Anda di halaman 1dari 18

Januari,

2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK


IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK SEBAGAI
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN SEWA-BELI
DALAM EKONOMI SYARIAH
Oleh : Firdaus Muhammad Arwan1

A. PENDAHULUAN
Sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian campuran antara
jual-beli dan sewa menyewa, namun dalam praktek seringkali disamakan
dengan leasing. Para ulama menilai perjanjian sewa-beli ini merupakan
bentuk perjanjian yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah
karena dianggap mengumpulkan dua kad dalam satu akad yang dilarang
oleh Rasulullah.
Oleh karena perjanjian ini telah marak dipraktikkan oleh masyarakat
dan dipandang banyak manfaatnya, maka perlu dicarikan solusinya agar
perjanjian seperti itu tetap dapat dilaksanakan, namun tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Konstruksi hukum yang ditawarkan oleh
para ahli hukum Islam melalui apa yang disebut “Ijarah Muntahiyah Bit
Tamlik” atau “ Iajarah wa Iqtina”
Di Indonesia telah ada ketentuan yang mengatur tentang Ijarah
Muntahiyah Bit Tamlik, yaitu fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dari kedua ketentuan tersebut
terdapat perbedaan yang cukup prinsipil, sehingga perlu dilakukan
pengkajian agar diperoleh pemahaman yang benar yang sejalan dengan
prinsip-prinsip syariah.

B. ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH


Untuk membahas permasalahan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik terlebih
dahulu perlu dikemukakan tentang sewa-beli serta pandangan para ulama
terhadap hukum sewa-beli.

1. Sewa Beli
Sewa-beli (Belanda: huurkoop, Inggris: hire purchase) merupakan
perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa yang tidak
diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul dari praktek
karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan untuk

1
Hakim PTA Pontianak
Page | 1
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
memilki barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu
Subekti2 dan Sri Gambir Melati Hatta3 mengatakan bahwa niat utama
dalam sewa-beli adalah untuk memperoleh hak milik barang dan bukan
sekedar memberikan hak memanfaatkan barang.
Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya
sudah diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru
berpindah setelah seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam
masa angsuran, hak kepemilikan atas benda tersebut masih tetap pada
penjual, sedangkan pembayarannya selama masa angsuran dianggap
sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah dilunasinya
seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, di mana
dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angsuran belum
dilunasi, akan tetapi objek perjanjian sudah menjadi milik pembeli
sejak perjanjian itu ditutup.
Akibat dari perbedaan kepemilikan itu berbeda pula akibat
hukumnya. Dalam jual beli angsuran, pembeli bebas bertindak atas
barang tersebut, misalnya: menjual, menggadaikan, menyewakan dan
lain-lain karena sudah menjadi miliknya, sedangkan dalam sewa-beli
pembeli (debitur) tidak diperbolehkan menjual atau bertindak hukum
lain yang dipersyaratkaan menjadi pemilik barang. Jika hal itu
dilakukan, maka debitur telah melakukan tindak pidana penggelapan.
Praktik yang terjadi saat sekarang, sewa-beli seringkali disamakan
dengan leasing (financing-leas), padahal antara keduanya berbeda. Sri
Gambir Melati Hatta 4 mengemukakan, leasing merupakan perjanjian
berkenaan dengan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang, baik secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating-lease)
maupun sewa guna usaha dengan opsi (financing-lease) untuk
digunakan atau dimanfaatkan oleh lessee (penyewa) dalam jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Ada dua jenis leasing yakni operating-lease dan financing-lease.
Perbedaan antara keduanya, dalam operating-lease penyewa tidak
diberikan hak opsi, sedangkan dalam financing-lease penyewa

2
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 51
3
Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung, Alumni. hal. 3
4
Sri Gambir Melati Hatta, Ibid. hal.18-19
Page | 2
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
diberikan hak opsi untuk membeli dengan harga murah atau dengan
kondisi yang ringan setelah berakhirnya masa perjanjian.5
Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa,
maka selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor.
Lessee semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau
6
menurut istilah Subekti sebagai “pemilik ekonomis” karena
mendapatkan manfaat dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh
lessor.
Perbedaan yang menyolok antara leasing dengan sewa-beli terletak
pada peralihan hak milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai
akhir perjanjian tetap di tangan lessor, sedangkan dalam sewa-beli
kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sejak dilakukan
pembayaran angsuran terakhir. Ketentuan ini berbeda dengan praktik
yang terjadi di masyarakat, di mana pengertian leasing telah
mengalami pergeseran yang disamakan dengan sewa-beli.
7
MR Kurnia mengemukakan, dalam realitasnya, operating-lease
merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan
manfaat barang yang disewa, sedangkan barangnya itu sendiri tetap
merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis ini berpadanan
dengan konsep ijarah (sewa menyewa). Adapun financing-lease
merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang tersebut
berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa
akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang
tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing)
dan akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa
akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang
tersebut menjadi milik penyewa.
Memperhatikan apa yang dikemukakan Kurnia di atas, maka
pengertian leasing bukan saja bergeser kepada bentuk sewa-beli,
namun sudah bergeser kepada jual beli angsuran. Dalam perjanjian
perolehan mobil atau motor yang didasarkan atas perjanjian sewa-beli
atau leasing, pada umumnya BPKB dan STNKnya sudah atas nama

5
Sri Gambir Melati Hatta, ibid, R. Subekti, Loc cit
6
R. Subekti, Ibid.,
7
Kurnia, Hukum Seputar Leasing (htp://ayok.wordpress.com).
Page | 3
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
pembeli. Ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas barang sudah
beralih kepada pembeli.
Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang
tidak diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan
8
debitur (pembeli). Sri Gambir dalam penelitiannya menemukan
berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran
angsuran, antara lain:
1) Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya
dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa;
2) Penjual berhak mengenakan denda;
3) Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas
sisa angsuran dan denda;
4) Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas
barang;
5) Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya
pasal 1266 dan 1267);
6) Perjanjian bernilai eksekutorial.
Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain,
misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang,
penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang,
penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang
objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain.9
Memperhatikan karakter perjanjian perolehan mobil atau motor
melalui sewa beli serta sebagaimana dikemukakan di atas, serta
adanya klausul-kalusul seperi itu mengakibatkan tidak jelasnya bentuk
perjanjian. Apabila dikategorikan sebagai sewa-beli atau leasing,
tentunya kepemilikan barang masih atas nama penjual tidak atas nama
pembeli, namun kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama
pembeli. Bila dikategorikan sebagai jual beli angsuran, tentunya tidak
dibenarkan adanya klausul-kalusul yang melarang pembeli yang sudah
menjadi pemilik barang bertindak atas barang miliknya, kecuali jika
barang itu dijadikan jaminan.

8
Sri Gambir Melati Hatta, Op cit.hal.170-189.
9
Ibid
Page | 4
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
10
Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya antara lain:
putusan Nomor 1243K/Pdt/1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor
935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 menyatakan bahwa
perjanjian sewa-beli kendaraan di mana STNK dan BPKB-nya sudah
atas nama pembeli, maka kepemilikannya sudah beralih kepada
pembeli. Putusan ini memberikan pengertian bahwa perjanjian
semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli agsuran.

2. Pandangan Para Ulama Tentang Hukum Sewa Beli


Farid Ma‟ruf 11 dan MR. Kurnia 12 menyatakan bahwa perjanjian ini
dilarang oleh Islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad yang menyatakan: “Naha Rasulullahi SAW ‘an
bi’ataini fi bi’atin au shafqataini fi ‘aqdin wahidin” (Rasulullah melarang
dua akad dalam suatu proses akad tertentu)
13
Maksud hadits ini menurut MR. Kurnia adalah tidak boleh
seseorang melakukan dua akad yang berbeda dalam suatu proses
muamalah tertentu, misalnya, seseorang menyatakan “Saya menjual
perusahaan ini pada Anda dengan syarat Anda menikahkan putri Anda
kepada saya”, atau “Saya menjual barang ini dengan harga 10 juta
rupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah
jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang tersebut tetap
menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap sebagai
sewa barang selama Anda menggunakannya”.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan
mengumpulkan dua akad dalam satu akad sebagaimana dinyatakan
dalam hadits tersebut. Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah melarang
mengumpulkan akad bai‟ (jual beli) dengan ijarah (sewa menyewa),
sementara Imam Malik membolehkan mengumpulkan antara
keduanya, tetapi melarang untuk selainnya.14
15
Wahbah Zuhaily mengemukakan, Mazhab Hanabilah juga
melarang mengumpulkan dua akad dalam satu akad, seperti penjual

