Anda di halaman 1dari 7

MEMAHAMI FILSAFAT ILMU

Kompetensi Dasar :
Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
 menjelaskan arti filsafat secara filosofis;
 membedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
 menunjukkan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti
filsafat;
 menyimpulkan makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam tugas
keilmuan;

I. Memahami Arti filsafat Secara Filosofis


filsafat mengajak orang untuk berpikir, dan berpikir adalah sebuah tindakan manusia
yang bersifat eksistensial, utuh dan menyejarah. Meskipun demikian, usaha mendekati arti
filsafat secara filsafati (filosofis), bukan sekedar mengandaikan sebuah pengertian yang langsung
dan lurus. Sekurang-kurangnya, terdapat sebuah peta pemahaman yang luas dan berliku-liku di
dalam upaya memahami arti filsafat itu sendiri secara filosofis.
Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari sudut rasio. Menurut mereka, filsafat
adalah sebuah proses berpikir rasional, baik dalam rangka mengembangkan pemikiran-pemikiran
yang bersifat spekulatif (teoretis) maupun praktis teknologis (praktis). Filsuf spekulatif, di sisi
lain, memandang filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis
dan lengkap tentang seluruh realitas. Filsuf naturalis, di sisi lain, akan meletakkan sudut pandang
filosofisnya pada alam untuk menjelaskan fenomena-fenomena (gejala) dan fakta alam (cosmos)
dari aspek keberadaan (eksistensi) fenomena tersebut. Filsuf bahasa akan menjelaskan arti
filsafat dari sisi analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan makna kata dan konsep-
konsepnya. Para mistikus akan menunjuk pada arti filsafat sebagai kemampuan membaca logika
alam atau tanda-tanda untuk menentukan atau meramalkan arah kecenderungan hari esok. Filsuf
kritis akan memandang filsafat sebagai sebuah penyelidikan kritis atas realitas atau pengandaian-
pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
Filsuf idealis, sebaliknya, akan mengartikan filsafat sebagai hal yang ideal yang terlepas dari
yang real (nyata).
Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dan perkembangan filsafat
sepanjang zaman, telah bermunculan beraneka definisi mengenai filsafat. Jelasnya, bila kita
hendak memperlajari filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan; pertama, filsafat sebagai
metode, dan kedua, filsafat sebagai suatu pandangan.
Penganut paham pertama, hanya membatasi arti filsafat sebagai kemampuan untuk
memperoleh pengertian tentang pengalaman hidup yang diletakkan pada kemampuan teknis-
aplikatif untuk mewujudkan pengetahuan tersebut dalam praktik kehidupan yang nyata.
Kecenderungan tersebut telah menimbulkan kesulitan yang telah menjerumuskan filsuf dalam
kedudukan sebagai “orang pintar” yang hanya dihubungkan dengan “orang trampil” dalam
menjalankan hidup secara praktis- temporer. Paham seperti ini muncul kuat di lingkungan para
Sofis (para relativis klasik/kuno) yang minatnya hanya diarahkan kepada penyelesaian masalah-
masalah sesaat (insidental). Para Sofis tidak akan mempedulikan apakah kepintaran atau
pengetahuannya itu bertahan dalam diskusi-diskusi kritis yang mendalam atau bertahan dalam
ujian dan zaman yang terus berkembang dengan kategorti-kategori kebenaran serta kepastian
yang luas dan utuh. Mereka hanya berpuas diri dengan cara membangun perbedaan ide untuk
mencapai kepentingan atau kenikmatan sesaat. Sikap para Sofis itulah yang diserang oleh
Socrates dengan memasukkan dimensi kritik moral di dalam manunjukkan arti dan hakikat
filsafat itu sendiri. Kenyataan itu pula yang kemudian diserang lagi oleh Plato (mantan siswa
Socrates) di dalam dialog-dialognya.
Penganut paham kedua, sebaliknya menunjuk bahwa filsafat itu sendiri merupakan
sebuah pandangan yang luas tentang kehidupan yang sifatnya total dan menyeluruh tentang
kehidupan. Filsafat menunjuk, buka sekedar pada sebuah kebijaksanan teknis operaif, tetapi
kebijaksanaan atau kearifan sebagai upaya penjelajahan yang luas mendalam, dalam rangka
menerangkan segala realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Bagi mereka, filsafat
bukan sekedar sebuah pikiran sebatas ide, tetapi upaya manusia dengan rasio untuk memahami,
menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, sejauh
dijangkau oleh pikiran manusia.

II. Pandangan Para Filsuf Tentang Arti dan Hakikat Filsafat


Menurut tradisi Yunani kuno, istilah Philosophia digunakan pertama kali oleh
Pythagoras. Ketika dijaukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati
Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalah philosopher, yakni orang yang mencintai pengetahuan.
Phytagoras mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga tipe, yaitu; pertama,
mereka yang mencintai kesenangan, kedua; mereka yang mencintai kegiatan, dan ketiga; mereka
yang mencintai kebijaksanaan.
Sejak masa Scrotes dan Plato, istilah phylosophia sudah cukup populer dalam pengertian
lain. Ketika itu, Socrates lebih mengartikan filsafat sebagai konstruksi (bangunan) moral dalam
hubungan dengan kebenaran dan kepastian hidup. Plato, di sisi lain, mengartikan filsafat sebagai
interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup, dan
mengarahkannya untuk mencapai ide-ide abadi. Aristoteles, bahkan menunjukkan kedudukan
arti filsafat secara lebih mendasar. Ia, seterusnya berusaha membangun arti filsafat itu sendiri
pada konteks kebenaran-kebenaran sosial yang berhubungan dengan pertautan antara
pengetahuan dan kehidupan nyata. sebelum kita menarik kesimpulan tentang arti filsafat,
sebaiknya kita melihat sekilas pendapat beberapa filsuf terkemuka mengenai pengertian filsafat:
1. Plato
Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah pandangan teoretis yang lebih
luas dan lengkap tentang filsafat. Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato
antara lain, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih
kebenaran yang asli dan murni. Filsafat, karena itu, berusaha menemukan kenyataan-
kenyataan atau kebenaran-kebenaran asli, murni, dan mutlak. Plato, mengatakan juga
bahwa filsafat adalah penyelidikan tetang sebab dan azas yang paling akhir dari segala
sesuatu yang ada. Ia menjelaskan bahwa filsafat atau kebijaksanaan sejati adalah
pengetahuan mengenai “hakikat” (arrete) dari sesuatu yang diperoleh melalui
kontemplasi, bukan melalui aksi. Akibatnya, kaum Platonian (pengikut fanatik Plato)
telah menyamakan filsafat sebagai pengetahuan tentang “pengertian” saja. Praktisnya,
urusan filsafat di sini hanya usaha mencari kebenaran hakiki, tanpa usaha mempraktikkan
kebenaran tersebut dalam kehidupan nyata.
Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik di
dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya, hakikat filsafat itu,
bukan terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian yang terbatas, tetapi pada
keluhuruan ide yang bersifat mendasar dan absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio,
karena rasio lah yang mampu menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu
pemikiran, bukan pada dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi.
“Rasionalisme” Plato, akhirnya, berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu, pengabstraksian
konsep pada tataran ide. Baginya, kebenaran filosofis bukan pada penampakan-
penampakan tetapi pada ide yang lengkap.
Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan filosofis, yaitu:
pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus tahan menghadapi ujian
kritis. Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau kebijaksanaan yang belum diuji
sampai ke akar-akarnya, harus ditolak alias “omong kosong” dan palsu.
kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana filsafat berkembang
dengan pendapat atau pengendaian-pengandaian yang diuji secara kritis, diragukan
sampai pada kesimpulan atau pemikiran yang tidak dapat diragukan atau disangsikan
lagi. Pendeknya, bagi filsafat, tidak ada sesuatu pun yang diandaikan tanpa
pertanggungjawaban akal.
ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”, yaitu
kenyataan essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati adalah kodrat terdalam
dari realitas, yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang
tampak itu akan bergonta-ganti dan hilang (sifat sementar), sedangkan ide itu selalu
bersifat tetap (abadi). Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha
menggugat dan mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau
prinsip-prinsip tertinggi dan universal dari kenyataan.
Plato, dalam hal ini, berada pada posisi selaku idealis-universal. “Idealisme”
Plato,

2. Aristoteles.
Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang
ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari
“ada” ( being asteing ) atau “hal ada” “sebagaimana adanya” ( being such ). Aristoles
adalah filsuf besar yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat
besar. Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia
merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:
pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai “pengada”
atau “ada” sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam
hal ini, berada pada posisi selaku seorang realis, atau penganut aliran realisme
(kenyataan).
kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup kekinian,
bukan sekedar berenung atau berkontemplasi.
ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran
spekulatif, tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.

3. Rene Descartes
Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah filsafat
modern dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan
“Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari
filsafat itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar
bagi segala klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan
obyektifitas filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di
luar tatanan rasio, harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai
kepalsuan, sesat pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.
Descartes terkenal dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam
bahasa Latin “cogito ergosum“ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut menunjukkan
sebuah klaim keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada
yang meng-ada-kan manusia. Descartes mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan
dengan kategori-kategori pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan
dan memperjuangkan kebenaran-kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and
distinct) di dalam hidupnya. Melalu ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud,
manusia akan dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau
dorongan perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam
mengambil keputusan intelektual.
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan
berfikir manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan
buah pikir yang dihasilkan filsafat dari usaha mencari hubungan antara pengetahuan dan
impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang tersirat). Filsafat berusaha merangkum
dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik dari pengalaman umat
manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran (tesis),
kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana
merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk
menyiasati pokok yang ditelaahanya.

III. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti Filsafat


Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau cita
rasa kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar pertanggunjawaban pikiran
tentang realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas (penampakan fisik, pandangan, teori
keilmuan, norma adat, tradisi, ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara
luas (ekstensif), utuh (eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat
itulah yang mampu membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang
kuat mendasar tentang realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas,
validitas, dan kesahihan-nya pun akan mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tantangan
zaman. Para filsuf, berusaha mencari dan mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong
tugas-tugas kemanusiaan bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam
upaya membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat
perbedaan pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik perbedaan,
yaitu perbedaan sudut pandang dan perbedaan minat akademis :
a. perbedaan sudut pangdang (ponit of view).
Maksudnya, setiap filsuf, pada dirinya memiliki sudut pandang atau cara pandang
yang berbeda (yang merupakan spesifikasi dirinya) di dalam memahami sebuah realitas,
teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato, sebagai pencetak aliran
pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan) sebagai basis
pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan, validitas,
dan obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai
kepalsuan dan kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun
pemikiran dari sistim ide atau gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan
pada aspek penampakan atau kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide
itulah yang menjamin adanya kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah
kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah dalam dunia ide muda diragukan,
serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang bersifat luhur kekal dan tak
berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah
menjadikan rasio sebagai sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam
membangun klaim-klaim kebenaran filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang
mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim kebenaran filosofis, lepas dari selera atau
kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut pandang rasio akan mampu
memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena rasio selalu bersikap
kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf Realis,
misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada hal-hal
yang nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung, bukan ide-ide
yang abstrak. Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran pemikiran
“Pragmatisme”-nya, justru akan meletakkan pandangan filosofisnya pada kenyataan
makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari segala sesuatu. Akibatnya, bagi mereka,
hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang benar, obyektif, valid, maupun
sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya Marksisme Ortodoks dengan aliran
“Materilisme”-nya justru melihat materi (kenyataan fisik) sebagai jaminan kebenaran,
obyektifitas, validitas, dan kesahihan. Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi
dasar pembuktikan bahwa hal itu benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui
atau diyakini, selain itu tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan
sebaginya, akan meletakkan sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman
(empiris) sebagai basis pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku
bagi filsuf lainnya dengan sudut pendekatannya yang khas.

b. Minat Akademis.
Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula perbedan minat
akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda.
Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan
mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan
diartikan sebagai upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi
(produksi, konsumsi, dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru
minat akademis pada ilmu-ilmu fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya
pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –
alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu
teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis
(rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Pencipta dalam kaitannya dengan
manusia, dalam sebuah hukum-hukum Ketuhanan. Perbedaan yang sama akan dijumpai
pula dalam berbagai penganut minat akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan
ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat, dengan
klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik, dan
partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya, muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-
beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, dan validitas, atau kesahihan, baik
terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.

Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis.


Alasannya, para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun minat
akademisnya yang berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin
menambah kecemasan para filsuf untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana
untuk dapat mendekati pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani
kuno, akhirnya menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis,
tetapi secara etimologis. Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani
Philosophia. Akar katanya; Philos atau philia = cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan Sophia
berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara harafiah, artinya “cinta
kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan etimologis ini menunjukkan bahwa sejak
semula, yakni dari zaman Yunani Kuno, kata filsafat dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta
kebijaksanaan. Meskipun demikian, cakupan pengertian sophia ini ternyata begitu luas dan
padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan, melainkan meliputi pula prinsip-
prinsip kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan akal sehat
sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu kepandaian pengrajin, dan
kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau kearifan
saja, tetapi harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat harus bermain
dengan api cinta? Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak membimbing kedalam sebuah
pemaknaan filosofis yang sifatnya hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu
sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), filsafat menunjukkan
bahwa manusia tidak pernah sempurna dalam memahami kebijaksanaan dan kearifan yang
menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu sendiri, karena begitu sangat luasnya kebijaksanaan dan
kearifan di dunia ini. Sophia (kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya
penjelajahan dalam mempelajari segala realitas serta menyingkap berbagai misteri dibalik
realitas tersebut. Tujuannya, bukan sekedar untuk menunjukkan sebuah hakekat pemikiran/ide,
tetapi lebih dari itu, berusaha memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi
dasar–dasar terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi, dasar, serta tujuan manusia.
Menurut Pythagoras, manusia harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan dan
kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan.
Manusia bukanlah “penguasa kearifan” karena penguasa kearifan hanya Tuhan tetapi manusia
adalah “pencinta kearifan” atau “pencinta kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta
kearifan yang mencarinya dengan api cinta yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan
atau keinginan biasa yang bersifat sementara. Manusia (filsuf) bukanlah philosophos (penguasa
kearifan) tetapi manusia (filsuf) adalah philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmah.
Sebagai pencinta hikmah, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan atau api cinta
yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh hikmah dan kebijaksanaan
dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari hikmah bukanlah tugas sesaat atau seketika
saja. Tugas mencari hikmah dan kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang
terus mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang
tidak pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu berusaha
dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan
mengabdi pada sang maha hikmah. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan
segala keterbatasan, keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya
yang mendalam. Jelasnya, melalui proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk
memenuhi hasratnya, demi kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan
diri” itu.

IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam pengembangan,
pikiran, pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya,
mengandung berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran, pengetahuan,
dan ilmu. Orang tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan sudut pandang maupun minat
akademisnya yang berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah
sah dan penting untuk melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan
perangkat metodologis maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang
sifatnya detail tentang hal dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan
keabsahan pada dirinya masing-masing, sejauh diterima oleh akal dan terbukti kebenarannya
dalam bidang keahliannya. Kenyataan tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki kedudukan
yang sama dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang
sama dengan ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan ataupun agama. Orang, karena itu harus
makin mengembangkan keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya
eksplorasi dan analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak menutup diri
dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang
harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam
bentuk ide, pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam
pemikiran, pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.

Anda mungkin juga menyukai