Pembimbing:
dr. Aris Handoko, Sp. OT (K) Hip and Knee
Disusun oleh :
Dwi Bamas Aji
G4A015121
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Anterior Knee Pain merupakan gejala yang digunakan secara luas untuk
mendeskripsikan masalah klinis yang tidak dapat ditemukan penyebab
spesifiknya. AKP merupakan keluhan yang sering ditemukan pada penyedia
layanan kesehatan termasuk dokter umum, fisioterapis, reumatologis, dokter
olahraga, dan bedah ortopaedi. Pada 57.555 pasien dewasa yang tercatat dalam
satu tahun, 1.782 diantaranya memiliki keluhan pada lutut dengan 303
diantaranya didiagnosis sebagai gangguan patellofemoral. Angka insidensinya
bervariasi antara 8%- 33% dari seluruh cedera lutut. Penelitian lain menyebutkan
insidensi AKP antara 25% - 40% dari seluruh gangguan lutut yang ditemukan
pada klinik kesehatan olahraga.
Penggunaan secara berlebihan dan trauma minor repetitif memiliki peran
dalam terciptanya AKP. Setiap tahunnya terdapat 2,5 juta pelari yang
terdiagnosis sebagai nyeri patellofemoral. Sekitar 74% individu dengan maslah
ini akan mengalami penurunan seluruh tingkat aktivitas fisiknya dalam 5 tahun
setelah cedera, dan 70% - 90% diantaranya akan mengalami lebih dari 1 episode
nyeri.
AKP merupakan gejala non spesifik sehingga memiliki diagnosis
banding yang cukup luas. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti dan perhatian khusus pada lokasi anatomis dari nyeri, faktor yang
memperberat nyeri, dan pola cedera akan mempersempit diagnosis banding.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anterior Knee Pain merupakan diagnosis yang meliputi beberapa
kondisi yang ditandai oleh nyeri pada bagian depan dari lutut dan diperberat
dengan aktivitas yang memberikan gaya kompresif patelofemoral yang
besar dan repetitif seperti berlutut, jongkok, dan berlari (Coppack, 2011).
Anterior Knee Pain disebut juga sebagai Patellofemoral pain atau
Chondromalacia patella. Walaupun kondisi ini sering memperlihatkan
gejala yang mirip dan diperberat dengan aktivitas yang mirip, penggunaan
istilah AKP dan PFP digunakan hanya pada tidak adanya penipisan atau
kerusakan pada kartilago dibawah patela (Al-Hakim, 2012).
C. Anatomi
Persendian lutut adalah sendi yang terbesar dan paling rumit di seluruh
tubuh. Pada dasarnya, sendi ini terdiri dari dua buah sendi condylaris antara
condylus femoris medialis dan condylus femoris lateralis dengan condyli
tibiae yang sesuai serta sebuah artikulasio pelana antara patela dan fasies
patelaris femoris. Di atas terdapat condylus femoris yang bulat, di bawah
terdapat condylus tibiae dan meniscus kartilaginosa, di depan terdapat
artikulasio di antara ujung bawah femur dan patela. Fasies artikularis
femoris, tibia, dan patela diliputi oleh tulang rawan hialin. Sendi antara
femur dan tibia adalah sebuah sendi sinovial tipe ginglymus (engsel), tetapi
mempunyai sedikit kemungkinan gerak rotasi. Sendi di antara patela dan
femur adalah sendi sinovial jenis pelana dengan variasi gliding (Snell, 2011).
Terdapat kapsula yang melekat pada pinggir fasies artikularis dan di
sekeliling sisi dan aspek posterior sendi. Kapsula tidak terdapat pada aspek
anterior sendi, sehingga memungkinkan membrana sinovial membentuk
kantung ke atas di bawah tendo muskulus quadriceps yaitu bursa
suprapatelaris. Pada masing-masing sisi patela, kapsula diperkuat oleh
pelebaran tendo muskulus vastus medial dan lateral. Di belakang sendi,
kapsula diperkuat oleh perluasan muskulus semimembranosa,disebut
ligamentum popliteum obliquum. Terdapat lubang pada kapsula di belakang
condylus lateralis tibiae yang dipergunakan untuk tempat keluarnya tendo
muskulus popliteus (Snell, 2011).
Ligamentum dapat dibagi menjadi ligamentum ekstrakapsuler dan
intrakapsuler. Ligamentum ekstrakapsuler terdiri dari ligamentum patela,
ligamentum kolateral lateral, ligamentum kolateral medial, dan ligamentum
popliteum obliquum. Ligamentum intrakapsuler terdiri dari ligamentum
cruciatum anterius, ligamentum cruciatum posterius, dan menisci.
Membrana sinovial melapisi kapsula dan melekat pada pinggir fasies
artikularis. Di depan dan di atas sendi membrana ini membentuk kantung
yang meluas sampai tiga jari di atas patela di bawah muskulus quadriceps
femoris membentuk bursa suprapatelaris. Bursa ini dipertahankan pada
posisinya oleh perlekatan sebagian kecil muskulus vastus intermedius yang
disebut muskulus artikularis genus. Di belakang sendi, membrana sinovial
meluas ke bawah pada permukaan dalam tendo muskulus popliteus
membentuk bursa popliteus. Sebuah bursa yang terletak diantara caput
medial muskulus gastrocnemius dan condylus femoris medial dan tendo
muskulus semimembranosus disebut bursa semimembranosus. Secara
keseluruhan terdapat 4 bursa di depan dan 6 bursa di belakang. Bursa
anterior terdiri dari bursa suprapatelaris, bursa prepatelaris, bursa
infrapatelaris superfisial, dan bursa infrapatelaris profunda. Bursa posterior
terdiri dari bursa popliteus, bursa semimembranosus, sedangkan 4 bursa
lainnya ditemukan dalam hubungan dengan tendo insersi muskulus biceps
femoris; hubungan dengan tendo muskulus sartorius, muskulus gracilis, dan
muskulus semitendineus sewaktu berjalan ke tempat insersinya pada tibia; di
bawah origo caput laterale muskulus gastrocnemius; dan di bawah origo
caput medial muskulus gastrocnemius (Snell, 2011).
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat penyakit yang digali sebaiknya mendeskripsikan
karakteristik nyeri secara teliti (lokasi, karakterisktik, onset, durasi,
perubahan dengan aktivitas atau istirahat, faktor yang memperberat dan
meringankan gejala, dan nyeri malam hari), riawayat trauma
(makrotrauma akut, mikrotrauma berulang), gejala mekanik (terkunci,
instabilitas, perburukan saat atau setelah aktivitas), gejala inflamasi (kaku
pagi hari, bengkak), efek terapi sebelumnya,dan fungsi saat ini. Riwayat
cedera sebelumnya atau pembedahan lutut, penyakit inflamasi sendi
kronik, atau diastesis hemoragik signifikan apabila ditemukan
pembengkakan lutut (Houghton, 2007).
Deskripsi nyeri lutut oleh pasien sangat membantu dalam mencari
diagnosis banding. Penting untuk mengklarifikasi karakteristik nyeri
termasuk onset (cepat atau perlahan), lokasi (anterior, medial, lateral, atau
posterior), durasi, keparahan, dan kualitas (nyeri tumpul, tajam, atau
pegal). Apabila nyeri lutut disebabkan karena cedera akut, harus diketahui
apakah pasien masih dapat untuk melanjutkan akticitas atau menopang
berat badan setelah cedera atau terpaksa harus segera menghentikan
aktivitas (Calmbach, 2003).
Pasien sebaiknya ditanya mengenai gejala mekanik seperti gejala
terkunci, popping, atau giving way. Adanya riwayat episode lutut terkunci
memberi kesan adanya sobekan meniscus. Munculnya sensasi popping
saat cedera memberi kesan adanya cedera ligamen, kemungkinan ruptur
komplit ligamen. Episode giving way dapat mengindikasikan subluksasi
patelar atau ruptur ligamen (Calmbach, 2003).
Waktu dan jumlah efusi sendi merupakan clue penting untuk
diagnosis. Onset yang cepat (dalam 2 jam) dari efusi yang besar dan
tegang menandakan ruptur ACL atau fraktur tibial plateau dengan
hemartrosis. Onset yang lebih lambat (24-36 jam) dari efusi ringan hingga
sedang menandakan cedera meniskus atau terkilir. Efusi rekuren setelah
aktivitas menandakan cedera meniskus (Calmbach, 2003).
Apabila terdapat riwayat cedera, pasien harus ditanyakan detail
mengenai cedera. Penting untuk mengetahui pasien mengalami benturan
langsung pada lutut, jika kaki pasien menapak saat waktu cedera, jika
pasien mengalami deselerasi atau berhenti mendadak, jika pasien
mendarat dari ketinggian, dan jika terjadi hiperkstensi. Benturan langsung
pada lutut dapat menyerbabkan cedera serius. Gaya dari anterior yang
mengenaik tibia proksimal saat lutut fleksi (benturan lutut pada dashboard
saat kecelakaan mobil) dapat menyerbabakan cedera PCL. Medial
collateral ligament sering mengalami cedera sebagai hasil dari gaya dari
lateral (benturan pada sepak bola), gaya ini menciptakan valgus load pada
sendi lutut dan dapat menyebabkan ruptur ligamen. Benturan dari sisi
medial menciptakan varus load dapat menyebabkan cedera lateral
collateral ligament. Memberhentikan mendadak menciptakan gaya
deselerasi yang dapat membuat ruptur ACL. Hiperekstensi dapat
menyebabkan cedera ACL atau PCL (Calmbach, 2003).
2. Pemeriksaan Fisik
Lutut merupakan sendi terbesar pada tubuh manusia yang terdiri
dari sendi patelofemoral, medial tibiofemoral, lateral tibiofemoral, dan
superior tibiofibular. Lutut merupakan sendi engsel dengan gerakan
utama pada bidang sagital (fleksi - ekstensi). Saat pemeriksaan fisik
sebaiknya mencoba merangsang nyeri lutut melalui palpasi. Pemeriksaan
biomekanik penting untuk menentukan adanya faktor predisposisi seperti
genetik (kaku berlebihan, tonus otot buruk, dan sendi yang longgar).
biomekanik fungsional sebaiknya diperiksan dengan evaluasi gait dan
manuver seperti melompat, hopping, dan squatting. Pembengkakan lutut
tidak biasa pada anterior knee pain dan umunya terdapat pada kelainan
patologis intraartikular atau sinovitis (Houghton, 2007).
Pemeriksaan dimulai dengan membandingkan lutut yang nyeri
dengan lutut sehat, lakukan inspeksi pada lutut yang cedera apakah
terdapat eritema, pembengkakan, memar, dan diskolorasi. Otot-otot
seharusnya simetris bilateral, khususnya otot vastus medial sebaiknya
dievaluasi untuk melihat apakah terdapat tanda atrofi (Calmbach, 2003).
Permukaan anatomi dapat dinilai dengan baik saat lutut fleksi 90
derajat. Titik nyeri tekan maksimal sebaiknya dihubungkan dengan tulang
atau jaringan lunak terkait sesuai anatomi. Palpasi dan perhatikan adanya
nyeri tekan pada sendi patelofemoral, tulang, tuberkel tibia, meniskus,
dan sepanjang perlekatan ligamen dan tendon quadrisep dan patela.
Perhatikan juga adanya rabaan hangat, dan efusi (Houghton, 2007;
Calmbach, 2003).
Evaluasi efusi sebaiknya dilakukan dalam kondisi pasien supinasi
dengan lutut ekstensi. Bursa suprapatela sebaiknya diperas untuk
menentukan apakah terdapat efusi. Patellofemoral tracking diperiksa
dengan inspeksi gerakan patela saat pasien mengontraksikan otot
quadrisep. Adanya krepitasi harus diperhatikan saat palpasi patela. Sudut
quadrisep (Sudut Q) diperiksa dengan menggambar garis dari spina iliaka
anterior superior melalui pusat patela dan garis kedua dari pusat patela ke
tuberositas tibia. Sudut Q lebih dari 15 derajat merupakan faktor
predisposisi subluksasi patela. Patellar Apprehension Test dapat
dilakukan dengan menberi tekanan pada patela ke lateral saat lutut fleksi
30 derajat. Pemberian tekanan akan membuat rasa nyeri atau sensasi
giving way (Calmbach, 2003).
