akan menjadi

14
mazhar al-tajalli (tempat manifestasi), bukan saja sifat-sifat ilahi, melainkan juga
asma’ (nama-nama), af’al (perbuatan), bahkan zat (esensi).
Sementara itu, Murtadha Muthahhari(2013:89) menyimpulkan bahwa
manusia sempurna dalam perspektif kaum Arif bahwa ketika ia mencapai Tuhan,
ia menjadi manifestasi sempurna-Nya dan cermin dari Zat-Nya. Al-Qur’an
sebagai petunjuk dalam agama Islam mengatakan :

Artinya:
”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Al-Syams [91]:9-10)
(Yayasan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an, 1971: 1064).
Apakah penyucian jiwa atau penyucian diri dalam islam ialah jalan menuju
Allah, ataukah pengetahuan akan Allah mungkin melalui perenungan dan
penalaran?. Mengenai penyucian jiwa, sebuah kalimat Nabi Saw. dikutip oleh
Sunni dan Syi’ah, yakni apabila seseorang mampu mengikhlaskan dirinya untuk
Allah selama empat puluh hari, jika ia memandang keridhaan Allah sebagai satu-
satunya hal yang paling berharga dalam hidupnya dan meniggalkan segala
keinginan, ia akan menjadi sosok manusia seperti Nabi Ibrahim a.s. Terkait
dengan hal ini Al-Qur’an mengatakan :

Artinya:
“Katakalah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku,
hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam” (Q.S. Al-An’am[6]:162) (Yayasan
Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971: 2016).
Maka, suatu pengetahuan yang memancar dari dalam (batin) dapat diterima
oleh Islam. Allah berfirman kepada Nabi Musa a.s. dalam Al-Qur’an:

Artinya:

15
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang
telah Kami berikan kepadanya Rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (Q.S. Al-Kahfi[18]: 65) (Yayasan
Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971: 454).
Nabi Saw. juga pernah mengatakakn,: “Bukanlah benar bahwa setan-setan
mengitari hati anak-anak Adam dan menciptakan debu dan kegelapan, sementara
anak-anak Adam bisa melihat malaikat-malaikat dengan penglihatan batin
mereka. Kembali Nabi Saw. mengatakan:”Sekiranya kalian tidak banyak bicara
dan hati kalian seperti padang rumput yang di dalamnya setiap binatang
merumput, niscaya kalian mampu melihat apa yang kulihat dan mendengar apa
yang kudengar” (Murtadha Muthahhari, 2013: 89-90).
Oleh karena itu, tidaklah penting bagi seorang Nabi utnuk melihat dan
mendengar. Banyak orang bisa berbuat demikian. Begitupula Ali. Ia baru berusia
10 Tahun ketika ia menemani Nabi Saw. ke kuil dan Gua Hira. Tatkala wahyu
turun kepada Nabi Muhammad Saw. untuk pertama kalinya yang mebawa
kebahagiaan, Ali pun bisa mendengar suara-suara dari alam-gaib. Ali berkisah:
”Aku berkata kepada Nabi bahwa ketika wahyu turun, aku bisa mendengat jeritan
setan.” Nabi Saw. berkata: “Wahai Ali, engkau mendengar apa yang aku dengar
dan melihat apa yang aku lihat, sekalipun engkau bukan seorang Nabi”
(Murtadha Muthahhari, 2013: 90-91).
Dalam penjelasan ini, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam
pandangan yang diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari, mencapai Insan Kamil
bukanlah sebuah tahap yang hanya mampu dilalui oleh seorang Nabi. Sebagai
seorang manusia biasa yang diberikan berbagai petunjuk, tahapan-tahapan untuk
mencapai Insan Kamil atau manusia sempurna telah diajarkan dalam islam. Selain
dari pada pendangan Murtadha Mushahari tentang kemampuan seorang mannusia
mencapai Insan Kamil ini, hal serupa juga diungkapkan oleh salah seorang
pemikir modern yang ikut mengkaji ulang makna dari Insan Kamil.
Muhammad Iqbal seorang pemikir muslim kendati setuju dengan pemikiran
Al-Jili bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah Insan Kamil, bukan berarti kualitas
ini tidak dapat diwujudkan. Baginya Insan Kamil adalah seorang mukmin yang di
dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Dalam

16
ungkapannya yang lain, Iqbal menyatakan bahwa Insan Kamil adalah sang
mukmin yang merupakan mahluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani
dan agamawi, menumbuhkan kekuatan dalam dirinya untuk menjadikannya
senantiasa mempersepsi dan menghayati akhlak ilahi (Azhari Akmal Tarigan,
2007: 88)
Dalam Konsepsi Iqbal, menjadikan Insan Kamil bukanlah sesuatu yang
berada di luar jangkauan manusia sekarang. Secara realistis, Iqbal melihat setiap
manusia memiliki cita-cita untuk menjadikan dirinya sebagai Insan Kamil dengan
tahapan-tahapan yang telah disebut. Kepatuhan pada hukum tidak saja dalam
makna mematuhi hukum-hukum Tuhan yang tertulis dalam kita-kitab suci,
melainkan juga harus mengetahui dan memahami pola-pola Tuhan yang telah
ditetapkan-Nya di Alam ini. Pada gilirannya, kesadaran akan adanya hukum
Tuhan dan pola-polanya terhadap alam ini, menuntut dirinya untuk berbuat sesuai
dengan kehendak dan pola Allah SWT (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 88-89).
Tampaknya, Insan Kamil dalam maknanya yang sederhana adalah
menyatunya fungsi-fungsi kehambaan dan kekhalifaan pada diri manusia. Fungsi
kehambaan akan mengantarkannya menjadi manusia yang dekat dengan Tuhan,
sehingga ia mampu mengaktualisasikan asma dan sifat tuhan dalam dirinya.
Fungsi Kekhalifaan menuntutnya untuk menyempurnakan “tugas-tugas” Tuhan
dibumi, dalam rangka meneruskan penciptaan bumi yang belum sempurna
menjadi sempurna. Ini hanya bisa dilakukan jika manusia mengikuti pola-pola
yang ditetapkan Tuhan (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 89).
Perihal tugas kehambaan manusia Murtadha Muthahhari(2013: 23-24)
memberikan penjelasan bahwa ibadah yang merupakan merupakan salah satu nilai
kemanusiaan yang dibenarkan dalam islam, yang merupakan penyatuan dengan
dengan Tuhan. Tentu saja, segala perbuatan yang dilakukan karena dan untuk
Allah adalah ibadah. Memiliki suatu pekerjaan dan perniagaan untuk mendukung
diri sendir dan keluarga serta untuk melayani masyarakat pada dasarnya
merupakan satu bentuk ibadah. Akan tetapi, ibadah dalam pengertian khususnya
merupakan suatu penyatuan pribadi dengan Tuhan dalalm doa, munajat, tetap
terjaga demi melakukan suatu perbuatan penting tertentu di malam hari dan

17
setetrusnya. Semuanya itu merupakan bagian dari agama yang tidak bisa
ditinggalakan.
Nabi Saw. memperhatikan bahwa apabila suatu nilai islam kira-kira
menggerus nilai-nilai islam lainnya, beliau memerangi kecenderungan semacam
ini secara gigih. Dalam realitasnya, terkadang masyarakat ditarik kearah
kezuhudan. Ia merupakan salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri dan
merupakan suatu nilai yang masih eksis dalam sebuah masyarakat yang sejahtera.
Namun manakalah segala sesuatu di masyarakat didasarkan pada kezuhudan dan
tidak ada yang lain, maka ada sesuatu yang salah dengannya. Hal ini didukung
sepenuhnya oleh Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an:

Artinya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu adalah suatu
kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah...”
(QS. Al-Baqarah[2]: 177). (Yayasan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an,1971: 43)

Langkah berikutnya adalah menegasikan nilai ibadah, kezuhudan, (menuntut)


ilmu atau jihad, yang semuanya itu adalah nilai-nilai luhur bagi manusia dalam
islam. Hari ini, sebagian intelktual kita mebayangkan bahwa mereka menemukan
suatu prinsip yang sangat mulia yang disebut “kemanusiaan dan
humanitarianisme”. Melayani manusia adalah baik dan kita seyogyanya melayani
mereka (Murtadha Muthahhari, 2013: 24-26).
Dalam membicarakan perihal ibadah seperti ini, Ibnu Sina berkata,”Sebagian
manusia beribadah seperti orang yang bekerja untuk mendapatkan upah tertentu,
ketika upah itu tidak ada, maka diapun tidak akan mau bekerja lagi.” Dalam
pandangan Islam ibadah yang dilakukan hanya karena mengharapkan pahala dan
surga adalah ibadah yang tidak sempurna. Dengan demikian, tidak benar jika kita
berpikir bahwa kesempurnaan manusia tergantung pada kemampuannya untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan material dengan melanggar nilai-nilai
kebaikan di dunia ini ataupun dengan menyimpan keuntungan itu untuk waktu
yang akan datang (Murtadha Muthahhari, 2013:85-86).

