Anda di halaman 1dari 4

MODEL PENGELOLAAN JASA

LINGKUNGAN TATA AIR


Pengelolaan jasa lingkungan tata air sudah ada beberapa kasus yang diterapkan dibeberapa
lokasi, dengan berbagai tahap kemajuan. Secara umum keterkaitan penyedia dan penerima
manfaat jasa lingkungan
Proses yang perlu dilakukan adalah :
1. Penyiapan pra kondisi : identifikasi kebutuhan dan kepentingan pengelolaan jasa lingkungan,
membangun kelembagaan dan dukungan politik, identifikasi penyedia dan penerima manfaat
jasa lingkungan termasuk identifikasi wilayah layanan jasa lingkungan tersebut. Untuk
melakukan hal ini diperlukan mobilisasi sumberdaya financial.
2. Penetapan tujuan skema pembayaran/ kontribusi pengelolaan jasa lingkungan : kelestarian
jasa lingkungan dan integrasi tujuan social khususnya keadilan manfaat masyarakat miskin
yang tergantung dengan sumberdaya air. Dalam hal ini diperlukan ketetapan bagaimana
output pengelolaan diukur dan dimonitor. Informasi baseline diperlukan, untuk mengetahui
dampak terhadap output pengelolaan yang ditimbulkan oleh pola kontribusi/ pembayaran di
dalam pengelolaan jasa lingkungan tersebut. Pada tahap ini valuasi hubungan biofisik
terhadap fungsi hidrologis diperlukan untuk mengetahui hubungan perubahan tutupan lahan
dan kegiatan pengelolaan dengan output jasa lingkungan hidrologis (tata air). Di sisi lain
dilakukan valuasi ekonomi untuk mengetahui hubungan besar jasa lingkungan dengan
kebutuhan dan kesediaan berkontribusi/ pembayaran jasa lingkungan. Penting pula disini
menetapkan skema jangka waktu pengelolaan jasa lingkungan.
3. Identifikasi dan penetapan pola pengelolaan dan skema kontribusi jasa lingkungan yang tepat
: a) Berbasis insentif ekonomi : PES (privat dan public payment); Purchasing of Development
Rights to Land /Purchasing Landuse Right; Cost Sharing; b) Berbasis tanggungjawab
bersama/ moralitas penghargaan hak pihak lain untuk tidak kehilangan manfaat/ kewajiban
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk ini diperlukan proses negosiasi yang
melibatkan komponen a) jasa lingkungan yang dihasilkan/digunakan yang dapat
diukur/dimonitor, b) hak dan kewajiban penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan
menyangkut aspek legal dan teknis operasional, c) mekanisme kontribusi pengelolaan/
pembayaran jasa lingkungan.
Beberapa contoh kasus kontribusi/ pembayaran jasa lingkungan di Indonesia :
1. PES konservasi DAS antara Pemda Kabupaten Kuningan (provider) dan Pemkot Cirebon
(user). Hasil negosiasi menetapkan kesepakatan mekanisme kompensasi sebesar Rp 1,75
milyar/tahun dengan hasil air sebesar 43,48 juta meter kubik (Rp 40/m 3), oleh Pemkot
Cirebon kepada kepada Pemda Kuningan untuk keperluan biaya konservasi DAS khususnya
mata air Paniis seluas 645 ha. Proses dilakukan selama 4 tahun dengan tahapan seperti
disajikan pada Gambar 4. Biaya transaksi terkait dengan berbagai aktivitas memperoleh data
dan informasi tentang jasa lingkungan (hidrologis) proses negosiasi yang cukup panjang, dan
proses legislasi/perda. Tujuan pembayaran ompensasi adalah konservasi DAS untuk
kelestarian hasil air (Ramdan, 2006).

2. PES DAS Cidanau Provinsi Banten, pemanfaat jasa lingkungan adalah PT Krakatau Tirta
Industri dan penyedia adalah masyarakat pemilik/pengguna lahan di hulu DAS
Cidanau.seluas 50 ha. Mekanisme pembayaran melalui perjanjian pembayaran jasa
lingkungan antara PT Krakatau Tirta Industri dan Forum komunikasi DAS Cidanau (FKDC).
Pembayaran sebesar Rp 175 juta (2005-2006), Rp 200 juta 92007-2009), Rp 200 juta (20102014). Tujuan pembayaran adalah konservasi DAS untuk kelestarian hasil air (Rahadian et.
al., 2010).
3. Inisiasi kesediaan PDAM PT Tirta Montala melakukan pembayaran biaya perlindungan (cost
sharing) Sub DAS Montala seluas 2.300 ha (DAS Krueng Aceh) kepada masyarakat yang
tergabung di dalam Forum Perlindungan Krueng Montala (FORPELA). PDAM PT Tirta
Montala memberikan dana biaya perlindungan DAS dari penebangan liar dan perambahan
sebesar 50 juta/tahun/Rp 22.000/ha/thn. Tujuan pembayaran untuk perlindungan Sub
DAS kelestarian hasil air, tetapi belum dibangun kesepakatan bagaimana mengukur output/
monitoring jasa lingkungan yang dihasilkan. Demikian juga belum dibangun secara jelas
mekanisme pembayaran dilakukan (Bahruni, et.al., 2010).

4. Inisiasi Yayasan Leuser Indonesia (YLI) memberikan bantuan dana untuk pengembangan
agroforestry di lahan pertanian yang kurang produktif milik masyarakat di Kabupaten Aceh
Tengah. Kontribusi ini mendekati skema Purchasing of Development Rights to Land
(Purchasing Landuse Right) sebesar Rp 6.200.000/ha selama 3 tahun pembangunan
agroforestry (2.066.000/ha/thn). Negosiasi belum ada tentang kesepakatan yang jelas tentang
tujuan pembayaran, jangka waktu kontrak/ kesepakatan, ukuran hasil jasa lingkungan dan
mekanisme monitoringnya, hak dan kewajiban para pihak. Demikian juga inisiasi
pembayaran oleh Dinas Kehutanan melalui program block grant RHL melalui pengembangan
hutan rakyat, kebun bibit desa di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh (Bahruni, et.al.,
2010).
5. Kerjasama pemanfaatan air secara lestari di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), antara Balai Besar TNGGP dan PDAM PT Tirta Bumi Wibawa (PDAM-TBW)
Kota Sukabumi. Kesepakatan PDAM-TBW hanya diperbolehkan memanfaatan maksimal
15% debit air sungai Cipelang , sisanya untuk keperluan masyarakat sekitar. PDAM-TBW
berkontribusi (tidak ada informasi besar kontribusi) untuk kegiatan pelestarian kawasan
TNGGP. Negosiasi belum ada tentang ukuran output dan monitoringnya hasil dari kontribusi
itu (http://www.gedepangrango.org/kerjasama-pemanfaatan-air-secara-lestari-di-tnggp).

IV. KESIMPULAN
1. Perlu membangun komunikasi, dialog dengan para pihak, untuk membangun kesadaran
kebutuhan dan kepentingan / keperdulian bersama perlunya tindakan kolektif (pengelolaan
kolaboratif) jasa lingkungan kawasan konservasi.
2. Pengembangan pola pengelolaan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi yang
melibatkan kerjasama para pihak dapat dilakukan dengan dua pilihan. Pilihan ini sangat
tergantung pada landasan nilai, norma,motivasi, kepentingan para pihak di dalam
pemanfaatan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi di setiap wilayah. Kedua
pendekatan ini adalah :

a. Pendekatan berbasis insentif ekonomi


b. Pendekatan tanggungjawab bersama, lebih dilandasi oleh moral dan nilai-nilai social budaya
3. Mekanisme PES dapat dilakukan apabila mekanisme pasar berjalan. Berdasarkan mekanisme
pasar, jika syarat keharusan tidak terpenuhi (WTP >WTA) maka mekanisme PES tidak dapat
diterapkan. Pilihan mekanisme kontribusi di dalam kolaborasi pengelolaan kawasan
konservasi bukan PES.
4. Pengelolaan kolaboratif dengan pihak swasta memerlukan aturan main yang jelas, terkait
dengan hak dan kewajiban dan ikatan legal. Terutama menyangkut hal-hal :
a. Kepastian lokasi jasa lingkungan/lokasi pemanfaatan jasa lingkungan (on site atau off site).
b. Dukungan data/ informasi dan hasil valuasi yang menjelaskan hubungan bentuk kegiatan
pengelolaan dengan output jasa lingkungan (tata air) serta hubungan tata air dengan bentuk
pemanfaatan jasa air tersebut bagi para pengguna (konsumsi atau usaha produktif/ ekonomi)
yang akan menentukan besar nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi.
c. Kepastian para pihak yang terlibat di dalam negosiasi yaitu : Pengelola, Pemanfaat (entitas
bisnis dan masyarakat), intermediaries, peneliti untuk memberikan dukungan ilmiah (berbasis
ilmu pengetahuan).
d. Kepastian distribusi manfaat yang adil, termasuk menjawab kebutuhan masyarakat miskin
terutama di pedesaan untuk kehidupan yang lebih baik. Kegagalan pelibatan unsur
masyarakat dan distribusi manfaat dapat berakibat kegagalan pengelolaan jasa lingkungan
kawasan konservasi.
e. Kepastian tujuan kolaborasi/ kontribusi, penentuan ukuran hasil jasa lingkungan dan
mekanisme monitoring dan evaluasinya, penentuan mekanisme kontribusi serta penegakan
aturan/ kesepakatan.

V. DAFTAR PUSTAKA

Bahruni, Ichwandi I, Munawir, Rahadian, Triyaka. 2010. Environmental Services Valuation


of Krueng Aceh & Krueng Peusangan Watershed Nanggroe Aceh Darussalam Province.
Jakarta : LP3ES dan UN-ESCAP
Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2007. Laporan Perkembangan
Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta : Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Endang H, Kartodiharjo H, Darusman D, Soedomo S. 2008. Insentif Ekonomi dalam
Penggunaan lahan Kawasan Lindung di Kawasan Bandung Utara. Jurnal Manajemen Hutan
Tropika Vol XV (2) : 45-53.
Field, Barry C. 1994. Environmental Economics: An Introcuction. McGraw Hill, Inc. USA.
Huang M, and Upadhayaya SK. 2007. Watershed-based Payment for Environment Services
in Asia. Prepared by SANREM CRSP dan IORED. Working Paper No 06-07.
Ichwandi I, Munawir, Bahruni, Rahadian, Triyaka. 2010. Preleminary Recommendations on
The PES Principle in Aceh. Jakarta : LP3ES dan UN-ESCAP.
l Agence Franaise de Dveloppment (AFD) and Faculty of Forestry-IPB. 2009. Business
Development of Ecosystem Restoration : Silviculture, Conservation and Management of
Ecosystem Restoration Business Models. Bogor : Faculty of Forestry-IPB
Nugroho B dan Kartodihardjo H. 2009. Kelembagaan PES :
Permasalahan, Konsep dan Implementasi. Paper Lokakarya Payment on
Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren
dan Dinamikanya. Bogor, 34 Agustus 2009.

Ramdan, H. 2006. Penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidrologis Dalam Pengelolaan


Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat.Makalah disampaikan
pada Lokakarya Menemukan Model Pengelolaan Air Baku untuk Air Minum Lintas Wilayah
di Nusa Tenggara Barat, Mataram 28-30 Nopember 2006.
RUPES [Rewarding the Upland Poor for Environmental Services] 2006. Sungai Bersih,
Listrik Menyala: Imbal Jasa untuk Pengurangan Sedimen. RUPES Sumberjaya Brief No 4.
Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Badan Litbanghut Departemen Kehutanan
RI.
Soedomo S. 2009. Payment For Environmental Services. Seberapa Sepakat Kita? Paper
Lokakarya Payment on Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa
Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor, 34 Agustus 2009.
Smith,M., de Groot,D., Perrot-Maite,D. and Bergkamp, G. 2006. Pay-Establishing Payments
for Watershed Services. Gland, Switzerland : IUCN. Reprint, Gland, Switzerland : IUCN,
2008.
Swallow, B., MeinzenDick, R. and van Noordwijk, M. 2005. Localizing Demand and
Supply of Environmental Services: Interactions with Property Rights, Collective Action and
the Walfare of the Poor. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C.
20006 USA.
TNGGP [Taman Nasional Gunung Gede Pangrango]. 2011. Pemanfaatan Air secara
Lestari antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan
Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bumi Wibawa (PDAM - TBW) Kota
Sukabumi.http://www.gedepangrango.org/kerjasama-pemanfaatan-air-secara-lestari-di-tnggp
Turner, R. K, Pearce, D. and Bateman, I. 1994. Environmental Economics. Harvester
Wheatsheaf. London.
UGM. 2011. Workshop Green Partnership : Peran Swasta dalam Pengelolaan Kawasan
Konservasi.
Yogyakarta
28-29
Juli2011.
(http://ugm.ac.id/index.
php?page
=rilis&artikel=3977)
Van Noordwijk, M. 2005. Rupes Typology of Environmental Service Worthy of Reward. The
Program for Developing Mechanism for Rewarding the Upland Poor in Asia for
Environmental Services They Provide (RUPES) is Supported by the International Fund for
Agricultural Development (IFAD). Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia Regional Office.
van Noordwijk, M., Chandler, F. and Tomich, T.P. 2004. An introduction to the conceptual
basis of RUPES. Rewarding Upland Poor for Environmental Services. World Agroforestry
Centre, Bogor, Indonesia.
Wunder, 2005. Payments for Environmental Services: some nuts and bolts. CIFOR
Occasional Paper No. 42. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Wunder, Sven, Bui Dung The and Enrique Ibarra. 2005. Payment is Good, Control is Better:
Why payments for forest environmental services in Vietnam have so far remained
incipient. CIFOR: Bogor, Indonesia.
http://barkahalam.blogspot.com/2012/04/pengelolaan-jasa-lingkungan-tataair.html

Anda mungkin juga menyukai