Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

(LAPORAN INTERNAL AUDIT DAN KETRAMPILAN AUDIT)


Dosen Pembimbing : Rahma Yulianti, SE, M.Si

Disusun Oleh : Kelompok 3


Luvia Husna (1915020029)22
Miranda Ramadhani(1915020030)
Muhammad Rivai (1615020092)

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI


UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hamba-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Internal Audit yang telah
memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada kami, sehingga mendorong kami
untuk dapat menyelesaikan tugas.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini
sangat kami harapkan, atas saran dan kritiknya kami ucapkan terimakasih.

Banda Aceh, Desember 2021

Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................................ i

Daftar Isi................................................................................................................... ii

2
Bab I     : Pendahuluan............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1

Bab II    : Pembahasan............................................................................................

Standarpemeriksaan audit............................................................................................

2.1 TanggungJawab Audit............................................................................................

2.2 Keterampilan Audit (Audit Skills).......................................................

2.3 Keterampilan Menguasai Siklus Audit................................................

2.4 Keterampilan Melaksanakan Audit.....................................................

Bab III  : Penutup.................................................................................................... 28

3.1 Kesimpulan............................................................................................. 28

Daftar Pustaka......................................................................................................... 29

BABI
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Profesi audit internal mengalami perkembangan cukup berarti pada awal abad
21, sejak munculnya kasus Enron & Worldcom yang menghebohkan kalangan dunia
usaha. Meskipun reputasi audit internal sempat terpuruk oleh berbagai kasus
kolapsnya beberapa perusahaan tersebut yang melibatkan peran auditor, namun profesi

3
auditor internal ternyata semakin hari semakin dihargai dalam organisasi.Saat ini
profesi auditor internal turut berperan dalam implementasi Good Corporate
Governance (GCG) di perusahaan maupun Good Government Governance (GGG) di
pemerintahan.
     Profesi auditor internal sangat dibutuhkan oleh suatu organisasi apapun, baik
perusahaan swasta, BUMN/BUMD, perusahaan multinasional, perusahaan asing,
pemerintahan, lembaga pendidikan dan Organisasi Nir Laba. Dalam melakukan
rekrutmen terhadap tenaga auditor internal untuk suatu organisasi, selain dapat diambil
dari karyawan / staf dari bagian / Divisi lain, juga diperoleh dari pihak luar organisasi, 
baik yang telah berpengalaman maupun yang baru lulus dari perguruan tinggi (fresh
graduate). Persaingan untuk memperebutkan posisi auditor internal ternyata lebih
ketat dibandingkan posisi tenaga staf akuntansi (accounting staff) atau auditor untuk
Kantor Akuntan Publik (KAP), sebab auditor internal dapat diperebutkan oleh lulusan
dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai pengalaman kerja.

BABII
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN LAPORAN INTERNAL AUDIT
Sebagaihasiladaripekerjaannya, internal audit
harusmembuatlaporankepadamanajemen. Laporantersebutmerupakansuatualat dan
kesempatanbagi internal Audit untukmenarikperhatianmanajemen dan
membukamatamanajemenmengenaimamfaatdari Internal Audit Departementapasaja yang

4
siudah dan dapatdikerjakan IAD, ha, pentingapasajadarimanajemen. Untukitu IAD
harusmenyampaikanlaporanyang :
-obiective
-clear(jelas)
-consise(singkattetapipadat)
-constuctive(membangun)
-timely(tepatwaktu)

5
6
7
8
9
10
2.1. TANGGUNG JAWAB AUDIT

11
KETERAMPILAN AUDIT

2.2  Keterampilan Audit (Audit Skills)


            Keterampilan seorang auditor sangat dipengaruhi oleh tingkat keopetensi dasar
(soft competency) dan kompetensi berpikir serta bertindak (hard competncy) yang
dituntut relatif tinggi. Kompetensi tersebut masih perlu dilengkapi lagi dengan seabreg
pengetahuan relevan (knowledge) yang harus dikuasai sesuai bisnis/industri yang
digeluti dan setelah itu barulah keterampilan auditor terlihat sebagai suatu
extraordinary skills. Secara umum keterampilan auditor dapat ditinjau dari 2 persfektif
yaitu:
1.      Keterampilan menjalan siklus audit, yaitu keterampilan dalam menjalnkan
aktivitas – aktivitas internal audit mulai dari hulu  hingga hilir, dari perencanaan
hingga evaluasi.
2.      Keterampilan mempraktekkan teknik pemeriksaan, yaitu keterampilan yang lebih
spesifik terkait pelaksanaan audit (identifikasi masalah, mengumpulkan data
pendukung, dan menyimpan temuan).

2.3 Keterampilan Menguasai Siklus Audit (Skills in Audit Cycles)


            Tak pelak lagi bahwa auditor harus memiliki kualifikasi selengkap mungkin
sesuai tuntutan dinamika bisnis yang digeluti korporasi serta luas cakupan audit yang
dihadapi. Karena itu, keberhasilan auditor bukan pada pelaksanaan semata atau pada
penyajian laporan semata, atau pada penyajian laporan saja, tetapi sudah dimulai sejak
tahap perencanaan audit, selain pada tahap evaluasi di ujung rangkaian siklus aktivitas
audit. Menilik dari keterampilan menguasai aktivitas-aktivitas utama internal audit,
auditor dapat dibagi ke dalam 2 keterampilan yaitu:
1.      Auditor pemula (beginner/junior auditor)
2.      Auditor berpengalaman (well experienced/senior auditor)
Seorang auditor junior maupun auditor pada umumnya harus dapat
menjabarkanlingkup/objek audit yang dipercayakan kepadanya ke dalam hitungan
waktu kerja dan menuangkannya dalam jadwal ditambah anggaran pelaksanaan. Di
samping itu, auditor juga harus menguasai teknis pelaksanaan audit (termasuk
menggali fakta melalui teknik wawancara), mendapatkan pengakuan auditee atas
temuan audit via konfirmasi tertulis (dengan kaidah bahasa dan konstruksi kalimat
yang baik), serta menindaklanjutitemuan melalui pemantauan pascapelaksanaan audit.
            Keterampilan dasar ini juga harus dimilik ketika berada di jejaring senior
auditor. Pada jenjang lanjutan ini, auditor dituntut memiliki kemampuan leadership,
managerial, dan kematangan teknis setingkat advisor. Auditor diakui sudah cukup
berpengalaman apabila mampu membangun panduan dan kertas kerja audit,
memimpin tim audit (termasuk melakukan investigasi hingga menjurus ke arah fraud
sekalipun), menyusun laporan audit, serta meluncurkan hasil evaluasi periodik.

12
2.4 Keterampilan Melaksanakan Audit (Skills in Audit Execution)
             Berbicara mengenai keterampilan pelaksanaan audit berarti menyinggung
penguasaan berbagai teknik pemerikasaan. Ada banyak teknik yang dapat diterpkan
dalam pemeriksaan. Namun, agar memahami lebih jelas pemakaian setiap teknik ini,
perlu diketahui kerangka umum bagaimana  sebuah objek temuan digali hingga
didapat gambaran tentang masalah spesifik mungkin.
            Terdapat sejumlah teknik pemeriksaan yang sering diterapkan dalam
mengankat suatu masalah. Secara umum, teknik pemeriksaan berdasarkan metodenya
dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu:

1.      Teknik audit deduktif (deductive audit techniques), yaitu berpangkal pada suatu
objek, indikasi atau informasi awal sebagai titik masuk (entry point), selanjutnya
dikembangkan atau diuraikan menjadi kesimpulan fakta yang lengkap, luas dan saling
berhubungan. Teknik-teknik yang diterapkan dalam melakukan identifikasi hingga
pendalaman dan perluasan fakta  tergolong dalam teknik deduktif.

2.      Teknik audit induktif (inductive audit techniques), yaitu berbekal dari banyak
informasi, fakta serta bukti pendukung ditinjau dari hubungan sebab akibat,
persamaan, dan perbedaan hingga berulang pada pengambilan kesimpulan. Teknik-
teknik yang tidak efektif pada identifikasi masalah dan hanya digunakan pada
pendalaman serta perluasan hingga didapatkan kesimpulan akhir, dapat dikategorikan
ke dalam teknik induktif.

