OROLOGIS (2)
Tidak dapat dipungkiri hutan dapat berfungsi dalam memperbaiki hidrologi DAS.
Untuk memperkecil resiko yang diakibatkan dari kerusakan DAS dapat diupayakan
melalui pemeliharaan jasa DAS yang mencakup:
1. Pengaturan aliran air (water flow), pemeliharaan aliran musim kering dan
mengontrol banjir.
2. Pemeliharaan kualitas air, meminimalisir beban endapan (sediment load), beban
nutrient (misalnya, phosphorous dan nitrogen), beban kimia, dan kadar garam.
3. Kontrol terhadap erosi tanah dan sedimentasi
4. Penurunan salinitas tanah dan atau pengaturan level air tanah.
5. Pemeliharaan habitat akuatik.
menutup tanah dengan tumbuhan atau sisa-sisa tanaman agar tanah terlindung
dari daya rusak butir hujan yang jatuh ke permukaan tanah
mengatur air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak
merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah (Arsyad,
2010 dan Morgan 1979 dalam Banuwa 2012).
Imbal jasa lingkungan atau Payment for Ecosystem Services (PES) adalah
kesempatan bagi masyarakat berupa pendekatan berbasiskan pasar dengan tujuan
konservasi serta peningkatan taraf hidup. Menurut Wunder (2015 dalam Le Velly,
dan Dutilly, 2016) skema PES didefinisikan sebagai transaksi sukarela antara
pengguna jasa dan penyedia layanan yang bergantung pada peraturan pengelolaan
sumber daya alam yang disepakati untuk menghasilkan layanan di luar kantor. PES
merupakan hubungan timbal balik masayarakat daerah hulu-hilir dengan
berlandaskan prinsip bahwa yang memperoleh manfaat dari jasa lingkungan
(diidentikan oleh masyarakat hilir) harus memberikan kompensasi terhadap
penyediaan jasa lingkungan (diidentikkan oleh masyarakat hulu). Dengan tujuan
untuk menjaga agar kondisi fisik lingkungan tetap terjaga, sehingga pemanfaatan
jasa lingkunagn dari sumberdaya dapat berlanjutan. Dalam pengembangan
kerangka PES ergantung pada beberapa kriteria berikut : (a) transaksi sukarela
dimana (b) jasa lingkungan yang dijelaskan secara baik (Environmental Service /
ES, atau penggunaan lahan seperti menjaga jasa tersebut) (c) dalam kondisi sedang
dibeli oleh pembeli ES (minimal satu) (d) dari penyedia ES (minimal satu) (e) jika
dan hanya jika penyedia ES menjamin ketentuan ES (sesuai persyaratan).
Fungsi lain hutan selain sebagai penyangga kehidupan yaitu sebagai penyedia jasa
lingkungan yang potensial untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat
terutama penyedia jasa air. Menurut Santoso dkk. (2015) inisiasi PES atau jasa
lingkungan juga perlu didorong untuk mengatasi isu kelangkaan sumber daya air
yang menjadi persoalan bersama hingga saat ini. Mekanisme pembayaran jasa
lingkungan air bisa jadi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi persoalan
kelangkaan air tersebut, solusi untuk melestarikan sumber daya air. PES merupakan
usaha untuk menghargai pihak-pihak yang melakukan upaya konservasi dan
menjaga ketersediaan jasa lingkungan bagi kehidupan manusia.
Menurut The World Bank (2008) dalam Riska dkk. (2013), PES (Payment for
Enviromental Services) adalah suatu pendekatan konservasi berbasis pasar yang
didasarkan pada dua prinsip, yaitu bahwa mereka yang diuntungkan oleh layanan
lingkungan (seperti pemakai air bersih) berbayar, dan mereka yang menghasilkan
jasa ini diberi kompensasi karena menyediakan jasa yang dapat dimanfaatkan. Akan
tetapi, menurut Wunder (2013), PES hanya dapat bekerja jika ada budaya memberi
dan menerima yang benar: pengguna layanan dapat bertindak bersama untuk
membayar, dan penyedia layanan merasa termotivasi dengan menerima
pembayaran untuk memberikan lebih banyak layanan. Didalam mekanisme PES
besar kecilnya pembayaran yang diterima para penyedia jasa bergantung pada
penyediaan jasa yang dibutuhkan. Partisipasinya bersifat sukarela. Pendekatan PES
menarik karena pendekatan ini (1) menghasilkan sumber pendanaan baru, (2)
berkelanjutan, karena bergantung pada prinsip untuk saling memenuhi kepentingan
penyedia dan pengguna jasa bukannya pada keinginan pemerintah atau donor dan
(3) efisien, apabila pendekatan ini menghasilkan jasa yang manfaatnya melebihi
biaya penyediaannya.
Dalam Undang Undang Nomor 37 tahun 2014 telah dijelaskan bahwa pembayaran
imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaraan konservasi tanah dan air pada
prinsipnya merujuk pada konsep pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services) yang mengacu pada 2 (dua) prinsip yaitu yang pertama
bahwa sepanjang terkait kewajiban pelayanan publik yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, Pemerintah mendanai kegiatan konservasi tanah dan air serta
pengelolaan DAS (government pay principle). Kedua, penerima manfaat atas
sumber daya tanah dan air harus membayar untuk kepentingan konservasi tanah
dan air (beneficiaries pay principle).
Pendanaan penyelenggaraan konservasi tanah dan air menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, pemegang hak atas tanah, pemegang
kuasa atas tanah, pemegang izin, dan/atau pengguna Lahan, baik sendiri-sendiri
maupun bekerja sama. Pendanaan dapat berasal dari anggaran pendapatan dan
belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, badan hukum, badan
usaha, perseorangan, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendanaan juga dapat berasal dari
sumber lain yang sah dan tidak mengikat termasuk yang berasal dari pembayaran
imbal jasa lingkungan terhadap penyelenggaraan konservasi tanah dan air. Dengan
catatan pengelolaan sumber pendanaan harus dilakukan secara transparan dan
akuntabel.
Menurut Santosa dkk. 2015 skema PES dapat dijalankan diantara penyedia dan
penerima manfaat dalam kerangka G to G (Gorverment to Government), G to C
(Government to Community), G to P (Government to Private), C to C (Community to
Community), C to P (Community to Private) P to P (Private to Private) dan
sebaliknya. Untuk memfasilitasi PES dapat dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, LSM/NGO, maupun organisasi non profit yang dipercaya oleh
kedua belah pihak. Beberapa inisiatif skema PES yang dikembangkan di Indonesia
antara lain :
1. G to G (Gorverment to Government)
2. P to G (Private to Community)
Skema ini dilakukan oleh pihak privat kepada suatu komunitas masyarakat,
contohnya yaitu PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) yang memberikan kompensasi
sebesar Rp. 1,2 -1,75 juta/hektar kepada masyarakat yang melakukan perbaikan
hutan dan perlindungan mata air di hulu DAS Cidanau. Karena PT KTI memerlukan
air dari Sungai Cidanau untuk kepentingan industrinya.
Skema imbal jasa lingkungan air tersebut juga diinisiai dan didorong oleh FKDC
(Forum Komunikasi DAS Cidanau) yang sekaligus menjadi dinamisator proses sejak
2003 hingga saat ini. Dalam perkembangannya banyak pihak yang peduli dan
memberikan kontribusi dalam proses imbal jasa lingkungan di Cidanau ini, seperti
The World Agroforestry Center (ICRAF) yang mendukung FKDC sejak tahun 2007
dan pada tahun 2014 memberikan kontrak imbal jasa lingkungan kepada kelompok
untuk penelitian aplikatif.
3. P to G (Private to Goverment)
Dalam skema PES terdapat hubungan yang berkaitan antara pemerintah, penyedia
jasa, pemanfaat jasa serta jasa lingkungan itu sendiri. Hubungan keterkaitan
tersebut dapat pada Gambar di bawah ini
Gambar . Hubungan antara Pemerintah, Penyedia Jasa, Pemanfaat Jasa serta Jasa
Lingkungan.
Arah kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan hutan
diarahkan kepada upaya untuk :
PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk merestorasi dan
melindungi ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang berkelanjutan. Skema
PJL merupakan mekanisme yang membuat penyediaan jasa lingkungan menjadi
lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Jenis jasa lingkungan yang umum
diperdagangkan dalam skema PJL diantaranya adalah proteksi dan rehabilitasi
Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi biodiversitas (biodiversity conservation),
restorasi lanskap (landscape restoration), penyerapan karbon (carbon sequestration)
dan stok karbon eksisting, serta keindahan alam (scenic beauty). Jasa-jasa
lingkungan tersebut seluruhnya memiliki aspek konservasi dan rehabilitasi yang
tentu saja memiliki konsekuensi terhadap konteks institusional dari sistem rewards.
Untuk di Indonesia sendiri, yang paling populer adalah komoditas Daerah Aliran
Sungai dan konservasi biodiversity (Kementrian Lingkungan Hidup, 2013).
Sedangkan pengembangan PES Indonesia belum menjadi alternative utama dalam
pendukung kelestarian lingkungan, namun di masa depan pengembangan skema
PES diharapkan terus berkembang. PES di masa depan harus dikembangkan
sesuai dengan karakteristik budaya, sumber daya dan kondisi jasa lingkungan,
kondisi politik ekonomi, dan terakhir kondisi kelembagaan yang ada. Berikut adalah
faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk penerapan PES Indonesia di masa
mendatang. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan PES, yaitu sebagai berikut:
c. Aspek sosial juga merupakan salah satu dasar bagi kerjasama PES. Meskipun
penanggulangan kemiskinan bukan target utama dalam mekanisme PES,
keterlibatan masyarakat lokal akan memberikan dampak positif bagi
pengembangan kapasitas ekonomi lokal dengan meningkatkan pendapatan
masyarakat miskin. Oleh karena itu, selama tahap persiapan implementasi
kerjasama, PES harus dilengkapi dengan studi mengenai aspek- aspek sosial
terutama untuk mencakup pengembangan data mengenai kelompok masyarakat
adat serta kelompok miskin yang tidak memiliki status kepemilikan di lahan
mereka tinggal . Dengan melakukan hal ini, jalan keluar dapat ditemukan dalam
rangka untuk memiliki status kepemilikan lahan yang jelas bagi mereka dan
mereka dapat dimasukkan dalam program PES. Namun, karena status
kepemilikan tanah adalah masalah yang sangat penting, oleh karenanya
intervensi pemerintah untuk mengatur status tanah sangat diperlukan (PNPM
Lingkungan, 2012).
Untuk menjalankan mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini dengan baik, ada
beberepa hal yang di perhatikan. Pengembangan jasa lingkungan mengacu pada
tiga prinsip yang saling terkait yaitu :
satu media yang paling efektif dan penting dalam pengembangan aspek jasa
lingkungan. Kerjasama tersebut perlu dilandasi dengan keterbukaan, transparansi
dan fleksibilitas antar pihak agar dapat memaksimalkan potensi setiap partner yang
memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda-beda.
a. Penataan Areal
b. Organisasi pengelolaan Penguatan lembaga pengelola jasa lingkungan perlu
dilakukan untuk hasil yang lebih optimal, melalui: (i) Pendidikan dan pelatihan,
(ii) Penyuluhan, (iii) Pendampingan, (iv) Pengelolaan bersama (co-
management)
c. Pemanfaatan Jasa Lingkungan.