Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY. D DENGAN FRAKTUR PATELLA SISISTRA

DI RUANG BOUGENVIL / BEDAH RSD NGANJUK

Dosen Pembimbing :

Sri Wahyuni, S. Kep., Ns, M. Kep

Disusun Oleh :

Anggraeni Novita Sari 10219006

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PRODI S1 KEPERAWATAN

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Fraktur Pattela Sinistra di Ruang Bougenvil /
bedah RSD Nganjuk.

Nama : Anggraeni Novita Sari

NIM : 10219006

Prodi : S1 Keperawatan

Institusi : Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Sebagai salah satu syarat dan pemenuhan tugas Praktik Belajar Klinik departemen Keperawatan
Dasar, yang di laksanakan pada 31 Januari 2022 s/d 5 februari 2022.

Nganjuk,

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing klinik


LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR PATELLA SINISTRA

A. KONSEP FRAKTUR

1. DEFINISI FRAKTUR

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Rasjad, 2012)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur
dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Brunner dan Suddarth, 2008).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2009).

2. TUJUAN PEMBERIAN

a. Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi standar untuk melihat posisi dari patella adalah pemeriksaan
radiografi sendi lutut, dimana ada 3 pemeriksaan standar yang dapat dilakukan yaitu,
anteroposterior, lateral dan axial (sunrise atau merchant). Dalam pengukuran ketinggian dari
patella pemeriksaan radiografi yang dilakukan merupakan proyeksi lateral. Lateral view diambil
dalam posisi sendi lutut fleksi 30 derajat dan pasien berbaring miring pada sisi lutut yang akan
dilakukan pemeriksaan. Pada posisi ini patellar tendon tidak berada dalam keadaan tension.
Kaset akan berada diposisi lateral dari sendi lutut dan sinar x-ray akan diarahkan tegak
lurus dari kaset. Rotasi harus dihindari untuk mencegah terjadinya pengaburan dari marker
pengukuran pada tulang (tibia tubercle). Pada proyeksi ini maka akan terlihat adanya gambaran
dari tendon quadriceps, patella, patellar tendon, bursa suprapatellar, distal femur, dan proksimal
dari tibia-fibula. Quadriceps dan patellar tendon dapat dievaluasi cukup baik dengan proyeksi in

b. Metode Pengukuran Ketinggian Patella

Pada saat ini berkembang tehnik untuk pengukuran dari ketinggian patella. Secara garis besar
bisa dibagi menjadi 2 grup : posisi dari patella dengan femur (direct) dan posisi dari patella
dihubungkan dengan tibia (indirect).

- Indirect Method
Metode yang paling sering digunakan untuk pengukuran ketinggian patella. Metode ini
pertama sekali dikenalkan oleh Insall dan Salvati pada 1971. Ini terbukti lebih mudah
digunakan, tidak memerlukan sudut fleksi tertentu, dan nilai normalnya berkisar antara
1,0 (0,8-1,2) lebih mudah untuk diingat. Walaupun tidak mudah untuk menentukan batas
pengukurannya pada tulang, dan juga ukuran dari patella bisa bervariasi dan pertumbuhan
tulang patella yang abnormal bisa mengaburkan pengukurannya. Pada saat ini dengan
berkembangnya radiografi digital dapat dibedakan dengan mudah patellar tendon dengan
jaringan lunak disekitarnya. Pengukuran ini tidak tepat dilakukan pada penderita Osgood
Schlatter. Insall-Salvati menjelaskan beberapa keuntungan dari metode ini, yaitu
diantaranya :
• Mudah, praktis dan juga akurat
• Dapat digunakan pada posisi pemeriksaan radiografi yang rutin dilakukan (20-70 0 )

Insall dan Salvati menjelaskan ketinggian patella normal dengan panjang dari patellar
tendon. Pengukuran dilakukan dengan 114 sampel pada penderita cedera meniscus.
Semua sampel merupakan orang dewasa, dan pada foto tidak ada yang menunjukkan
tanda osteoarthritis. Pengukuran yang dilakukan pada metode ini antara lain :
1. T (panjang tendon) : panjang dari tendon patellar diukur dengan permukaan posterior
dari origo pada pole bawah dari patella ke insersinya di tibia tubercle.
2. P (panjang patella) : Bagian terpanjang dari diagonal patella.
Panjang dari tendon patella hampir sama dengan panjang dari patella. Nilai rata-ratanya
adalah 1,02 dengan SD 0,13. Telah disimpulkan juga bahwa pada lutut normal, panjang
dari patellar tendon tidak berbeda dengan panjang patella dengan tidak lebih dari 20%.

- Blackburne-Peel Rasio
Blackburne dan Peel, menggunakan tehnik pengukuran antara panjang dari permukaan
artikular dari patella dengan garis tegak lurus antara inferior dari patella dengan garis
horizontal dari tibia plateau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seil dkk serta
Berg dkk, keduanya menemukan bahwa tehnik ini memberikan hasil yang lebih akurat.
Blackburne dan Peel mengkritisi dari metode Insall-Salvati, berdasarkan 2 observasi :
1. Marker radiografi pada tibial tubercle bisa sulit dinilai pada kasus Osgood Schlatter.
2. Bagian nonartikular pada pole bawah dari patella bisa bervariasi ukurannya.

Berdasarkan hal tersebut, mereka menyarankan rasio pengukuran antara jarak


perpendicular dari bagian terbawah dari batas artikular patella ke tibia plateau (A) dan
panjang dari permukaan artikular patella (B) yang diukur dalam posisi kaki fleksi 30
derajat. Rasio A/B pada 171 lutut normal didapatkan nilai 0,80 (SD 0,14). Tidak ada
perbedaan antara jenis kelamin.

- Metode Modified Insall- Salvati


Grelsamer dan Meadows melakukan observasi dengan Insall-Salvati dengan
menggunakan bentuk dari patella. Mereka menemukan bahwa pada pasien dengan patella
alta dan dengan patella dengan bentuk yang panjang bisa menyebabkan false nilai normal
Insall Salvati index. Untuk mengatasi masalah ini maka dilakukan modifikasi dari Insall-
Salvati. Rasio dilakukan dengan pengukuran antara bagian inferior artikular patella dan
tibial tuberositas dan dengan panjang dari permukaan artikular. Dengan kata lain pada
metode ini mempunyai referensi poin bagian distal yang sama dengan Insall-Salvati,
sedangkan pada bagian proksimal sama dengan referensi poin pada metode Caton. Pada
studi ini dilakukan pemeriksaan dengan 100 sampel lutut, yang didapatkan hasil rasio
normal 1,5 (range 1,2-2,1). Rasio 2 atau lebih bisa dinyatakan sebagai patella alta.
3. ANATOMI FISIOLOGI

Patella merupakan tulang sesamoid terbesar yang ada di tubuh, menduduki femoral
trochlea. Bentuknya yang oval asimetris dengan puncaknya mengarah ke distal. Serat tendon
quadriceps menyelimuti bagian anterior dari patella dan bersatu dengan patellar ligament pada
bagian distal. Artikulasi yang dibentuk oleh patella dan femoral trochlea membentuk
kompartemen patellofemoral. Ada 6 bentuk varian dari morfologi patella, dimana tipe I dan II
bentuk yang stabil, sedangkan varian lain mempunyai bentuk lebih cenderung untuk terjadinya
lateral subluksasi. Femoral trochlea dipisahkan dari medial dan lateral femoral condyle oleh
ridge (bubungan). Pada fleksi 10-20 derajat, bagian distal pole dari patella melakukan kontak
pertama kali dengan trochlea, pada saat sudut fleksi ditingkatkan area kontak berpindah ke
proksimal dan lateral. Area kontak yang paling luas dibentuk pada sudut 45 derajat.

Fungsi biomekanik yang utama dari patella adalah untuk meningkatkan kinerja dari
mekanisme quadriceps. Beban yang melewati sendi akan meningkat seiring dengan fleksi sendi
lutut, tetapi dengan area kontak yang juga meluas maka tekanan yang didapat juga akan tersebar.
Jika dilakukan tahanan ketika akan melakukan ekstensi, maka tekanan yang didapat akan
meningkat tetapi daerah yang mendapat tekanan akan menyusut, dimana hal ini akan
menyebabkan nyeri pada patellofemoral Pengetahuan terhadap anatomi dan biomekanik dari
patella fundamental untuk mengetahui perbedaan patologis yang dapat terjadi pada anterior lutut.

Ketinggian dari patella yang abnormal dapat terlihat dari banyak kondisi yang melibatkan
sendi patellofemoral. Patella alta yang dikenal sebagai patella letak tinggi yang abnormal
berhubungan dengan kondisi nyeri pada anterior sendi lutut. instabilitas dari patella dan Osgood
Schlatter’s, sedangkan patella baja atau infera, merupakan sebuah kondisi dimana patella letak
rendah yang abnormal, biasanya kondisi ini dapat menyebabkan nyeri pada anterior sendi lutut,
dan terbatasnya fleksi dari sendi lutut, biasanya disebabkan oleh komplikasi dari pembedahan
dan trauma.
4. KLASIFIKASI FRAKTUR

1. berdasarkan garis fraktur

a. Fraktur komplit
Garis patahanya melalui seluruh penampung tulang atau melalui kedua korteks tulang
b. Fraktur inkomplit
Garis patahanya tidak melalui seluruh penampung tulang green stick fracture atau bila
mengenai satu korteks dimana korteks tulangnya sebagian masih utuh juga periosteum
akan segera sembuhdan segera mengalami remodeling kebentuk normal.