Berdasarkan pemahamn mengenai teknik deduktif dan induktif, maka dapat


diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Beberapa teknik deduktif murni yang efektif untuk melakukan identifikasi awa
antara lain mapping, review, survey, inspection, dan scanning.
2.      Beberapa teknik dapat dipakai untuk pendekatan deduktif maupun induktif,
tergantung pada situasi permasalahan yaitu observation,comparison,reconciliatio
, verification, interview, dan cross checking.
3.      Sejumlah teknik yang efektif untuk pemeriksaan tahap lanjut (pendalaman dan
perluasan) yang mengarah pada pengmabilan kesimpulan antara
lain analysis, counting, testing, sampling, vouching, dan tracing.

Berikut ini uraian singkat mengenai teknik-teknik pemeriksaan yang sering


digunakan oleh auditor dalam melaksanakan tugasnya :
1.      Pemetaan (Mapping) 
Pemetaan bermanfaat untuk memberikan gambaran lengkap (komprehensif)
tentang lingku dan objek audit. Pemetaan biasa berupa sebaran situasi yang diperiksa
(audit range), hubungan antar berbagai objek yang diperiksa (object linkage), titik-
titik kritis (critical points) dari persfektif resiko atau kebutuhan pengendalian,
gambaran kecenderungan situasi (trend), dan sebagainya. Pemetaan ini didasarkan
pada data/informasi awal yang relatif sudah jelas, baik itu hasil audit sebelumnya,

13
hasil analisis data, fakta-fakta yang ada di tangan auditee maupun setiap data yang
dapat diakses di sekitar organisasi yang diaudit.
Sebagai contoh, peta  objek-objek pemeriksaan lingkup bidang keuangan, peta
keterkaitan antarunit kerja dalam supply chain, berbagai titik kritis kelemahan internal
control yang diperoleh dari hasil evaluasi audit periode sebelumnya, rangkaian
skenario utnuk melakukan investigasi dugaan kasus tertentu, dan gambaran para
penerima dana dari tindak “korupsi berjamaah”.

2.      Peninjauan Ulang (Review)


Peninjauan ulang dilakukan untuk membuka kembali suatu masalah atau hasil
audit yang terkait dengan unit kerja atau lingkup pemeriksaan tertentu, mempelajari
kembali modus operandi masalah yang pernah terjadi, merekonstruksi hasil sementara
pemerikasaan yang belum selesai (masih berlanjut), atau memaparkan (melakukan
“bedah kasus”) terhadap suatu masalah dengan bukti yang sudah dianggao cukup.
Sebagai contoh, peninjauan ulang/review terhadap permasalahan di unti kerja
“A” (sebelum dimulainya audit baru), mempelajari modus opernadi penylahgunaan
uang di cabang “B” untuk memahami kasus di cabang “C” yang tengah terjadi,
merekonstruksi kejadian selisih barang yang cukup besar di gudang, dan menyajikan
seluruh hasil pemeriksaan selam kurun waktu tertentu untuk referensi bagi
Departemen Teknis yang berwenang membuat (merevisi) SOP atau kebijakan.

3.      Survei (Survey)
Pengumpulan data “lapangan” untuk mendapatkan gambaran tentang fakta
sebuah objek pemeriksaan. Pengumpulan fakta ini biasanya dalam bentuk kuesioner
dengan kriteria dan jumlah responden tertentu. Lazimnya responden adalah
stakeholder eksternal (customer, supplier, client) di mana pelaksanaan survei
sebaiknya tidak ditangani langsung oleh internal audit, tetapi memanfaatkan “tangan”
Departemen Teknis lain yang memiliki hunungan kerja dengan pihak eksternal
tersebut. Survei dilakukan untuk mendapatkan data aktual yang akan dibandingkan
dengan target/standar/ekspektasi yang berlaku.
Sebagai contoh, survei terhadap tingkat kepuasan pelayanan, kompetensi
SDM, kecepatan penanganan keluhan, dan ketersediaan informasi yang dibutuhkan
customer/pelanggan.

4.      Inspeksi (Inspection)
Inspeksi diterapkan dengan cara meninjau langsung ke lokasi, mengamati
praktek kerja dan aspek-aspek fisik lainnya, serta umumnya bersifat kunjungsn
mendadak (surprised visitti). Inspeksi sangat efektif untuk merespons
pengaaduan/keluhan dan memberi efek kejut (shock therapy) terhadap praktek
penyimpangan yang kronis. Selain itu, inspeksi juga diandalkan dalam pelaksanaan
compliance audit, yaitu melihat tingkat kepatuhan ketika menjalankan
prosedur/peraturan yang berlaku.

14
            Sebagai contoh, inspeksi ke gudang persediaan, opname fisik aset (uang,
barang, dokumen, dan sebagainya), inspeksi terhadap frontliners pelayanan dan
sebagainya.

5.      Pemindaian (Scanning)
Pemindaian terkait dengan audit berbasis data. Hal ini bertujuan untuk
mengidentifikasi secara cepat titik-titik dalam sekumpulan data yang dikategorikan
bermasalah sesuai kriteria/lingkup yang ditetapkan. Bila pemetaan memberikan
gambaran lengkap, pemindaian langsung “menjaring” data yang menarik perhatian
untuk dimasukkan ke dalam objek yang akan diperiksa lebih lanjut.
Sebagai contoh, memindai semua data realisasi anggaran yang kritis
(overbudget, realisasi biaya fluktuatif), semua biaya yang totalnya signifikan, saldo-
saldo pada  rekening titipan/transitoris yang “menggantung” belum ada penyelesaian.

6.      Pengamatan/Observasi (Observation)
Teknik ini identik dengan compliance audit atau audit on site (on the spot),
karena paling diandalkan di sana. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan fisik,
prose, kualitas, atau data dengan mengacu pada standar/kriteria tertentu sebagai
referensi. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya penyimpangan dari
standar/peraturan dimaksud. Teknik ini paling klasik dan sangat dominan di kalangan
auditor pemula. Pengamatan merupakan bagian penting dari aktivitas inspeksi, dan
juga dapat diterapkan secara on desk pada proses serta data.
Sebagai contoh, pengamatan terhadap pelaksanaan SOP, pengamatan terhadap
kendala pelaksanaan sistem, dan pengamatan terhadap adanya “technical error”
pada on line system.

7.      Perbandingan (Comparison, Benchmarking, Calibration)


Ini merupkan turunan dari metode pengamatan/observasi, yaitu
membandingkan antara realisasi dan referensi (standar, peraturan, target, catatan, dan
lainnya). Perbandingan (komparasi) juga terkait dengan dua atau lebih objek yang
secara “head to head” setara (seperti data dengan kriteria tertentu, hasil observasi pada
objek berbeda, dan sebagainya). Perbandingan merupakan  jalan pembuka untuk
membedakan antara fakta dan non fakta. Teknik ini terbilang sederhana (mudah)
diterapkan serta hampir terkandung pada banyak teknik audit lainnya
(analysis, testing, counting, dan lain-lain).
            Benchmarking dan calibration adalah perbandingan antar objek di mana ada
objek yang ditetapkan sebagai patokan bagi objek-objek lainnya yang akan
diukur. Benchmarking adalah istilah yang lazim dipakai pada perbandingan antar
barang  yang secara fisik kelihatan. Benchmarking bertujuan untuk melihat gap dan
realibilitas peralatan teknologi yang sering digunakan.
            Sebagai contoh, benchmarking kinerja cabang-cabang lain terhadad cabang
“X” yang sering menjadi pelanggan cabang terbaik, benchmarking kecepatan
pelayanan terhadap standar yang pernah dicapai sebelumnya, kalibrasi terhadap
peralatan kerja tertentu seperti batu timbangan alat timbangan yang sering dipakai, dan

15
kalibrasi terhadapa kapasitas terhadap beban maksimum forklift atau handpallet di
gudang sesuai manual peralatan tersebut.

8.      Rekonsiliasi (Reconciliation)
Rekonsiliasi dianggap sebagai teknik yang diberlakukan pada data.
Rekonsiliasi adalah pengujian secara cepat terhadap konsistensi antar catatan/data
selama kurun waktu tertentu. Inkonsistensi data yang ditemui akan menjadi indikasi
kuat adanya masalah pada data tertentu.
Sebagai contoh, rekonsiliasi semua dana operasi yang ada di bagian keuangan,
dan rekonsiliasi data penjualan (antara bill/tagihan transaksi, mutasi uang, dan mutasi
barang).

9.      Pembuktian/Verifikasi (Verification)
Pemeriksaan terhadap data-data sumber yang berkaitan dengan
transaksi/laporan. Pemeriksaan bertujuan untuk menguji keabsahan, kewajaran,
ketepatan data, bukti transaksi maupun laporan yang tersaji. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara meneliti setiap aspekyang patut diperiksa, baik dari bentuk (format)
maupun isi (content) datanya.
Verifikasi terhadap transaksi dapat dilakukan sebelum transaksi berjalan
(pretransaction) atau setelah transaksi dijalankan (posttransaction). Mengingat tim
audit tidak terlibat langsung dalam eksekusi rutin terhadap transaksi-transaksi, maka
verifikasi oleh tim audit lebih banyak terkait posttransaction.
Sebagai contoh, verifikasi terhadap bukti transaksi pengeluaran biaya. Dari
aspek bentuk, verifikasi meliputi otentitas bukti yang dikeluarkan penerima uang,
kelengkapan dan keabsahan tanda tangan serah terima, dan kememadaian persyaratan
lainnya (logo, nomor bukti, stempel). Dari aspek ini, verifikasi meliputi kebenaran
penulisan nilai/jumlah dan keterangan transaksi, kecukupan materai, kejelasan
identitas orang, serta lampiran pendukung.

10.  Wawancara (Interview)
Teknik ini boleh dibilang cukup sering diandalkan oleh auditor. Hanya dengan
berbekal sedikit bukti awal dan melalui wawancara yang tepat masalah yang ada dapat
diuraikan/disimpulkan secara cepat. Secara umum, ada 2 pendekatan dalam
wawancara, yaitu pendekatan yang lembut (persuasive approach) dan pendekatan
yang tegas (confrontative). Wawancara sangat efektif dalam investigative audit, di
mana dengan bukti yang cukup dapat digali banyak informasi lanjutan dari auditor
terkait. Namun, ingatlah bahwa wawancara tetap harus dituangkan secara tertulis agar
dapat diklasifikasikan sebagai bukti audit. Wawancara yang bersifat
lebih advanced dilakukan dalam bentuk interogasi ketika menyelidiki suatu tindak
kecurangan (fraud), di mana wawancara dilakukan tidak hanya berdasarkan informasi
di tangan, tetapi juga dengan menciptakan suasana psikologis yang
mendorong auditee mengaku. Wawancara seperti ini lebih dikenal sebagai interogasi
(interogation).

16
Sebagai contoh, wawancara terkait proses kerja yang dijalankan selama ini,
wawancara untuk menggali pemahaman auditee terhadap SOP/kebijakan yang relevan
serta wawancara untuk mengetahui sejak kapan penyimpangan berlangsung dan
seberapa luas (siapa saja) yang terlibat.

11.  Pemeriksaan Silang (Cross Check)


Teknik ini merupakan lanjutan dari hasil pemeriksaan dengan teknik
identifikasi, khususnya hasil verifikasi dan wawancara. Pemeriksaan silang bisa
berupa verifikasi data pada lingkup lain yang terkait atau wawancara dengan orang
lain yang merupakan hasil dari wawancara dengan orang sebelumnya. Teknik ini
sangat efektif untuk membuat kesimpulan utuh atas kebenaran suatu bukti atau
memilih fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Sebagai contoh, pemeriksaan silang menyangkut pemenuhan persyaratan
eksekusi pembelian barang ke supplier (di unit procurement) dengan ketetapatan
penerimaan barang (di unit logistik)  dan kelengkapan dokumen untuk pembayaran (di
unit finance).

12.  Analisis (Analysis)
Analisis dalam konteks audit lebih diidentikkan dengan data (meskipun bisa
juga dengan sistem, system analysis), entah itu data transaksi, catatan atau laporan,
atau hasil survei atau pengumpulan berbagai data mentah yang masih perlu dikaitkan.
Analisis data bertujuan untuk memberi gambaran mengenai fakta terakhir (current),
dan perubahan data antarwaktu (historical) maupun hal-hal yang bersifat
kemungkinan (probability) atau bersifat peramalan untuk waktu mendatang (forecast).
Analisis yang baik biasanya melibatkan berbagai entitas data dan menerapkan
pembobotan berdasarkan seperangkat kriteria.
            Sebagai contoh, analisis penjulan tidak hanya berupa pengelompokkan jenis
barang, periode transaksi, atau lokasi, tetapi juga diukur dari segi produktivitas atau
efisiensi (melibatkan data-data seperti sales/stock
quantity, manpower, cost, customer, supplier, dan sebagainya).

13.  Penghitungan Fisik (Physical Count)


Teknik ini terbilang paling konservatif, yaitu mungkin sudah digunakan sejak
pengawasan era pra industri. Penghitungan fisik (atau biasa disebut juga “opname”)
bertujuan untuk memastikan konsistensi antara jumlah fisik dan jumlah yang tertera
pada catatan, yaitu mengetahui apakah terjadi selisih pada jumlah fisik atau hanya
secara administratif. Untuk memperkuat hasil penghitungan biasanya dibuat sedikitnya
2 jenis catatan. Pertama, catatan resmi yang dikeluarkan dari sistem pembukuan resmi.
Kedua, catatan referensi yang dipakai oleh mereka yang bertanggungjawab atas
jumlah secara fisik.
            Sebagai contoh, opname stok barang persediaan atau aset tetap (catatan resmi
dari sistem persediaan/aset tetap, dan catatan referensi berupa kartu stok/daftar
inventaris di lapangan), dan opname uang tunai (catatan resmi dari sistem GL/finance,
serta catatan referensi berupa logbook mutasi harian tunai). 

17
14.  Pengujian (Testing)
Teknik pengujian (testing) dapat diartikan cukup luas, yaitu bisa berupa
pengujian terhadap fisik, proses kerja, bukti transaksi, dan data-data bisnis maupun
laporan. Tujuan pengujian dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu kualitas
(sesuai standar/kriteria yang ditetapkan) dan realibilitas/keandalan (sesuai
nilai/manfaat yang diharapkan).
            Sebagai contoh, pengujian terhadap kualitas packaging barang bila ditumpuk
maksimum, pengujian atas perubahan karakteristik fisik isi barang pada batas
kaduluwarsa, pengujian terhadap konsistensi kecepatan kerja untuk
memenuhi deadline, pengujian terhadap kapabilitas verifikasi oleh petugas atas-atas
bukti-bukti transaksi.

15.  Uji Petik (Sampling)


Uji petik adalah bentuk lebih spesifik dari pengujian. Uji petik dilakukan
dengan mengambil sejumlah sampel (sample) data yang dianggap representatif
berdasarkan kriteria tertentu. Sampel ini ditetapkan secara presentase dari total
(perkiraan)jumlah data sebenarnya yang memang relatif besar.

16.  Pemeriksaan Transaksi Pembukuan (Vouching)


Vouching adalah bentuk pemeriksaan (verifikasi) bukti-bukti transaksi melalui
pengindetifikasian atas jurnal pembukuan akuntansi transaksi terkait. Tujuan dari
vouching, yaitu selain memeriksa bukti-bukti transaksi terkait tetapi juga memastikan
kebenaran perlakuan akuntansi atas transaksi tersebut. Vouching juga merupakan
teknik untuk menelusuri serangkaian masalah transaksi atau mengukur luas terjadinya
masalah terkait transaksi.
            Sebagai contoh, vouching terhadap keabsahan bukti-bukti pengeluaran petty
cash, vouching terhadap pemenuhan tanda tangan pejabat terkait otoritasi sebelum
transaksi dieksekusi, dan vouching terkait kebenaran penjurnalan transaksi sesuai
manual akuntansi perusahaan atas PSAK
.
17.  Penelusuran (Tracing)
Penelusuran adalah metode untuk menemukan akar penyebab (root cause)
suatu masalah, yaitu titik kritis (critical point) yang berkontribusi langsung terhadap
terjadinya masalah atau menggambarkan luas dampak langsung (current impact) dari
suatu masalah. Penelusuran bersifat historis (dalam kontes waktu mundur ke
belakang), sehingga dimulai dari titik kejadian terdekat hingga ke titik terjauh dari segi
waktu. Penelusuran dilakukan terhadap  transaksi, proses kerja, atau urutan peristiwa.

18.  Peramalan (Forecasting)
Peramalan adalah metode yang identik dengan lingkup risk-based audit, yang
memperkirakan hal-hal baru yang baru akan terbukti tepat tidaknya di waktu

18
mendatang. Permalan di sini didasarkan pada kalkulasi/analisis  terhadap sekumpulan
data aktual (actual data group) atau kisaran data (data range)  atau kecenderungan
data (data trend) tertentu. Teknik ini bertujuan untuk memperkirakan besarnya
kebutuhan, dampak potensial, tingkat pertumbuhan/penurunan kinerja, kecenderungan
positf/negatif suatu situasi, dan besarnya deviasi antara hasil aktual realisasi terhadap
standar/target di waktu mendatang.
Bentuk-bentuk peramalan dalam konteks audit meliputi meramalkan kapan
tercapai titik puncak (peak point) atau titik balik (turning point) dari suatu kondisi
bisnis, mengukur kerugian keuangan yang terjadi pada periode berikutnya, akibat
penurunan penjualan  saat ini, dan menentukan titik pencapaian taraf administrasi serta
pengendalian yang diidamkan berdasarkan kemajuan  kinerja built-in control  yang
berjalan.
Sebagai contoh, peramalan dalam rangka melihat kualitas buying
power/productivity ratio per pelanggan (atau per transaksi penjualan), dan perkiraan
presentase pencapaian target pada akhir tahun.

19.  Pengintaian (Intelligence)
Teknik ini bernuansa paradoks yang relatif jarang diterapkan oleh berbagai
satuan kerja internal audit, namun semakin dituntut oleh elemen audit di tengah
dinamika bisnis yang memiliki varian resiko yang kian rumit. Pengintaian lebih sering
dipakai pada lingkungan bisnis yang banayk terjadi kecurangan. Nmaun, dalam
konsep inetrnal audit yang modern, teknik ini harus mengamati secara diam-diam
permasalahan aktual di sekitar implementasi suatu strategi, kebijakan, atau perubahan
sistemik yang diterapkan oleh perusahaan. Teknik ini dianggap lebih efektif
ketimbang pengawasan secara transparan, mengingat naluri dasar manusia yang
cenderung defensif (tertutup) bila mengetahui gerak geriknya diawasi.
            Menjalankan sistem pengintaian yang berkesinambungan (continuous audit
intelligence) berarti membangun jaringan “informasi” bagi internal audit pada
berbagai unit kerja yang dianggap penting dari aspek pengelolaan resiko dan
pengendalian internal. Ini bukan hal yang mudah, karena dibutuhkan tingkat saling
percaya, menjaga kerahasian, serta kedekatan hubungan yang tinggi antara calon
auditor dan informan. Kedewasaan personal, intensitas komunikasi, dan ketekunan
dengan melihat manfaat dalam persfektif jangka panjang merupakan kunci
keberhasilan membangun jaringan audit intelligence.
            Sebagai contoh, pengintaian terhadap komitmen di lapangan untuk
menyuseskan perubahan strategi bisnis yang dicanangkan direksi dan pengintaian
terhadap praktek kecurangan dalam rangka “menangkap basah sang oknum” yang
sejauh ini tidak ada alat bukti (fisik+saksi) yang cukup.

20.  Penyadapan (Tapping, Interception)


Ini termasuk teknik yang paling muktahir dan bergantung pada kecanggihan
teknologi yang diterapkan, yaitu teknologi komunikasi dan informatika (telematika).
Penyadapan dilakukan terhadap percakapan, baik via telepon atau SMS, chatting,
blogging, hingga pada temu muka atau berbagai media kontak lainnya dari orang-

19
orang yang patut dicurigai (suspect). Karena itu, teknik ini lebih merupakan kebutuhan
penyelidikan atas suatu tindak kecurangan (fraud) setelah mendapatkan
indikasi/informasi awal yang dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, bukti fisik
relatif minim atau tidak ada orang yang bersedia menjadi saksi (misalnya pada kasus
korupsi atau penyuapan). Penyadapan memerlukan tingkat kewenangan yang besar
(izin tertulis dari BoD atau pemilik perusahaan), mengingat dapat dipersiapkan
sebagai pelanggaran etika umum, privasi, bahkan dapat menjadi isu hak asasi manusia
(HAM).
Sebagai catatan, dalam praktek hukum di Indonesia, hasil penyadapan hingga
buku ini ditulis masih menjadi kontroversi, apakah bisa digunakan sebagai alat bukti
pada proses litigasi di pengadilan, mengingatkan metode (pembuktian terbalik”  belum
menjadi alat bukti yang sah.
Sebagai contoh, penyadapan terhadap telepondari 2 pihak dalam hal suap
menyuap untuk melancarkan transaksi secara illegal dan penyadapa terhadap “oknum”
yang selam ini diduga melakukan kolusi dengan pihak klien perusahaan.

Kapabilitas auditor dan bobot temuan audit sangat ditentukan oleh seberapa
efektif dalam melakukan kombinasi berbagaia teknik di atas. Semakin banyak teknik
yang digunakan secara benar, sudah pasti semakin  terjamin kinerja dan hasil audit
secara kualitas

2.4 Bukti Audit (Audit Evidence): Membuat Temuan Menjadi Gamblang


dan Bermakna
Semua keterampilan pemeriksaan pada hakikatnya diarahkan untuk
menyajikan bukti (audit evidence) yang relevan dalam rangka menggambarkan
temuan pemeriksaan (audit finding). Hubungan antara audit evidence dan audit finding
dapat diilustrasikan seperti korelsi antara isi (content) dan pesan (context) suatu
komoditas bisnis, antara fisik/lembar uang dan nilai uang itu sendiri.
Dewasa ini dalam proses litigasi (pengadilan) sudah dapat digunakan bukti
fisik berbentuk media audio-visual, seperti rekaman CCTV, hasil foto/scanning
dokumen, atau kesaksian dalam bentuk rekaman audio/video.
Sedapat mungkin bukti pendukung sebuah temuan (audit finding evidence)
harus didukung minimal oleh 2 dari 3 kategori (bukti fisik, data, kesaksian). Namun,
dalam prakteknya tidak jarang auditor membuat kesimpulan yang tidak tepat/bias
(audit bias), sehingga menimbulkan resistensi atau friksi yang tidak perlu dengan
pihak auditee.
Beberapa faktor penyebab terjainya bias itu antara lain:
1.      Waktu pemeriksaan yang tidak sebanding dengan luasnya bidang-bidang yang
diperiksa
2.      Kurangnya kompetensi (pengetahuan, keterampilan, pengalaman) auditor dalam
mendalami suatu bidang
3.      Hanya mengandalkan 1 kategori bukti saja dan langsung menjadi kesimpulan
yang dituangkan dalam memo konfirmasi atau malah langsung dimuat dalam
laporan hasil audit

20
Umumnya, bukti awal (initial evidence) bisa berupa salah satu dari ketiga
kategori, yaitu bisa hasil penggalian oleh auditor sendiri (verifikasi fisik, analisis data,
interview/intelligence) atau hasil informasi (pengaduanyang diterima oleh auditor.
Karena itu diperlukan pendalaman atas bukti awal tersebut, termasuk dengan mencari
bukti pendukung dari kategori lainnya.
Memperhatikan kondisi tersebut, dalam aktivitas pengumpulan bukti
setidaknya dibutuhkan 3 tahapan, yaitu:
1.      Penetapan lingkup bukti-bukti (determining scope of evidence)
2.      Pengambilan rentang/kisaran bukti-bukti (taking range of evidence)
3.      Pengukuran tingkat signifikansi/materialitas bukti-bukti (measuring
significancy/materiality of evidence)

Ketiga tahap tersebut merupakan metode pengumpulan bukti audit, yang secra
berururutan dapat diasosiasikan seperti “mengupas kulit bawang”, mulai dari lapis
pertama, selanjutanya lapis kedua hingga mendapat inti bawang yang layak digunakan.
Melalui tahapan metode ini, setiap temuan diharapkan bukan sekedar menyentuh
“kulit permukaan” saja, tetapi juga  harus sampai pada akar masalah yang sebenarnya.

2.5 Lingkup Bukti (Scope of Evidence): Memperjelas Tanggung Jawab Atas


Hasil Audit
Penetapan lingkup bukti (scope of evidence) adalah penetapan luas “kavling”
yang sepatutnya diperiksa yang merupakan sumber asal (origin source) dari bukti-
bukti pemeriksaan yang dikumpulkan. Scope of evidence sudah harus ditetapkan sejak
tahap perencanaan (sebelum pelaksanaan) dan siap ditinjau kembali saat pelaksanaan
audit dengan memperhatikan:
1.      Kompleksitas bisnis yang dijalankan oleh auditee atau tingkat kejelasan gambaran
awal yang ada di tangan auditor mengenai auditee beserta permasalahannya
2.      Kesiapan sumber daya yang dimiliki oleh auditor, yaitu waktu yang tersedia, jumlah
SDM yang dialokasikan, serta tingkat kompetensi yang dimiliki auditor

Lingkup bukti sebenarnya identik dengan lingkup atau bidang audit (scope of
audit) itu sendiri. Jika lingkup audit berbicara mengenai critical area yang harus
dijelajahi (financial, operational, managerial), maka lingkup bukti akan berbicara
tentang fakta/data pendukung seperti apa yang membuat hasil/temuan audit layak
disajikan. Lingkup bukti selalu mengikuti lingkup audit. Dengan kata lain, bukti-bukti
harus sesuai (kontekstual) dengan corak audit yang sedang dijalankan. Sebagai contoh,
sama-sama berbicara mengenai bukti transaksi atau data pengeluaran uang, tetapi
harus dilihat secara berbeda:
1.      Dari segi “financial audit” ditinjau lebih kepada keabsahan bukti-bukti transaksi dan
kewajaran nilai transaksi
2.      Dari segi “operaional audit”, berbicara tetntang pengendalian anggaran (efisiensi
pengeluaran) serta kememadaian pemenuhan prosedur administrasi/pengendalian
keuangan

21
3.      Dari segi “managerial audit”, lebih fokus pada pertimbangan/pertumbuhan arus kas
(cash flow) dan gambaran rasio biaya terhadap pemasukan (financial ratio analysis)

Penetapan lingkup bukti sangat penting dalam suatu aktivitas audit dengan maksud:
1.      Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hasil audit, di mana auditor hanya menjamin
telah meninjau berbagai aspek yang termasuk dalam lingkup periode atau bidang yang
diperiksa. Dengan kata lain, apabila di kemudian hari dijumpai penyimpangan di luar
lingkup tersebut, maka itu bukan tanggung jawab auditor
2.      Menyesuaikan dengan sumber daya audit yang dimiliki, yaitu waktu yang tersedia,
jumlah SDM, termasuk tingkat kompetensi (keahlian dan pengalaman) auditor
memeriksa suatu lingkup/bidang pekerjaan. Selain itu, juga mendorong tim audit agar
bisa lebih fokus pada penajaman setiap hasil pemeriksaan
3.       Menyediakan kondisi bagi pihak auditee agar dapat memberikan dukungan
sepenuhnya terhadap data yang diminta. Sepanjang masih relevan dengan lingkup
audit, auditee wajib memberikan data yang dibutuhkan. Sebaliknya bila di luar
lingkup, auditee tidak harus memenuhi data yang diminta, khususnya data yang
bersifat “confidentia”
4.      Memberikan persfektif yang jelas bagi auditee untuk memahami hasil audit. Dengan
lingkup yang jelas, auditee dapat melihat bidang-bidang aktivitasnya yang relatif
lemah atau sumber akar permasalahan dalam lingkup tugasnya.

Lingkup bukti secara sederhana ditetapkan dari 2 persfektif terkait relevansinya, yaitu:
1.      Relevan dari segi periode/kurun waktu terjadinya transaksi (time based scope audit)
2.      Relevan dari segi topik audit (topical/thermatical based scope audit)

1.      Time Based Scope of Evidence


Time based scope of evidence, yaitu lingkup bukti dibedakan berdasarkan
tingkat kemuktahiran objek/data yang diuji (dari kurun waktu terjadinya objek/data).
Pembagian dengan cara ini dibedakan berdasarkan 3 tingkatan area pengujian, yaitu:
1.      Kurun waktu data untuk uji fisik
Area pengujian fisik mengambil kurun waktu paling muktahir, yaitu dimulai
pada tanggal akhir bulan. Laporan keuangan bulanan terbaru hingga tanggal uji fisik
dilakukan. Kurun waktu tersebut biasanya relatif pendek, sehingga jumlah
data/transaksi yang diuji tidak begitu banyak.
Sebagai conntoh, ketika tim audit melakukan stock opname pada tanggal 15
Oktober, saldo “terjauh” yang dipakai sebagai acuan adalah saldo laporan keuangan
per akhir bulan sebelumnya (30 September) atau saldo awal bulan berjalan (per 1
Oktober). Dalam hal ini, semua mutasi masuk keluar antara tanggal 1-15 Oktober
dihitung.dicocokkan kembali (reconciled) utnuk memastikan bahwa saldo fisik per 15
Oktober, yang dipakai sebagai acuan opname sudah benar.
Objek uji fisik dapat berupa aset (barang, uang, surat berharga), transaksi, atau
data yang secara langsung dapat dihitung atau biasa diamati. Area ini merupakan
prioritas pertama yang harus segera digarap ketika tim audit akan mengawali tugas
lapangan (audit on site or field audit). Opname dan observasi fisik di sini bertujuan

22
untuk mendapat indikasi awal melalui hasil pengamatan langsung, sampai sejauh
mana kemampuan auditee mengelola resiko bisnis serta menjaga tingkat kepatuhan
operasional. Atau dalam persfektif suatu masalah, untuk memperkirakan luas dan
bobot maslah tersebut melalui tingkat penegndalian yang relatif paling sederhana,
yaitu aset secara fisik.
Contoh objek opname pada field audit antara lain bukti transaksi (termasuk
Kas Bon) yang belum diselesaikan oleh pemakai dana, uang tunai di brankas, cek/giro
yang belum terpakai, bilyet asli deposito, stok fisik persediaan, aktive tetap non
bangunan/non fixture, dokumen asli terkait aset (surat tanah dan bangunan, BPKB
kendaraan, dan ssebagainya.
Objek pengamatan pada field audit antara lain pelayanan para frontliner,
kondisi aset bangunan, kebersihan ruang kerja, keamanan lingkungan, efisiensi
pemakaian fasilitas (listrik, kertas, dan alat tulis), dan sebaginya.
Untuk on desk audit, area bukti fisik hanya dioandang sebatas pada current
data/transaction pada online system atau bukti-bukti fisik dari transaksi yang sudah
berlalu (post transaction evidence).
2.      Kurun waktu data untuk pengujian substantif
Pengujian substantif bertujuan untuk mendapatkan indikasi awal sebelum
sampai pada kesimpulan menyeluruh tentang tingkat pengelolaan resiko dan
pengendalian operasi sepanjang rentang waktu sesudah audit terakhir. Sebagian kecil
pengujian substantif dilakukan saat uji fisik terhadap transaksi/data/proses “terbaru”.
Namun hal itu dianggap belum mewakili gambaran keseluruhan karena sampel data
yang relatif minim. Karena itu biasanya diambil 3-4 periode (bulan) data terakhir atau
sekitar 30% dari seluruh data sebagai sampel wajib (compulsary sampling) untuk
memverifikasi transaksi data yang sudah terjadi atau telah dibukukan/dilaporkan
(posttransaction verification), Mengapa demikian?
1.      Uji petik (sampling) yang baik umumnya mencakup 30% data. Audit lapangan
umumnya dilakukan 1 tahun sekali. Jadi, kurun waktu 3-4 bulan memenuhi syarat
sampel 30% dimaksud
2.      Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan perbandingan/komparasi data secara
memadai (lebih dari 2 kelompok data) serta dapat dtinjau kecenderungan (trend)
terakhir dari suatu masalah.

Jumlah sampel wajib bisa saja lebih dari 3-4 periode, tergantung oada alokasi
waktu yang tersedia dan tingkat kemudahan pengolahan data. Pada area ini,
dilanjutkan agar tidak menyita waktu lebih dari 30% total mandays yang tersedia
untuk mengantisipasi kebutuhan waktu yang lebih panjang saat pendalaman temuan.
Dengan jumlah sampel yang memadai dapat diambil kesimpulan awal
menyangkut indikasi resiko bisnis yang lebih tinggi, seperti:
a.       Ada tidaknya tindak kecurangan atau manipulasi bisnis (mark up transaksi, double
book administrasi, window dressing laporan)
b.      Ada tidak resiko kerugia keuangan yang signifikan, baik secara langsung maupun
yang bakal terjadi di waktu mendatang (resiko potensial)

23
c.       Tingkat kepatuhan dalam menjalankan strategi, ketentuan, prosedur, dan sistem yang
ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi
d.      Tingkat efektivitas dalam mengendalikan bisnis dan keuangan dari pejabat terkait
3. Kurun waktu data untuk uji lanjutan
Area pengujian ini merupakan kelanjutan dari hasil substantive test pada short
term periode sebelumnya. Jadi, kedalaman pemeriksaan pada area ini sangat
bergantung pada hasil substantive test yang dijalankan sebelumnya. Berdasarkan
kesimpulan yang diperoleh dari substantive test, diasumsikan bahwa kelemahan
praktek pengelolaan resiko atau penegndalian operasi yang dijumpai dalam 3 bulan
periode sampel, kemungkinan dijumpai pula pada periode-periode sebelumnya.
Dengan memeriksa mundur ke belakang (traceback) dapat diketahui akar masalah
sekaligus diukur dampak yang ditimbulkannya.
Apabila hasil pengujian substantif tidak mengindikasikan hal yang
membahayakan, tetapi untuk sejumlah alasan kritis atau topik tertentu perlu
kesimpulan dengan sampel data yang diperluas, maka dapat dilakukan pemeriksaan
secara acak (random sampling) pada area ini berdasarkan kriteria tertentu. Beberapa
alasan/topik yang dimaksud adalah :
1.      Perubahan data yang mencolok: adanya fluktuasi, lonjakan, atau penurunan angka
data tertentu  yang drastis dalam kurun waktu data advanced test
2.      Perubahan organisasi: adanya pergantian pejabat pada suatu unit kerja, di mana
perbedaan gaya kepemimpinan mempengaruhi konsistensi, adanya masukan negatif
terhadap pejabat lama, terjadi pergeseran peran unit kerja dan sebagainya
3.      Perubahan sistem: adanya migrasi sitem aplikasi IT, perubahan SOP atau
diberlakukannyakebijakan baru dan sebagainya

2.      Topical-Based Scope Evidence


Topical-Based Scope Evidence, yaitu berupa penetapan jenis objek yang
diperiksa. Pendekatan yang biasanya dilakukan ke dalam 3 kategori, yaitu:
a.       Berbasis aktivitas/tugas, yaitu lingkup bukti pemeriksaan disusun berdasarkan
aktivitas atau metode audit yang akan dilakukan. Aktivitas dimaksud adalah sebagai
berikut:
Audit Activity/Task Topik Pemeriksaan
Opname fisik (counting) Kas operasi, lembar cek & giro, bilyet depositi &
surat berharga, stok barang & uang penjualan,
aktiva tetap
Pemeriksaan bukti transaksi Pengeluaran uang via Bank/tunai, penerimaan &
(vouching) dan verifikasi transfer uang penjualan, biaya yang overbudget,
biaya operasi biaya non rutin yang relatif besar
Pencocokan (reconcile) Konsietensi mutasi antar rekening Bank, mutasi
mutasi/saldo atau data antar Bank dengan petty cash, pengeluaran barang
antarbagian penjualan dengan uang penjualan, order pembelian
dengan penerimaan barang
Pengamatan (observation) Kecepatan pelayanan dan standar kepuasan
atas praktek bisnis/operasi pelanggan, disiplin kehadiran dan pemenuhan

24
tertentu kompetensi SDM, penataan display barang,
kerapian konter dan lobby di front office
Peninjauan kembali (review) Tindak lanjut auditee terhadap hasil temuan audit
terhadap masalah/data terakhir, efektivitas program promo produk,
tertentu efektivitas reward & punishment terhadap SDM

Pendekatan ini paling sederhana dan banyk diterapkan karena berorientasi pada
aktivitas rutin yang akrab dilakukan oleh auditor. Kelemahannya terletak pada
kemungkinan tidak lengkapnya objek/topik yang tersentuh oleh  aktivitas audit terkait.
b.      Bussiness Process/Organizational Based, yaitu lingkup bukti pemeriksaan dibuat
berdasarkan SOP, struktur organisasi, kenijakan internal, atau standar kualitas tertentu
sebagai acuan, misalnya:
  Pemeriksaan berbasis SOP pembelian: pengumpulan permintaan user, pemilihan dan
evaluasi vendor, penetapan harga serta pembayaran ke vendor
  Pemeriksaan terhadap divisi sales & marketing: pembuatan dan sosialisasi
strategi/target, serta pengembangan dan pelaksanaan program promo
  Pemeriksaan terkait kebijakan pelayanan pelanggan serta keamanan sistem dan
teknologi
  Pemeriksaan dalam rangka penerapan ISO 9000/14000, GMP, HACCP

Pendekatan ini lazim digunakan dalam audit kepatuhan (compliance audit)


guna memastikan administrasi dan pengendalian berjalan efektif sesuai alur proses
atau ketentuan yang ditetapkan. Kelemahan persfektif audit ini adalah cenderung
tertuju pada hasil pengamatan semata, sampel data yang hanya seputar SDM,
perangkat sistem, dan implementasi.
c.       Critical Control Point Based/Critical Risk Point Based, yang mirip dengan pendekatan
proses/organisasi hanya saja bisa lebih luas (berupa integrasi antarproses, departemen
atau kebijakan), atau sebaliknya lebih spesifik (berfokus pada isu-isu
pengendalian/resiko tertentu). Peninjauan tidak sekedar pada implementasi
proses/organisasi/kebijakan, tetapi juga melihat dimensi yang lebih holistik
(implikasi/dampak dari sejumlah masalah implementasi), atau lebih khusus (yaitu
titik-titik yang harus menjadi perhatian).
Pendekatan ini tepat dipakai dalam Risk-Based Audit yang banyak diterapkan
dalam pola audit kontemporer. Sebagai contoh, pemeriksaan terhadap:
  Efektivitas pengendalian pengelolaan kas (cash management) perusahaan
  Keserasian antara perencanaan dan realisasi strategi divisi sales dan marketing
  Berbagai critical point pada supply chain management perusahaan, yang melibatkan
SOP & policy terkait (inventory, planning, purchasing, production, sales &
distribution, dsb), teknologi pendukung (modul ERP: procurement, logistic, sales,
distribution, dll), organisasi internal (procurement, finance, warehouse, distribusi,
cabang, retail outlet, dsb)

Kelemahannya terletak pada tuntutan kapabilitas auditor yang relatif tinggi,


khususnya kemampuan melihat dalam wawasan strategi (helicopter view). Dalam

25
praktek, persfektif Time Based dan Topical Based Scoping biasanya tetap ditetapkan
secara simultan.
Contoh:
Tim audit sebuah perusahaan retail akan melakukan kunjungan regular on site ke suatu
representative office per 15 Desember 2008. Pemeriksaan lapangan terakhir dilakukan
pada Agustus 2007. Jadi dapat ditetapkan cut-of date dan topik permeriksaan sebagai
berikut:

Audit Cut Off Date Topik Pemeriksaan On Site


Physical Test 1.      Opname fisik: semua dana berbentuk tunai, lembar
1-15 Desember 2008 cek/giro, deposito serta surat berharga, inventory
stock, fixed assets, dsb.
2.      Verifikasi transaksi keuangan: verifikasi biaya yang
belum dilaporkan dan kas bon yang belum
dipertanggungjawabkan, piutang/utang yang sudah
jatuh tempo dan belum diselesaikan, ganti rugi atas
selisih barang/uang yang belum diselesaikan, dsb
3.      Verifikasi transaksi non keuangan: verifikasi barang
pembelian yang seharusnya sudah masuk, barang
penjualan yang seharusnya sudah terkirim, jasa pihak
eksternal yang tengah berjalan, dsb
4.      Aktivitas kritis: observasi terhadap pelayanan
pelanggan dan penanganan keluhan, aktivitas
marketing/promo & special project (baik yang baru
saja berakhir, tengah berjalan, atau dalam waktu dekat
akan terselenggara), dsb
5.      Assets critical: inspeksi terhadap penataan barang
penjualan, kondisi bangunan, serta fasilitas, dsb
6.      Hal kritis lainnya: pengamatan terhadap disiplin SDM
dan penegakan peraturan perusahaan, pemakaian
akses user ke sistem komputer, tertib pengarsipan
(filling), keamanan lingkungan, dsb
Substantive Test 1.      Fokus utama: pendalaman atas penyimpangan tertentu
1 Sept 2008 – 30 Nov yang indikasi awalnya berasal dari:
2008   Masalah critical hasil audit on desk atau audit on site
sebelumnya
  Masalah yang dijumpai pada hasil “physical test”
2.      Keuangan: rekonsiliasi dana Bank tunai, verifikasi
biaya berjumlah besar serta overbudget, penyelesaian
piutang/utang sesuai payment term, dsb
3.      Transaksi kritis: evaluasi terhadap kinerja
vendor/supplier, delivery barang (leadtime, quality,
quantity), dsb
4.      Aktivitas kritis: evaluasi terhadap efektivitas

26
marketing, promo, special project tertentu, dsb
5.      Assets critical: evaluasi terhadap turnover yang
barang penjualan, perawatan bangunan/fasilitas, dsb
6.      Hal kritis lainnya: evaluasi terhadap tingkat
kompetensi SDM, kendala implementasi
SOP/peraturan perusahaan, dan keamanan sistem
komputer serta database.
Advanced Test 1.      Perluasan periode data dari substantive audit pada
1 Sept 2007 – 30 Agt “fokus utama”
2008 2.      Perluasan periode data dari substantive audit lainnya
(keuangan, transaksi, dan aktivitas critical)

2.6 Kisaran Bukti (Range of Evidence): Menajamkan Temuan Pemeriksaan


Dari penjalasan sebelumnya, lingkup bukti (scope of evidence) dapat
disimpulkan sebagai berbicara mengenai sumber-sumber bukti di mana audit
diarahkan, yang terdiri dari kombinasi rentang waktu dan rentang topik. Sebaliknya,
penetapan kisaran bukti berhubungan dengan besaran jumlah bukti yang akan diambil
atau untuk keprluan uji petik. (sampling). Karene kerumitan kisaran bukti pada
aktivitas audit umumnya berkutat dengan dengan frekuensi data secara tertulis, maka
kisaran bukti lebih dominan berbicara mengenai kisaran data (range of data).
Bagaimana mengambil kisaran data secara benar?
Referensi terbaik adalah menggunakan berbagai metode ilmiah yang
diterapkan dalam Statistical Analysis, seperti normal distribution, regression, chi
square, probability test, dan sebagainya. Namun, dalam bisnis kerap dituntut
penyederhanaan, kecepatan, dan efektivitas, termasuk dalam hal pengambilan sampel
data. Pengujian data dalam aktivitas audit sendiri relatif jarang melibatkan data hingga
ribuan jutaan records, kecuali untuk analisis/riset data yang bersifat konsolidatif. Hal
itupun bergantung pada besarnya volume transaksi perusahaan.
Tidak ada patokan metode yang baku, seperti halnya ketika menetapkan scope
of evidence. Hanya saja beberapa prinsip berikut memang perlu diperhatikan dalam
penetapan range of data:
  Penetapan “kisaran data sampel” berkaitan erat dengan tingkat pengalaman, intuisi dan
keyakinan auditor dalam pengambilan kesimpulan, baik secara historis ke belakang
maupun ekspektasi ke depan, melalui data-data yang “berbicara” tentang hal itu
  Penetapan kisaran data yang baik identik dengan penetapan “kriteria dan prioritas”
yang baik terhadap sampel yang ingin diambil
  Penetapan kriteria dan prioritas yang baik terkait erat dengan seberapa besar “upaya dan
batasan auditor” dalam pengumpulan, pengolahan, serta analisis data

Singkatnya, kisaran//rentang data sangat bergantung pada keputusan auditor


sendiri telah ditetapkan lingkup data (scope of data) pemeriksaan. Apabila
perencanaan harus bersamaan dengan lingkup data, maka kisaran data sudah

27
ditetapkan mengikuti lingkupnya. Pada pelaksanaannya, lingkup data harus dijalankan
sepenuhnya karena sudah melalui pertimbangan atas berbagai critical control/risk
point yang dihadapi. Sebaiknya kisaran data bisa disesuaikan berdasarkan kombinasi
upaya auditor + tantangan yang dihadapinya.
Meneruskan contoh lingkup data, kisaran data (range of data) dapat ditetapkan
pada berbagai topik/fokus audit berikut:
Audit Cut-Off Topik Pemeiksaan On Site Range of Data (contoh)
Date
Physical Test Verifikasi biaya-biaya yang Semua (100 %) biaya-
1-15 Des ‘08 belum dibukukan dan kas bon biaya non rutin yang
yang belum belum dilaporkan atau
dipertanggungjawabkan bukti-bukti kas bon yang
belum
dipertanggungjawabkan
lebih dari 10 hari.
Separuh (50%) biaya-
biaya rutin yang belum
dilaporkan atau bukti-
bukti kas bon yang
berumur lebih dari 5 hari.
Verifikasi utang yang sudah Semua (100 %) utang
jatuh tempo tetapi belum berumur kurang dari 5 hal
diselesaikan kerja atau utang ke
supplier yang sering
bermasalah dalam hal
pengiriman.
50% utang berumur 5 hari
kerja atau lebih (atau
utang ke vendor penyedia
jasa ekpekdisi.
Substantive Test Verifikasi biaya-biaya berjumlah Semua (100 %) biaya-
1 Sep – 30 Nov ‘08 besar dan overbudget biaya bernilai lebih dari
Rp 10 juta/bulan atau
realisasi biaya yang
kumulatif alami
overbudget lebih dari
20%.
50% biaya-biaya non rutin
atau realisasi biaya bulan
bersangkutan alami
overbudget lebih dari
20%.
Evaluasi terhadap kinerja Semua (100%) vendor
vendor/supplier & delivery yang baru jadi rekanan

28
barang kurang dari 1 tahun atau
vendor tunggal di mana
perusahaan sangat
bergantung padanya.
50% vendor pemasok
barang noninventory atau
vendor jasa ekspekdisi.

2.7 Bobot Bukti (Weight of Evidence): Mengukuhkan Temuan Audit


Setelah berbagai bukti dikumpulkan melalui lingkup dan kisaran bukti, bobot
bukti (weight of evidence), atau lazim dikenal sebagai “signifikansi” atau
“materialitas” bukti adalah aspek terakhir yang perlu dipertimbangkan untuk membuat
kesimpulan mengenai temuan yang bersifat “bulat” atau yang tidak diragukan lagi.
            Pembobotan mungkin tidak diperlukan terhadap bukti yang sudah sangat jelas
nilainya secara keuangan. Namun, terkadang tingkat kedalaman bahayanya tidak
begitu tampak jelas, kecuali disajikan dengan upaya pembobotan.
            Pembobotan mutlak dperlukan bila dihadapkan pada fakta/bukti yang nilai
keuangannya relatif sulit ditetapkan, atau memiliki cakupan akar masalah serta
dampak yang relatif lebih luas dari bukti awal yang dimiliki. Dengan kata lain, tujuan
pembobotan adalah untuk memaparkan sejauh mana tingkat kompleksitas (kerumitan)
suatu temuan, jenis dan akar penyebab hingga besarnya dampak/resiko yang mungkin
ditimbulkan. Ada 3 persfektif dalam pembobotan bukti, yaitu:
1.      Pembobotan nilai bukti (measuring value of evidence)
Nilai nominal yang tertera pada bukti bersangkutan diukur melalui
pengembangan nilai ke berbagai kondisi di sekitar bukti, seperti frekuensi munculnya
bukti, luas area di mana bukti dapat dijumpai, lamanya suatu bukti berlangsung, serta
besarnya kualitas atau vitalitas bukti.
            Contoh:
Aspek Pembobotan Contoh Pembobotan
Frekuensi munculnya Hasil opname harian selama 3 bulan terakhir
bukti menunjukkan telah terjadi selisih pada item “A”
sebanyak 5 kali ata rata-rata hampir 2 kali
kejadian per bulan.
Dalam setahun terakhir pelanggan “A”
mengalami keterlambatan membayar sebanyak 4
kali, di mana yang 3 kali berlangsung pada
semester akhir
Luas area bukti Selisih inventory sebesar Rp 1 juta meliputi 20
dari 50 total item produk (40%), di mana yang 15
item di antaranya merupakan produk yang baru
diluncurkan tahun ini.
Tidak ada bukti tertulis menyangkut serah terima
pada berbagai aktivitas, seperti pengeluaran kas

29
bon uang, peminjaman barang, dan pergantian
shift penjaga konter.
Lamanya bukti Piutang tak tertagih klien “x” sebesar Rp 2 juta
berlangsung sudah berlangsung 12 bulan, yaitu sejak January
2009.
Tercatat adanya keluhan/komplain dari pelanggan
“A” pada January 2009 yang belum diselesaikan
hingga audit berlangsung (Juni 2009).
Kualitas atau vitalitas Selisih inventory yang dijumpai pada opname,
bukti yaitu Rp 1 juta, merupakan selisih terbesar yang
pernah terjadi selama gudang “X” beroperasi.
Konter penjualan tidak menyediakan daftar harga
(price list) dan katalog produk, di mana media
dimaksud kerap ditanyakan para pelanggan baru.

2.      Pembobotan sumber penyebab bukti (measuring root cause of evidence)


Ditinjau dari salah satu kombinasi dari sejumlah faktor penyebab, yang dalam
dunia manajemen dikenal sebagai “5M + 1E” : kapabilitas orang (man), sistem atau
proses kerja (method), peralatan/sarana fisik (machine), barang (material), uang
(money), dan lingkungan (environment).
Pembobotan dari aspek ini biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi berupa
kombinasi dari sejumlah faktor di antara “5M + 1E” tersebut. Penekanan pada akar
penyebab biasanya untuk memberi kejelasan terhadap aspek yang memerlukan
tindakan perbaikan (corrective action).
Aspek Pembobotan Contoh Pembobotan
Manusia (Man) Diketahui petugas mengabaikan prosedur untuk
menimbang setiap koli barang yang besar,
sehingga terjadi selisih saat diopname sebesar Rp
10 juta.
Motivasi kerja para SDM di bagian akuntansi
relatif rendah, terlihat dari tutup buku akhir bulan
yang rata-rata terlambat lebih dari 10 hari kerja
setiap bulannya.
Sistem/Proses Kerja Prosedur penimbangan terhadap koli barang yang
(Method) besar tidak berjalan sebagaimana mestinya,
sehingga terjadi selisih sebesar Rp 10 Juta.
Diketahui ada 5 worksheet laporan yang tidak
efektif karena dapat dikeluarkan dari menu laporan
sistem, di mana hal ini menimbulkan overbudget
biaya lembur karyawan terkait untuk aktivitas
pengerjaannya.
Peralatan (Machine) Timbangan digital yang dimiliki gudang hanya
memilki kapasitas maksimum sebesar 100 kg,
sehingga sering tidak digunakan dalam inspeksi

30
barang berkoli besar.
Ketidakseimbangan rasio jumlah komputer
terhadap jumlah SDM, yaitu 1:2 merupakan salah
satu kendala untuk menekan biaya lembur.
Barang (Material) Jumlah transaksi yang harus dibukukan tidak
kurang dari 500 bukti transaksi per hari, sementara
petugas entry hanya 1 orang dan inilah yang
menjadi pangkal berbagai kesalahan data yang
dijumpai.
Terjadinya keterlambatan penerimaan bahan baku
hingga 10 hari yang menyebabkan terganggunya
target produksi bulan berjalan.
Uang (Money) Karena uang yang diterima dari kantor pusat jauh
di bawah nilai yang diminta cabang, maka
beberapa aktivitas promosi yang penting terabaikan
atau menggunakan pos dana yang tidak sesuai
(seperti uang hasil penjualan).
Beberapa bagian dari gedung kantor dibiarkan
mengalami kerusakan, tanpa upaya perbaikan,
karena tidak disetujuinya proposal renovasi
gedung.

3.      Pembobotan besarnya dampak/resiko bukti (measuring cause-effect of evidence)


Ditinjau dari salah satu atau kombinasi dari sejumlah resiko, baik secara
keuangan maupun non keuangan (operasi administratif), baik secara langsung ataupun
sekedar resiko potensial baik sebatas internal ataupun meluas keluar lingkungan bisnis
(eksternal).
            Pembobotan lebih lanjut dari segi dampak langsung, dampak keuangan,
ataupun dampak internal lazimnya jarang dilakukan karena relatif sudah cukup
jelas/terukur. Namun, terkadang pembobotan dimaksud perlu untuk menekankan
tindakan pencegahan (preventive action) yang harus dijalankan auditee secara serius.

31
32
DAFTAR PUSTAKA :
1. Robert N. Anthony & Vijay Govindarajan , Management Control System, 12th
Edition,  McGraw-Hill,  Boston, 2007.
2. Abdul Halim, Achmad Tjahjono, Muh. Fakhri Husein, Sistem Pengendalian
Manajemen, UPP AMP YPKN Yogyakarta, Cetakan Kedua 2003
3. Sofyan Syafri H.,  Sistem Pengawasan Manajemen, Penerbit Quantum, Jakarta,
2001.
4. Arief Suadi, Sistem Pengendalian Manajemen, BPFE, Yogyakarta, 1999.
5. Agus Maulana, Sistem Pengendalian Manajemen, Penerbit ERLANGGA,
Jakarta, 1997
6. Anthony & Govindarajan,  management Control System, edisi 11. 2005

SUMBER LAIN :
https://dennyimamazhari.wordpress.com/2013/04/29/13-perilaku-dalam-organisasi-
sistem-pengendalian-manajemen/
https://indraonank.wordpress.com/2011/10/13/sistem-pengendalian-manajemen-
pusat-tanggung-jawab-pusat-pendapatan-dan-beban/
http://twicemoon.blogspot.co.id/2015/10/makalah-sistem-pengendalian-
manajemen.html

33

Anda mungkin juga menyukai