Pemeriksaan ligamen sebaiknya dilakukan. ACL diperiksa dengan
drawer test dan Lachman test. Pada drawer test pasien dalam posisi
supinasi dengan lutut fleksi 90 derajat. Pemeriksa memfiksasi kaki pasien
dengan sedikit eksternal rotasi kemudian meletakkan ibu jari pada
tuberkel tibia dan jari lainnya pada bagian belakang betis. Dengan otot
hamstring pasien yang rileks, pemeriksa menarik ke anterior danmenilai
adanya anterior displacement tibia (anterior drawer sign). Test Lachman
dilakukan dengan posisi yang sama, pemeriksa menstabilkan femur distal
dengan tangan lainnya menggenggam tibia proksimal dan kemudian
menggeser tibia ke anterior. Pemeriksaan PCL dilakukan mirip dengan
drawer test, dengan pemeriksa memberi tekanan ke arah posterior.
Pemeriksaan MCL dilakukan dengan pemeriksaan valgus stress dengan
tungkai sedikit abduksi, tangan pemeriksa pada lateral sendi lutut dan
medial distal tibia. Valgus stress dilakukan baik dalam lutut fleksi 0
derajat dan 30 derajat untuk menilai integritas MCL. Pemeriksaan LCL
dilakukan dengan varus stress, tangan pemeriksa pada medial sendi lutut
dan lateral distal fibula. Varus stress dilakukan baik dallam lutut fleksi 0
derajat dan 30 derajat (Calmbach, 2003).
Gambar 2.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meniskus dilakukan dengan McMurray test.
Pemeriksa menggenggam tumit dan lutut pasien. Ibu jari pemeriksan
diletakkan pada lateral joint line dan jari lainnya pada medial joint line,
kemudian lutut difleksikan maksimal. Meniskus lateral diperiksa dengan
melakukan rotasi interna pada tibia, lutut luruskan dari fleksi maksimal ke
fleksi 90 derajat, tambahkan kompresi pada meniskus lateral dengan
valgus stress ketika lutut diluruskan ke 90 derajat. Meniskus medial
diperiksa dengan melakukan rotasi eksternal tibia, lutut diluruskan dari
fleksi maksimal ke fleksi 90 derajat dan tambahkan kompresi pada
meniskus medial dengan varus stress ketika lutut diluruskan ke 90 derajat.
Tes positif ditandai dengan adanya klik atau menyebabkan rasa nyeri
(Calmbach, 2003).
E. Diagnosis Banding
1. Subluksasi atau Dislokasi Patella
Subluksasi patela merupakan diagnosis yang sering dibuat pada
pasien wanita remaja yang mengeluhkan episode giving way pada lutut.
Cedera ini lebih sering terjadi pada wanita muda karena peningkatan
sudut Q lebih dari 15 derajat. Dapat dilakukan patellar apprehension test
dengan memberi tekanan ke lateral dan biasanya terdapat efusi ringan.
Apabila terdapat pembengkakan lutut sedang hingga berat dapat
mengindikasikan adanya hemartrosis yang menandakan adanya dislokasi
patela dengan fraktur osteokondral dan perdarahan (Calmbach, 2003).
Gambar 2.4. Subluksasi dan Dislokasi Patela
2. Patellar Tendinitis
Patellar tendinitis atau jumpers knee merupakan inflamasi tendon
patela. Sering dijumpai pada atlet dengan jenis olahraga berlari, melompat,
dan menendang. Tingkat nyeri bervariasi dari ringan hingga sedang. Pada
pemeriksaan tendon didapatkan nyeri tekan antara inferior patela dengan
tuberkel tibia. Rasa nyeri ini dapat memberat ketika melakukan ekstensi
lutut dengan tahanan. Penanganan yang dibutuhkan yaitu dengan
mengurangi beban patela dengan modifikasi aktivitas, koreksi biomekanik,
krioterapi, dan progressive eccentric strengthening (Houghton, 2007).
5. Bursitis
Teradapat 4 bursa yang mengelilingi sendi lutut, yaitu prepatellar,
suprapatellar, deep infrapatellar, dan subcutaneus infrapatellar, yang
berpotensi untuk terjadinya inflamasi. Bursitis dapat terjadi sekunder
akibat mikrotrauma repetitif akibat penggunaan berlebih, trauma langsung,
penyakit autoimun seperti artritis juvenil idiopatik dan lupus eritematosa
sistemuk. Bursitis prepatellar merupajan jenis bursitis yang sering terjadi
yang ditandai dengan nyeri lutut anterior dan pembengkakan. Bursitis
infrapatellar dapat menunjukkan gejala nyeri lutut anterior yang
menyeruai tendinopati patela, namun dapat dibedakan dengan palpasi
yang teliti untuk nyeri tekan lokal. Pada kedua kondisi ini penting untuk
membedakan cairan bursa dengan efusi intraartikular. Penanganan dengan
krioterapi lokal, medikasi NSAID, dan menghindari trauma langsung
pada bursa (Houghton, 2007).
F. Tatalaksana
Tatalaksana primer untuk seluruh pasien dengan AKP adalah dengan
non operatif. AKP merupakan masalah yang multifaktorial sehingga
manajemen non operatif bergantung dari temuan pemeriksaan. Diperlukan
mengurangi tegangan akibat beban berlebih dan nyeri jaringan lunak di
sekitar sendi patelofemoral, memperbaiki kedudukan patela pada troklea,
dan optimalisasi kerja tungkai bawah untuk mengurangi gejala pada pasien
dan mengurangi kekambuhan gejala. Program fisioterapi multimodal efektif
untuk mengurangi gejala AKP (Sachis-Alfonso, 2016).
Salah satu terapi yang diberikan yaitu dengan mengurangi beban
pada jaringan yang nyeri di sekitar lutut. Dalam hal ini termasuk
memperbaiki posisi patella pada femur dengan tape dan menurunkan
tekanan pada struktur yang tertekan, pada beberapa kasus yaitu bantalan
lemak infrapatelar. Sebelum mengaplikasikan tape, perlu untuk menilai
adanya patellar malalignment untuk menentukan bagaimana memperbaiki
kedudukan patela pada triklea untuk setiap induvidu. Gejala yang muncul
akibat aktivitas weight bearing sebaiknya digunakan untuk menentukan
efektivitas taping, dengan penurunan gejala yang diperlukan paling tidak
sebesar 50%. Pada beberapa kasus, diperlukan taping bantalan lemak
menggunakan 2 tape dengan mengangkat jaringan dari tuberositas tibia
menuju patela dan menahan antara epikondilus medial dan lateral. Pasien
perlu untuk tetap menggunakan tape hingga gejala mereda, yang berarti
pasien perlu untuk ditunjukkan bagaimana untuk menggunakan tape sendiri,
dengan duduk dengan kaki lurus pada tepi kursi, sehingga otot hamstring
dan kuadrisep rileks dan patela dapat mudah digerakkan (Derasari, 2010).
G. Prognosis
Intervensi dini sangat penting untuk memaksimalkan prognosis yang
baik. Penanganan non operatif efektif untuk mayoritas pasien dengan AKP.
Penanganan operatif diindikasikan hanya pada kasus dengan nyeri yang
menetap setelah penanganan non operatif dan terdapat abnormalitas
struktural yang jelas dan dianggap sebagai penyebab AKP dan dapat
ditargetkan untuk perbaikan atau koreksi. Kondisi gangguan
muskuloskeletal kronik tidak disembuhkan, tetapi dimanajemen, sehingga
kepatuhan jangka panjang dalam program manajemen mandiri penting
untuk tetap menahan gejala tetap dalam kontrol (Sanchis-Alfonso, 2016).
BAB III
KESIMPULAN
Coppack RJ, Etherington J, Wills AK. 2011. The Effects of Exercise for the
Prevention of Overuse Anterior Knee Pain. The American Journal of
Sports Medicine. 39(5) : 940-948
Derasari A, Brindle TJ, Alter KE. 2010. McConell Taping Shifts the Patella
Inferiorly in Patients with Patellofemoral Pain : a dynamic magnetic
resonance imaging study. Physical Therapi Journal. 90 : 411-419
Houghton, KM. 2007. Review for the Generalist : Evaluation of Anterior Knee
Pain. Rheumatology Online Journal. 5(8) : 1-10
Lankhorst Ne, Middelkoop M, Crossley KM. 2015. Factors That Predict a Poor
Outcome5-8 Years After the Diagnosisof Patellofemoral Pain. British
Journal Sports Medicine. 0 : 1-7