2. fraktur menurut jumlah dan garis patah / bentuk / konfigurasi

a. Fraktur comminute
Banyak fraktur atau fragmen kecil tulang yang terlepas
b. Fraktur segmental
Bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan satu ujung tidak memiliki
pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan keadaan ini perlu terapi bedah
c. Fraktur multiple
Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya. Seperti fraktur
femur, cruris dan vetebra.

3. fraktur menurut posisi fragmen

a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser)


Garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteoumnya masih utuh
b. Fraktur displaced (bergeser)
Terjadi pergeseran pada fragmen-fragmen

4. menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar

a. Fraktur terbuka ( oper fracture / compoun fracture)


Fraktur terbuka kerena intergitas kulit robek atau terbuka dan ujung tulang menonjol
sampai menembus kulit. Fraktur terbuka ini dibagi menjadi tiga berdasarkan tingkat
keparahanya.
- Derajat I : robekan kulit kurang dari 1 cm dengan kerusakan kulit atau jaringan
minimal
- Derajat II : luka lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih
besar, fraktur merobek kulit dan otot
- Derajat III : kerusakan atau robekan lebih dari 5-8 cm dengan kerusakan jaringan
otot, saraf dan tendon, kontaminasi sangat besar dan harus segera di atasi.
b. Fraktur tertutup (closed fracture / simple fracture)
Fraktur tidak kompleks, integritas kulit masih utuh, tidak ada gambaran tulang yang
keluar dari kulit.

5. fraktur bentuk fragmen dan hubungan dengan mekanisme trauma

a. Fraktur transversal (melintang) / trauma langsung


Garis fraktur tegak lurus , segmen tulang yang patah di resposisi atau di reduksi kembali
ketempat semula, segmen akan stabil dan biasanya mudah di kontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur obelique / trauma angulasi
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut pada tulang, fraktur ini tidak stabil dan
sulit untuk diperbaiki
c. Fraktur spiral / trauma rotasi
Fraktur ini timbul akibat torsi pada ekstremitas menimbilkan sedikit kerusakan jaringan
lunak dan cenderung cepat sembuh kerena imobilisasi luar
d. Fraktur kompresi / trauma axial flexi pada tulang spongiosa
Fraktur terjadi ketika kedua tulang menumpuk tulang ketiga yang berada diantarranya
seperti satu vetebra dengan dua vetebra lainya
e. Fraktur avulasi / trauma akibat tarikan (fraktul patella)
5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Deformitas Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi
satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).

3. Krepitasi Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitasi dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

4. Pembengkakan dan perubahan warna Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

5. Fals Moment Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

6. ETIOLOGI FRAKTUR

Menurut (Brunner dan Suddarth, 2008), yaitu :

a. Cedera traumatik

Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang.

2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat
b. Fraktur Patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan seperti:

Tumor tulang (jinak atau ganas), Infeksi seperti osteomyelitis, dan Rakhitis.

c. Secara spontan

Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang
bertugas dikemiliteran.

7. MASALAH YANG TERJADI

Menurut (Elizabeth J. Corwin, 2009) :

1) Komplikasi Awal

a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom

Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang
sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang
berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom

Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika
gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang
rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada
pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom
emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah,
bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.

d. Infeksi System

Pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai
pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN)

Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat
suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi
suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang
lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh
karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien
supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan
beban.

f. Shock Shock

terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis

Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi.
Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama

a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.

b. Non union (tak menyatu)

Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadangkadang dapat terbentuk
sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella
dan fraktur yang bersifat patologis.

c. Malunion Kelainan

penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau
pergeseran.
8. PATOFISIOLOGI FRAKTUR

Menurut (Elizabeth, 2009), Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya
terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. jaringan
lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah
patah tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan
aliran darah ke area tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati dimulai. Bekuan
fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya
sel-sel baru.

Aktivitas osteoblas akan segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, disebut
kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara
perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai
beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau
terhambat apabila hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau
apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.

9. PENATALAKSANAAN FRAKTUR

Menurut(Rasjad, Chairuddin. 2012), Prinsip terapi fraktur yaitu :

1) Reduksi

Adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi memerlukan pemulihan
panjang serta koreksi deformitas angular dan rotasional. Reposisi mannipulatif biasanya dapat
dilakukan pada fraktura ekstremitas distal (tangan, pergelangan tangan. kaki, tungkai), dimana
spasme otot tidak berlebihan. Traksi bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau
dengan memasang pin tranversa melalui tulang, distal terhadap ftaktur. Reduksi terbuka biasanya
disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat & pin, batang atau sekrup.
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi tertutup
dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced. Biasanya dilakukan dengan
anestesi lokal dan pemberian analgesik. Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka
lakukan reposisi terbuka dikamar operasi dengan anestesi umum.Kontra indikasi reposisi
tertutup:

- Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi


- Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
- Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced patellar fracture.

2) Imobilisasi.

Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur sampai timbul
penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan
dengan gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara komersial. Pemasangan gips yang
tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit, vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa
hari berikutnya untuk menilai neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka
traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas
bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang
mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips / brace.

3) Rehabilitasi

Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama merupakanmasalah pemulihan
jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi
sewaktu gips / bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif serta
penguatan otot.

B. KONSEP NYERI

1. DEFINISI NYERI
Nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Arthur C
Curton; Prasetyo 2010 dalam Andarmoyo, 2013).Menurut Association for the study of pain,
Nyeri adalah awitan yang tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan maupun > 6 bulan. Nyeri
merupakan mechanism protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran telah atau
akan terjadi kerusakan jaringan (Sherwood L., 2001 dalam Andarmoyo, 2013).

2. KLASIFIKASI NYERI
Klasifikasi menurut Wilkinson Judith M. & Nancy R. Ahern, 2011 sebagai berikut :
1) Nyeri Akut
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti ( International Association for the
study of pain) ; awitan yang tiba – tiba atau perlahan dengan intesitas ringan sampai berat dengan
akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.
2) Nyeri Kronis
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan (International
Association for the study of pain); awitan yang tiba – tiba atau perlahan dengan intesitas ringan
sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya lebih dari
6 bulan.

3. ETIOLOGI NYERI
Menurut Atoilah, E. M., & Engkus, K. (2013), etiologi dari nyeri adalah sebagai berikut :
1) Trauma
a. Trauma mekanik berupa benturan, gesekan, luka, bekas sayatan pasca operasi yang
merangsang nyeri karena reseptor nyeri mengalami kerusakan
b. Trauma thermik seperti panas api, air dingin yang berlebih akan merangsang reseptor nyeri
c. Trauma kimia seperti sentuhan asam dan basa yang kuat
d. Trauma elektrik seperti aliran listrik yang kuat akan merangsang reseptor nyeri akibat kejang
otot atau kerusakan reseptor nyeri
1) Neoplasma
a. Neoplasma jinak dapat menyebabkan penekanan pada ujung saraf reseptor nyeri.
b. Neoplasma ganas akan mengakibatkan kerusakan jaringan, akibat tarikan, jepitan atau
metestase dari kanker.
c. Peradangan seperti abses, pleuritis akan mengakibatkan kerusakan saraf reseptor nyeri
akibat adanya peradangan atau karena adanya penekanan dari pembengkakan jaringan.
2) Iskemik jaringan
3) Trauma psikologis

5. PATOFISIOLOGI NYERI
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami
nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan
menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan atau inflamasi. Akibatnya,
mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan
merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat
menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).
Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan
serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah
maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulas K+ ekstraseluler dan H+
yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2
memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan
nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan
kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga
menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi
(oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan
migrain. Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000).
6. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NYERI
1) Usia
Usia sangat mempengaruhi respon terhadap nyeri. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami
rasa nyeri sebab belum dapat mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orangtua ataupun petugas kesehatan. Berbeda pada pasien lansia,
harus dilakukan pengkajian secara lebih rinci ketika pasien lansia melaporkan adanya nyeri. Hal
ini dikarenakan lansia sering kali memiliki sumber nyeri yang lebih dari satu, terkadang penyakit
yang berbeda-beda yang diderita menimbulkan gejala yang sama. Sebagian lansia terkadang
pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, karena menganggap hal tersebut merupakan
konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin antara pria maupun wanita tidak ada perbedaan secara bermakna dalam berespon
terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin dalam memaknai nyeri misal,
menganggap bahwa anak laki – laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak
perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo
2013).
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu mengatasi rasa nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.Budaya dan
etnisitas berpengaruh pada bagaimana seseorang merespon terhadap nyeri.Sejak dini pada masa
kanak-kanak, individu belajar dari lingkungan sekitar mereka merespon nyeri yang bagaimana
yang dapat diterima atau tidak dapat diterima(Smeltzer, S.S & Bare, B.G,2002 dalam
Andarmoyo, 2013).
4) Perhatian
Tingkat pasien memfokuskan perhatianya terhadap nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,sedangkan
upayapengalihan(distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun(Gill,1990;Potter
&Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013).
5) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri,tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan ansietas (Paice, 1991) dikutip dari Potter & perry (2006),melaporkan suatu bukti bahwa
stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbicyang diyakini mengendalikan emosi seseorang,
khususnya ansietas (Andarmoyo, 2013).
6) Keletihan
Keletihan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa keletihan akan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri
seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap( Potter&
Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013).
7) Pengalaman sebelumnya
Apabila individu mempunyai riwayat nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat
maka ansietas dapat muncul. Apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama secara
berulang, tetapi kemudian nyeri dapat berhasil dihilangkan akan lebih mudah bagi individu untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri akibatnya, individu akan lebih siap untuk melakukan tindakan
yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo 2013).
8) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuanbaik sebagian maupun keseluruhan. Individu
seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan
psikologis nyeri. Penting untuk memahami sumber koping klien selama klien mengalami nyeri,
sumber yang dimaksud seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung melakukan
latihan,atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya
mendukung klien dan mengurangi nyeri (Potter& Perry,2006 dalam Andarmoyo, 2013).
9) Dukungan Keluarga
Faktor lain yang mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang terdekat individu dan
bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri sering bergantung pada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan.
Meskipun nyeri tetap dirasakan, kehadiran orang yang dicintai individu akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman,seringkali pengalaman nyeri
membuat individu semakin tertekan. Kehadiran orangtua sangat penting bagi anak-anak yang
sedang mengalami nyeri ( Potter & Perry,2006 dalam Andarmoyo, 2013).

7. UPAYA DALAM MENGATASI NYERI


Penatalaksaan nyeri bersifat sangat individual, dan intervensi yang berhasil untuk satu orang
klien mungkin tidak berhasil untuk klien yang lainnya hal ini karena tingkat mekanisme koping
antara individu berbeda.Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri antara lain
sebagai berikut :

1. Terapi Farmakologis
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Walaupun analgesik
dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawatan dan dokter masih cenderung tidak
melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang tidak benar,
karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan
kesalahan dalam menggunakan analgesik narkotik dan pemberian obat yang kurang dari yang
diresepkan. Tiga jenis analgesik umumnya digunakan untuk meredakan nyeri. Ketiga jenis ini
adalah :
a. Analgesik non-narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). NSAID antara lain
aspirin, ibu profen (Motrin) dan naproksen (Naprosyn, Aleve). NSAID Non-narkotik
umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri terkait dengan
artritis reumatoid, prosedur pengobatan gigi, dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan
masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian, yaitu ketorolak (Taradol),
merupakan agens analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yangkemanjurannya dapat
dibandingkan dengan morfin (Andarmoyo, 2013).
b. Analgesik narkotik atau opiate
Analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan dan digunakan untuk nyeri sedang
sampai berat, seperti pascaoperasi dan nyeri maligna.Analgesik ini bekerja pada sistem
saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek mendepresi dan menstimulasi
(Andarmoyo,2013).
c. Obat tambahan (Adjuvan)
Adjuvan seperti sedatif, anticemas, dan relaksasi otot meningkatkan kontrol nyeri atau
menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti mual muntah. Agens tersebut
diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai dengan analgesik.Sedatif sering kali
diresepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk
dan kerusakan koordinasi, keputusasaan, dan kewaspadaan mental (Andarmoyo, 2013).
1) Terapi Non Farmakologis
Managemen nyeri nonfarmakologis merupakan tindakan menurunkan respon nyeri tanpa
menggunakan agens farmakologis.Melakukan intervensi manajemen nyeri non
farmakologi merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi respon nyeri
klien.Managemen nyeri nonfarmakologi sangat beragam.Banyak literatur yang
membicarakan mengenai teknik-teknik peredaan nyeri. Beberapa tindakan non
farmakologis dalam mengurangi nyeri antara lain sebagai berikut :
2) Obat tambahan (Adjuvan)
Adjuvan seperti sedatif, anticemas, dan relaksasi otot meningkatkan kontrol nyeri atau
menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti mual muntah. Agens tersebut
diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai dengan analgesik.Sedatif sering kali
diresepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk
dan kerusakan koordinasi, keputusasaan, dan kewaspadaan mental (Andarmoyo, 2013).
3) Terapi Non Farmakologis
Managemen nyeri nonfarmakologis merupakan tindakan menurunkan respon nyeri tanpa
menggunakan agens farmakologis.Melakukan intervensi manajemen nyeri non
farmakologi merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi respon nyeri
klien.Managemen nyeri nonfarmakologi sangat beragam.Banyak literatur yang
membicarakan mengenai teknik-teknik peredaan nyeri. Beberapa tindakan non
farmakologis dalam mengurangi nyeri antara lain sebagai berikut :
a. Distraksi
Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri, atau dapat
diartikan lain bahwa distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-
hal di luar nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokus pada nyeri lagi dan
dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri.
- Distraksi visual atau penglihatan
Distraksi visual atau penglihatan adalah pengalihan perhatian selain nyeri yang
diarahkan ke dalam tindakan-tindakan visual atau pengamatan. Misalnya melihat
pertandingan olahraga, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan
indah, dsb (Andarmoyo, 2013).
- Distraksi Audio/ pendengaran
Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke dalam tindakan-tindakan melalui
organ pendengaran. Misalnya mendengarkan musik yang disukai atau mendengarkan
suara kicauan burung serta gemercik sir.
Saat mendengarkan musik, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai
dan musik tenang seperti musik klasik dan minta untuk berkonsentrasi pada lirik dan
irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama
lagu seperti bergoyang, mengetuk jari atau kaki (Andarmoyo, 2013).
- Distraksi Intelektual
pengalihan perhtian selain nyeri yang diarahkan ke tindakan dengan menggunakan
daya intelektual pasien, mislanya dengan mengisi teka teki silang, beramin kartu,
menulis buku cerita, dan sebagainya (Andarmoyo, 2013).
- Relaksasi
Relaksasi merupakan pelemasan otot sehingga akan mengurangi ketegangan otot
yang dapat mengurangi rasa nyeri. Teknik yang dilakukan yaitu dengan nafas dalam
secara teratur dengan cara menghirup udara melalui hidung, tahan dan keluarkan
secara perlahan melalui mulut (Atoilah, E. M., & Engkus, K. 2013).
- Stimulasi Saraf Elektris Transkutan/TENS (Transcutaneous Elektrical Nerve
Stimulation)
Transcutaneous Elektrical Nerve Stimulation(TENS) adalah alat yang menggunakan
aliran listrik baik dengan frekuensi rendah maupun tinggi yang dihubungkan dengan
elektroda pada kulit untuk menghsilkan sensasi kesemutan, bergetar, atau
mendengung pada area yang nyeru. TENS adalah salah satu prosedur non invasif dan
salah satu metode yang aman untuk mengurangi nyeri akut maupun kronis
(Andarmoyo, 2013).
- Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah suatu cara dengan menggunakan imajinasi seseorang
dalam cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup. Usahakan kondisi lingkunan
mendukung untuk tindakan ini misalnya kegaduhan, kebisingan, bau menyengat
maupun cahaya yang terang perlu di pertimbangkan agar tidak mengganggu
konsentrasi klien.
- Akupuntur
Akupuntur adalah suatu teknik tusuk jarum yang mempergunakan jarum kecil
panjang (ukuran bervasiasi mulai dari 1,7 cm sampai 10 cm) kemudian di tusukkan
pada bagian tertentu di badan (area yang sering digunakan adalah kaki, tungkai
bawah, tangan, dan lengan bawah). Setelah dimasukan ke area tubuh tertentu, jarum
diputar – putar atau di pakai untuk menghantar arus listrik yang kecil. Titik-titik
akupuntur dapat distimulasi dengan mmasukkan dan mencabut jarum menggunakan
panas, tekanan/pijatan, laser atau stimulasi elektrik atau kombinasi dari berbagai
macam cara tersebut.

