Anda di halaman 1dari 6

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cendawan Patogen Pasca Panen

Pasar buah–buahan di Indonesia telah dibanjiri buah-buah impor, seperti apel,

jeruk, anggur, durian, pir dan buah lainnya. Hal tersebut mempengaruhi iklim

pemasaran buah-buah lokal. Sebagai akibatnya terjadi kelesuan di tingkat petani

di masyarakat Indonesia. Upaya-upaya peningkatan produksi buah-buahan lokal

semestinya juga diikuti dengan kebijakan yang menguntungkan petani seperti

adanya standar mutu buah-buah impor dan lokal (Setyabudi et al., 2008).

Banyaknya buah-buahan impor di pasar lokal merupakan tantangan yang

harus diterima akibat globalisasi pangan (globalization of food). Adanya pasar

bebas membuka peluang masuknya pangan impor ke tanah air termasuk buah-

buahan baik dalam bentuk segar maupun olahan. Masuknya buah impor memberi

alternatif pilihan bagi konsumen. Tidak dipungkiri juga bahwa produk buah segar

impor menjadi pilihan konsumen, karena ketersediaannya yang melimpah di pasar

lokal, selain daya tarik karena kualitas yang ditampilkannya. Apalagi impor

terbesar buah segar di Indonesia didominasi oleh buah jeruk, apel dan pir,

kekhawatiran timbul karena justru jenis buah yang merupakan buah lokal tropis

(pisang, jambu biji, mangga, pepaya dan durian) ternyata masih mempunyai nilai

impor yang cukup tinggi, padahal ketersediaan atau produksi buah tersebut cukup

tinggi (Ananingsih, 2006).

Kehilangan hasil produk pertanian baik kuantitatif maupun kualitatif sangat

dirasakan oleh petani yang tanamannya rusak oleh patogen. Penyakit pascapanen

pada komoditas hortikultura hingga kini belum mendapat perhatian yang

Universitas Sumatera Utara


memadai. Di Amerika Serikat, diperkirakan lebih kurang 24% buah-buahan dan

sayuran yang dipanen terbuang percuma karena penyakit. Angka tersebut

biasanya didasarkan pada satu tahap dalam sistem penanganan pascapanen. Belum

ada seorang pun yang menghitung kehilangan hasil secara akumulatif pada buah-

buahan dan sayur-sayuran selama panen, penanganan segar, penyimpanan,

pengangkutan, penjualan di pasar swalayan atau pasar tradisional. Di negara

berkembang fasilitas penanganan pascapanen sangat minim dan tuntutan mutu

masih rendah sehingga kehilangan hasil mencapai 50% (Suhardi, 2009).

Infeksi mikroorganisme terhadap produk terjadi pada saat buah tersebut

tumbuh di lapangan, namun mikroorganisme tersebut tidak tumbuh dan

berkembang. Bila kondisi memungkinkan terutama setelah produk tersebut

dipanen dan mengalami penanganan dan penyimpanan lebih lanjut, maka

mikroorganisme tersebut segera dapat tumbuh dan berkembang dan menyebabkan

kerusakan serius. Infeksi mikrorganisme di atas dinamakan infeski laten. Contoh

mikrorganisme yang melakukan infeksi laten adalah Colletotrichum spp. yang

menyebabkan pembusukan pada buah mangga, pepaya dan pisang. Ada pula

mikroorganisme yang hanya berada pada bagian permukaan produk namun belum

mampu menginfeksi. Infeksi baru dilakukan bila ada pelukaan-pelukaan akibat

proses permanen, pasca panen dan pendistribusiannya (Utama, 2001).

Salah satu cendawan yang sering masuk melalui luka antara lain Penicillium

expansum, penyebab cetakan biru yang merupakan patogen pascapanen yang

paling penting dari apel. Kerugian pascapanen apel di Amerika Serikat

diperkirakan mencapai lebih dari $ 4,4 juta tahun 1992 (Rosenberger et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara


Salah satu kendala didalam budidaya buah-buahan khususnya mangga

adalah adanya serangan patogen C. gloesporioides. Serangan muncul pada periode

pasca panen meskipun serangan sudah dimulai sejak di lapangan atau periode

prapanen. Patogen ini menyebabkan penyakit antraknosa. Serangan utama

patogen ini adalah bagian tanaman yang bernilai ekonomis yaitu buah. Penyakit

ini berakibat sangat menurunkan kualitas buah. Serangan pada buah ditandai

dengan adanya bercak coklat atau hitam, agak cekung. Seringkali bercak-bercak

tersebut mengumpul pada pangkal buah, dan buah terinfeksi tidak dapat

dikonsumsi (Indriatmi, 2009). Berdasarkan survei di lima pasar terbesar di Punjab

Pakistan, ditemukan serangan antraknosa hampir 100% terdapat pada buah

mangga (Meer et al., 2013).

2.2 Mating Type Cendawan Patogen

Siklus hidup jamur sangat sederhana, ascomycetes hanya memiliki dua jenis

mating type, tapi basidiomycetes mungkin memiliki beberapa ribu. Adanya

perbedaan biologi dan jumlah mating type dari ke dua kelas jamur ini menjadi

semakin jelas bahwa banyak komponen dari jenis perkawinan jamur tersebut

sangat penting. Sel haploid memiliki satu dari dua jenis kawin. Setiap sel haploid

mengeluarkan feromon peptida kecil yang mengikat reseptor yang kompatibel

pada permukaan sel dari lawan jenis perkawinan. Feromon yang mengikat

menyebabkan respon karakteristik dimana sel kembali mengorientasikan

pertumbuhan terhadap pasangan kawin potensial dan kemudian bergabung

membentuk sel diploid. Sel diploid tidak lagi mampu kawin tetapi mengingat

kondisi lingkungan yang tepat, mengalami meiosis dan sporulasi. Cendawan

Universitas Sumatera Utara


Ustilago maydis memiliki fase aseksual uniseluler dan, seperti ragi, sel

mensekresikan feromon kawin yang menarik pasangan kawin yang kompatibel

(Bannuett, 1995). Feromon yang mengikat menginduksi pembentukan filamen

kawin yang sering berada di ujung untuk menghasilkan sel yang memulai

pertumbuhan dikaryon berserabut (Spellig et al., 1994). Dalam spesies jamur,

tahap aseksual adalah berfilamen dan dikenal sebagai monokaryon (homokaryon)

(Casselton, 2002)

Manohora dan Sato (1992) mendapatkan adanya variasi bentuk sporangium

di dalam Phytophthora yang menyerang lada yang diduga bukan dari jenis

P. capsici. Mereka juga menyatakan adanya dua mating type diantara isolat-isolat

P. capsici yaitu mating type A1 dan A2. Adanya dua mating type tersebut

memungkinkan terjadinya plasmogami dan membentuk turunan P. capsici yang

virulensinya lebih ganas atau lebih lemah pada induknya.Wahyuno dan Manohora

(1995) telah membuktikan bahwa oospora P. capsici dapat terbentuk di dalam

jaringan daun, batang atau akar lada yang telah terinfeksi oleh dua mating type A1

dan A2. Adanya oospora hasil perkawinan P. capsici tipe A1 dan A2 juga

memungkinkan P. capsici dapat bertahan lebih lama di lapangan karena oospora

juga berfungsi struktur bertahan. Hasil penelitian Flier et al. (2003) menunjukkan

bahwa adanya oospora P. infestan pada kentang mendorong meningkatnya variasi

di dalam populasi P. infestan yang memungkinkan patogen dapat beradaptasi

dengan cepat terhadap perubahan-perubahan lingkungan seperti menjadi lebih

tahan terhadap fungisida dan memecahkan atau melemahkan ketahanan varietas

kentang yang baru (Wahyuno, 2009)

Universitas Sumatera Utara


Untuk menentukan isolat-isolat termasuk dalam mating type A1 dan A2

maka isolat-isolat tersebut dilakukan uji mating type mengikuti prosedur

Tooley et al. (1989) dan Wangsomboondee et al. (2002). P. palmivora tipe A1

diambil dari isolasi dari pucuk kelapa dan batang karet, sedangkan tipe A2 berasal

dari isolasi dari buah kakao. Determinasi tipe kawin dilakukan dengan

membandingkan setiap isolat yang diperoleh dengan isolat P. palmivora dan

P. capsisci yang sudah diketahui (tester) A1 dan A2 pada medium agar V8. Isolat

tersebut diamati 4-6 hari inkubasi pada suhu 22 0C di ruang gelap. Pengamatan

dilakukan terhadap ada tidaknya oospora pada zone interaksi kedua isolat

P. palmivora. Apabila isolat yang dideterminasi membentuk oospora dengan

tester A1 dan tidak membentuk oospora dengan tester A2 berarti isolat tersebut

dikatakan sebagai A2. Sebaliknya apabila isolat yang dideterminasi membentuk

oospora dengan tester A2 dan tidak membentuk oospora dengan tester A1 berarti

isolat tersebut dikatakan A1 (Motulo, 2008).

Nielsen (2004) menyatakan dalam illustrasi proses mating type pada

cendawan (Gambar 1)

Gambar 1 : Proses Mating Type ( Sumber : Nielson, 2004)

Universitas Sumatera Utara


Sel vegetatif sebagian besar adalah haploid (1n). Cendawan yang

homothallic dengan jenis kawin (P«M) terjadi selama masa pertumbuhan

vegetatif. Pembentukan zigot dan/atau meiosis terjadi setelah penurunan nutrisi,

khususnya untuk sumber nitrogen. Konjugasi membutuhkan sel partner lawan

jenis dalam perkawinan, sementara meiosis membutuhkan ekspresi berlawanan

kawin-jenis gen dalam sel yang sama. Meiosis ini diikuti oleh pembentukan

ascospore. Jarang terjadi pertumbuhan zigot diploid (2n) dan hanya terjadi di

laboratorium.

Kjaerulff et al. (2005) menyatakan salah satu mating type ditentukan oleh

dua gen, yang terkait erat dalam kaset-mat yang disebut: M oleh tikar-tikar dan

Mc-Mm (alias Mi), P oleh mat-mat-Pc dan Pm (alias Pi). Mm dan Pm kawin-jenis

gen disebabkan oleh respon feromon, tetapi protein yang sesuai yang dapat

membentuk heterodimer aktif setelah pembentukan zigot, yang kemudian memicu

kaskade reaksi lebih lanjut yang mengarah ke meiosis dan sporulasi (F)

(Gambar 2).

Gambar 2. Aktifitas mating type pada saat konjugasi dan meiosis


(Sumber : Kjaerulff et al., 2005)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai