Anda di halaman 1dari 13

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia
sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) dan penjelasan gaib (mystical expalantions). Kini di satu pihak
manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai
hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi di pihak lain
sebagian mengenal pula aneka keterangan serba gaib yang tidak mungkin diuji
sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih berada di luar
jangkauan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan
penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan
hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.
(Surajiyo, 2007).
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. (Notoatmodjo, 2010).

2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi


Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan menurut
Notoatmodjo (Purba, 2015).
1. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal – hal baru
dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Pendidikan itu
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk
mencapai keselamatan dan kebahagian.
5

2. Kultur
Budaya berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena
informasi yang baru akan disaring kira – kira sesuai tidak dengan budaya
yang ada dan agama yang dianut.
3. Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial mendukung tingginya pengetahuan seseorang,
sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik tingkat
pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu
memperhatikan pesan – pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan
kebutuhan – kebutuhan lain yang lebih mendesak.
4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang
tinggi maka pengalaman semakin luas, sedangkan semakin tua umur
seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

2.1.3 Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoadmodjo, 2010, pengetahuan yang cukup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :
1. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
dirangsang yang telah diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mengidentifikasikan dan mengatakan.
2. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang yang
6

telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan
menyebutkan.

3. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai
pengguna hukum- hukum, rumus, metode, prinsip – prinsip dan sebagainya.
4. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen
– komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis (Syntehsis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian – bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi – formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Penelitian – penelitian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang sudah
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria – kriteria yang telah ada.

2.2 Kegawatdaruratan
2.2.1 Definisi Kegawatdaruratan
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu
mendapatkan penanganan atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan
ancaman nyawa korban. Dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan semua itu
terbentuk dari sel – sel, sel tersebut akan tetap hidup bila pasokan oksigen tidak
terhenti, dan kematian tubuh itu akan timbul jika sel tidak bisa mendapatkan
pasokan oksigen. Kematian ada dua macam mati klinis dan mati biologis, mati
klinis adalah apabila seorang penderita henti nafas dan henti jantung, waktunya 6-
7

8 menit setelah terhentinya pernafasan dan sistem sirkulasi tubuh sedangkan mati
biologis adalah mulai terjadinya kerusakan sel – sel otak dan waktunya dimulai 6
sampai 8 menit setelah berhentinya sistem pernafasan dan sirkulasi. (Musliha,
2010).
Menurut The American Hospital Association (AHA) 2015 pengertian
gawat darurat adalah An emergency is any condition that in the opinion of the
patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient
to the hospital-requires immediate medical attention. This condition continues
until a determination has been made by a health care professional that the
patient’s life or well-being is not threatened. Dan setelah dilakukannya penilaian
adan pemeriksaan oleh tenaga medis didapatkan hasil true emergency dan false
emergency. Dimana A true emergency is any condition clinically determined to
require immediate medical care. Such conditions range from those requiring
extensive immediate care and admission to the hospital to those that are
diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and
observation.

2.2.2 Tanda Kegawatdaruratan


Tanda – tanda kegawatdaruratan yang sering kita temui sehari – hari
seperti yang dikutip dari (American College of Emergency Physicians, 2020) yaitu
:
1. Perdarahan yang tidak berhenti.
2. Masalah (nafas pendek, kesulitan bernafas).
3. Perubahan kesadaran (bingung, meracau).
4. Nyeri dada.
5. Tersedak.
6. Batuk dan muntah darah.
7. Pingsan atau hilang kesadaran.
8. Bunuh diri atau pembunuhan.
9. Trauma kepala dan spine.
10. Muntah hebat.
8

11. Kecelakaan sepeda motor, trauma inhalasi atau kebakaran, tenggelam, luka
yang lebar dan dalam, dan lainnya.
12. Nyeri hebat tiba – tiba di tubuh.
13. Pusing, kelemahan atau kebutaan tiba – tiba.
14. Meminum atau memakan yang bersifat racun.
15. Nyeri perut hebat atau tekanan hebat diperut.

2.3 Penanganan Awal Kegawatdaruratan


2.3.1 Pengertian
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan
pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada
seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini
menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat itu di tempat kejadian
(Purba, 2015).

2.3.2 Tujuan
Tujuan dari kemampuan dan keahlian penanganan kegawatdaruratan adalah
membantu para tenaga medis untuk menekan perburukan pada keadaan
emergensi. Dalam penanganan pasien trauma, waktu adalah hal yng sangat
penting, maka diperlukannya penilaian yang cepat dan akurat untuk menentukan
tindakan yang harus diberikan untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat
suatu capaian yang disebut Initial Assessment (ATLS, 2018) yaitu:
1. Persiapan.
2. Triase.
3. Primary Survery (ABCDEs).
4. Tambahan Primary Survey dan resusitasi.
5. Mempertimbangkan Patient Transfer.
6. Secondary Survey.
7. Tambahan Secondary Survey.
8. Pemantauan post resusitasi dan re – evaluasi monitoring
9. Definitive Care.
9

Tahapan primary dan secondary survey di re- evaluasi secara berkala untuk
menilai apakah ada perubahan dari status pasien dan menilai apakah ada indikasi
untuk intervensi tambahan.

2.3.2.1. Persiapan
Persiapan untuk pada pasien – pasien trauma terjadi pada di dua tempat
kejadian berbeda, di rumah sakit dan diluar rumah sakit dimana penting untuk
berkoordinasi antara tenaga medis. Keadaan di luar rumah sakit atau disebut
prehospital phase dimana tenaga medis memberikan penanganan awal terlebih
dahulu sehingga pasien trauma bisa ditransport secara aman menuju IGD Rumah
sakit dengan memberikan infromasi sebelumnya kepada tenaga medis di IGD
Rumah Sakit. Selama prehospital phase, tenaga medis memantau airway
managemenet, perdarahan dan shock, immobilasisi pasien. Sedangkan pada
keadaan di dalam rumah sakit atau hospital phase dimana dalam penerimaan
pasien trauma harus cepat dan teratur dan diatur oleh kepala emergensi. Persiapan
rumah sakit untuk keadaan emergensi meliputi (ATLS, 2018):
1. Area resusitasi yang tersedia untuk pasien trauma.
2. Alat – alat untuk airway management yang berfungsi dengan baik.
3. Cairan yang tercukupi dan bisa dimonitoring.
4. Protokol kegawatdaruratan yang tersedia dan terkoordinasi dengan baik.
5. Proses transfer pasien yang memadai.
6. APD yang memadai untuk pasien pasien dengan hepatitis ataupun AIDS.

2.3.2.2 Triase
Triase adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada keadaan ABC (Airway,
dengan cervical spine control, Breathing dan Circulation dengan kontrol
perdarahan) (Musliha, 2010).
Triase berlaku untuk pemelihan penderita baik di lapangan maupun di
rumah sakit. Merupakan tanggung jawab tenaga medis pre hospital bahwa
penderita akan dikirimkan ke rumah sakit yang sesuai. Pada kasus
10

kegawatdaruratan di ruang gawat darurat kita harus dapat mengatur alur pasien
yang baik, terutama pada jumlah ruang yang terbatas, memprioritaskan pasien
terutama untuk menekan jumlah morbiditas dan mortalitas, dan yang terakhir
adalah pelabelan / pengkategorian dimana (Musliha, 2010) :
1. Emergency (Merah)
Penderita yang harus mendapatkan penanganan dengan segera dan
mengancam nyawa misalnya kasus trauma berat, akut miokard infark,
sumbatan jalan nafas, tension penumotorak, luka bakar dengan trauma
inhalasi.
2. Urgen (Kuning)
Penderita tidak gawat tapi darurat atau tidak darurat tapi gawat, misalnya
pada kasus cedera vertebra, fraktur terbuka, trauma capitis tertutup,
apendisitis akut.
3. Non Urgen (Hijau)
Penderita tidak mengancam nyawa dan tidak perlu mendapatkan
penanganan dengan segera misalnya luka lecet, luka memar, demam.

2.3.2.3 Primary Survey


Ketika Primary Survey dilakukan, upaya terapeutik penting dimulai. Jika
masalah ditemukan pada primary survey, hal terebut harus ditangani secepatnya.
Primary survey membantu mengidentifikasi keadaan yang mengancam nyawa,
dengan tahapan sebagai berikut :
A : Airway, pemantauan airway dengan proteksi servikal.
B : Breathing, pernafasan dengan ventilasi.
C : Circulation, kontrol perdarahan.
D : Disability, status neurologis.
E : Exposure/Environmental Control, mencegah terjadinya hipotermi.

2.3.2.3.1 Airway
Ketika menilai jalan napas, pastikan bahwa peralatan penyokong leher dan
tulang belakang ada pada tempatnya jika terdapat kemungkinan adanya trauma
11

dan menentukan apakah jalan napas paten, terlindungi dan berada pada posisi
yang adekuat.
1. Mengamati tingkat kesadaran, adanya sekresi atau sumbatan, benda asing,
luka bakar di wajah maupun trauma inhalasi, karbon pada sputum.
2. Mempalpasi adanya deformitas di wajah ataupun leher dan memeriksa
adanya refleks muntah dan
3. Mendengarkan adanya suara serak atau stridor.
Penanganan jalan napas pada survei primer dapat dilakukan hanya dengan
memposisikan jalan napas dengan melakukan manuever pengangkatan dagu
(head tilt, chin lift) atau pendorongan rahang (jaw thrust).

Gambar 2.1 Head tilt and Chin lift dan Jaw thrust
https://healthjade.net/head-tilt-chin-lift/

Hal tersebut juga mencakup penambahan alat bantu jalan napas oral atau
nasofaring dan pemberian oksigen tambahan. Pada kasus obstruksi, benda asing
dapat dibebaskan dengan menggunakan manuver basic life support atau secara
manual dengan penghisapan (suctioning). Intervensi jalan napas yang definitif,
12

seperti intubasi endotrakeal oral, intubasi nasotrakeal atau crycothyroidectomi


(Henderson, 2012).

2.3.2.3.2 Breathing
Untuk menilai keadekuatan sistem pernafasan, maka :
1. Mengamati tanda – tanda deviasi trakea, pembesaran vena jugularis,
tanda Kussmaul, kesulitan bernafas.
2. Mempalpasi adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau nyeri tekan.
3. Mengauskultasi untuk mengetahui adanya udara yang masuk, simetris,
bunyi napas tambahan.
4. Melakukan perkusi, jika perlu untuk mengetahui adanya
hiperresonansi.
Dan intervensi yang mungkin dilakukan adalah ventilasi dengan bag-valve mask,
pemasangan jarum dan slang torakostomi dan penggunaan ventilasi bertekanan
positif baik secara invasif ataupun non invasif.

2.3.2.3.3 Circulation
Untuk menilai sirkulasi, maka :
1. Mempalpasi frekuensi, keteraturan irama, kontur dan kekuatan denyut nadi.
Denyut nadi harus diperiksa di keempat ekstermitas, dan menilai suhu tubuh
dan kelembapan kulit.
2. Mengamati tanda – tanda perdarahan yang tampak, deformitas tulang
terutama daerah pinggul, perut yang membesar.
3. Mengukur tekanan darah.
4. Mengauskultasi prekordium untuk mendengar bunyi jantung, bunyi
tambahan.

2.3.2.3.4 Dissability
13

Dissabilitas menggambarkan penilaian status neurologis pada Primary


survey dan menilai :
1. Menilai tingkat kesadaran dengan menggunakan Skala Koma Glasglow

Gambar 2.2 Galsgow Coma Scale


https://www.firstaidforfree.com/glasgow-coma-scale-gcs-first-aiders/

2. Mengamati ukuran dan kesimetrisan pupil serta reaksinya terhadap cahaya


dan sekaligus mengamati gerakan keempat ekstermitas.
3. Mempalpasi tonus rektum dengan colok dubur.

2.3.2.3.5 Exposure
Dalam melakukan tindakan eksposure, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
1. Membuka seluruh area permukaan tubuh pasien.
2. Melakukan inspeksi dan mempalpasi punggung untuk melihat adanya
kelainan dengan metode roll pasien jika kemungkinan adanya trauma.
3. Perhatikan adanya bau tertentu pada tubuh pasien.
14

4. Mengukur suhu tubuh dan rektum.


Intervensi terpenting adalah pengukuran suhu tubuh dan rektum dan
mempertahankan suhu tubuh agar tetap normal. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian selimut hangat.

2.4 Tenaga Medis


Tenaga kesehatan atau medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Bahwa tenaga kesehatan/medis
memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang
maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat
kesehatan yang setinggi – tingginya. (UUD, Nomor 36 Tahun 2014).

2.4.1 Peran Tenaga Medis dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan


2.4.1.1 Peran Perawat
Berdasarkan data dalam daftar mengenai standart kompetensi seorang
perawat di dalam standar kompetensi perawat indonesia, dikatakan bahwa seorang
perawat vokasional, ners, ners spesialis, maupun ners konsultan, semuanya harus
mampu mengidentifikasi dan melaporkan situasi perubahan yang tidak
diharapkan, meminta bantuan dengan cepat dan tepat dalam situasi gawat
darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan hidup dasar sampai
bantuan tiba. Bagi seorang ners spesialis adalah berkemampuan mengambil peran
kepemimpinan dalam triase dan koordinasi asuhan klien sesuai asuhan kebutuhan
khusus. Sedangkan ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan
mengkoordinasikan sumber daya dan mengambil peran kepemimpinan dalam
situasi gawat darurat dan atau bencana (Purba, 2015).

2.4.2.1 Peran Bidan


15

Dalam standar kompetensi bidan indonesia, seorang bidan dituntut untuk


memili keterampilan dalam memberikan asuhan kegawatdaruratan terutama dalam
kegawatdaruratan kebidanan, seperti prolaps tali pusat, distosia bahu,
malpresentasi, dan keadaan gawat janin. Akan tetapi disebutkan juga bahwa bidan
harus berkompetensi dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan terus
menerus sesuai kebutuhan seperti melakukan resusitasi bayi baru lahir,
kegawatdaruratan maternal seperti perdarahan, resusitasi jantung paru maupun
keadaan gawat napas (Purba, 2015).

2.5 Aspek Hukum dan Medikolegal Dalam Penanganan Awal


Kegawatdaruratan
Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di rumah sakit
tidak tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara
tenaga kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan. Pelayanan
gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan
hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.
Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu :
1. Perubahan waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
2. Perubahan klinis yang mendadak
3. Mobilitas petugas yang tinggi
Hal – hal diatas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat
memiliki resiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Ketentuan
pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51
UU no.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Dan UU No. 23/1992
tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat dimana harus
16

segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun. (Herkutanto, 2007).

Anda mungkin juga menyukai