Anda di halaman 1dari 41

ARTIKEL HUKUM PERIKATAN TENTANG PERJANJIAN JUAL

BELI, TUKAR MENUKAR, PINJAM PAKAI


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perikatan
Dosen Pengampu : Drs. Aliyudin, M. Ag

Disusun oleh :

Ihsan Fathurrahman Hizbulloh 1183020049

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
PERJANJIAN HUKUM PERIKATAN SEWA BELI
SEPEDA MOTORDENGAN ANGSURAN

Oleh :
Ihsan Fathurrahman Hizbulloh 1183020049
Program studi Muamalah
Fakultas Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl.A.H. Nasution No.105 Cibiru, Bandung
ihsanhizbulloh@gmail.com

Abstrak

Perjanjian sewa beli dengan angsuran lahir dari praktek kebiasaan masyarakat,
yang sesuai dengan azas Hukum Perjanjian yang termuat didalam pasal 1338 KUH
Perdata, sebagaimana diketahui BW menganut sistem bahwa perjanjian sewa beli itu
hanya bersifat obligator saja, adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya
levering atau penyerahan. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut
Kapankah beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian sewa beli
dengan angsuran ? dan Bagaimanakah akibat hukum apabila pembeli lalai membayar
angsuran dalam perjanjian sewa beli dengan angsuran ?. Metode yang dipergunakan
dengan melakukan penelitian lapangan terutama sewa beli motor dengan angsuran,
dengan menggunakan data primer dan data skeunder. Beralihnya hak milik dari penjual
lepada pembeli dalam perjanjian sewa beli dengan memberikan hak dan meletakkan
kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk
menuntut diserahkannya hak milik atas barang tersebut. Akibat hukum apabila pembeli
lalai membayar angsuran dalam perjanjian sewa beli dengan angsuran yaitu apabila
terjadi lalai dari perjanjian maka barang tersebut dapat di ambil atau di eksekusi
karena debitur Debitur tidak memenuhi prestasinya. Adapun kesimpulannya adalah
beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian sewa beli dengan
angsuran adalah apabila pembeli telah melunasi angsuran sepeda motor kepada
penjual atau didalam perjanjian sewa beli barang bergerak dengan angsuran hak milik
atas barang tersebut baru beralih dari tangan penjual kepada pembeli apabila telah
lunas. Akibat hukum apabila pembeli lalai dalam membayar.
Kata Kunci ; Sewa beli;Angsuran

Abstract,

The lease purchase agreement with installments is born from the practice of
the community, which is in accordance with the principle of Agreement Law contained
in article 1338 of the Civil Code, as it is known BW adheres to the system that the lease
agreement is only an obligator, while new ownership rights move by levering . The
formulation of the problem is as follows When will the ownership of the seller switch to
the buyer in the installment lease agreement? and what are the legal consequences if
the buyer fails to pay
installments in the installment lease agreement? The method used by conducting field
research is mainly motorbike rental purchases in installments, using primary data and
secondary data. The transfer of ownership rights from the seller to the buyer in a lease
agreement by giving rights and placing obligations on both parties, namely giving the
buyer the right to demand the transfer of ownership rights to the item. Legal
consequences if the buyer neglects to pay installments in an installment lease
agreement, ie if there is a negligence of the agreement, the item can be taken or
executed because the Debtor debtor does not fulfill his performance. The conclusion is
the switching of ownership rights from the seller to the buyer in the installment lease
agreement is if the buyer has paid off the motorcycle installments to the seller or in
the lease agreement of movable goods with installments of the ownership of the
goods has just switched from the seller's hand to the buyer when paid . Legal
consequences if the buyer is negligent in paying.
Keywords ; Because of law ; Rent buy ; Installments

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan


berbagai macam cara, yang sudah tentunya tidak boleh bertentangan dengan norma
kepatutan kesusilaan maupunhukum yang berlaku. Salah satu cara di dalam memenuhi
kebutuhan hiduptersebut dengan mengadakan transaksidiantara manusia yang lainnya
seperti tukar menukar, pinjam meminjam, sewa beli dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas bahwa di dalam kehidupan masyarakat dewasa
ini kita jumpai dalam praktek membeli barang secara mengangsur barang-barang
tersebut bergerak tertentu seperti perabot rumah tangga maupun barang-barang
lainnya misalnya TV, Sepeda Motor dan Mobil, yang merupakan salah satu kebutuhan
masyarakat.

WirjonoProdjodikoro menyebutkan bahwa : Hal ini sering terjadi dimasyarakat


seorang membeli barang tidak mempunyai uang penuh untuk membayar harga
pembelian sekaligus, dan ada keinginan supaya diizinkan membayar harga pembeli itu
secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit setiap bulan sebagian tertentu dari harga
pembelian.6

Perjanjian sewa beli dengan angsuran lahir dari praktek kebiasaan masyarakat,
yang sesuai dengan azas Hukum Perjanjian yang termuat didalam pasal 1338 KUH
Perdata yang sering disebut sifat terbuka yang pada hakekatnyamemberikan kebebasan
dalam hal membuat perjanjian yang tidak bolehbertentangan dengan ketertiban umum
dankesusilaan.7

Menurut RM. Suryodiningrat, bahwa : Penjual tidak menyerahkan hak milik


atas barang yang dijualnya kepada pembeli dan pembeli membayar harganya secara
angsuran setiap bulan atau setiap minggu, dan selama barang belum dibayar lunas,
maka barang itu tetap milik penjualhal mana merupakan jaminan bagi penjual...8

Pendapatnya R. Subekti, sejalan dengan pendapatnya M. Isa Arief, dalam bukunya


Hukum Perdata dan Hukum Dagang, beliau menyebutkan bahwa harga barang dibayar
dengan beberapa angsuran sedangkan barang-barang diserahkan pada waktu
membayar angsuran yang pertama dengan demikian miliknya sudah berpindah lebih
dahulu, sedangkan harganya belum habis dibayar. 9

Bertitik tolak dari pandangan para sarjana diatas dimana disatu pihak
menyebutkan bahwa didalam sewa beli angsuran tersebut belum memindahkan hak
milik atas obyek sewa beli sebelum harga barang yang diangsur pembayarannya itu
dilunasi, disini dapat dikatakan berpindahnya hak milik pada saat perjanjian sewa beli
angsuran itu ditutup atau dilunasi. Namun dilain pihak dari pandangan kedua
memberikan suatu pandangan bahwa berpindahnya hak milik dari barang atau obyek
sewa beli angsuran adalah seketika setelah barangnya diserahkan oleh penjual kepada
pembeli, tetapi harga barang tersebut dapat diangsuratau dicicil pembayarannya.

Rumusan Masalah

Dengan melihat kenyataan yang penulis kemukakan dalam latar belakang masalah,
maka penulis mengangkat masalah yang berkaitan dengan sewa beli barang bergerak
dengan jalan angsuran.Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Kapankah beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian sewa
beli dengan angsuran ?
2. Bagaimanakah akibat hukum apabila pembeli lalai membayar angsuran dalam
perjanjian sewa beli dengan angsuran ?
Metodelogi
Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian emperis yaitu penelitian


mengenai akibat hukum sewa beli sepeda motor dengan angsuran

Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis yaitu pendekatan


yang dilakukan terhadap fakta-fakta lapangan / masyarakat dan ditunjang dengan
pendekatan yuridis yaitu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan/hukum
perdata (BW).

II. Pembahasan

• Beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian sewa
beli dengan angsruan

Seperti diketahui perjanjian jual- beli menurut sistem Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata adalah bersifat obligator yakni jual-beli itu belum memindahkan hak
milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak,
yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik
atas barang tersebut. Pemindahan hak milik baru akan terjadi apabila penyewa telah
pelunasan terhadap kewajibannya sewa beli

Disamping perjanjian sewa beli kita mengenal pula ada pemberian dan tukar
menukar barang yang juga bertujuan untuk memindahkan hak milik, meskipun pada
perjanjian jual-beli penjual hanya terikat secara obligator dan pembeli terikat secara
pribadi, tetapi tujuan dari perjanjian jual-beli terletak pada pemindahan hak milik dari
benda yang dijual dan oleh karena itu terjadilah perubahan dalam hubungan
kebendaan, hal yang terakhir inibaru terjadi setelah direalisirnya perubahan itu.10

Kemudian didalam kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala


seguatu yang menjadi pelengkapnya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang
tetap beserta surat-surat bukti miliknya jika itu ada. Dengan demikian maka
penyerahan sebidang tanah meliputi pula penyerahan sertifikatnya dan penyerahan
kendaraan bermotor meliputi BPKBnya.
Dengan demikian yang ditentukan didalam memindahkan hak milik yang harus
diserahkan kepada pembeli adalah suatu benda yang dapat dikuasai sepenuhnya
tanpa dapat diganggu oleh siapapun sesuai dengan isi perjanjian sewabeli

Perjanjian sewa beli yang terjadi antara konsumen dengan dealer Kendaraan
sepeda motor, apabila pihak pembeli dengan dealer telah disepakati oleh kedua belah
pihak atas dasare perjanjian, pembeli diberikan hak pakai sebelum perjanjian sewa beli
lunas. Apabila sewa beli lunas pemebeli diberikan surat-surat seperti BPKB oleh dealer
kendaraan sepeda motor, dengan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli,
maka pembeli sebagai penguasaan penuh hak atas kendaraan yang dibeli.

Oleh karena pembeli belum menjadi pemilik mutlak dari barang tersebut,
didalam jual-beli yang normal atau biasa dengan diserahkannya atau dilakukan
penyerahan dan sekaligus pembayaran dari barang tersebut oleh pembeli ia sudah
menjadi pemilik dan sudah mempunyai kekuasaan penuh, dan ia dapat
mempergunakan barang itu bahkan menjualnya ataupun menghibahkan kepada pihak
lain tanpa adagangguan dari penjual.

Seperti telah disebutkan dalam membeli barang secara angsuran pembeli


belum menjadi pemilik atas barang itu ia hanya mempunyai kekuasaan yang tidak
penuh, oleh karenanya selama harga barang dibayar lunas oleh pembeli kepada
penjual pihak pembeli tidak berhak untuk memindah tangankan, menjual atau
menyewakan kepada pihak lain.

Suatu permasalahan akan timbulnya bagaimana halnya kalau sebelum lunas


pembayarannya pembeli telah meninggal dunia. Untuk memecahkan permasalahan
yang demikian ahli waris dari yang meninggal dunia tahu apa yang menjadi hak dan
kewajibannya sebagai ahli waris.

• Akibat hukum apabila pembeli lalai membayar angsuran dalam perjanjian


sewa beli dengan angsuran

Akibat hukum yang timbul terhadap debitur yang mengalami wanprestasi dalam suatu
perjanjian dimana debitur tidak memenuhi kewajibannya, secara nyata dapatlah dilihat
bahwa akibatnya tidak dapatnya perjanjian dipenuhi atau dilaksanakan secara benar,
maka seorang kreditur tidak mendapat pemenuhan hak- haknya yang semestinya
didapatkan sesuai dengan adanya perjanjian tersebut. Akibat- akibat yang diatur oleh
hukum dalam suatu perjanjian adalah berupa sanksi-sanksi hukum penerapannya
terdapat dalam KUH Perdata, sebagai peraturan formal yang mengatur perihal
perjanjian-perjanjianbeserta aspek yuridis lainnya. 6

Dikenakannya sanksi hukum dalam suatu keadaan, wanprestasi pada suatu perjanjian
sebagai ikatan disamping karena perjanjian merupakan suatu ikatan atau hubungan
hukum adalah juga dikarenakan oleh dalam suatu perjanjian megandung asas
obligatoir, yaitu meletakan hak dan kewajiban yang bertimbal balik. Konsekuensi dari
atas obligatoir tersebut adalah jikalau salah satu pihak dalam perjanjian sebagaimana
telah disepakatai, maka pihak dalam perjanjian sebagaimana telah disepakati, maka
tidak dapat dibatalkan sepihak. Oleh Achmad Ichsan, asas obligator itu dikatakan
sebagai segi-segi dalam perjanjian, sehingga menurut perjanjian memiliki 2 (dua) segi
yaitu segi pasif berupa kewajiban dan segi aktif berupa hak.7

Sedangkan segi pasifnya mempunyai


2 (dua) anasir lagi yakni kewajiban (schuld) dari debitur untuk melaksanakan suatu
prestasi dan haftung atau tanggung jawab yuridis dari debitur atas kewajibannya. Dari
dua anasir inilah kreditur dapat memaksa debitur untuk memenuhi kewajibannya

Menurut Prof. Purwahid Patrik, akibat hukum terhadap perjanjian karena


wanprestasi, maka debitur harus :

1. Mengganti kerugian;
2. Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjaditanggungjawab dari debitur;
3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta
pembatalan(putusan) perjanjian.8

Hal tersebut juga dapat kita lihat dari penetapan pasal 1243KUH Perdata yang pada
prinsipnya menentukan penggantian biaya, rugi dan bunga oleh pihak debitur baru
dapat dilakukan, setelah debitur dinyatakan lalai karena tidak memenuhi isi
perikatan. Para sarjana berpendapat agar melihat terlebih dahulu unsur-unsur yang
harus diperhatikan sebelum seorang debitur dinyatakan dalam keadaan wanprestasi,
karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai,
dan kalau hal ini disangkal olehnya harus dibuktikan di muka hakim”.

Sedangkan dalam suatu perjanjian baik untuk menyerahkan atau berbuat sesuatu
telah ditentukan dengan batas waktu, maka dengan lewatnya batas waktupemenuhan
kewajiban bagi debitur seketika itu pula debitur dapat dikatakan wanprestasi, karena
dengan lewatnya tenggang waktu untuk memenuhi kewajiban seorang debitur
tergolong lalai untuk memenuhi prestasinya. Adapun yang dimaksud dengan lalai
dalam ketentuan pasal 1238 KUH Perdata ditentukan bahwa : “Si berhutang adalah
lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu ia telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri menetapkan bahwa si berhutang akan
terus dianggap lalai dengan lewatnyawaktu yang telah ditentukan”.

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih
janjinya, seperti yang diterangkan di atas, maka jika ia tetap tidak melaksanakan
prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa sehigga dapat dikatakan sebagai
keadaan wanprestasi dan terhadapnya ia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yuridis
sebagai akibat hukum daripadanya. Sanksi-sanksi hukum sebagaimana dimaksud di
atas, dalam pasal 1243 KUH Perdata ditentukan bahwa “penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si
berhutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah
dilampaukan.”

Lain halnya dengan Abdulkadir Muhamad yang memberikan akibat hukum bagi
debitur yang wanprestasi, dibagi menjadi 5 (lima) yaitu :

- Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diberikan oleh


kreditur;
- Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari satu pihak,
memberikan hak kepadapihak lainnya untuk
membatalkanataumemutuskan perjanjian lewathakim;
- Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi. Ketentuan
ini hanya berlaku bagi perikatanuntuk memberikan sesuatu;
- Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim. Debitur yang
terbuktimelakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara;
- Memenuhi perjanjian disertaidengan pembayaran gantikerugian.9
Keadaan-keadaan yang menentukan seorang dikatakan sengaja atau Ialai tidak
memenuhi prestasi, antara lain ada 3 (tiga) keadaan :

a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah disanggupinya untuk dipenuhi didalam suatu perjanjian atau tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan undangundang dalam perikatan yang
timbul karena undangundang.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak betul atau keliru, disini debitur
melaksanakan atau memenuhi prestasi apa yang dijanjikan atau apa yang
ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut yang
ditentukan dalam perjanjian.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya, disini debitur
memenuhi prestasi tetapi terlambat.
Dengan demikian bagi debitur yang melakukan wanprestasi atau cidera janji
akan membawa akibat hukum atau sanksi sebagai berikut :

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur.
b. Dalam perjanjian timbal-balik,wanprestasi dari satu pihakmemberikan hak kepada
pihak lainnyauntuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim.
c. Resiko beralih kepada debitur sejaksaat terjadinya wanprestasi.
d. Membayar biaya perkara apabiladiperkarakan dimuka hakim.
e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti kerugian.
Oleh undang-undang hal yang demikian itu ada demi hukum karena ada
undang-undang yang mengaturnya, seperti sebagian besar mengenai peraturan-
peraturan tentang persetujuan-persetujuan dimana peraturan itu merupakan
peraturan pelengkap (aanvullend recht), maka para pihak yang bersangkutan dapat
menyimpang dengan mengadakan perjanjian yang bermaksud demikian.

Persoalan resiko adalah berpokok pangkal dari pada terjadinya suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu

pihak, peristiwa semacam itu didalam hukum perjanjian disebut sebagai keadaan
memaksa atau overmacht, karenanya persoalan resiko itu merupakan awal dari
persoalan tentang keadaan memaksa yaitu suatu keadaan yang menyebabkan bahwa
suatu hak atau kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dilaksanakan.

Keadaan memaksa ini dapat bersifat absolut dan relatif. Keadaan memaksa
dikatakan bersifat mutlak atau absolut bilamana keadaan memaksa tersebut
mengakibatkan bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama
sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun juga.
Sedangkan keadaan memaksa dikatakan bersifat relatif apabila olehkeadaan itu
pelaksanaan hak dan kewTajiban pada suatu perhubungan hukum tidak dapat
dihilangkan sama sekali dan tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi
sukarnya dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan sedemikian rupa,
sehingga patutlah bahwa keharusan untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang
bersangkutan dianggap lenyap.10

III. PENUTUP

Kesimpulan

Setelah diuraikan secara pokok- pokok mengenai perjanjian sewa beli secara
angsuran barang bergerak, maka sebagai penutup dari uraian sampailah kepada
kesimpulan dan saransaran sebagaiberikut :

a. Beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian sewa beli
dengan angsuran adalah apabila pembeli telah melunasi angsuran sepeda motor
kepada penjual atau didalam perjanjian sewa beli barang bergerak dengan
angsuran hak milik atas barang tersebut baru beralih dari tangan penjual kepada
pembeli setelah dilunasi atau ditutupnya angsuran tersebut oleh pembeli, dan
seketika itupula penjual menyerahkan hak milik kepada pembeli sehingga pembeli
dapat berbuat bebas atas barang tersebut.

b. Akibat hukum apabila pembeli lalai dalam membayar angsuran sewa beli sepeda
motor adalah : Pembeli diberikan surat peringatan sebanyak tiga kali, Apabila
ternyata pembeli tidak memenuhi kewajibannya, maka penjual berhak untuk
menarik kembali sepeda motor yang telah di terima oleh pembeli. Sedangkan uang
angsuran yang telah dibayarkan oleh pembelitidak dapat diminta kembali.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdulkadir Muhammad, 1982, HukumPerikatan, Alumni Bandung
[2] Achmad Uchsan,1977, Hukum Perdata, Pembimbing masa, Jakarta
[3] Isa Arief, 1979, Hukum Perdata, dan Hukum Dagang, Alumni Bandung
[4] Purwahid Patrik,1997,. “Dasar-DasarHukum Perikatan”, Bandar Maju
[5] Soetojo Prawiro Namidjojo.R, Marthalana Pohan, 1984, Bab-bab Tentang Hukum
Benda, Cet. Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya
[6] Subekti, R, 1980, Pokok pokok Hukum Perdata, Intermasa Jakarta.
[7] Subekti, R. 1982, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung
[8] Suryodiningrat, 1997, Asas-asas HukumPerikatan, Transito, Bandung
ASPEK HUKUM PERJANJIAN TUKAR MENUKAR
{BARTER} TANAH HAK MILIK

Oleh :
Ihsan Fathurrahman Hizbulloh 1183020049
Program studi Muamalah
Fakultas Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl.A.H. Nasution No.105 Cibiru, Bandung
ihsanhizbulloh@gmail.com

Abstrak
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalh untuk mengetahui bagaimana Keabsahan
Perjanjian Tukar menukar (Barter) Tanah hak Milik dan bagaimana Akibat Hukum Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Barter Tanah Hak Milik. Dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Peralihan hak atas tanah merupakan suatu
perbuatan hukum sehingga keabsahan perjanjian tukar menukar (barter) tanah hak
milik adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsensual. 2. Pada dasarnya
perjanjian barter tanah hak milik menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak,
karena secara yuridis sertipikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah.
Kata kunci: Aspek Hukum, Perjanjian Tukar Menukar (Barter),Tanah Hak Milik.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ketentuan mengenai tanah dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang
biasa kita sebut dengan UUPA5. Salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak- hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya6.

Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya
suatu barang lain. Sebagaimana dapat dilihat berdasarkan pada pengertian tukar
menukar tersebut maka perjanjian tukar menukar ini adalah juga suatu perjanjian
konsensuil dalam arti bahwa perjanjian tersebut sudah jadi dan mengikat pada saat
tercapainya kesepakatan mengenai barang-barang yang menjadi obyekperjanjiannya.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yang menjadi syarat ketiga untuk sahnya suatu
perjanjian ialah suatu hal tertentu atau obyek tertentu tersebut sebagai salah satu
syarat untuk sahnya suatu perjanjian maka sudah barang tentu bahwa setiap perjanjian
tukar- menukar haruslah mempunyai sesuatu yang menjadi obyek perjanjiannya.7
Salah satu perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dikenal UUPA adalah
tukar menukar hak atas tanah. Sebagaimana halnya dengan jual beli hak atas tanah,
tukar menukar hak atas tanah yang dikenal dalam UUPA adalah tukar menukar hak atas
tanah menurut hukum adat.
Tukar menukar hak atas tanah bisa menimbulkan persoalan, karena tidak semua hak
atas tanah dapat ditukarkan, oleh karena itu para pihak harus memperhatikan terlebih
dahulu apakah hak atas tanah yang menjadi objek tukar menukar hak atas tanah dapat
ditukarkan atau tidak. Selain itu, objek tukar menukar hak atas tanah tidak boleh
sedang dalam sengketa.
Selanjutnya Perjanjian dalam KUHPerdata dapat ditemukan dalam Pasal 1313
KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”. Perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata hendak menjelaskan
bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam
bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran
semata-mata.8
Banyaknya konflik di bidang pertanahan yang muncul ke permukaan dapat
menimbulkan kesan bahwa tanah yang sering disebut sebagai sumber kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat seakan-akan telah beralih menjadi sumber pemicu timbulnya
konflik dalam masyarakat.9

Jika dilihat dari segi sifatnya, tanah adalah sesuatu yang bersifat tetap atau tidak
berubah, sedangkan kebutuhan dan jumlah penduduk selalu berubah dan cenderung
semakin meningkat. Dengan sifat yang bertolak belakang tersebut, seringkali terjadi
permasalahan yang timbul yang terkait dengan tanah.10
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melakukan penulisan karya ilmiah
dalam bentuk skripsi dengan judul : “ Aspek Hukum Perjanjian Tukar Menukar (Barter)
Tanah Hak Milik “

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Keabsahan Perjanjian Tukar menukar (Barter) Tanah hak Milik?
2. Bagaimanakah Akibat Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Barter Tanah

Hak Milik ?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan yakni dengan cara meneliti bahan pustaka yang dinamakan
11
penelitian hukum kepustakaan. Sedangkan metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum normatif.12

PEMBAHASAN
A. Keabsahan Perjanjian Tukar menukar (Barter) Tanah hak Milik
Perjanjian tukar menukar hak atas tanah adalah suatu perjanjian yang dibuat antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu
berkewajiban menyerahkan hak atas tanah yang ditukar, begitu pula pihak lainnya
berhak menerima hak atas tanah yang ditukar. Subjek hukum dalam perjanjian tukar-
menukar adalah pihak pertama dan pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi

objek tukar -menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun
barang yang tidakbergerak (pasal 1542 KUHPerdata).
Menurut Salim H.S., perjanjian tukar menukar merupakan perjanjian yang
dibuat antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, dalam perjanjian
tersebut pihak yang satu memiliki kewajiban untuk memberikan atau
menyerahkan barang yang akan ditukar, dan begitu juga pada pihak lainnya
berhak untuk menerima barang yang ditukar. 13 Dalam Pasal 1542 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menjelaskan tentang yang dapat
dijadikan sebagai objek tukar menukar adalah semua barang, baik itu adalah
barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Seperti misalnya adalah tanah,
yang dapat menjadi objek tukar menukar sebagai barang yang tidak bergerak.
Suatu perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya.14
Perjanjian juga akan melahirkan suatu prestasi dimana prestasi tersebut wajib
dipenuhi oleh pihak yang mengadakan perjanjian.15 Pihak Pertama dengan Pihak
Kedua memiliki hubungan timbal balik dimana adanya sama-sama memiliki hak
untuk menerima dan kewajiban untuk memberikan sebidang tanah yang menjadi
objekdari tukar menukar.
Adapun objek peralihan Hak melalui tukar menukar adalah sebagai berikut:14
a. Hak Milik.
Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Milik dapat dilihat berdasarkan
ketentuan Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
menyebutkan bahwa Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Selain itu, ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang UUPA menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya adalah dengan
penukaran.
b. Hak Guna Usaha.
Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Guna Usaha dapat dilihat berdasarkan
ketentuanPasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang UUPA yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain. Selain itu, ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya
adalah dengan tukar-menukar.
c. Hak Guna Bangunan.
Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Guna Bangunan dapat dilihat berdasarkan
ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Selain itu, ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya
adalah dengan tukar-menukar.
d. Hak Pakai

Dasar hukum terjadinya peralihan Hak Pakai diatur dalam ketentuan Pasal 43
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Ketentuan tersebut menyebutkan
bahwa sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara maka hak pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang. Hak
pakai atas tanah milik hanya bisa dialihkan pada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan. Sementara itu ketentuan Pasal 54 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menjelaskan bahwa Hak Pakai yang diberikan atas
tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Selain itu, Hak Pakai atas tanah Hak Milik
hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian
Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Salah satu cara beralihnya Hak Pakai
adalah dengan tukar- menukar.

Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian tukar menukar tanah sesuai dengan beberapa
ketentuan di dalam Buku III KUH Perdata. Beberapa ketentuan umum yang terkait
dengan perjanjian tersebut antara lain : Pasal 1320 yang secara implisit berisikan asas
konsesualisme menjadi dasar bagi para pihak membuat perjanjian; Pasal 1338 menjadi
dasar keterikatan para pihak dalam melaksanakan isi perjanjian; Pasal 1233 yang
menjadi sumber perikatan diantara para pihak; Pasal 1234 yang menjadi acuan
penentuan jenis prestasi para pihak dalam perjanjian; dan yang terpenting adalah Pasal
1320 yang mengatur keabsahan perjanjian.
Tukar-menukar merupakan sebuah perjanjian sama halnya seperti jual beli. Untuk
melakukan sebuah perjanjian tukar menukar yang sah, maka harus dipenuhi syarat
sahnya perjanjian yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Adapun
syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkandirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatuperikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Tentang tata cara pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui tukar-menukar di
Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota telah diatur dengan jelas dalam Pasal 97
sampai dengan Pasal 106 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Tahapan tersebut meliputi tahap persiapan pembuatan akta, tahap pelaksanaan
pembuatanakta, tahap pendaftaran pemindahan hak dan tahap penyerahan sertifikat.
Menurut Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas tanah dan hak milik
atas satuan Rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT, yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang -
undangan yang berlaku, Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud
beralih dan diperalihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan suatu hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun. Peralihan hak atas tanah menurut yuridis
dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan
didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota).

Peralihan hak atas tanah harus di buktikan dengan akta yang dibuat oleh Penjabat
Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT. Dengan demikian ada unsur
absolute yang harusdipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, dibuat oleh PPAT. Alat
pembuktian yang sah bagi kepemilikan hak atas tanah adalah dalam bentuk seftifikat
hak atas tanah. Sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur (untuk pendaftaran
tanah sistemik) atau gambar situasi (untuk pendaftaran tanah sporadis) yang dijahit
menjadi satu dan bentuknya ditetapkan oleh menteri. Fungsi sertifikat hak atas tanah
adalah untuk membuktikan adanya hak atas tanah dan subyek yang berhak atas tanah
tersebut.

B. Akibat Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Barter Tanah Hak Milik
Dalam perjanjian Barter tanah Hak Milik dapat menimbulkan akibat hukum bagi
para pihak. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1340 KUHPerdata menjelaskan
mengenai bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya akan berlaku bagi pihak-
pihak yang membuatnya, dimana hal ini juga berlaku bagi peranjian tukar menukar.
Subjek hukum dalam perjanjian tukar menukar merupakan Pihak Pertama dan Pihak
Kedua yang memiliki hubungan timbal balik, baik perjanjian tersebut dilakukan antara
orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan
hukum, yang harus dapat dipastikan bahwa para pihak adalah benar pemilik dari
barang atau obyek lainnya yang akan diperjanjikan untuk yang nantinya akan
diserahkan sebagai objek dari tukar menukar. 16 Hal ini juga dapat diberlakukan
terhadap perjanjian tukar menukar tanah hak milik.
Akibat hukum yang timbul adalah bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sama-
sama memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah mereka sepakati
bersama dengan meyerahkan barang yang ditukar, dalam hal ini tanah, dan para pihak
juga sama-sama memiliki hak untuk menerima barang atau tanah tersebut. Melakukan
kelalaian terhadap apa yang telah menjadi kewajibannya tersebut merupakan wujud
dari wanprestasi. Pada umumnya, dalam melakukan suatu perjanjian, para pihak yang
terikat akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya. Akibat
hukum merupakan akibat

dari suatu tindakan yang dilakukan guna memperoleh suatu akibat dimana yang
dikehendaki oleh sang pelaku dan telah diatur oleh hukum.17
Menurut Logemann18 bahwa dalam setiap hubungan hukum ada dua segi
yaitu kekuasaan (wewenang) dengan lawannya kewajiban. Menurutnya dalam
hubungan hukum ada pihak yang berhak meminta prestasi dan ada pihak yang
wajib melakukan prestasi. Hak dan kewajiban merupakan akibat hukum yang
lahir dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap
obyek hukum. Pelaksanaan kewajiban harus dilakukan sesuai dengan tujuan
haknya. Itu artinya dilakukan dengan “itikad baik”.
Dalam pelaksanaan kewajiban pemegang hak atas tanah, itikad baik
memegang peranan yang sangat penting guna terwujudnya pengelolaan
pertanahan yang memberi kesejahteraan pada masyarakat. Mengenai makna
dari itikad baik ini mengacu pada asas itikad baik dalam perjanjian. Asas itikad
baik termuat dalam Pasal 1338 ayat
(3) BW yang menyatakan “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Memang asas ini terdapat dalam suatu perjanjian yang dibuat di lapangan
hukum harta kekayaan yang diatur dalam buku ke III BW tentang perikatan.
Subekti dalam bukunya “Hukum Perjanjian” menjelaskan bahwa itikad baik
merupakan landasan utama untuk melaksanakan perjanjian dengan sebaik-
baiknya.19
J. Satrio menjelaskan bahwa pada dasarnya itikad baik adalah terletak pada
pelaksanaan perjanjian dengan jujur, sesuai dengan kewajiban hukumnya.20 Dari
pendapat dua ahli Hukum Perdata Indonesia ini, maka “itikad baik” memegang
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Tentunya
asas itikad baik tersebut juga dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara
pemberi hak atas tanah dengan penerima hak atas tanah, mengingat Hukum
Agraria mempunyai dua sisi hukum yang melekat padanya yaitu Hukum Perdata
dan Hukum Administrasi.
Itikad baik merupakan asas yang melekat pada diri pribadi seseorang dan itu
bersifat

universal, artinya berlaku pada setiap hubungan hukum. Oleh karena itu melaksanakan
kewajiban dengan itikad baik merupakan “kewajiban hukumnya” para subyek (pelaku)
terhadap obyek haknya (misalnya tanah). Dengan demikian “itikad baik” merupakan
sesuatu yang perlu dicantumkan sebagai satu kriteria yang dapat dipakai sebagai ukuran
dalam melaksanakan tukar menukar (barter) tanah hak milik, dengan melihat pada
pelaksanaan kewajiban yang tidak mengindahkan itikad baik.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.21 Perjanjian tukar-
menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu
ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata) dalam hal ini tidak di atur secara khusus
mengenai perjanjian tukar menukar tanah hanya saja tanah disini sebagai objek dalam
perjanjian antara pemberi dan penerima untuk melakukan perjanjian tukar menukar
tanah.
Adapun objek peralihan Hak melalui tukarmenukar (barter) adalah sebagai berikut:14
a. Hak Milik

Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Milik dapat dilihat berdasarkan ketentuan
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
menyebutkan bahwa Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Selain itu,
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA
menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya adalah dengan penukaran.
b. Hak Guna Usaha.
Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Guna Usaha dapat dilihat berdasarkan
ketentuan Pasal 28 ayat (3) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Selain itu, ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya adalah dengan tukar-menukar.
c. Hak Guna Bangunan.

Dasar Hukum terjadinya peralihan Hak Guna Bangunan dapat dilihat berdasarkan
ketentuan Pasal 35 ayat (3) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. Selain itu, ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
menyebutkan bahwa salah satu cara peralihannya adalah dengan tukar-menukar.
d. Hak Pakai
Dasar hukum terjadinya peralihan Hak Pakai diatur dalam ketentuan Pasal 43
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Ketentuan tersebut
menyebutkan bahwa sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara
maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang
berwenang. Hak pakai atas tanah milik hanya bisa dialihkan pada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Sementara itu ketentuan Pasal 54
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menjelaskan bahwa Hak Pakai yang
diberikan atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Selain itu, Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian
pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Salah satu cara
beralihnya Hak Pakai adalah dengan tukar- menukar.
Pada dasarnya tukar-menukar merupakan sebuah perjanjian sama halnya seperti
jual beli. Untuk melakukan sebuah perjanjian tukar menukar yang sah, maka harus
dipenuhi syarat sahnya perjanjian yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan pasal tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkandirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatuperikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian timbal balik (Bilateral enitrael)
maksudnya suatu perjanjian yang menukar diatas dalam pasal 1541 sampai
dengan pasal 1546 KUH pendata. Perjanjian tukar menukar bersifat konsensual
yakni perikatan telah terjadi pada saa tercapainya kata sepakat antara pihak – pihak
yang membuat perjanjian dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai
kekuatan hukum atau akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Akan tetapi perjanjian yang dibuat
pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum
menindahkan hak milik (Ownership) hak milik baru berpindah setelah dilakukan
penyerahan (levering).
Untuk mengetahui dapat tidaknya tanah sebagai obyek tukar menukar, selain
ketentuan
–ketentuan yang telah diuraikan dalam KUHPErdata kita harus melihat ketentuan –
ketentuan yang terdapat dalam Undang – undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960
beserta peraturan – peraturan pelaksananya. Menurut Pasal 21 UU Pokok Agraria
hanya warga Negara Indonesia dan badan – badan hukum yang ditetapkan oleh
Pemerintah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Mengenai hak atas tanah tersebut dalam Pasal. 26 UU Pokok Agraria ditetapkan
sebagai berikut :
“(1) Jual – beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur dengan peraturan Pemerintah.”

“(2) Setiap jual – beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan – perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud
dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara,
dengan ketentuan bahwa hak – hak pakai lain yang membebaninya tetap berlangsung
serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat di tuntut
kembali”.
Tentang tata cara pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui tukar-
menukar di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota telah diatur dengan jelas
dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Tahapan tersebut meliputi tahap persiapan pembuatan akta,
tahap pelaksanaan pembuatan akta, tahap pendaftaran pemindahan hak dan
tahap penyerahan sertifikat.
Dari ketentuan – ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa tanah dapat
menjadi obyek tukar menukar dengan adanya larangan pemilikan atas tanah
bagi warga Negara asing, maka dalam perjanjian tukar menukar yang
mempergunakan tanah sebagai obyek harus diperhatikan apakah pihak – pihak
yang mengikatkan dirinya itu warga Negara Indonesia atau warga negara asing,
kalau ternyata salah satu pihak atau kedua belah pihak adalah warga Negara
asing, berdasarkan ketentuan tersebut, maka tanah tidak dapat menjadi obyek
perjanjian, dengan kata lain, menimbulkan hak milik bagi warga negara asing.
Hal ini sesuai dengan larangan pemilikan tanah dalam UU Pokok Agraria.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum sehingga
keabsahan perjanjian tukar menukar (barter) tanah hak milik adalah
merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, yaitu perjanjian yang
sudah jadi dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat dari para
pihak yang mengikatkan dirinya dalam tukar- menukar. Peralihan hak atas
tanah dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang dan didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Pemilikan
hak atas tanah dengan cara tukar-menukar ini berlaku bagi Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
2. Pada dasarnya perjanjian barter tanah hak milik menimbulkan akibat
hukum terhadap para pihak, karena secara yuridis sertipikat hak atas tanah
merupakan bukti hak atas tanah. Kekuatan berlakunya sertipikat hak atas
tanah tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat walaupun bukan
merupakan tanda bukti yang mutlak. Tanah dalam kehidupan manusia
mempunyai arti sangat penting oleh karena sebagian besar dari kehidupan
manusia salah satunya bergantung pada keberadaan dan kepemilikan atas
tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, “Konflik Pertanahan di Indonesia dan Alternatif Penyelesaiaannya”,
Makalah disampaikan pada Acara Seminar yang diselenggarakan Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Bandung,
2011.
AP Parlindungan , Pendaftaran tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
1990

Bintang Sanusi dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan


Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000)
Chomzah Ali Ahmad, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah, Sertifikat
dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Nasional, 2003
Cyintia P Dewantoro, Kasus Hukum & Solusi Pengalihan Hak Tanah & Properti,
PT Gramedia, Jakarta, 2009.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi,Perikatan yang Lahir dari
UndangUndang,(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003)
-------------.,, Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hadikusuma Hilman., Hukum Perjanjian Adat,Alumni, Bandung, 1982
H.S Salim., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010),

Harsono Boedi. Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 (Hukum Tanah Nasional),


Jakarta: Jembatan, 1999
Ibrahim Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, 2008
J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001)
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002
M Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982)
M. Nur Rianto Al-Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2012)
Mhd. Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010
Murad Rusmadi, “Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah” Bandung : Alumni,
1999.
Mustafa Edwin Nasutiaon, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010)
Nuri, 2008, “Perjanjian Tukar Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus :
Gugatan Perdata
Nomor:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau), Skripsi Universitas
Sumatera Utara, Medan
Peter Marzuki Mahmud, 2005, Penelitian Hukum – Cetakan ke-1, Jakarta:
Kencana

Prodjodikoro Wirjono., Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Sumur, 1981)


Prami Yunita, 2017, “Akibat Hukum Terhadap Pembeli Yang Melakukan
Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor”, Kertha Semaya, Vol.
5
Satria Braja Harlandja, 2018, Perlindungan Hukum Pemegang Hak ATas Tanah
Terhadap Objek Yang Sama (Studi Putusan Pengadilan)
Setiawan Oka., 2018, Hukum Perikatan, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta Timur
Subekti R., Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987)
--------------., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Kabupaten : Intermasa, cet. 32, 2005
----------------------.,
, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2008
Sumardjono Maria S.W, 2011, Reorientasi Kebijakan Pertanahan, Penerbit
Kompas, yang dikutip oleh Benhard Limbong, Konflik Pertanahan, Margaretha
Pustaka, Jakarta
-----------------------., Kepastian Hukum Dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya

Bagi Bisnis Perbankan dan Properti, (makalah disampaikan dalam Seminar


Kebijaksanaan Naru Di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis
Properti dan Perbankan,Kabupaten 6 Agustus 1997)
--------------., Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta;
Andi Offset. 1982
Suriyaman Mustari Pide I, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Akan Datang, Pelita
Pustaka,Jakarta, 2009
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah, (Yogyakarta : Arloka,
2003
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali,
Jakarta, 1985
Soeroso, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, cet. XIV,Sinar Grafika, Jakarta
Sutedi Adrian , Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007)
Sadono Sukirno Sadono., Makroekonomi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali,
2010)

Peraturan Perundang-undangan :
- UUD Negara RI Tahun 1945
- UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UU
Pokok Agraria)
- Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
- PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Jurnal :
- Jurnal Hukum Kaidah Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan
Masyarakat, Fakultas Hukum UNPRI Medan
- Elfachri Budiman, “Peradilan Agraria (Solusi Alternatif penuntasan
Sengketa Agraria)” Jurnal Hukum USU Vol. 01. No.1, Tahun 2005
- Trisadidni Usanti, Lahirnya Hak Kebendaan, Artikel, 15 Januari 2017
- Dwi Heny Ratnawati, Pelaksanaan Akta Pelepasan Hak Sebagai Alas Hak
Untuk Mengajukan Permohonan Peralihan Dan Perubahan Hak Guna
Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Di Kabupaten Brebes,
Jurnal Akta, 2018, Vol.5, No.1.hal. 248
PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG DENGANJAMINAN
HANDPHONEYANG DILAKUKAN PADACOUNTER HANDPHONE*

Oleh :
Ihsan Fathurrahman Hizbulloh 1183020049
Program studi Muamalah
Fakultas Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl.A.H. Nasution No.105 Cibiru, Bandung
ihsanhizbulloh@gmail.com

ABSTRAK
Dengan seiringnya waktu, penyedia jasa yang memberikan
pinjaman uang semakin berkembang di lingkungan masyarakat.
Sebagai salah satu penyedia jasa pinjaman uang yang cepat dan
praktis yaitu counter handphone. Dalam memberikan pinjaman uang
tentunya terdapat barang yang dijaminkan seperti yang dilakukan
pada counter handphone yaitu salah satunya handphone. Namun
dengan berkembangnya jasa penyedia pinjaman uang saat ini, dalam
prakteknya menimbulkan banyak permasalahan saat berlangsungnya
perjanjian pinjam meminjam uang pada counter handphone.
Permasalahan yang dibahas adalah Bagaimana pelaksanaan perjanjian
pinjam meminjam uang dengan jaminan handphone yang dilakukan
pada counter handphone serta bagaimana cara penyelesaianterhadap
Debitur Wanprestasi dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan
jaminan handphone yang dilakukan pada counter handphone.
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian pinjam
meminjam uang dengan jaminan handphone yang dilakukan pada
counter handphone. Penulisan ini menggunakan jenis penelitian
hukum empiris. Hasil dari tulisan ini adalah pelaksanaan perjanjian
pinjam meminjam uang dengan jaminan handphone pada counter
handphonehanya memerlukan KTP dan barang yang ingin dijadikan
jaminan sertadalam upaya penyelesaian terhadap debitur
wanprestasi dalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut
yaitu dengan cara memberlakukan biaya ganti rugi apabila debitur
tidak dapat mengembalikannya pada waktu yang telah ditentukan.

Kata Kunci: Perjanjian, Pinjam Meminjam, Counter Handphone


*Penulisan Karya Ilmiah ini merupakan diluar ringkasan skripsi.
**Putu Mertayasa adalah Mahasiswa Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Alamat Jl. Buluh Indah Gang III No. 39 Denpasar, Korespodensi
dengan penulis melalui emailmerthayasa28@gmail.com.
***Ni Luh Gede Astariyani adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas

Udayana. Alamat Jl. Zidam Gg. Biawak No.49 Pemogan-Denpasar.


ABSTRACT
Over time, service providers that provide money loans are increasingly
developing in the community. As one of the fast and practical money
lending service providers, namely mobile counter. In providing money
loans, of course, there are items that are pledged as is done on the
handphone counter, one of which is the handphone. However, with
the development of money lending service providers today, in practice
it creates many problems during the loan lending agreement at the
handphone counter. The problem discussed is how is the implementation
of a loan agreement to borrow money with a cellphone guarantee
made at a handphone counter as well as how to settle the Default
Debtor in the loan and loan agreement with a handphone guarantee
made at the handphone counter. The purpose of this paper is to find out
the implementation of a loan agreement to borrow money with a
cellphone guarantee made at a handphone counter. This writing uses
a type of empirical legal research. The results of this paper are the
implementation of a loan agreement to borrow money with a cellphone
guarantee on a cellphone counter only requiring a KTP and goods that
want to be used as collateral and in the effort to settle the default loan
debtor in the loan lending agreement that is by applying compensation
costs if the debtor cannot return it at the appointed time.

Keywords: Agreement, Lending and Borrowing, Handphone Counter

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang terus
maju harus diakui sangat membawa dampak positif bagi masyarakat.
Sebagaian masyarakat pasti memiliki alat komunikasi seperti halnya
handphone, dimana saat ini handphone memiliki nilai ekonomi yang
cukup tinggi. Dalam pemenuhan perekonomiannya yang mendesak,
masyarakat menggunakan handphone sebagai jaminan untuk
mendapatkan pinjaman uang secara praktis dan cepat.
Sebagai salah satu agen pelaksana usaha yang memberikan
pinjaman dengan jaminan handphone yang paling praktis yaitu
pada counterhandphone. Dalam memudahkan pelaksanaan yang
mendesak dalam mendapatkan pinjaman tunai dengan cepat,
masyarakat biasanya mendatangi counter handphone untuk
melakukan perjanjian pinjam meminjam dengan memberikan
handphonemereka sebagai jaminan lalu menukarkannya dengan
sejumlah uang tunai.
Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
memuat definisi bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian akan
melahirkan lebih dari suatu perikatan, dengan kewajiban dan hak
dari adanya perikatan tersebut dapat dipaksakan secara halal. Pada
perikatan yang lahir dari Undang-Undang, hanya ada satu pihak yang
menjadi debitur dan pihak lain yang menjadi kreditur atas pelaksanaan
prestasi debitur. Di dalam membuat suatu perjanjian agar dapat
dikatakan sah dihadapan hukum, maka harus memenuhi syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak,
adanya kecapakan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu
pokok persoalan tertentu dan adanya suatu sebab tertentu yang
halal.1
Kegiatan pinjam meminjam uang sudah merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat saat ini. Secara umum pihak peminjam
meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai
kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari- hari atau untuk
memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.
Perjanjian pinjam meminjam uang menurut KUHPerdata Pasal 1754
yang berbunyi pinjam meminjam ialah
1AdityaSurya Bratha, Ngakan Ketut Dunia, A.A. Ketut Sukranatha,
2016,“Perjanjian Gadai Yang Dijamin Dengan Barang Yang Berasal Dari Hasil
Kejahatan: Studi Pada Pt. Pegadaian (Persero) Cabang Sesetan”. Kertha Semaya:
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak
yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan
yang sama pula.2
Kesepakatan dalam perjanjian pinjam meminjam uang
merupakan perwujudan dari kehendak antara para pihak yang
dikehendaki untuk dilaksanakan. Keadaan yang tidak pasti dengan
kemungkinan ketidaksesuaian isi perjanjian dengan pelaksanaan
dapat menimbulkan rasa keraguan masyarakat terhadap suatu jasa
counter handphone, maka dari itu dalam membuat perjanjian harus
menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tidak
menimbulkan kerugian antar pihak bersangkutan. Selain itu untuk
menghindari hal kemungkinan kerusakan pada benda jaminan yang
dimiliki oleh konsumen serta untuk menghindari terjadinya
wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat semula oleh pihak
konsumenselaku debitur kepada counter handphoneselaku kreditur,
maka counter handphone harus bisa memberikan perlindungan
terhadap benda yang telah dijadikan jaminan. Dengan adanya hal
tersebut maka diperlukan pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam
dana dengan jaminan handphoneyang ditawarkan pihak konsumen
dengan counter handphone berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku atas kemungkinan terjadinya wanprestasi dalam perjanjian
serta resiko akan kerusakan terhadap benda yang dijadikan jaminan,
dimana dapat menimbulkan kerugian bagi pihak konsuen.

2IGusti Ngurah Bagus Surya Kusuma, AA Gede Agung Dharma Kusuma, Desak
PutuDewi Kasih, 2013,“Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Pada Koperasi Simpan
Pinjam “Puri Sedana” Di Desa Peninjoan Peguyangan Kangin Denpasar”. Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 01, No. 1, Januari 2013,
h. 7.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang
dengan jaminan handphone yang dilakukan pada counter
handphone?
2. Bagaimanacara penyelesaianterhadapDebitur
Wanprestasi dalam perjanjian pinjam meminjam uang
dengan jaminan handphone yang dilakukan pada counter
handphone?

Tujuan Penelitian
Tujuan adalah untuk mengetahui mengenai implementasi
perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan
handphone yang dilakukan pada counter handphone.
II. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum
empiris. Soerjono Soekanto menjelaskan mengenai penelitian
hukum empiris atau sosiologis, yang terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap
efektivitas hukum. 3Penelitian hukum empiris ini dalam pembuktiannya
melakukan penelitian yakni pada counter handphone di Kota
Denpasar dengan melakukan wawancara dengan karyawan yang
sedang bertugas dan beberapa masyarakat selaku debitur. Spesifikasi
penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptis dengan
menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta yang tampak, menggunakan jenis data
primer dan sekunder yang dikumpulkan kemudian diolah secara
kualitatif.

III. Hasil dan Analisis


• PelaksanaanPerjanjian Pinjam Meminjam Uang Dengan Jaminan
HandphoneYang Dilakukan PadaCounter Handphone
Kegiatan perjanjian pinjam meminjam biasanya diikuti
dengan perjanjian jaminan, dalam hal ini perjanjian pinjam
meminjam uang pada counter handphone di Kota Denpasar.
Perjanjian pinjam meminjam uang pada counter handphone
sebagai perjanjian pokok akan diikuti dengan perjanjian jaminan
sebagai tambahan (accesoir), dimana handphone sebagai jaminannya.
Perjanjianaccesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan
dikaitkan dengan perjanjian pokok. Jadi sifat

3 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas

Indonesia, Jakarta, h. 51.


perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti
perjanjian pokok.4
Perjanjian pinjam meminjam uang dengan handphone
dijadikan sebagai jaminannya merupakan hal yang biasa dikalangan
masyarakat yang tinggal perkotaan, dijadikannya handphone
sebagai jaminan dalam transaksi pinjam meminjam uang bertujuan
untuk meyakinkan pihak yang memberikan pinjaman uang (counter
handphone) dalam hal ini disebut kreditur agar mau memberikan
pinjaman uang kepada pihak yang membutuhkan uang (konsumen)
dalam hal ini disebut debitur serta meyakinkan bahwa pihak yang
berhutang akan mengembalikan atau membayar kembali pinjaman
uang kepada pihak kreditur.5
Pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam dengan handphone
sebagai jaminannya yaitu pihak debitur akan menjadikan handphone
miliknya sebagai jaminan atas utangnya kepada pihak kreditur dan
setelah itu pihak kreditur akan menyerahkan uang yang dibutuhkan
oleh pihak debitur tersebut. Inti penting dalam transaksi pinjam
meminjam dengan jaminan handphone ini adalah terletak pada
kesepakatan kedua belah pihak, dimana pihak counter handphone/
kreditur akan menafsir nilai atau harga yang akan diberikan sebagai
nilai pinjaman dengan jaminan handphone tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan I
Komang Yogi Ariyasa Putra selaku debitur (pada tanggal 26 bulan Mei
tahun 2020) bahwaproses pinjam meminjam diakuinyatidak

4H. Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Ed. 1,


Cet 4, PT. Rajagrafindo Persada, h. 29-30.
5 Komang Gede Palguna Gautama, I Nengah Suantra, 2018, “Akibat

Hukum Dan Upaya Penyelesaian Atas Musnahnya Objek Jaminan Fidusia Dalam
Perjanjian Kredit”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 05, No. 02, Agustus
2018, h. 5.
rumit dan tidak perlu repot-repot mempersiapkan berbagai
persyaratan untuk administrasi. Modelnya memang hampir sama
seperti perjanjian pinjam meminjam pada PT. Pegadaian (Persero),
namun cenderung lebih mudah dengan persyaratan hanya berupa
fotokopi KTP saja dan barang yang ingin dijadikan jaminan yaitu
handphone.
Setelah pengecekan barang jaminan oleh juru tafsir, pihak
kreditur akan menawarkan sejumlah uang yang bisa diberikan sesuai
dengan kondisi handphone yang dijadikan jaminan. Juru tafsir disini
ialah mereka yang bertugas atau yang berjaga pada saat dimana
seseorang ingin melakukan pinjaman pada counter handphone
tersebut. Berdasarkan wawancara dengan Gede Andi karyawan
Selancar Phone (pada tanggal 29 bulan April tahun 2020) sebelum
adanya kesepakatan mengenai nilai pinjaman, pihaknya juga
memastikan kepada konsumen bahwa barang yang dijadikan jaminan
bukan merupakan barang curian dengan meminta box dari
handphone tersebut serta mengecek IMEI dari handphone tersebut,
karena pihak kreditur tidak ingin berurusan dengan polisi dengan
tuduhan sebagai penadah barang curian.
Setelah adanya kesepakatan nilai pinjaman akan terjadi
perjanjian tidak tertulis, dimana pihak kreditur akan memberikan
sebuah formulir atau nota yang harus diisi dan ditandatangi oleh pihak
debitur. Pada perjanjian pinjam meminjam uang dimana berdasarkan
wawancara dengan Intan Juliatikaryawan Kian Cellular (pada tanggal
30 bulan April tahun 2020) terdapat bunga dengan jumlah 5% dari
total yang telah diperjanjikan setiap per satu minggu danmasa
penebusannya pun dengan jangka waktu tidak terlalu lama yaitu 30
hari.
Mengenai perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan
handphone hampir sama dengan praktek perjanjian
gadai. Namun terdapat perbedaan dalam kedua perjanjian tersebut
yaitu handphone yang dijadikan jaminan, dalam perjanjian gadai yang
telah dijanjikan dengan ketetapan waktu dalam perjanjian gadai
apabila terjadi kelalaian si penerima gadai maka dapat dituntut untuk
dialihkan barang gadai tersebut agar menjadi milik si pemegang gadai.
Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan
handphone yang dapat dituntut kembali hanya berupa uang
pinjaman saja beserta bunganya (apabila awal transaksi disepakati
oleh kedua belah pihak), karena jaminan handphone dalam
perjanjian pinjam meminjam hanya sebagai benda yang ikut
bertanggung jawab atas hutang bukan sebagai obyek dalam transaksi
itu sendiri.

• Cara PenyelesaianTerhadapDebitur WanprestasiDalam


Perjanjian Pinjam Meminjam UangDengan Jaminan
Handphone Yang Dilakukan PadaCounter Handphone
Setiap perjanjian tidak selalu berjalan dengan lancar sesuai
dengan kesepakatan,dimana sering terjadi masalah-masalah yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian pinjam meminjam pada
counter handphone di Kota Denpasar. Dalam perjanjian ini yang pihak
yang sering melakukan wanprestasi yaitu pihak debitur. Wanprestasi
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap perjanjian utang piutang
sebagai sumber dari persengketaan yang terjadi antara kreditur
dengan debitur.6 Bentuk-bentuk wanprestasi dapat digolongkan
menjadi tiga bentuk, yaitu debitur tidak dapat memenuhi prestasi
sama sekali,

6 Putu Gandiyasa Wijartama, Ibrahim R., 2018, “Cara-Cara Penagihan


Utang Dalam Perspektif Hukum Perdata”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol.
04, No. 02, Oktober 2018, h. 8.
debitur terlambat dalam memenuhi wanprestasi, dan debitur
berprestasi tidak sebagaimana mestinya.7
Tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur dapat
menimbulkan suatu akibat hukum, dimana akibat tersebut berdampak
bagi para pihak yang membuatnya dimana ketentuan diatur dalam
Pasal 1338 KUHPerdata. Pada suatu perikatan yang menimbulkan
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang salah untuk
mengganti kerugian tersebut dimana ketentuan diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata. 8 Akibat-akibat yang diatur oleh hukum terhadap
perjanjian karena wanprestasi adalah berupa sanksi-sanksi hukum
yang penerapannya terdapat dalam perjanjian yang penerapannya
terdapat dalam KUHPerdata, sebagai peraturan formal yang
mengatur perihal perjanjian- perjanjian beserta aspek yuridis
lainnya.
Pihak yang dirugikan umumnya meminta pihak yang
melakukan wanprestasi untuk mengganti kerugian yang diderita.
Tuntutan ganti rugi yang dilakukan oleh kreditur antara lain
menyangkut penggantian biaya, rugi dan bunga sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 1243 KUHPerdata.9
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi
dalam suatu perjanjian dibagi menjadi lima, yaitu: Debitur diharuskan
membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur.

7Sedyo Prayogo, 2016, “Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan


Pembuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian”. Jurnal Pembaharuan Hukum,
Vol. 03, No. 02, h. 283.
8I Gusti Agung Manik Juliantari, I Gusti Nyoman Agung, I Nyoman Mudana,

2015, “Tanggung Jawab Koperasi Simpan Pinjam Atas Hilangnya Sertifikat Hak Milik
Atas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan”. Kertha Negara: Journal Ilmu
Hukum, Vol. 03, No. 03, September 2015, h. 3.
9Togi Pangaribuan, 2019, “Permasalahan Penerapan Klausula Pembatasan

Pertanggungjawaban Dalam Perjanjian Terkait Hak Menuntut Ganti Kerugian


Akibat Wanprestasi”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 49, No. 02, h. 147.
• Dalam perjanjian timbal balik wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan
atau memutuskan perjanjian lewat hukum.
• Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya
wanprestasi. Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk
memberikan sesuatu.
• Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim.
Debitur terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan
dalam perkara.
• Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau
membatalkan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti
kerugian.10
Pada perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan
handphone yang dilakukan pada counter handphone, debitur yang
melakukan wanprestasi dapat menimbulkan kerugian terhadap
kreditur dalam hal ini pihak counter handphone. Berdasarkan
wawancara dengan I Nyoman Guna Arta Yasa selaku debitur (pada
tanggal 22 bulan April tahun 2020), apabila pihak debitur tidak dapat
mengembalikan uang pinjaman pada jangka waktu yang telah
ditentukan maka akan diberikan perpanjangan masa penebusan
dengan syarat datang ke counter handphone tersebut dengan hanya
melakukan pembayaran biaya ganti rugi berupa bunga yang
diperjanjikan.Komang Juniartha selaku debitur (hasil wawancara pada
tanggal 22 bulan April tahun 2020) pun menambahkan bahwa
perpanjang masa penebusan dapat dilakukan dengan adanya biaya
ganti rugi berupa bungatambahan sebesar 5% dari total yang telah
diperjanjikan per satu minggu.

10I Made Aditia Warmadewa, I Made Udiana, 2016, “Akibat Hukum

Wanprestasi Dalam Perjanjian Baku”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol.
05, No. 02, April 2016, h. 5.
Berdasarkan wawancara dengan Hesti Andani karyawanIantara
Cellular (pada tanggal 26 bulan Mei tahun 2020), masa perpanjangan
penebusan hanya akan bertahan selama 2 bulan dan apabila dalam
waktu tersebut pihak debitur tidak dapat mengembalikan uang
pinjaman maka barang yang dijadikan jaminan dalam hal ini
handphone tersebut akan dilelang. Lain hal jika pihak debitur tidak
dapat menebus barang jaminannya dalam jangka waktu 14 hari dan
tanpa pemberitahuan maka akan dikenakan biaya ganti rugi sesuai
dengan bungayang telah diperjanjikan dan masa toleransi
penyimpanan barang jaminan hanya sampai dengan 1 bulan setelah
masa jatuh tempo dan setelah itu barang jaminan akan dilelang.
Penyelesaian masalah pinjam meminjam uang terhadap
debitur yang wanprestasi harus dilakukan dengan cara yang lebih baik
yaitu dengan memberikan peringatan sebelum tanggal jatuh tempo
dari perjanjian pinjam meminjam uang ini. Dalam hal ini peringatan
dapat dilakukan dengan cara mengirimkan sms pemberitahuan
kepada debitur, sehingga debitur tidak lalai akan prestasinya.
IV. PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang dengan
jaminan handphone yang dilakukan pada counter handphonedi Kota
Denpasar hanya memerlukan barang yang ingin dijadikan jaminan
dalam hal ini yaitu handphonebeserta fotokopi KTP dan barang
jaminan akan ditafsir nilai atau harga yang akan diberikan sebagai nilai
pinjaman oleh juru tafsir. Cara penyelesaian debitur wanprestasi yaitu
dengan memberikan biaya ganti rugi berupa bunga sebesar 5% per
minggu bagi debitur yang tidak dapat mengembalikan pinjaman pada
waktu yang telah ditentukan, namun apabila debitur tidak
memberikan pemberitahuan bahwa barang jaminan tidak dapat
ditebus maka dikenakan biaya ganti rugi berupa bunga yang telah
diperjanjiakan dan pemberian masa toleransi hanya 1 bulan setelah
masa jatuh tempo.

Saran
Sebaiknya para pihak yang terlibat dalam perjanjian pinjam
meminjam uang dengan jaminan handphone dapat melaksanakan
kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, hal ini bertujuan agar tidak adanya pihak yang merasa dirugikan
dalam hal terjadinya ingkar janji atau mangkir dari kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Salim HS, H., 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Ed.
1, Cet 4, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas


Indonesia, Jakarta.

Jurnal:
Aditya Surya Bratha, Ngakan Ketut Dunia, A.A. Ketut Sukranatha,
2016, “Perjanjian Gadai Yang Dijamin Dengan Barang Yang
Berasal Dari Hasil Kejahatan : Studi Pada PT. Pegadaian (Persero)
Cabang Sesetan”, Kertha Semaya, Vol. 04, No. 03, April 2016, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

I Gusti Agung Manik Juliantari, I Gusti Nyoman Agung, I Nyoman


Mudana, 2015, “Tanggung Jawab Koperasi Simpan Pinjam Atas
Hilangnya Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Yang Telah Dibebani Hak
Tanggungan”, Kertha Negara, Vol. 03, No. 03, September 2015,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

I Gusti Ngurah Bagus Surya Kusuma, A.A. Gede Agung Dharma


Kusuma, Desak Putu Dewi Kasih, 2013, “Perjanjian Pinjam
Meminjam Uang Pada Koperasi Simpan Pinjam “Puri Sedana” Di
Desa Peninjoan Peguyangan Kangin Denpasar”, Kertha Semaya, Vol.
01, No. 01, Januari 2013, Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Bali.

I Made Aditia Warmadewa, I Made Udiana, 2016, “Akibat Hukum


Wanprestasi Dalam Perjanjian Baku”, Kertha Semaya, Vol. 05, No.
02, April 2016, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Komang Gede Palguna Gautama, I Nengah Suantra, 2018, “Akibat


Hukum dan Upaya Penyelesaian Atas Musnahnya Objek Jaminan
Fidusia Dalam Perjanjian Kredit”, Kertha Semaya, Vol. 05, No. 02,
Agustus 2018, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
Putu Gandiyasa Wijartama, Ibrahim R., 2018, “Cara-Cara Penagihan
Utang Dalam Perspektif Hukum Perdata”, Kertha Semaya, Vol. 04,
No. 02, Oktober 2018, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Bali.

Sedyo Prayogo, 2016, “Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan


Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian”, Vol. 03, No. 02, Jurnal
Pembaharuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung.

Togi Pangaribuan, 2019, “Permasalahan Penerapan Klausula


Pembatasan Pertanggungjawaban Dalam Perjanjian Terkait Hak
Menuntut Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi”, Vol. 49, No. 02, Jurnal
Hukum & Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Diterjemahkan oleh Soedharyo Soimin, 2013, Sinar Grafika Offset,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai