Disusun oleh
1. Sehat Souwakil
2. Aslam Hafied Sahitua
3. Herdin Paluppa
4. Rey Jeklin P. Sinaga
5. Ona Marsye Katayane
6. Shalshadilla Somoel
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN KEHUTANAN
UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa atas limpahan dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul "Metapopulasi dan Hubungannya dengan
Keanekaragaman Jenis". tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan Makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dari Mata kuliah Ekologi Kepulauan. Selain itu, Makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen pengampu mata kuliah Ekologi
Kepulauan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, Makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
2.1 Metapopulasi...............................................................................................................2
BAB IV PENUTUP...............................................................................................................11
4.1 Kesimpulan................................................................................................................11
4.2 Saran...........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
LAMPIRAN.........................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring berjalannya waktu, suatu spesies dapat punah dari suatu lokasi, sementara populasi
baru dapat terbentuk di lokasi lain yang sesuai dan berdekatan dengan lokasi semula. Berbagai
spesies yang hidup dalam habitat sementara dapat digolongkan sebagai metapopulasi. Metapopulasi
(populasi dari populasi) adalah sejumlah populasi yang membentuk suatu mosaik yang dinamis dan
saling berhubungan melalui peristiwa-peristiwa migrasi maupun penyebaran pasif (Hanski dan
Simberloff 1997; Kircher dkk 2003; Akcakaya dkk 2004).
Pada spesies tertentu, setiap populasi atau anggota metapopulasi berumur pendek dan sebaran
setiap spesies akan selalu berubah dari suatu generasi ke generasi berikut. Pada spesies lain,
metapopulasi dapat disusun oleh suatu atau lebih populasi inti (core/source) dengan jumlah yang
mapan, serta dikelilingi beberapa populasi satelit (sink) yang berfluktuasi, akibat peristiwa migrasi.
Populasi satelit tersebut dapat menghilang bila keadaan lingkungan tidak menguntungkan. Namun,
populasi satelit juga dapat terbentuk kembali saat lingkungan berubah menguntungkan dan ketika
kolonisasi terjadi kembali oleh individu-individu yang bermigrasi dari populasi inti.
Metapopulasi juga dapat muncul sebagai populasi yang relatif stabil ketika perpindahan
individu hanya terjadi sesekali. Metapopulasi dapat dijadikan sebagai permodelan yang baik.
Berbagai program pun telah dikembangakan untuk menstimulasi dinamika metapopulasi di alam
(Hokit dkk 2001; Donovan dan Welden 2002). Dalam penelitian, metapopulasi biasanya memberikan
gambaran yang lebih akurat mengenai keadaan suatu spesies bila dibandingkan dengan mempelajari
hanya satu atau beberapa populasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Meta Populasi
Metapopulasi adalah terdiri dari kelompok populasi yang secara spasial terpisah dari jenis yang
sama dan berinteraksi pada beberapa tingkatan. Istilah metapopulasi dipilih oleh Richard Levins
pada tahun 1970 untuk menjelaskan sebuah model dinamika populasi dari serngga hama pada
lahan pertanian, namun ide tersebut berkembang luas dan diterapkan pada habitat yang
terfragmentasi secara alami maupun secara buatan. Secara istilahnya Lavin menjelaskan bahwa
metapopulasi adalah populasi dari populasi.
Sebuah metapopulasi secara umum dipertimbangkan terdiri dari beberapa populasi yang berbeda
yang bersama menempati area dengan habitat yang sesuai yang sekarang tidak ditempati lagi.
Dalam teori metapopulasi klasik, masing-masing siklus populasi yang relatif bebas dari populasi
lain akan menjadi punah sebagai konsekuensi dari stokhastik demografik (fluktuasi ukuran
populasi tergantung dari kejadian demografi acak); populasi yang lebih kecil akan lebih rawan
menjadi punah.
Konsep metapopulasi sesungguhnya merupakan penggabungan dari sudut pandang geografi dan
genetika. Konsep populasi pada awalnya selalu mengasumsikan bahwa satwa berada pada habitat
yang cukup luas dan dengan mudah dapat terjadi gene flow antar para individu. Populasi seperti
ini dikenal dengan panmiktik (panmictic).
Richard Levins memperkenalkan ‘metapopulasi’ ke dunia ilmiah pada tahun 1969. Populasi
suatu spesies (dalam hal ini bermula dari penelitian tentang insekta) bisa tampak banyak
(misalnya belalang di suatu padang rumput) tampaknya melimpah dan ada di mana-mana.
Namun jika diamati lebih lanjut, sebetulnya spesies tersebut memiliki wilayah jelajah yang
sempit dan dapat tumpang tindih satu sama lain. Populasi semacam itu disebut metapopulasi oleh
Levins.
Ide Levins ini sempat hampir dilupakan oleh dunia ilmiah. Pada tahun 1980an, saat populasi
pada habitat terfragmentasi mulai menjadi topik hangat, istilah metapopulasi menjadi sangat
relevan untuk menjelaskan tentang populasi (atau lebih tepatnya sub-populasi) terisolasi pada
patches. Topik metapopulasi dengan sangat cepat menjadi topik yang banyak didiskusikan dan
diteliti di seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat, Kanada dan di beberapa negara di Eropa.
Berkembangnya metapopulasi disertai oleh disiplin ilmu baru, yakni Ekologi Lanskap. Istilah
dan definisi yang dipadukan antara metapopulasi dan Ekologi Lanskap membuat topik ini
menjadi semakin berkembang. Analisis spasial (spatial, terkait space atau ruang) dan permodelan
matematika yang melibatkan peluang (probability) semakin banyak dikembangkan dan
melibatkan pula ahli dalam bidang GIS (Geographical Information System) dan matematika
biologi. Metapopulasi telah pula dikembangkan untuk mengelola kawasan konservasi dan tipe-
tipe areal perlindungan satwa lain.
Teori ternama lain, Teori Biogegrafi Pulau oleh Robert H. MacArthur dan Edward O. Wilson
(MacArthur & Wilson 1967) dipadukan dengan metapopulasi untuk memberikan rumusan
pengelolaan terhadap populasi dan habitat pada areal terfragmentasi. Dengan semakin
berkembangnya metapopulasi, ide-ide baru semakin berkembang. Perluasan dari metapopulasi
adalah metakomunitas (metacommunity).
Ekologi Metapopulasi mengasumsikan bahwa habitat yang tersedia bersifat patchy, dengan
derajat isolasi yang beragam antar patch, sementara Ekologi Teoritis mengasumsikan areal yang
homogen dan tidak terputus (kontinu). Sedangkan pendekatan Ekologi Lanskap lebih
menekankan dalam menganalisis struktur lanskap yang kompleks dan sedikit memfokuskan pada
permodelan dinamika populasi.
Selain Richard Levins (Amerika Serikat), ilmuwan ternama yang mengembangkan metapopulasi
adalah Ilkka Hanski (Finlandia) dan Michael Gilpin (Amerika Serikat). Sedangkan ilmuwan
Ekologi Lanskap yang turut mengembangkan konsep metapopulasi secara langsung atau tidak
langsung adalah Richard T.T. Forman, Michael Godron. John Wiens, Richard Hobbs, Izaak
Zonneveld, Lenore Fahrig, Almo Farina, Eric Gustafson, Louis Iverson, Bruce Milne, David
Mladenoff, Joan Nassauer, Zev Naveh, Paul Opdam, dan Jianguo Wu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Meta Populasi
Konsep metapopulasi sesungguhnya merupakan penggabungan dari sudut pandang geografi dan
genetika. Konsep populasi pada awalnya selalu mengasumsikan bahwa satwa berada pada habitat
yang cukup luas dan dengan mudah dapat terjadi gene flow antar para individu. Populasi seperti
ini dikenal dengan panmiktik (panmictic).
Pada konsep metapopulasi, individu dari spesies yang sama tidak berada pada habitat yang luas
dan merata. Individu berada pada habitat-habitat kecil (disebut habitat patch). Dispersal sudah
mulai terhambat dan gene flow mungkin masih bisa terjadi, mungkin pula sulit atau bahkan tidak
bisa terjadi. Sekumpulan populasi kecil (sub-populasi) yang masih memungkinkan terjadinya
gene flow (walau sulit) disebut metapopulasi. Jika dua populasi (atau lebih) benar-benar tidak
mungkin untuk melakukan pertukaran gen, maka keduanya merupakan populasi yang berbeda.
Kadang-kadang terdapat variasi dari keempat model di atas. Salah satu variasi yang umum
ditemukan di lapangan adalah model mainland-mainland, di mana dapat ditemukan dua
patch yang besar yang saling terhubung oleh aliran individu yang melakukan perpindahan.
Jika mainland ini berjarak jauh dan terisolasi satu sama lain (disjunct) sehingga menghambat
dispersal, maka kemungkinan besar kedua patch berupa mainland ini bukan merupakan
metapopulasi. Secara diagramatis keterkaitan antara isolasi dan ukuran patch, dihubungkan
dengan model metapopulasi disajikan.
1. Source-sink
Dinamika source-sink adalah model secara teoritis yang digunakan oleh ekologis untuk
menjelaskan bagaimana variasi kualitas habitat mengakibatkan populasi berkembang atau
menurun. Semenjak kualitas habitat bervariasi, penting untuk mempertimbangkan
bagaimana kualitas rendah suatu habitat bisa mempengaruhi sebuah populasi. Pada model
ini, organisme menempati dua jenis blok habitat yang terfragmentasi: yaitu yang disebut
dengan source, habitat kualitas tinggi yang bisa membuat populasi bertambah. Sedangkan
yang kedua adalah sink, habitat dengan kualitas sangat rendah yang untuk dirinya sendiri
tidak bisa mendukung populasi. Namun, jika kelebihan individu yang diproduksi pada
source pindah ke sink, populasi sink bisa bertahan. Organisme secara umum dianggap
mampu membedakan antara habitat yang memiliki kualitas yang tingi dengan yang rendah
dan akan memilih habitat dengan kualitas tinggi. Namun jerat teori jerat ekologi menjelaskan
alasan kenapa organisme sekarang ini memilih sink dibandingkan source. Akhirnya, model
source-sink memberikan implikasi bahwa beberapa jumlah blok habitat lebih penting untuk
keberlangsungan populasi jangka panjang dan mempertimbangkan kehadiran dinamika
source-sink akan membantu dalam konservasi.
2. Jerat ekologi
Jerat ekologi (ecological traps) adalah skenario yang perubahan secara cepat lingkungan
memicu organisme untuk memilih menetap di habitat miskin kualitas. Konsep ini tumbuh
dari ide bahwa organisme yang secara aktif memilih habitat harus mempercayai tanda-tanda
lingkungan untuk membantu mereka mengidentifikasi habitat berkualitas tinggi. Jika kualitas
habitat atau tanda berubah sehingga tidak ada yang dapat dipercayai sebagai indikasi yang
lain, organisme mungkin akan terjebak dan tertipu masuk ke dalam lingkungan dengan
kualitas rendah. Secara spesifik, jerat diperkirakan terjadi ketika daya tarik suatu habitat
meningkat jika dibandingkan dengan nilai yang diberikannya bagi keberlangsungan dan
reproduksi. Sehingga hasilnya lebih memilih habitat dengan daya tarik dan secara umum
menghindari habitat yang berkualitas tinggi namun rendah daya tarik. Ketika konsekuensi
demografi untuk tipe ini dari tingkah laku pemilihan habitat yang salah telah dieksplorasi
dalam konteks source dan sink, jerat ekologi merupakan bagian dari fenomena ini.
Konsep jerat ekologi diperkenalkan lebih dari 30 tahun yang lalu oleh Dwernychuk dan
Boag dan banyak studi mengikuti saran bahwa fenomena jerat ini semakin meluas karena
perubahan habitat oleh antropogenik. Studi teori dan empiris menunjukkan bahwa kesalahan
dalam menilai kualitas habitat dapat memicu penurunan populasi atau kepunahan. Beberapa
kesalahan tidak terbatas pada pemilihan habitat, juga terjadi pada konteks tingkah laku
seperti penghindaran dari predator, pemilihan pasangan, navigasi, pemilihan lokasi makan,
dll.
Pengelola lahan dan konservasionis sekarang ini menjadi lebih tertarik untuk menjaga dan
memperbaiki habitat berkualitas tinggi, terutama jenis yang langka, terancam atau statusnya
hampir punah menjadi perhatian lebih. Sebagai hasilnya, menjadi penting untuk
mengidentifikasi atau menciptakan habitat berkualitas tinggi, dan bagaimana populasi
merespon kehilangan atau perubahan habitat. Karena sebagian besar proporsi populasi dapat
hadir pada habitat sink, usaha konservasi mungkin bisa membuat misinterpretasi kebutuhan
habitat bagi spesies. Tanpa mempertimbangkan kehadiran jerat ekologi, konservasi bisa
berbuat salah dengan mempertahankan habitat jerat dengan asumsinya bahwa habitat yang
dipilih organisme adalah habitat yang memiliki kualitas bagus. Kemudian habitat source
dapat terabaikan atau dirusak jika hanya sedikit proporsi populasi menempati daerah
tersebut. Degradasi dan perusakan habitat dapat berdampak terhadap sink, secara potensial
pada daerah yang besar. Sehingga usaha untuk memperbaiki habitat yang terdegradasi tanpa
sengaja dapat menciptakan jerat ekologi dengan memberikan tampilan sebuah habitat
berkualitas, namun tidak mengembangkan seluruh elemen penting bagi pertahanan dan
reproduksi organisme. Sehingga kesalahan akan membuat spesies yang telah terancam akan
berkurang menuju kepunahan.
Dalam mempertimbangkan dimana lokasi yang akan dilindungi, melindungi habitat source
diasumsikan sebagai tujuannya, walaupun jika penyebab sink adalah aktifitas manusia,
desain simpelnya adalah menjadikan area tersebut dilindungi dan merubah sink menjadi
source. Di lain pihak, menetapkan mana daerah source atau sink sangatlah sulit, area source
bagi suatu spesies bisa jadi tidak penting bagi yang lain. Ketika kehadiran source, sink atau
jerat harus dipertimbangkan untuk keberlangsungan populasi jangka pendek, khususnya
untuk populasi yang sangat kecil, keberlangsungan jangka panjang dapat tergantung pada
pembuatan jaringan antar kawasan lindung yang membentuk keberagaman habitat dan
memperbolehkan populasi-populasi berinteraksi.
Perubahan yang terjadi pada suatu lingkungan dapat berdampak buruk bagi spesies, hal itu
ialah akan terjadinya kepunahan masal suatu spesies. Suatu catatan sejarah menunjukkan
bahwa telah terjadi lima kepunahan masal selama kehidupan berlangsung di bumi. Sekitar
540 juta tahun yang telah lalu, eon fanerozoikum terjadi pertumbuhan biodiversitas yang
sangat cepat.
Pertumbuhan spesies yang sangat cepat disebabkan oleh suatu ledakan pada saat filum
multiseluler dengan mayoritas besar pertama kali muncul. Lalu sekitar 400 juta tahun yang
lalu, kepunahan masal terjadi atau kerap dikatakan sebagai suatu kerugian yang besar bagi
bidiversitas. Dikatakan pula hutan hujan menjadi salah satu penyebab kepunahan masal
karena adanya suatu karbon yang berlebih.
Keanekaragaman hayati terjadi dengan tingkatan mulai dari organisme yang rendah hingga
tingkat organisme yang tinggi. Tingkatan tersebut ialah sebagai berikut:
1). Padi (Oryza sativa) dengan varietas Padi rojolele, padi ciherang, padi ciliwung, dan lain-
lain
2). Mangga (Mangifera indica) dengan Varietas Mangga arumanis, mangga manalagi,
mangga golek, dan lain-lain
3). Durian (Durio zibethinus) dengan Varietas Durian petruk, durian bawor, durian
monthong, dan lain-lain.
1). Anjing (Canis familiaris) dengan ras anjing golden retrieve, anjing bulldog, anjing
german shepherd, dan lain-lain
2). Kucing (Felis catus) dengan ras kucing anggora, kucing persia, kucing sphinx, dan lain-
lain
Keanekaragaman ini terjadi akibat perbedaan letak geografis yang menyebabkan perbedaan iklim
dan berpengaruh pada perbedaan suhu, curah hujan, intensitas cahaya matahari, dan lamanya
penyinaran matahari. Dengan sekian banyak perbedaan tersebut, flora dan fauna yang menempati
suatu daerah akan bervariasi pula.
1). Ekosistem lumut yang terletak di wilayah sekitar puncak gunung atau di daerah dingin
sekitar kutub dan didominasi oleh tumbuhan lumut. Hewan yang dapat dijumpai di
dalamnya ialah hewan-hewan berbulu tebal seperti beruang kutub.
2). Ekosistem hutan konifer yang didominasi oleh tumbuhan yang berdaun seperti jarum,
misalnya pinus atau cemara yang di dalamnya, terdapat hewan juga salah satunya
beruang.
3). Ekosistem hutan hujan tropis yang ditumbuhi beragam pohon, liana, dan epifit. Hewan
yang hidup di dalamnya misalnya kera.
4). Ekosistem padang rumput yang terdapat di wilayah kering di ketinggian sekitar 4000
MDPL dan didominasi oleh rumput-rumputan. Pada ekosistem ini, hidup mamalia besar,
karnivora, dan herbivora.
5). Ekosistem gurun yang memiliki perbedaan suhu mencolok antara siang dan malam, angin
kencang, iklim panas, dan hujan yang sangat sedikit serta didominasi oleh kelompok
tumbuhan xerofit seperti kaktus. Hewan yang dapat dijumpai di dalamnya adalah reptil
dan mamalia kecil.
6). Ekosistem pantai yang didominasi oleh formasi pes-caprae dan barringtonia berbentuk
perdu atau pohon. Di dalamnya, terdapat serangga, burung pantai, dan lain-lain.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber
dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Blondel, J., Perret, P., Maistre, M., and Dias, P. C. 1992. Do harlequin mediterranean
environments function as source sink for Blue Tits (Parus caeruleus L.)?. Landscape Ecology.
6(3): 213-219.