18
Sementara dalam hal tugas manusia sebagai khalifah yang akan memelihara
bumi, Murtadha Muthahri (2013:83) menjelaskan bahwa manusia yaang
sempurna bukanlah yang memanfaatkan alam sebanyaknya-banyaknya. Dalam hal
ini ia memberikan pertanyaan bahwa dapatkah kita katakan sesuatu yang
sempurna adalah yang dapat memanfaatkan alam semaksimal mungkin untuk
dirinya? Kita jawab bahwa asumsi ini tidak benar adanya dengan dua alasan :
1. Kita tidak dapat menjelaskan kesempurnaan sesuatu selain manusia dengan
premis ini. Kita tidak dapat mengatakan bahwa seekor kuda yang sempurna
adalah kuda yang mendapatkan keuntungan banyak. Pertama-tama, kita harus
terlebih dahulu mendefenisikan kualitas-kualitas khusus untuk kuda itu sendiri.
Kita tidak dapat mungkin mengatakan bahwa seekor kuda yang sempurna adalah
kuda yang makan paling banyak. Kita juga tidak dapat mengatakan bahwa apel
yang yang sempurna adalah apel yang memperoleh udara, air, dan cahaya yang
lebih banyak.
2. Kita akan sangat susah dengan kesadaran manusia kita untuk menerima
pendapat bahwa manusia yang sempurna adalah yang paling banyak mendapatkan
manfaat dari alam, pun akan sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa manusia
yang paling buruk adalah yang paling sedikit mengambil manfaat.
Jika kita berpendapat bahwa manusia yang paling sempurna adalah yang
paling banyak mendapatkan keuntungan dari alam, maka kita membuat manusia
itu lebih rendah daripada binatang. Kita tidak pernah menilai kesempurnaan
binatang itu berdasarkan banyaknya keuntungan yang diperolehnya; meskipun,
untuk menilai manusia, banyak orang yang menganggap bahwa manusia yang
sempurna adalah yang paling banyak keuntungannya. Namun, tidak ada seorang
pun yang mempercayai pendapat ini jika dia mempercayai spiritualitas (Murtadha
Muthahhari, 2013: 84).
Disini kemudian muncul hal lain. Jika memang keuntungan dari alam ini
bukanlah ukuran kesempurnaan manusia, lantas apakah ukuran kesempurnaan itu?
Manusia yang sempurna adalah yang menerima dan mensyukuri pemberian
Tuhan. Namun, ukuran ini sangat sulit untuk diverifikasi di dunia ini, karenanya
banyak manusia yang beribadah demi mendapatkan keuntungan di akhirat
(Murtadha Muthahhari, 2013: 84).

19
Sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia akan cenderung kepada
kebenaran (NDP. HMI, 1971 :11). Hati nuraninya merupakan pemancar bagi
keinginannya untuk melakukan kebenaran. Fitrahnya itu jugalah yang
menyebabkan manusia berbeda dari makhluk-makhluk yang lain. Menuruti
perintah-perintah hati nuraninya itu, menyebabkan manusia hidup sesuai dengan
fitrahnya dan oleh karenanya ia menjadi benar dengan sendirinya. Manusia yang
benar ialah mereka yang menangkap makna hidup dengan mengerjakan amal
saleh atau perbuatan-perbuatan yang berkebaikan. Dengan demikian, kebahagiaan
akan dapat ditemukan di dalam langkah maju yang dilaksanakan dengan
perbuatan-perbuatan baik.
Berangkat dari pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa Cak Nur sebenarnya
menginginkan kader HMI mencapai tingkatan manusia sejati (Insan Kamil), yang
mana kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani
dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak
mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah
kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian,
merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan
mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal
perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak
membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan
kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk
sesama umat manusia (Heryati, 2018: 34-35).

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Insan Kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaninya; berkembang secara
seimbang dan stabil. Tak satu pun dari nilai-nilai itu yang tidak selaras dengan
nilai-nilai yang lain. Dimana dengan menyeimbangkan potensi dalam dirinya
tersebut ia mampu mencerminkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara
sempurna.
2. Mengenal manusia sempurna menurut Islam penting bagi muslim, karena
merupakan model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita pun

20
dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran islam. Karena itu, kita
harus mengetahui apakah manusia sempurna itu, bagaimana sosok spiritual dan
intelektualnya dan apakah ciri-cirinya, sehingga kita dapat membangun diri kita,
masyarakat kita dan pribadi-pribadi lain berdasarkan model itu.
3. Insan Kamil bisa dicapai ketika menghilangkan debu-debu keegoisan, yang
merupakan kotoran yang menempel pada cermin “hati” manusia sehingga
merintangi terpantulnya dengan baik sifat sifat ilahi tersebut. Insan Kamil dalam
maknanya yang sederhana adalah menyatunya fungsi-fungsi kehambaan dan
kekhalifaan pada diri manusia. Fungsi kehambaan akan mengantarkannya menjadi
manusia yang dekat dengan Tuhan, sehingga ia mampu mengaktualisasikan asma
dan sifat tuhan dalam dirinya. Fungsi Kekhalifaan menuntutnya untuk
menyempurnakan “tugas-tugas” Tuhan dibumi, dalam rangka meneruskan
penciptaan bumi yang belum sempurna menjadi sempurna. Ini hanya bisa
dilakukan jika manusia mengikuti pola-pola yang ditetapkan Tuhan. Dapat
dikatakan bahwa Cak Nur sebenarnya menginginkan kader HMI mencapai
tingkatan manusia sejati (Insan Kamil), yang mana kegiatan mental dan fisiknya
merupakan suatu keseluruhan.
B. Saran
Sebagai salah seorang anggota yang telah melewati pintu masuk untuk
bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam, memahami tugas dan fungsi
sebagai seorang kader adalah bagian yang sangat penting. Dalam memahami
pemikiran Cak Nur yang menginginkan kader HMI menjadi Insan Kamil maka
selayaknyala untuk mendalami ulasan mengenai Insan Kamil itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1971. Yayasan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an.
Jakarta

Hartono, Sugi. 2006. Insan Kamil menurut Murtadha Muthahhari dalam


Hubungannya dengan Kesehatan Mental. Fakultas Dakwa dan
Komunikasi. Instittut Agama Islam Negeri Walisongo. Semarang.

Heryati & Yusinta Tia Rusdiana.2018. Implementasi Nilai Dasar Perjuangan


Himpunan Mahasiswa Islam Terhadap Pembinaan Kader Hmi Kota

21
Palembang. Jurnal Historia. Volume 6, Nomor 1.
http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/sejarah/article/ view/1552. Diakses
pada tanggal 18 Februari 2020

Muhammad Hakiki, Kiki dan Arsyad Sobby Kesuma. 2018. Insan Kamil Dalam
Perspektif Abd Al-Karim Al-Jili Dan Pemaknaannya Dalam Konteks
Kekinian. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya. Volume 3, nomor 2.
https://www.google.com/url?sa=t&
source=web&rct=j&url=http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/d
ownload/2287/3286&ved=2ahUKEwju77m3s93nAhVqxzgGHUO6A0g
QICRAB&usg=AOvVaw0Fi6lm5nXcU0aE_UEEoX90. Diakses Pada
tanggal 18 Februari 2020

Muthahhari, Murtadha. 2001. Manusia Sempurna: Pandangan Islam tentang


Hakikat Manusia. Edisi Revisi, Cetakan Pertama. Jakarta: Lentera

Muthahhari, Murtadha. 2009. Agar Siapa Saja Bisa Menjadi Seperti Nabi SAW.
Jakarta Selatan: Ufuk Press

Muthahhari, Murtadha. 2013. Manusia Sempurna: Nilai dan Kepribadian


Manusia pada Inteletualitas, Spiritualitas dan Tanggung Jawab Sosial.
Cetakan ke-3 Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute

Muthahhari, Murtadha. 2013. Mengapa Kita Diciptakan: Dari Etika, Agama dan
Mazhab Pemikiran Menuju Penyempurnaan Manusia. Cetakan ke-4
Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute

Tarigan, Azhari Akmal. 2007. Islam Mazhab HMI, Tafsir Tema Besar Nilai
Dasar Perjuangan (NDP), Cet; I, , Jakarta: GP Press Group)

22
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Rahmat Gazali lahir di Balla
Bulo Kecamatan Pasimasunggu Timur Kabupaten
Kepulauan Selayar, 10 Agustus 1997 dari pasangan
H.Demma(alm) dan Hj.Ramlah. Penulis menyelesaikan
jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar bernama SDN
No. 21 Ujung Jampea pada tahun 2009 dan dilanjutkan
ked Sekolah Menengah Pertama, SMPN 1 Pasimasunggu
Timur dan selesai pada tahun 2012. Kemudian pada tahun yang sama dilanjutkan
ke Sekolah Menengah Atas, SMAN 1 Pasimasunggu Timur dan selesai pada
tahun 2015. Di Tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan ke
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar di Jurusan Fisika Fakultas Sains dan
Teknologi.
Selama menjalani proses pendidikan, penulis juga ikut berproses pada
beberapa organisasi sejak dari bangku sekolah sampai pada jenjang perkuliahan.
Organisasi yang diikuti diantanya adalah Organisasi Intra Sekolah(OSIS) dan
Pramuka saat masih dibangku sekolah. Saat masuk ke bangku perkuliahan
organisasi yang diikuti diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam, HMJ-
Fisika, Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi serta UKM-
Riset, Keilmuan dan Kemitraan Masyarakat UIN Alauddin Makassar.

23

Anda mungkin juga menyukai