8. Mengukur Derajat Nyeri


Intensitas derajat nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan invidual serta kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri
dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh
terhadap nyeri itu sendiri.
Pengukuran intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut :
1) Skala numerik (Numerical Rating Scale)
Skala penilaian numerik lebih digunakan sebagai alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi teraupetik.Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 (Perry dan Potter, 2006
dalam Andarmoyo, 2013)
2) Skala Deskriptif (Verbal Descriptor Scale)
Skala deskriptif adalah alat pengukur tingkat keparahan yang lebih objektif.Skala
deskriptif merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking
dari “Tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan
klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang klien
rasakan.Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan(Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo,
2013).
3) Skala analog (Visual Analog Scale)
Skala analog adalah garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus-menerus dan pendekskripsi verbal pada setiap ujungnya.Pasien diminta
untuk menunjukkan titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis
tersebut.Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung
kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil,
sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis
“tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam centimeter (Smeltzer, 2002 dalam Andarmoyo,
2013).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015)

1. Pengkajian

merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan
dan ketelitian tentang masalahmasalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:

a. Data Subjektif

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama

Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi pada daerah
fraktur tersebut

c) Riwayat Penyakit

Sekarang Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan,
degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada /
tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita osteoporosis
sebelumnya
e) Riwayat Penyakit Keluarga

Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau
penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular

2) Pola-pola Fungsi Kesehatan

a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.

c) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

e) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.

f) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap

g) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)

h) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

i) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya

j) Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan
pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

b. Data obyektif

1) keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.

2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

3) pemeriksaan fisik :

a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.

b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.

c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak
ada lesi, simetris, tak oedema.

e) Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)

f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.

i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.


j) Paru

I. Inspeksi

Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.

II. Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

III. Perkusi

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

IV. Auskultasi

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

k) Jantung

I. Inspeksi

Tidak tampak iktus jantung.

II. Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

III. Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l) Abdomen

I. Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.


II. Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

III. Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

IV. Auskultasi

Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

m) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial
berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
dengan post op fraktur meliputi :

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur oprasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, kelemahan, imobilitas

c) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas

d) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakbugaran fisik, nyeri, kurang terpapar
informasi aktivitas fisik

e) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif


3. Intervensi Dan Implementasi

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa Intervensi dan implementasi keperawatan yang
muncul pada pasien meliputi : ( Tabel 1 )

N Diagnosa Tujuan/ kriteria hasil Intervensi Rasional


o Keperawatan Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah di lakukan intervensi Manajemen 1. Dengan
berhubungan keperawatan selama 1x24 nyeri (I.08238). mengidentifikasi
dengan agen jam maka nyeri menurun dapat membantu
pencedera dengan kriteria hasil : Observasi: perawat untuk
fisik (mis. - Keluhan nyeri 1. Identifikasi berfokus pada
abses, menurun lokasi , penyebab nyeri
amputasi, - Meringis menurun karakteristik, dan
terbakar, - Gelisah menurun durasi, manajemennya
terpotong, - Kesulitan tidur frekuensi, 2. Dengan
mengangkat menurun kulaitas mengidentifika si
berat, prosedur nyeri, skala respon nyeri non
oprasi, trauma, nyeri, verbal klien dapat
latihan fisik intensitas mengetahui
berlebihan) nyeri seberapa kuat
2. Identifikasi nyeri yang
respon nyeri dirasakan oleh
non verbal. klien
3. Identifikasi 3. Dengan
factor yang mengidentifikasi
memperberat factor yang
dan memperberat
memperingan nyeri klien dapat
nyeri. mengetahui apa
yang
Terapeutik : memperberat
1. Berikan nyeri yang
teknik dirasakan klien
nonfarmakol 4. Pemberian Teknik
ogis untuk nornfarmakologis
mengurangi dapat membantu
rasa nyeri. klien dalam
2. Fasilitasi mengurangikecem
istirahat dan asan nyeri
tidur. 5. Pemberian
3. Kontrol analgetic dapat
lingkungan memblok nyeri
yang pada susunan
memperberat saraf pusat
rasa nyeri.

Edukasi :
1. Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri.
2. Ajarkan
teknik non
farmakologis
untuk
mengurangi
rasa nyeri .

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
analgetik jika
perlu
2 Intoleransi Setelah di berikan intervensi Manajeman
aktivitas keperawatan selama 1x24 energi (I.12379)
berhubungan jam diharapkan toleransi
dengan tirah aktivitas meningkat dengan Observasi : Observasi :

baring, kriteria hasil : 1. 1. untuk mengetahui

kelemahan, - Kemudahan mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh

imobilitas dalam melakukan gangguan fungsi yang di alami pasien


aktivitas sehari- tubuh yang akibat kelelahan
hari meningkat mengakibatkan 2. untuk mengetahui

- Kecepatan kelelahan tingkat aktifitas fisik

berjalan 2. monitor dan emosional


meningkat kelelahan fisik 3. untuk mengetahui
- Kekuatan tubuh dan emosional pola tidur pasien

bagian bawah 3. monitor pola apakah teratur atau


meningkat tidur tidak

4. monitor lokasi 4. untuk mengetahui


dan lokasi dan tingkat

ketidaknyamana ketidaknyamanan

n selama pasien selama

melakukan melakukan aktivitas

aktivitas

Terapeutik : Terapeutik :

1. sediakan 1. untuk memberikan


lingkungan rasa nyaman bagi

nyaman dan pasien


rendah stimulus 2. untuk meningkatkan
(mis. cahaya, dan melatih massa otot
suara, dan gerak ekstremitas
kunjungan) pasien
2. lakukan 3. untuk mengalihkan
latihan gerak rasa ketidaknyamanan
rentang pasif yang di rasakan oleh
dan atau aktif pasien
3. berikan 4. untuk melatih gerak
aktifitas distraksi mobilisasi pasien
yang selama perawatan di
menenangkan Rumah Sakit
4. fasilitasi
duduk di sisi
temoat tidur, jika
tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi :
Edukasi :
1. untuk memberikan
1. anjurkan tirah
rasa nyaman pada saat
baring
pasien beristirahat
2. Anjurkan
2. untuk menunjang
melakukan
proses kesembuhan
aktifitas secara
pasien
bertahap

3 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan


integritas keperawatan selama 1x24 integritas kulit
kulit/jaringan jam di harapkan integritas (1.11353)
berhubungan kulit dan jaringan meningkat
dengan dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :

penurunan - Kerusakan 1. identifikasi 1. mengetahui

mobilitas jaringan menurun penyebab penyebab gangguan

- Kerusakan lapisan gangguan integritas kulit (mis.

kulit menurun integritas kulit perubahan sirkulasi ,


- Nyeri menurun (mis. perubahan perubahan status
sirkulasi, nutrisi, penurunan
perubahan kelembaban suhu
ststus, lingkungan, ekstrem,
oenurunan penurunan mobilitas)
kelembaban,
suhu
lingkungan,
ekstrem,
penurunan
Terapeutik :
mobilitas)
1. agar tidak
terbentuknya lesi
Terapeutik :
2. agar pasien
1. ubah posisi
merasakan nyaman
tiap 2 jam jika
tirah baring
2. lakukan
pemijatan pada
area penonjolan Edukasi :
tulang, jika perlu 1. agar kulit pasien

merasa nyaman
Edukasi :
2. agar pasien tidak
1. anjurkan
dehidrasi
menggunakan
3. agar asupan pasien
pelembab (mis. terpenuhi
serum, lotion)
2. anjurkan
minum air putih
yang cukup
3. anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi

4 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Dukungan


mobilitas fisik keperawatan selama 1x24 mobilisasi (1.
berhubungan jam di harapkan mobilitas 09262)
dengan fisik pasien meningkat
Edukasi : Edukasi :
ketidakbugara dengan kriteria hasil :
n fisik, nyeri, 1. pergerakan ekstremitas 1. identifikasi 1. menentukan batas
kurang meningkat toleransi fisik gerak yang akan

melakukan dilakukan
terpapar 2. kekuatan otot meningkat
pergerakan 2. mengetahui
informasi 3. rentang gerak meningkat
aktivitas fisik 2. monitor perkembangan pasien
frekuensi
tekanan darah
sebelum
memulai
mobilisasi

Terapeutik :
Terapeutik :
1. agarpasien dan
1. jelaskan
keluarga dapat
alasan/rasional
memahami dan
pemberian
mengetahui alasan
latihan
pemberian latihan
menggerakan
sendi kepala
pasien atau
keluarga
3. libatkan
keluarga
Edukasi :
1. untuk membantu
Edukasi :
pasien dalam
1. bantu klien ke
memningkatkan
posisi yang
pergerakan
optimal untuk
2. untuk
latihan rentang
mempertahankan atau
gerak
memulihkan
2. terapi latihan
fleksibelitas sendi
fisik, mobilitas
3. untuk meningkatkan
sendi dengan
atau memulihkan
menggunakan
pergerakan tubuh
pergerakan
terkendali
tubuh aktif
3. terapi latihan
fisik, latih secara
mandiri dengan
mengunakan
aktivitas atau
protokol latihan
tertentu

5 Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan 1. untuk


berhubungan keperawatan maka tingkat infeksi mengetaahui
dengan infeksi dengan Kriteria Hasil: tanda dan gejala
prosedur 1. Kebersihan tangan Observasi : infeksi local dan
invasif meningkat. 1. Monitor tanda sistemik
2. Kebersihan badan dan gejala 2. untuk
meningkat. infeksi local dan menghindari
3. Demam, kemerahan, sistemik. keramaian yg
nyeri, bengkak menurun. 2. Batasi jumlah menggangu
Kadar sel darah putih pengunjung pasien
meningkat. 3. Berikan 3. untuk
perawatan kulit menghindari
pada area adanya infeksi
edema. pada kulit edema
4. Cuci tangan 4. menghindari
seblum dan adanya kuman
sesudah kontak dan bakteri yang
dengan klien dan ada di tangan
lingkungan 5. teknik aseptic bisa
klien. mengurangi
5. Pertahankan terjadinya tranfer
teknik aseptic bakteri
pada klien 6. menjelaskan tanda
beresiko tinggi. gejala agar klien
mengetahui tanda
Edukasi : dan gejala infeksi
1. Jelaskan tanda 7. cuci tangan
dan gejala dengan benar bisa
infeksi. mengurangi
2. Ajarkan cara kemungknan
mencuci tangan terjadinya infeksi
dengan benar. karena kuman dan
bateri
4. Implementasi

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal.
Pada tahap ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar
manusia (komunikasi) dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada
pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh,
pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim medis serta
mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.

5. EVALUASI

Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan
klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2008.Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3.Jakarta: EGC


Campbell, D. (2006). Music : Physician For Times to Come. 3 Edition. Wheaton: quest books.
Elizabeth J. Corwin. 2009. BukuSakuPatofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Mardiono, (2010). TeknikDistraksi. Posted by Qittun on Wedneday,October 29 2008,
(www.qittun.com ,diakses pada tanggal 30 Januari 2022).

Moore K.L., Dalley A.F., Agur A.M.R. 2010. Clinically oriented anatomy. 6th edition.
Lippincott William and Wilkins. Amerika. 246-53. Jakarta: Erlangga

Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional. Yogyakarta :
Mediaction Jogja.

Prof. Chairuddin Rasjad, MD. P. 2012.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.Jakarta: PT.


Yarsif Watampone Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner &Suddarth( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai