NASKAH UAS-THE
UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM (THE)
UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2021/22.2 (2022.1)
2. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya adalah hal yang acapkali ditanamkan kepada anak 25
usia dini dan sekolah dasar. Kebiasaan yang ditanamkan sejak dini ini harapannya akan menjadi
kebiasaan yang dilakukan berulang hingga mereka dewasa. Demikian yang menjadi filosofi
pendidikan Taiwan mengajarkan siswa untuk membuang sampah pada tempat yang telah
disediakan. Tidak hanya itu sejak di Taman kanak-kanak setiap siswa sudah diinformasikan 13
kategori sampah organik dan non-organik serta tempat pembuangan sampah yang berbeda bagi
masing-masing kategori. Siswa juga diberikan pengetahuan bagaimana mengemas sampah
sebelum dimasukkan ke tempat pembuangan. Contohnya kardus tempat susu cair (fresh milk)
sebelum dimasukkan ke dalam tempat sampah kardus tersebut digepengkan sampai rata terlebih
dahulu. Tujuannya agar memudahkan dan menghemat ruang pembuangan sampah. Kerja keras
pada guru untuk menanamkan kebiasaan ini disambut hangat oleh keluarga siswa, sehingga
lingkungan sekolah dan keluarga bersinergi dalam penanaman kebiasaan ini.
1 dari 3
PDGK4505
Serta diperkuat dengan aturan petugas truk sampah keliling yang tidak menerima sampah yang
tidak pisah berdasarkan 13 kategori. Pada jenjang sekolah dasar dan menengah pengetahuan
tentang penanggulangan sampah semakin diperkaya. Guru-guru mengintegrasikan tema tersebut
ke dalam kurikulum sekolah. Pada pembelajaran science siswa diperlihatkan proses
penanggulangan sampah dimulai dari diangkut trus sampah sampai dengan pabrik pengolahan
sampah dan seterusnya. Beberapa sekolah mengadakan kunjungan ke tempat-tempat dalam
proses tersebut. Berbagai upaya yang dilakukan semua pihak inilah yang membuat Taiwan menjadi
salah satu dari TOP-10 countries yang berhasil menanggulangi sampahnya dengan baik.
Jakarta, CNN Indonesia -- Bullying atau perundungan ibarat duri dalam iklim pendidikan di
Indonesia. Hampir setengah dari siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Hasil ini didapat dari Penilaian Siswa Internasional atau OECD Programme for International
Student Assessment (PISA) 2018 yang baru saja dirilis pada Selasa (3/12) lalu.
Penilaian bertaraf internasional ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa secara
komprehensif, sekaligus iklim pendidikan di setiap negara anggota OECD (Organisation of
Economic Co-operation and Development). Sebanyak 41 persen siswa Indonesia dilaporkan
pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Persentase angka
perundungan siswa di Indonesia ini berada di atas angka rata-rata negara OECD sebesar 23
persen. Pada saat yang sama, 80 persen siswa Indonesia mengaku perlu membantu anak-anak
yang mengalami perundungan. Sementara sebanyak 17 persen siswa mengaku kesepian. Laporan
juga mencatat, sebanyak 21 persen siswa Indonesia pernah bolos sekolah dan 52 persen
dilaporkan datang terlambat ke sekolah. "Di banyak negara, bullying menjadi alasan siswa untuk
bolos sekolah. Sedangkan siswa yang menghargai sekolah dan menerima dukungan yang besar
dari orang tua lebih kecil kemungkinan untuk bolos sekolah," berikut bunyi keterangan resmi
OECD. Selain itu, laporan juga menyoroti iklim pertemanan antar-siswa di Indonesia. Sebanyak 57
persen siswa di Indonesia mengaku saling bersaing satu sama lain, berada di atas angka rata-rata
negara OECD sebesar 50 persen. Sementara sebanyak 75 persen siswa mengaku memiliki teman-
teman sekolah yang koperatif. Studi ini dilakukan terhadap 6 ribu anak berusia 15 tahun dari 79
negara OECD setiap tiga tahun sekali. Kasus perundungan memang banyak terjadi pada anak-
anak.
2 dari 3
PDGK4505
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sebanyak 107 anak menjadi korban
perundungan di sekolah pada 2018 lalu. Dampak yang ditimbulkan perundungan terjadi pada
beberapa tingkat. Perundungan dapat menurunkan motivasi seorang anak bersekolah,
menghambat prestasi, meningkatkan agresivitas anak, hingga menimbulkan depresi. Jika tidak
ditangani dengan baik, perundungan akan berpengaruh terhadap masa depan anak.
4. Ada dua jenis belajar dengan seni (learning with arts) yaitu ketika seorang guru 25
mengajarkan sebuah mata pelajaran dengan menggunakan seni sebagai media atau alat
pembelajaran. Hal ini dapat dilihat ketika seorang guru menciptakan lagu untuk
pembelajaran tematik di sekolah dan dinyanyikan bersama dengan para siswa. Kedua,
belajar melalui seni (learning through arts) yakni sebuah cara mendorong anak untuk
menguasai dan mengekspresikan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran melalui
seni. Hal ini dapat terlihat ketika seorang guru mengajar sejarah, ketika menjelaskan era
penjajahan Belanda dan Jepang, beliau memutarkan lagu yang sedang terkenal pada saat
itu.
3 dari 3