Anda di halaman 1dari 4

Artikel ini menjelaskan perjalanan menuju Demokrasi Terpimpin di Indonesia pada era pemerintahan

Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang diperkenalkan oleh
Presiden Soekarno pada tahun 1957 sebagai upaya untuk mengatasi ketidakstabilan dalam politik
Indonesia yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Beberapa poin penting dalam
perjalanan menuju Demokrasi Terpimpin termasuk:

1. Latar Belakang: Pada masa Demokrasi Liberal, Indonesia mengalami ketidakstabilan politik dengan
seringnya pergantian kabinet dan persaingan antar partai politik yang merugikan stabilitas nasional.

2. Dewan Konstituante: Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 gagal
menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia, yang menjadi harapan Presiden Soekarno untuk
membangun demokrasi yang lebih baik.

3. Konsep Demokrasi Terpimpin: Presiden Soekarno mengusulkan konsep Demokrasi Terpimpin pada
tahun 1957 sebagai alternatif untuk mengatasi ketidakstabilan politik. Konsep ini mencakup
pembentukan kabinet koalisi dari empat partai yang menang dalam Pemilu 1955.

4. Langkah Menuju Demokrasi Terpimpin: Sejumlah langkah diambil untuk mencapai Demokrasi
Terpimpin, termasuk pembentukan Dewan Nasional dan usulan untuk kembali ke UUD 1945. Setelah
beberapa perdebatan, Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan berlakunya kembali UUD
1945.

5. Pembubaran Dewan Konstituante: Dewan Konstituante dibubarkan pada 3 Juni 1959 setelah tidak
mencapai kesepakatan mengenai kembali ke UUD 1945. Hal ini menyebabkan situasi politik semakin
memanas.

6. Pembentukan MPRS, DPR Gotong Royong, dan Lembaga Lainnya: Presiden Soekarno membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), DPR Gotong Royong, dan lembaga lainnya
untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin.

7. Kritik Terhadap Demokrasi Terpimpin: Sejumlah tokoh, termasuk M. Hatta, mengeluarkan kritik
terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, dengan menyebut adanya "krisis demokrasi" yang
berpotensi menjadikan sistem demokrasi menjadi otoriter.

Artikel ini memberikan gambaran tentang langkah-langkah dan kontroversi seputar Demokrasi
Terpimpin yang diperkenalkan oleh Presiden Soekarno dalam upaya untuk mencapai stabilitas politik
di Indonesia.
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965), kekuatan politik utama di Indonesia adalah sebagai
berikut:

1. Presiden Soekarno: Pada periode ini, Presiden Soekarno memegang kekuasaan penuh di negara
dan menjadi pemimpin tertinggi. Meskipun ada upaya untuk mengurangi pengaruh TNI AD di bawah
pimpinan Nasution, Presiden Soekarno masih memegang kendali atas kebijakan pemerintah dan
memiliki dukungan dari partai politik, terutama PKI.

2. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD): TNI AD memiliki peran yang kuat dalam
politik pada masa tersebut. Mereka mendukung usulan untuk menghidupkan kembali UUD 1945 dan
memainkan peranan penting dalam politik. Namun, ada persaingan antara TNI AD dan Presiden
Soekarno untuk mempengaruhi kebijakan negara.

3. Partai Komunis Indonesia (PKI): PKI adalah kekuatan politik yang muncul sebagai partai yang kuat
setelah Pemilihan Umum 1955. Mereka mendukung gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno dan
berusaha memanfaatkan hubungan baik mereka dengan Presiden untuk menekan pengaruh TNI AD.

4. Partai Politik Lainnya: Selain PKI, terdapat partai-partai politik lainnya, meskipun pengaruh mereka
cenderung lebih terbatas dibandingkan dengan Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI.

5. Islam: Kalangan Islam dan beberapa kelompok Islamis menjadi oposisi terhadap Presiden
Soekarno, terutama ketika ia gagal membentuk Kabinet Gotong Royong yang mencakup unsur-unsur
Islam.

Sebab persaingan dan konflik antara kekuatan politik utama pada masa itu adalah karena adanya
perbedaan visi dan kepentingan politik di antara mereka. Presiden Soekarno berusaha untuk
mempertahankan kekuasaannya dan meredam pengaruh TNI AD, sementara TNI AD dan PKI bersaing
untuk mendapatkan pengaruh yang lebih besar dalam pemerintahan.

Sebagai konsekuensi dari persaingan politik tersebut, terjadi konflik internal di pemerintahan dan
masyarakat. Konflik ini mencapai puncaknya dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, yang
menyebabkan runtuhnya rezim Soekarno dan pengusiran PKI dari kekuasaan. Konflik ini juga
menyebabkan tindakan keras yang menimpa anggota PKI dan pendukungnya, termasuk pembersihan
politik yang dikenal sebagai "Operasi Trisula."

Situasi politik pada masa sekarang mungkin berbeda, karena banyak hal yang telah terjadi sejak itu,
termasuk reformasi politik, perubahan sistem pemerintahan, dan evolusi partai politik di Indonesia.
Namun, karakteristik persaingan dan konflik politik dapat bervariasi tergantung pada konteks dan
perkembangan politik yang terbaru.
Pembebasan Irian Barat adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang menandai
upaya untuk mengintegrasikan kembali wilayah Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat) ke
dalam wilayah Indonesia. Proses ini memiliki sejumlah tahap dan berbagai tantangan yang dihadapi,
dan akhirnya Irian Barat berhasil menjadi bagian integral dari Republik Indonesia.

1. Penyerahan Kedaulatan: Proses pembebasan Irian Barat dimulai pada 1950 ketika penyerahan
kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia ditunda selama satu tahun sesuai dengan Piagam
Penyerahan Kedaulatan. Selama waktu ini, upaya perundingan bilateral diadakan antara Indonesia
dan Belanda, tetapi berbagai kesepakatan tidak dapat dicapai.

2. Konfrontasi Diplomasi: Setelah upaya perundingan bilateral gagal, Indonesia membawa masalah
Irian Barat ke PBB dan berusaha untuk memperoleh dukungan internasional. Diplomasi ini
menghadapi banyak rintangan, tetapi akhirnya berhasil memperoleh dukungan dari banyak negara
dalam Konferensi Asia-Afrika yang memaksa Belanda untuk kembali berunding.

3. Trikora: Pada tahun 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk
menggagalkan pembentukan negara boneka Papua oleh Belanda dan kibarkan bendera Merah-Putih
di Irian Barat. Ini merupakan awal dari konfrontasi militer dan diplomasi yang intensif.

4. Operasi Militer: Upaya diplomatik dan politik melalui Trikora dan konfrontasi dengan Belanda
berlangsung bersamaan dengan persiapan militer oleh Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat.
Pada tahun 1962, peristiwa konfrontasi militer di Laut Aru terjadi, yang berakhir dengan penanda
tanganan Perjanjian New York pada tahun 1962.

5. Perjanjian New York: Perjanjian ini mencakup penyerahan Irian Barat kepada PBB yang kemudian
akan diserahkan kembali ke Indonesia dalam waktu dua tahun. Hal ini mengakhiri konfrontasi militer
langsung dengan Belanda.

6. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera): Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Pepera untuk


memutuskan masa depan Irian Barat. Hasil Pepera yang sesuai dengan Perjanjian New York
mengukuhkan kedaulatan Irian Barat di bawah pemerintahan Indonesia.

7. Pengakuan Internasional: Pada tahun 1969, Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera yang telah
dilaksanakan oleh Indonesia, dan Irian Barat secara resmi dan de facto menjadi bagian dari Republik
Indonesia.

Pembebasan Irian Barat adalah pencapaian penting dalam sejarah Indonesia, mengakhiri periode
panjang ketidakpastian dan ketegangan antara Indonesia dan Belanda atas wilayah tersebut.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah periode ketegangan antara Indonesia dan Malaysia yang
berlangsung dari tahun 1963 hingga 1966. Konflik ini berawal dari rencana pembentukan Federasi
Malaysia yang mencakup Malaya, Singapura, Sarawak, Sabah, dan Brunei di bawah pimpinan Perdana
Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahman.

Berikut adalah gambaran umum tentang Konfrontasi Indonesia-Malaysia:

1. Rencana Pembentukan Federasi Malaysia: Rencana pembentukan Federasi Malaysia yang


diumumkan pada tahun 1961, yang diusulkan oleh Tunku Abdul Rahman dan Lee Kuan Yew,
merupakan pemicu utama konflik ini. Indonesia menentang rencana ini dengan alasan bahwa itu
adalah bagian dari upaya neokolonialisme Inggris untuk mengamankan kekuasaan di Asia Tenggara.

2. Konferensi Maphilindo: Pada tahun 1963, Konferensi Maphilindo diadakan di Filipina dengan
partisipasi Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Hasil pertemuan ini menunjukkan bahwa Indonesia dan
Filipina akan mendukung pembentukan Federasi Malaysia jika penduduk Kalimantan Utara
menyetujui bergabung. Namun, ketika Federasi Malaysia diumumkan sebelum hasil dari penyelidikan
rakyat di wilayah tersebut selesai, Indonesia melihatnya sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan.

3. Konfrontasi Diplomasi: Meskipun upaya diplomasi dan mediasi telah dilakukan oleh negara-negara
lain seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand, hubungan diplomatik antara Indonesia dan
Malaysia terus memburuk. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi
dengan Malaysia, Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah pada tahun 1963.

4. Dwi Komando Rakyat (Dwikora): Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwikora yang
memerintahkan kepada para sukarelawan Indonesia untuk mendukung perjuangan rakyat di wilayah
yang menjadi bagian dari Malaysia. Konfrontasi militer dan politik semakin meningkat, dan
ketegangan antara kedua negara mencapai puncaknya.

5. Keluarnya Indonesia dari PBB: Pada tahun 1965, dalam menanggapi pencalonan Malaysia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Presiden Soekarno mengancam bahwa Indonesia akan
keluar dari PBB jika Malaysia diterima. Ketika Malaysia diterima, Indonesia benar-benar keluar dari
PBB pada 7 Januari 1965.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia berakhir secara resmi pada tahun 1966 setelah perundingan dan
mediasi internasional yang menghasilkan perjanjian damai antara kedua negara. Ini adalah periode
yang penuh ketegangan dan konflik dalam sejarah hubungan Indonesia-Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai