Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PANCASILA

“Pancasila Dalam Arus sejarah

Bangsa Indonesia”

KELOMPOK 1

1.VECKY H. LARUNI_A42120064

2.JURAIS_A42120209

3.MOH. HAIKAL_A42120049

4.FANI_A42120074

5.JULIYA MUSDALIFAH_A42120069

KELAS D

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2020/2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB l

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

1.2 rumusan masalah

1.3 tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pancasila era pra kemerdekaan

 asal mula Pancasila secara budaya


 teori nilai budaya

2.2. asal mula Pancasila secara formal

 masa pengusulan
 masa sidang pertama BPUPKI
 masa sidang ke dua BPUPKI

2.3. Pancasila era kemerdekaan

2.4 Pancasila era orde lama

2.5 Pancasila era orde baru

 romantisme pelaksanaan P4
 Pancasila yang begitu di agung agungkan
 Demokrasi Pancasila
 Wajah semu orde baru

2.6Pancasila era reformasi

BAB lll

3.0 penutup

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke khadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan akal dan kesanggupan sehingga
kami dapat menyelesaikan Makalah Pancasila yaitu Pancasila dalam Arus Perjuangan Bangsa Indonesia.

ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila yang diampu oleh Dosen, Bapak dosen Roy
kulyawan S.pd M.pd universitas Tadulako

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
Makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan pada kesempatan ini pula penulis
haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Bapak Drs. Semuel Sabat yang telah
membimbing, sehingga Makalah ini dapat selesai dengan baik.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritikkan dan sarannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya. Amin.

palu 16 Oktober 2020

Kelompok l

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia
sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa
lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang
akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan
kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang
sebelumnya.

Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan
kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan
atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-
unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar
pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.

Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasiakan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Pancasila Pada Era Pra Kemerdekaan

b. Pancasila Pada Era Kemerdekaan

c. Pancasila Pada Era Orde Lama

d. Pancasila Pada Era Orde Baru

e. Pancasila Pada Era Reformasi

1.3 Tujuan Makalah

a. Menjelaskan Pancasila Era Pra kemerdekaan

b. Menjelaskan Pancasila Era Kemerdekaan

c. Menjelaskan Pancasila Era Orde Lama

d. Menjelaskan Pancasila Era Orde Baru

e. Menjelaskan Pancasila Era Reformasi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pancasila Era Pra Kemerdekaan

Asal mula Pancasila secara budaya

Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila, menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila
berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara
Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa
Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan merdeka.
Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan,
bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci
Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah :

Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada
Tuhan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun,
lemah lembut dengan sesama manusia.

Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan
kekeluargaan.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan : bahwa


unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita.

Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas
hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap sesama.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu
haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini
berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat
Indonesia sejak zaman nenek moyang.

Teori nilai budaya

Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
sejak bangsa Indonesia itu ada. Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara sistematis seperti
sekarang yang dapat kita lihat. Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut
bangsa Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan pedoman hidup bersama yang tidak
tertulis dan merupakan kesepakatan bersama yang diikuti secara suka rela.

Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan yang cukup vital dalam
kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara manusia menjawab baik secara pribadi atau
masyarakat terhadap masalah-masalah yang mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan
suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
(Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya akan mempengaruhi pandangan hidup, sistem normatif moral
dan seterusnya hingga akhirnya pengaruh itu sampai pada hasil tindakan manusia.

Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan mempengaruhi pandangan hidup. Pandangan
hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat dalam menentukan nilai kehidupan. Pandangan
hidup sebenarnya meliputi bagaimana masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan
kehidupan yakni hubungan manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan
hubungan manusia dengan sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal istilah-istilah
kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia
mempunyai tiga kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.

Asal mula pancasila secara formal

A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan menjelaskan bahwa mengenal diri
sendiri berarti mengetahui apa yang dapat dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat
dilakukannya sebelum dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui
sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia
mengajarkan apa yang telah dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia.
Tanpa mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari gejala-gejala
sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional
Indonesia meliputi : 1. Membangkitkan perhatian serta minat kepada sejarah tanah airnya; 2.
Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah; 3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah; 4.
Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah; 5. Mengembangkan pikiran penghargaan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait dengan Pancasila, Dardji
Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-nilai Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak
sejarah nasional Indonesia yaitu 1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi
kenyataan; 2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad, bertahap dan
menggunakan cara yang bermacam-macam; 3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan
titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh pancasila; 4. Pembukaan UUD
1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 5. Empat pokok
pikiran dalam Pembukaan UUD 1945; paham negara persatuan, negara bertujuan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 6. Pasal-pasal UUD 1945
merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang
berjiwakan Pancasila; 7. Maka penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan berdasar
kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).

Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok (Bakry, 1998: 20) :

Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia,
termasuk Piagam Djakarta.

Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat
Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Masa Pengusulan

Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Jepang
Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang
akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada
tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal
29 April 1945.

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945
oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa), dengan susunan sebagai berikut
Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa
Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan anggotanya berjumlah 60
orang tidak termasuk ketua dan ketua muda.

Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara
legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Oleh
karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.

Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai
dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945

Masa Sidang Pertama BPUPKI

Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul yang disampaikan dalam
pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang lengkap
BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi Peri
kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan dalam bentuk tertulis tentang
lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang
berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah
sebagai berikut :

Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kebangsaan Persatuan Indonesia,

Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tangaal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan dasar negara merdeka,
akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham integralistik. Soepomo mengusulkan
tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran
integralistik tersebut yang sesuai dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa
Indonesia yaitu: struktur kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti,
persatuan dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.

Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah, rakyat, dan pemerintahan.
Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan didirikan, ada tiga persoalan yaitu:

1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara,

2. Hubungan antara negara dan agama,

3. Republik atau monarchie.

Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima dasar bagi negara
Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas
petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaa, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan
sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi
tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan
(nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-nasionalisme. Dasar
kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi.
Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain
disingkat menjadi ketuhanan.

Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M. Yamin dan Soekarno, dan
paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk menampung perumusan-perumusan yang bersifat
perorangan, dibentuklah panitia kecil penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang
diketuai oleh Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia Sembilan.

Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar,
yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan
pembukaan alinea keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya

Kemanusiaan yang adil dan beradab

Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang
diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai declaration of
Indonesian Independence.

Masa Sidang Kedua BPUPKI

Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945, merupakan masa
sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama.
Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang disebut
dengan piagam Jakarta. Disamping menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-
panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yaitu:

1. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yang berjumlah 19
orang,

2. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang,

3. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang anggota.

Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil. Perancang Hukum Dasar yang
dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah
menyelesaikan tugasnya menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945
sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai
Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai
pembukaan.

Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka
selesailah tugas badan tersebut, yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang akan
dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah
perumusannya ada empat macam:

1. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, yaitu usul
pribadi dalam bentuk pidato,

2. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yakni usul pribadi dalam
bentuk tertulis,
3. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan nama
Pancasila,

4. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil kesepakatan
bersama pertama kali.

Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila
Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada
masa silam. Pada saat proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila.

Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, diadakan sidang
pleno PPKI untuk membahas Naskah Rancangan Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-
Undang Dasar (1945). Tugas PPKI semula hanya memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian anggotanya
disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan dan fungsi yang sangat
penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk negara Republik Indonesia setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil
mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan, 1993: 43-
45) :

1. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI
pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.

2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah
mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh.
Hatta sebagai Wakil Presiden.

4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah darurat.

Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, maka lima dasar yang
diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas
prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima
dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai dasar filsafat
negara secara formal.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana
kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral
maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun yang tidak
tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki kekuatan
yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu
Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun
dalam hukum positif lainnya. Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut
dapat dirinci sebagai berikut: Pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar negara meliputi
suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila sebagai dasar negara mewujudkan cita-cita hukum
bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat; Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang
mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara
untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

2.3. Pancasila Era Kemerdekaan

Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila mengalami banyak
perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pancasila melewati masa-masa
percobaan demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia masuk ke dalam era percobaan demokrasi multi-partai
dengan sistem kabinet parlementer. Partai-partai politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses
politik yang ada cenderung selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar negara (Somantri,
2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa kejayaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun 1959,
Pancasila melewati masa kelamnya dimana Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin.
Pada masa itu, presiden dalam rangka tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri, 2006). Pada akhirnya, sistem ini
seakan mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya adalah sila
permusyawaratan. Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Indonesia dimana partai
komunis berusaha melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno memberikan
wewenang kepada Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru dimana
kemudian Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu menjadi kaku dan mutlak
pemaknaannya. Pancasila pada masa pemerintahan presiden Soeharto kemudia menjadi core-values
(Somantri, 2006), yang pada akhirnya kembali menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung
dalam Pancasila itu sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir dan Pancasila
kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari ini.

2.4 Pancasila Era Orde Lama

Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan
sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah
proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan
bernegara bagi jutaan orang diawali oleh kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung
pada persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun
kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah
revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas
dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia.

Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah
menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya.
Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi
dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan
yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya
pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.

Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi
politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah
munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.

Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah
kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk mengambil segala
tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan
jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.

2.5 Pancasila Era Orde Baru

Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga
dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang
mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di
segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak
kalangan.

Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila.
Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila
begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan
rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.

Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi”
Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh
kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi
dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental,
toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain
penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu
organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila
sebagai asas utamanya.

.Romantisme pelaksanaan P4

era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai Pancasila, yaitu Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga
materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi
lain yang berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa
baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di
perguruan tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan
Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi.

Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi semacam
senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku masyarakat. Seakan-akan
ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa,
sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis
dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.

Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang terjadi di
masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke
dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap
ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta
tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak
dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.

.Pancasila yang Begitu Diagung-Agungkan

Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara pribadi, Soeharto sendiri
seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan
penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan
Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang
dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut,
Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber
tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”.
Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan,
“Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat
dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era
Orde Baru.

.Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde Baru

Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah dicabut), adalah 36 butir
Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir
Pancasila, yang serta merta “wajib hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat
Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah
negara Indonesia yang adil dan makmur, di segala bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang
menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada
pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara
general.

2.6. Pancasila Era Reformasi

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan
ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman
yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola
berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari
pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang
akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk
hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai
Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sebagai berikut :

· Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari.

· Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pengambilan keputusan.

· Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep


mempertahankan kesatuan.

· Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil
dan beradab.

· Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu
falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian


bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana
pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan
pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi
prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus
diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau
mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.

Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu (philosophy of
science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar
dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu
bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya
untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara
utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang
melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh
melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non
fisik. Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan
metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu pengetahuan yang
parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan
Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan
ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman
yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak ditetapkan
sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai
dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan
perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu :

1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap Politis

Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character Building. Hal ini
sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival dari berbagai tantangan yang muncul
baik dalam maupun luar negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila
sebagai Dasar Negara misalnya menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat Indonesia, dan
ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga
Pancasila tidak lagi dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical
concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan persatuan dalam
menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan Notonagoro
menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental Norm yang tidak dapat diubah
secara hukum oleh siapapun. Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari
dalam maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu menempatkan Pancasila
sebagai asas tunggal.

2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi

Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi pengembangan


Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung menjadikan ekonomi sebagai ideologi.
Pada tahap ini pembangunan ekonomi menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun
bersamaan dengan itu muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan.
Kesenjangan sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang selama itu
dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan setelah terjadinya gejala KKN dan
Kronisme yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan
perpolitikan dunia, setelah hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia
yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya
dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya
kapitalisme, disamping menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kronisme.

3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning Pancasila

Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler,
sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang
ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak
semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila
sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan
nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara
yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD
1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.

Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan


kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang
bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.

Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna,
melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga
masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam
kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan
zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila
menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.

Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun
masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan
masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab
utamannya karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan
yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini, yang diperlukan
dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif,
konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia
sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa
lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang
akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan
kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang
sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu proses waktu yang
sangat panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian penting yang
merupakan tonggak sejarah perjuangan.

Dan Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu
landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan
sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Replubik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-
unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang
merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.

3.2 Saran-Saran

Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang mana setiap warga negara Indonesia
harus menjunjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan
penuh rasa tanggung jawab. Agar pancasila tidak terbatas pada coretan tinta belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA

Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Icce. UIN Jakarta,
2003

Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries Lima

Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2005. Pendidikan Pancasila. Jakarta:
Universitas Terbuka

Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: Universitas Terbuka

http///www.google.com

http//Birokrasi.kompasiana.com

http//dokumenqu.blogspot.com

https//www.slideshare.net/DWIAYU2/sejarah-pancasila

Anda mungkin juga menyukai