Kompetensi Dasar :
Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
menjelaskan arti filsafat secara filosofis;
membedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
menunjukkan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti
filsafat;
menyimpulkan makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam tugas
keilmuan;
2. Aristoteles.
Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang
ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari
“ada” ( being asteing ) atau “hal ada” “sebagaimana adanya” ( being such ). Aristoles
adalah filsuf besar yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat
besar. Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia
merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:
pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai “pengada”
atau “ada” sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam
hal ini, berada pada posisi selaku seorang realis, atau penganut aliran realisme
(kenyataan).
kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup kekinian,
bukan sekedar berenung atau berkontemplasi.
ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran
spekulatif, tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.
3. Rene Descartes
Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah filsafat
modern dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan
“Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari
filsafat itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar
bagi segala klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan
obyektifitas filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di
luar tatanan rasio, harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai
kepalsuan, sesat pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.
Descartes terkenal dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam
bahasa Latin “cogito ergosum“ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut menunjukkan
sebuah klaim keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada
yang meng-ada-kan manusia. Descartes mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan
dengan kategori-kategori pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan
dan memperjuangkan kebenaran-kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and
distinct) di dalam hidupnya. Melalu ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud,
manusia akan dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau
dorongan perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam
mengambil keputusan intelektual.
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan
berfikir manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan
buah pikir yang dihasilkan filsafat dari usaha mencari hubungan antara pengetahuan dan
impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang tersirat). Filsafat berusaha merangkum
dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik dari pengalaman umat
manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran (tesis),
kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana
merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk
menyiasati pokok yang ditelaahanya.
b. Minat Akademis.
Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula perbedan minat
akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda.
Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan
mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan
diartikan sebagai upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi
(produksi, konsumsi, dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru
minat akademis pada ilmu-ilmu fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya
pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –
alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu
teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis
(rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Pencipta dalam kaitannya dengan
manusia, dalam sebuah hukum-hukum Ketuhanan. Perbedaan yang sama akan dijumpai
pula dalam berbagai penganut minat akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan
ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat, dengan
klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik, dan
partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya, muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-
beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, dan validitas, atau kesahihan, baik
terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam pengembangan,
pikiran, pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya,
mengandung berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran, pengetahuan,
dan ilmu. Orang tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan sudut pandang maupun minat
akademisnya yang berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah
sah dan penting untuk melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan
perangkat metodologis maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang
sifatnya detail tentang hal dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan
keabsahan pada dirinya masing-masing, sejauh diterima oleh akal dan terbukti kebenarannya
dalam bidang keahliannya. Kenyataan tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki kedudukan
yang sama dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang
sama dengan ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan ataupun agama. Orang, karena itu harus
makin mengembangkan keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya
eksplorasi dan analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak menutup diri
dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang
harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam
bentuk ide, pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam
pemikiran, pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.