Masa Demokrasi ditandai dengan adanya konfrontasi politik dengan berbagai pihak, kekacauan
ekonomi yang semakin parah, dan pemusatan kekuatan pada tiga kutub yang saling mempengaruhi
(Soekarno, PKI, TNI). Periode demokrasi terpimpin dimulai sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, berakhir dengan berpindahnya tampuk kekuasaan kepada Soeharto yang menandai
dimulainya Orde Baru pada tahun 1967.
Masa demokrasi terpimpin dimulai dari disampaikannya Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959. Dekrit ini berisi mengenai pembubaran konstituante, pembentukan DPA dan MPR,
serta kembalinya konstitusi Indonesia pada UUD 1945. Kebijakan ini disambut baik oleh
kalangan yang jengah dengan ketidakstabilan politik nasional selama sembilan tahun (1950-
1959) yang berdampak pada kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Pada masa ini, posisi
presiden Soekarno menjadi sangat kuat dengan dukungan dari TNI dan kemudian PKI.
Soekarno banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan atas pemikirannya
tentang revolusi Indonesia, yang oleh banyak pihak dianggap terlalu ekstem dan membawa
Indonesia jatuh lebih jauh ke dalam jurang kekacauan.
D.Perkembangan Ekonomi
Kehidupan masyarakat Indonesia kurang lebih 80% bersifat agraris, sehingga barang-
barang produksi yang dijual sangat murah dan agregatnya sangat jauh dibandingkan dengan
impor yang dilakukan negara. Sementara kredit luar negeri akan memberikan pengaruh
politik yang sangat kuat, karena keadaan perang dingin yang memaksa untuk berpihak
kepada salah satu blok atau pakta. Usaha-usaha pemerintah dalam memperbaiki ekonomi
umumnya tidak berjalan baik karena adanya kepentingan politik yang memakan biaya besar,
dan politik internasional yang menghambat lancarnya keluar masuk bantuan atau kredit.
E.Perkembangan Politik
2. Gerakan Non-Blok
Politik Luar Negeri Indonesia didasarkan pada prinsip bebas-aktif, sehingga dapat
berhubungan dengan negara manapun yang berusaha mewujudkan perdamaian. Tidak terikat
pada blok barat ataupun timur. Hal ini diterjemahkan dalam keikutsertaan Indonesia dalam
Gerakan Non-Blok. Gerakan ini berupaya untuk membentuk kekuatan netral dan mencegah
konflik berkelanjutan antara AS dan Soviet sebagai dua kutub politik dunia. Gerakan ini juga
menangani konflik-konflik seperti India-RRC, India Pakistan, dan kemudian Indonesia-
Malaysia. Dua kali Konferensi Tingkat Tinggi di Beograd dan Kairo berupaya untuk
memberikan tekanan kepada PBB untuk menekan konflik antara AS-Soviet dan
memperingatkan bahaya perang antara keduanya. Meski begitu, dengan semakin
memanasnya konflik Irian Barat, Indonesia menempel blok timur karena bersedia membantu
persenjataan untuk berperang.
3. Konfrontasi Malaysia
Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada Januari 1965, disebabkan oleh
diterimanya Malaysia sebagai anggota PBB bahkan dewan keamanan tidak tetap. Aksi ini
sangat disayangkan karena Indonesia kehilangan forum yang besar untuk memperjuangkan
penyelesaian konfliknya dengan Malaysia. Hal ini kemudian diganti dengan menginisiasi
berdirinya New Emerging Forces (NEFO) sekaligus berlangsungnya Conference of New
Emerging Forces (CONEFO) dan Games of Emerging Forces (GANEFO). Meski begitu
program ini tidak berjalan efektif, karena PBB adalah forum yang sangat penting, dan
kebijakan Indonesia yang memperbanyak lawan disbanding lawan sangatlah buruk. Hal ini
berlawanan dengan sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Indonesia baru
masuk kembali ke PBB pada masa Orde Baru.
1. Membubarkan DPR hasil pemilu pada 4 Juni 1960, kemudian membentuk DPR-GR karena
menolak anggaran belanja negara yang diusulkan pemerintah.
2. Membubarkan konstituante hasil pemilu melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. Pembentukan MPRS yang disusun oleh presiden sendiri
4. Mengatur setiap sendi kehidupan negara melalui Manipol, Usdek, dan Nasakom
5. Mengangkat Ketua MPRS dan Ketua DPR-GR sebagai Menteri kabinet kerja.
6. Meningkatkan peranan ABRI dalam politik nasional
7. Membubarkan Masyumi dan PSI dalam kaitannya dengan PRRI dan Permesta.
8. Kekuasaan Presiden yang tidak terbatas, termasuk dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan
secara sepihak seperti keluar dari PBB, konfrontasi Irian Barat dan Malaysia, Mengadakan
CONEFO dan GANEFO.
G. Akhir Demokrasi Terpimpin
Gencarnya aktivitas politik internasional Indonesia seakan menutupi dinamika dalam
negeri. Di Jakarta, tiga poros PKI, TNI, dan Soekarno semakin kuat memberikan pengaruh
satu sama lain. Posisi PKI semakin kuat sebagai pendukung politik Soekarno, di sisi lain
menggiatkan upaya di akar rumput. Salah satunya mengusulkan “Angkatan Kelima” dengan
mempersenjatai buruh tani sebagai bentuk bantuan atas panggilan revolusi Soekarno. Hal ini
menimbulkan ketidaksenangan di kalangan TNI, yang menganggap PKI sudah melampaui
batas partai politik biasa. Muncul informasi yang menyatakan bahwa antara PKI atau TNI
sedang mempersiapkan kudeta pemerintahan karena ketidaksenangan tersebut.
30 September 1965 malam, sebuah aksi yang diduga dilakukan oleh PKI menewaskan
tujuh perwira tinggi TNI di Jakarta. Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto
selaku Men/PangAD untuk mengembalikan keamanan dan wibawa pemerintah setelah
kekacauan yang terjadi melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar). Terjadi
dualisme kepemimpinan pada masa ini, karena roda pemerintahan sekarang dijalankan
Soeharto. Meski begitu, Soekarno menyampaikan Pel Nawaksara pada Sidang MPRS 10
Januari 1967, namun dianggap tidak cukup untuk mempertanggungjawabkan peristiwa yang
telah terjadi dalam hampir dua tahun ini.
Kamis, 20 Februari 1967 Presiden Soekarno memindahkan kekuasaan pada pengemban Tap
MPRS No. IX/MPRS/1966 yaitu Soeharto. Dengan ini masa demokrasi terpimpin kemudian
berakhir, dan dipimpin oleh Soeharto Indonesia memasuki masa Orde Baru.