10
Sri Gambir Melati Hatta, Ibid. hal. 207.
11
Farid Ma‟ruf, Leasing Sepeda Motor, (www.easzysmart.com.)
12
Kurnia, (htp://ayok.wordpress.com).
13
Kurnia, (htp://ayok.wordpress.com).
14
Ibnu Rusyd, 1990, Bidayatul Mujtahid, jilid III (diterjemahkan oleh M.A Abdurrahman dan
A.Haris Abdullah), Semarang, Asy- Syifa‟, hal. 213.
15
Wahbah Zuhaily,1989, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, jilid IV, Beirut, Dar al-Fikr, hal. 207.
Page | 5
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
mensyaratkan agar pembeli menyewakan rumah kepada seseorang
atau menghibahkan sesuatu kepadanya, dan contoh-contoh lainnya.
Akad seperti itu menurut mazhab Hanabilah termasuk akad yang
mengandung syarat yang dilarang oleh syara.
Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qiyyim 16 membolehkan membuat segala
syarat dalam akad asalkan kedua belah pihak sepakat, dan syarat itu
tidak menghalakan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Mereka beralasan, hukum asal dari akad dan syarat adalah ibahah atau
jawaz (boleh) sampai ada dalil yang melarangnya demi menjaga
kemaslahatan kehidupan yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut
mereka, mengharamkan akad dan syarat yang sudah biasa terjadi di
masyarakat tanpa adanya dalil syara‟, berarti telah mengharamkan
sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah.
Dasar hukum yang mereka pegangi adalah firman Allah surah an-
Nissa ayat 29: “Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu”, serta hadits Rasul yang menyatakan: “Perjanjian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. Atas
janji yang telah mereka sepakati itu, kedua belah pihak wajib
memenuhinya sebagaimana diperintahkan Allah dalam surah al-Maidah
ayat 1: “Ya ayyuhallalazina amanu aufuu bil „uqud”. (wahai orang-
orang yang beriman, penuhilah janji).
Pengumpulan dua akad sebagaimana dicontohkan oleh Wahbah
Zuhaily di atas, tidak sama dengan pengumpulan dua akad yang terjadi
dalam sewa-beli. Akad bai‟ yang dikumpulkan dengan akad ijarah atau
hibah merupakan dua akad yang berbeda dan dilaksanakan secara
sendiri-sendiri dalam waktu yang berbeda pula. Akad bai‟ merupakan
akad pokok sedangkan akad ijarah atau akad hibah merupakan akad
tambahan sebagai syarat (digantungkannya) akad pokok.
Sedangkan dalam sewa-beli, kedua akad itu dicampur menjadi satu
16
Wahbah Zuhaily, Ibid.
Page | 6
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
dan dilaksanakan secara sekaligus dalam satu aktivitas muamalah.
Pembayaran yang dilakukakan selama masa angsuran dapat berubah
fungsi tergantung dari kemampuan pembeli melunasi angsurannya.
Jika pembeli tidak dapat melunasi angsurannya, maka pembayaran
tersebut berfungsi sebagai sewa, tetapi jika mampu melunasinya,
berfungsi sebagai pembayaran harga jual beli.
Adanya karakter sewa-beli seperti itu menjadikan bentuk akad
dalam sewa-beli tidak jelas karena tidak termasuk kategori bai‟
maupun ijarah, dan tidak pula termasuk kategori akad bersyarat yang
dibolehkan. Dengan tidak jelasnya bentuk akad tersebut, kiranya akad
sewa-beli dapat dikategorikan sebagai akad yang mengandung
”gharar”.
Selain itu, perjanjian sewa-beli yang seringkali disertai dengan
klausul-klausul yang meniadakan hak-hak pembeli atau yang
mengeksploitir pembeli serta terjadinya ketidakseimbangan kedudukan
antara penjual dan pembeli. Dengan adanya klausul seperti itu, maka
sewa-beli dapat dikategorikan sebagai akad yang mengandung syarat
yang dilarang oleh syara‟ dan bisa juga dikategorikan sebagai akad
yang mengandung “ghubn”.

3. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik

a. Pengertian Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik

Ijarah muntahiyah bit tamlik disebut juga ijarah wa iqtina. Habib


17
Nazir dan Muhammad Hasanuddin memberikan makna ijarah
muntahiyah bit tamlik dengan leasing disertai opsi beli (financing-
lease), sedangkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) cenderung
mengartikannya sebagai sewa-beli dalam bentuk khusus.
Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin membagi ijarah ke
dalam dua jenis yaitu operating-ijarah dan Ijarah muntahiyah bit
tamlik. Operating-ijarah menurut mereka merupakan ijarah yang
didasarkan atas periode/masa sewa yang obyeknya biasanya
berupa peralatan. Apabila setelah berakhirnya masa perjanjian itu

17
Habib Nazir dan Muhammad Hasannuddin, 2004, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan
Syariah, Bandung, Kaki Langit, hal. 246.
Page | 7
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
terdapat pengalihan hak kepemilikan atas dasar opsi beli, maka
perjanjian itu disebut ijarah muntahiyah bit tamlik18
Berdasarkan pengertian ini, maka opsi beli menurut Habib Nazir
dan Muhammad Hasanuddin hanya ada dalam ijarah muntahiyah bit
tamlik, sedangkan dalam operating-ijarah tidak ada opsi beli. Lebih
lanjut mereka menjelaskan bahwa terjadinya jual beli dalam ijarah
muntahiyah bit tamlik digantungkan dalam dua keadaan yaitu harus
ada opsi beli dan adanya kemauan penyewa untuk membeli.
Meskipun dalam akad itu ada opsi beli, tetapi jika penyewa tidak
ingin membeli, maka jual beli tidak akan terjadi.
Dengan demikian, ijarah muntahiyah bit tamlik menurut Habib
Nazir dan Muhammad Hasanuddin identik dengan financing-lease,
sedangkan operating-ijarah identik dengan operating-lease.

b. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Menrut Fatwa DSN


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cq. Dewan Syari‟ah Nasional
(DSN) telah mengeluarkan fatwa tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah
bit Al-tamlik sebagaimana tertuang dalam fatwanya Nomor:
27/DSN-MUI/III/2002. Latar belakang timbulnya fatwa ini dapat
dibaca dalam konsiderannya yang menyatakan:
1) Bahwa dewasa ini dalam masyarakat telah umum dilakukan
praktik sewa-beli, yaitu perjanjian sewa menyewa yang disertai
dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa,
kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
2) Bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
tersebut, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memerlukan akad
sewa-beli yang sesuai dengan Syariah.
3) Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang
perlu menetapkan fatwa tentang sewa-beli yang sesuai dengan
syariah, yaitu akad al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik atau al-
ijarah wa al-iqtina untuk dijadikan pedoman.
Bagian pertama fatwa ini mengatur ketentuan umum, bahwa
akad al-ijarah al-muhtahiyah bi al-tamlik boleh dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:

18
Habib Nazir dan Muhammad Hasannuddin, Ibid. hal. 250
Page | 8
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
a) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah (Fatwa
DSN nomor 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-
ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik.
b) Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahiyah bi al-
tamlik harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
c) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Selanjutnya pada bagian kedua mengatur ketentuan khusus
tentang al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik yaitu:
a) Pihak yang melakukan al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik harus
melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan
kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat
dilakukan setelah masa ijarah selesai.
b) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad
ijarah adalah wa‟d, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji
itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Dalam fatwa DSN ini ada dua hal yang menarik untuk dicermati
yaitu: (1) pemindahan hak milik bisa dilakukan melalui jual beli
atau melalui pemberian, dan (2) janji pemindahan hak milik
tersebut sifatnya tidak mengikat.
Pemindahan hak milik melalui jual beli sama dengan opsi beli
dalam financing-ijarah atau ijarah muntahiyah bit tamlik yang
dikemukakan oleh Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin, dan
sama pula dengan financing-lease dalam hukum perdata,
sedangkan pemindahan hak milik melalui pemberian merupakan
konstruksi hukum baru yang selama ini tidak dikenal dalam hukum
perdata.
Pemindahan hak milik melalui pemberian, “barangkali“
didasarkan kepada suatu pemikiran, oleh karena dalam sewa-beli
niat utamanya untuk memiliki benda dan harga yang dibayarpun
harga jual-beli, maka konstruksi hukum yang dipandang tepat
untuk pemindahan kepemilikan adalah melalui pemberian. Dengan
cara ini, maka pembeli tidak perlu lagi membayar harga apapun dan
benda akan menjadi milik debitur.
Perbedaan yang menyolok antara sewa-beli dan ijarah
Page | 9
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
muntahiyah bit tamlik versi DSN adalah dalam sewa-beli antara
akad sewa dan akad beli dicampur dalam satu akad, sedangkan
dalam ijarah muntahiyah bit tamlik masing-masing dari dua akad itu
dipisah satu sama lain dan berdiri sendiri serta dilaksanakan dalam
waktu yang berbeda. Melalui konstruksi hukum demikian, maka
fatwa DSN telah mampu menghilangkan sifat mengumpulkan dua
akad dalam satu akad yang dilarang oleh Rasulullah.
Permasalahan lain yang perlu dicermati adalah mengenai janji
pemindahan hak milik yang sifatnya tidak mengikat. Ketentuan ini
mengundang penafsiran ganda. Ketidakterikatan itu bisa dimaknai
tidak terikat untuk membuat janji pemindahan hak milik, dan bisa
dimaknai tidak terikat untuk melaksanakan janji yang sudah
disepakati dalam akad.
Terhadap makna pertama yaitu tidak mengikat untuk membuat
janji pemindahan hak milik, kiranya ketentuan ini tidak sejalan
dengan maksud diadakannya akad yakni diakhiri dengan
kepemilikan (muntahiyah bit tamlik). Apalah artinya membuat akad
ijarah muntahiyah bit tamlik jika tidak diakhiri dengan pemindahan
hak kepemilikan.
Adapun terhadap makna kedua yakni tidak terikat untuk
melaksanakan janji yang sudah disepakati, ketentuan seperti ini
tidak lazim dalam hukum perjanjian karena telah menjadi asas
hukum bahwa setiap perjanjian yang dibuat dipandang sebagai
undang-undang yang selalu mengikat dan harus ditaati.
Keterikatan para pihak terhadap janji telah menjadi ketentuan
hukum universal dan dalam hukum Islam telah ditunjuki secara
tegas dalam surah al-Maidah ayat 1: “Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah janji” serta hadits Rasulullah yang menyatakan:
Orang Islam itu terikat akan janji yang mereka buat.
Jika suatu janji boleh tidak dilaksanakan, maka janji itu tidak
ada gunanya dan akan kehilangan makna dan tujuannya, bahkan
dapat menimbulkan kezaliman. Penyewa yang sejak semula berniat
untuk memiliki benda dan telah melunasi seluruh angsurannya,
sudah pasti merasa dirugikan (dizalimi) jika ternyata ia tidak dapat
memiliki barang karena pemberi sewa tidak mau menghibahkannya
Page | 10
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
dengan alasan janji itu tidak mengikat. Pelaksanaan akad seperti ini
tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya akad yakni diakhiri dengan
pemindahan hak milik (muntahiyah bit tamlik).
Memperhatikan permasalahan-permasalahan di atas, kiranya
lebih tepat jika janji itu bersifat mengikat. Janji tersebut
dikonstruksikan sebagai janji pihak pemberi sewa kepada penyewa
untuk memberikan opsi beli atau menghibahkan kepadanya setelah
berakhirnya masa ijarah. Janji opsi beli merupakan konstruksi
hukum leasing (finacing-lease), sedangkan janji menghibahkan
merupakakn konstruksi hukum sewa-beli. Jani-janji itu secara tegas
harus dituangkan dalam akad ijarah muntahiyah bit tamlik sehingga
pemberi sewa terikat untuk memenuhinya.
Mengenai cara penyelesaian apabila penyewa tidak mampu
melunasi angsuran, fatwa DSN tidak mengatur secara rinci, namun
jika memperhatikan bagian pertama nomor 3 dari fatwa tersebut
terdapat ketentuan umum yang menyatakan: hak dan kewajiban
setiap pihak harus dijelaskan dalam akad, memberi kebebasan bagi
para pihak untuk menyepakati cara penyelesaiannya. Tentang cara
penyelesaian ini akan penulis kemukakan dalam pembahasan di
bawah nanti.

c. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah (KHES)
Dalam KHES akad ijarah muntahiyah bit tamlik selalu diakhiri
dengan pemindahan hak milik melalui jual beli tanpa digantungkan
adanya janji atau klausul dalam akad seperti ketentuan dalam fatwa
DSN atau pendapat Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin.
Artinya, ketika akad ijarah muntahiyah bit tamlik dibuat, kedua
belah pihak sudah dengan sendirinya (dianggap) sepakat untuk
mengakhirinya dengan pemindahan hak milik melalui jual beli.
Kesimpulan ini diperoleh dari pemahaman bunyi pasal 323.
Pasal 323 KHES menyebutkan: “Dalam akad ijarah muntahiyah
bit tamlik suatu benda antara mu‟jir/pihak yang menyewakan
dengan musta‟jir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian
ma‟jur/obyek ijarah oleh musta‟jir/pihak penyewa”. Dari kalimat

Page | 11
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
“....diakhiri dengan pembelian...” serta tidak adanya ketentuan
yang mengatur tentang opsi beli memberikan pengertian bahwa
setiap ijarah muntahiyah bit tamlik menurut KHES selalu diakhiri
dengan pembelian.
Kepastian diakhirinya dengan jual beli dikuatkan oleh bunyi
pasal 326 yang menyatakan: “Harga ijarah dalam akad ijarah
muntahiyah bit tamlik sudah termasuk dalam pembayaran benda
secara angsuran”. Bunyi pasal ini memberi arti bahwa harga yang
dibayar oleh musta‟jir meliputi dua harga sekaligus yakni harga
ijarah dan harga bai‟. Oleh karena itu, ketika musta‟jir sudah
melunasi seluruh angsuran berarti ia telah membayar seluruh harga
bai‟.
Memperhatikan cara pembayaran sebagaimanan ketentuan pasal
326 di atas, ada permasalahan yang perlu mendapat perhatian
antara lain:
1) Apakah pembayaran dua harga secara bersama-sama dan
sekaligus (harga ijarah dan harga bai‟) tidak memberi arti bahwa
dalam akd ijarah muntahiyah bit tamlik ini telah mengumpulan
dua aktivitas muamalah dalam satu aktivitas muamalah.
2) Apakah pembayaran harga angsuran benda atau harga bai‟
sebelum adanya akad bai‟, tidak berarti telah mewajibkan suatu
prestasi sebelum adanya akad. Apakah yang demikian ini sejalan
dengan prinsip-prinsip akad.
3) Ketika dibuat akad bai‟ untuk memindahkan kepemilikan pada
akhir masa ijarah, harga mana yang ditetapkan dalam akad bai‟
pada akhir masa ijarah, apakah seluruh harga yang telah dibayar
meliputi harga ijarah dan harga bai‟, atau ada perhitungan lain.
Jika yang ditetapkan dalam akad bai‟ itu seluruh harga yang
telah dibayar, akan semakin kuat kesan pengumpulan dua akad
dalam satu akad. Sedangkan jika ada perhitungan lain, tentunya
diperlukan ketentuan yang mengatur agar akad menjadi jelas.
Permasalahan lainnya adalah tentang cara penyelesaian ketika
musta‟jir tidak mampu melunasi sisa angsuran. Pasal 327 ayat (2)
pada pokoknya menyatakan bahwa cara penyelesaiannya dapat
ditempuh melalui perdamaian dan/atau melalui pengadilan.
Page | 12
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
Selanjutnya pasal 328 menyatakan, pengadilan dapat menjual
obyek ijarah muntahiyah bit tamlik berdasarkan harga pasar untuk
melunasi utang penyewa. Apabila harga jualnya melebihi sisa utang,
maka kelebihannya dikembalikan kepada musta‟jir (pasal 329 ayat
1), sedangkan jika harga jualnya lebih kecil dari sisa utang, maka
musta‟jir harus membayar sisanya (pasal 329 ayat 2). Apabila
penyewa tidak mampu membayar, pengadilan dapat
membebaskannya atas izin mu‟jir (pasal 329 ayat 3).
Pemberian hak semacam itu telah medudukkan musta‟jir sebagai
pemilik (sebagian) benda, padahal tidak ada alas hak yang
mendasari kepemilikan tersebut. Dalam hukum ijarah kedudukan
musta‟jir tidak lain kecuali hanya sebagai penikmat manfaat ma‟jur,
bukan sebagai pemilik. Oleh karena bukan sebagai pemilik,
tentunya musta‟jir tidak berhak atas hasil penjualan benda tersebut.
Cara penyelesaian sebagaimana diatur dalam pasal 329 ayat (1)
sebenarnya sangat tepat dan adil jika dikontruksikan sebagai
kesepakatan yang disebutkan secara tegas dalam perjanjian
sebagaimana yang dimaksud oleh fatwa DSN, bukan timbul dengan
sendirinya karena hukum. Atas dasar kesepakatan inilah musta‟jir
diberikan hak menerima pengembalian sisa. Kesepakatan ini harus
secara tegas dituangkan dalam perjanjian setiap akad ijarah
muntahiyah bit tamlik sebagai bentuk khusus sewa beli dalam
ekonomi syariah.
Ringkasnya, karena akad ijarah muntahiyah bit tamlik
merupakan bentuk khusus dari ijarah yang tidak ditemukan
pengaturannya dalam nash, maka segala kekhususan itu harus
dituangkan dalam akad sebagai manifesatsi kehendak kedua belah
pihak („an taradlin). Atas dasar kesepakatan inilah mereka terikat
untuk memenuhinya.
Cara penyelesaian sebagaimana diatur dalam pasal 329 ayat (1)
di atas mirip dengan cara penyelesaian dalam jual beli angsuran
yang diikuti dengan penjaminan atas barang objek akad yang akan
dikemukakan dalam pembahasan bai’ bi tsmanin ajil.

Page | 13
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
4. Bai’ Bi Tsmanin Ajil Sebagai Alternatif Pengaturan Sewa-Beli
Yang Kepemilikannya Telah Berpindah Kepada Debitor
Seperti telah dikemukakan bahwa praktik sewa beli pada masa
sekarang (seringkali disebut juga leasing) telah mengalami pergeseran
ke arah jual beli angsuran (Belanda: koop op afbetaling, Inggris: credit
sale) di mana kepemilikan obyek perjanjian telah berpindah kepada
pembeli.
Konstruksi hukum yang dipandang tepat terhadap sewa-beli model
ini adalah melalui akad Bai’ Bi Tsmanin Ajil (defered payment sale).
Bai‟ bi tsaman ajil merupakan suatu bentuk perjanjian jual beli, di
mana pemilik benda akan menyerahkan benda tersebut kepada
pembeli secara seketika, sedangkan pembayarannya dilakukan dengan
cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Sejak barang
diserahkan benda tersebut resmi menjadi milik pembeli dan pembeli
menanggung hutang kepada penjual seharga benda tersebut.
Bai‟ bi tsamanin ajil pada dasarnya merupakan pengembangan
(second derivitation) sistem murabahah yang banyak dipraktekkan oleh
kalangan perbankan.19 Murabahah menurut fiqh merupakan salah satu
bentuk jual beli yang bersifat amanah sebagai imbangan dari jual beli
bentuk musawwamah (tawar menawar). Perbedaan antara keduanya,
jika dalam murabahah pembeli diberi tahu tentang harga aslinya
sehingga diketahui keuntungan penjual, sedangkan dalam
musawwamah pembeli tidak diberi tahu harga aslinya. Oleh karena
murabahah merupakan bentuk akad jual beli, maka rukun dan
syaratnya sama dengan jual beli.20
Bai‟ bi tsamanin ajil dapat juga disebut dengan murabahah dengan
pembayaran secara angsuran. Meskipun dalam KHES tidak ditemukan
sebutan bai‟ bi tsamanin ajil, namun dari definisi murabahah yang ada
dalam pasal 20 ayat (6), serta sistem pembayaran murabahah yang
diatur dalam pasal 124 ayat (1), cukup memberikan pengertian adanya
akad bai‟ bi tsamanin ajil.
Pasal 20 ayat (6) menyatakan: “Murabahah adalah pembiayaan
saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahibu al-mal dengan

19
Habib Nazir dan Muhammad Hasannuddin, Ibid. hal. 52
20
Habib Nazir dan Muhammad Hasannuddin, Ibid. hal. 403, Ibnu Rusyd, Op cit, hal 181,
Page | 14
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan
bahwa harga pengadaan dan harga jual terdapat nilai lebih yang
merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan
pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur”.
Adapun pasal 124 ayat (1) menyatakan: “Sistem pembayaran
dalam akad murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan dalam
kurun waktu yang disepakati”. Dari kata “angsur atau cicilan” ini dapat
dipahami adanya akad bai‟ bi tsamanin ajil.
Dasar hukum kebolehan akad bai‟ bi tsmanain ajil antara lain:
a. Al-Qur‟an; “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275). “Hai orang orang yang
beriman , jangan lah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu” (An Nissa:29)
b. Sunnah; Diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Ada tiga hal yang di
dalamnya terdapat barakah, yaitu 1) menjual secara kredit, 2)
muqarradlah (nama lain mudlarabah), dan 3) mencampur tepung
dengan gandum untuk makanan di rumah dan bukan untuk
menjualnya.
Untuk melindungi kepentingan penjual agar pembeli mentaati
perjanjian dan/atau tidak berbuat curang, dapat ditempuh melalui
penjaminan barang termasuk barang yang menjadi obyek jual beli.
Ketika pembeli tidak memenuhi prestasi yang diperjanjiakan (tidak
mampu membayar angsuran), maka benda jaminan dapat dijual
kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi sisa angsuran.
Apabila terdapat kelebihan, maka kelebihan itu diberikan kepada
pembeli.
Kebolehan melakukan jual beli dengan jaminan ini didasarkan
kepada sunnah Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan
Nasai, bahwa Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari
seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya
sebagai jaminan.

Page | 15
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
D. KESIMPULAN
Sewa-beli yang ada dalam hukum perdata umum dipandang tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip syariah karena adanya sifat mengumpulkan
dua akad dalam satu akad. Oleh karena perjanjian ini banyak dipraktikkan
oleh masyarakat, perlu dibuat konstruksi hukum yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah.
Upaya yang telah dilakukan antara lain: Majelis Ulama Indonesia Cq.
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 27/DSN-
MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah bit Al-tamlik dan Mahkamah
Agung telah menerbitan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah (KHES). Dari
kedua pedoman ini terdapat beberapa permasalahan yang perlu mendapat
perhatian, antara lain:
1. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam fatwa DSN pada
dasarnya merupakan konstruksi hukum yang tepat dalam
mengakomodir sewa-beli dan leasing dan telah pula mampu
menghilangkan sifat mengumpulkan dua akad dalam satu akad, namun
pengaturan mengenai janji pemindahan hak kepemilikan yang sifatnya
tidak mengikat, kiranya kurang sejalan dengan firman Allah dalam
surah al-Maidah ayat (1) dan hadits Rasullah serta bertentangan
dengan asas hukum yang mewajibkan setiap orang mentaati janji yang
dibuatnya.
2. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam fatwa DSN masih
bersifat garis besar sehingga tidak ditemukan cara penyelesaian secara
tegas dan rinci ketika penyewa tidak mampu membayar seluruh harga
ijarah.
3. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam KHES lebih lengkap dan
lebih rinci dibandingkan dengan yang ada dalam fatwa DSN, namun
mekanisme pelaksanaan akadnya masih terdapat beberapa
permasalahan yang belum sepenuhnya dapat menghilangkan kesan
sifat mengumpulkan dua akad dalam satu akad.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, ijarah muntahiyah bit tamlik
dapat dibuat konstruksi hukum sebagai berikut:
1. Ijarah muntahiyah bit tamlik dikonstruksikan dalam dua bentuk yaitu
ijarah muntahiyah bit tamlik dengan “opsi beli” dan ijarah muntahiyah
bit tamlik dengan “janji hibah”.
Page | 16
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
2. Ijarah muntahiyah bit tamlik dengan opsi beli merupakan konstruksi
hukum sewa guna usaha (financing-lease). Ijarah muntahiyah bit
tamlik dalam bentuk ini murni termasuk kategori sewa menyewa
(ijarah) sehingga selama berlangsungnya masa ijarah segala ketentuan
hukum ijarah berlaku dalam akad ini.
3. Ijarah muntahiyah bit tamlik dengan janji hibah merupakan konstruksi
hukum sewa-beli (hak kepemilikan atas benda belum berpindah kepada
debitur). Ketika masa ijarah berakhir, maka mu‟jir wajib menghibahkan
benda objek akad kepada musta‟jir. Untuk mengatasi keadaan apabila
musta‟jir tidak mampu melunasi angsurannya dapat ditempuh dengan
cara sebagaimana diatur dalam pasal 327 sampai dengan 329, namun
harus disebutkan secara tegas dalam akad sebagai bentuk
kesepakatan.
4. Janji memberikan opsi beli dan janji menghibahkan merupakan janji
yang sifatnya sepihak dari mu‟jir kepada musta‟jir dan janji itu bersifat
mengikat yang harus ditaati oleh mu‟jir.
5. Terhadap perjanjian sewa-beli (leasing) yang hak kepemilikannya
sudah berpindah kepada debitur sebagaimana yang banyak
dipraktikkan di masyarakat, konstruksi hukumnya melalui bai‟ bi
tsamanin ajil (jual beli angsuran) yang diikuti dengan penjaminan
benda obyek akad.

Wallahu a‟lam bis shawab.

Page | 17
Januari,
2009 IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK
E. DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni.


2. Farid Ma‟ruf, Leasing Sepeda Motor, (www.eazymart,com).
3. ........, Jual-Beli Barang Kredit, (www.easzysmart.com)
4. Kurnia, Hukum Seputar Leasing, (http://ayok.wordpress.com)
5. Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin, 2004, Ensiklopedi Ekonomi
dan Perbankan Syariah, Bandung, Kaki Langit.,
6. Ibnu Rusyd, 1990, Bidayatul Mujtahid, jilid III (diterjemahkan oleh M.A
Abdurrahman dan A.Haris Abdullah), Semarang, Asy- Syifa‟.
7. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional,
(http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php)
8. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni.
9. Mahkamah Agung R.I. 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
10.R. Subekti, 1979, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa.
11.………., 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti.
12............., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa.
13.………., R. Tjitrosudibio, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Jakarta, Pradnya Paramita
14.Wiryono Prodjodikoro, 2000, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung,
Mandar Maju
15.Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak
Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung
Indonesia. Bandung, Alumni,
16.Wahbah Zuhaily, 1989, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, jilid IV, Beirut,
Dar al-Fikr,

Page | 18

Anda mungkin juga menyukai