Anda di halaman 1dari 29

EFEK PEMBERIAN SUSPENSI CANGKANG TELUR TERHADAP TIKUS

WISTAR MODEL FIBROSIS PARU

Diajukan Oleh

NUR AMALIA ALIF

P062201025

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

Pengesahan Seminar Usulan Penelitian

EFEK PEMBERIAN SUSPENSI CANGKANG TELUR TERHADAP TIKUS WISTAR


MODEL FIBROSIS PARU

Diajukan Oleh
NUR AMALIA ALIF

P062201025

Telah diperiksa dan dinyatakan memenuhi syarat untuk melaksanakan seminar usul penelitian

Makassar, 10/Maret/2022

Komisi Penasehat

dr.M.Aryadi Arsyad,M.Biomed,Sc.,Ph.D dr. Arif Santoso, SpP(K)., Ph. D., FAPSR

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Sekolah Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Dr. dr. Ika Yustisia, M.S


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………….i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii

BABI PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………2

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………………….2

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………………………...3

BAB II TINAJUAN PUSTAKA………………………………………………………………4

2.1 Tinjauan Fibrosis Paru…………………………………………………………………….4

2.2 Tinjauan Cangkang Telur..………………………………………………………………..7

2.3 Tinjauan Induksi Fibrosis Paru……………………………………………………………10

2.4 Tinjauan Hewan Coba…………………...………………………………………………..12

2.5 Tinjauan Histopatologi…..………………………………………………………………..13

2.6 Tinjauan NLR (Rasio Neutrofil terhadap Limfosit……………………………………….15

2.7 Kerangka Teori…………………………………………………………………………...15

2.8 Kerangka Konsep………………………………………………………………………...16

2.9 Hipotesis Penelitian……………………………………………………………………...16

BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………………..17

3.1 Rancangan Penelitian……………………………………………………………………17

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………………………….18

3.3 Populasi dan Teknik Sampel…………………………………………………………….18

3.4 Definisi Operasional dan Variabel………………………………………………………19

3.5 Alat dan Bahan Penelitian……………………………………………………………..19

3.6 Prosedur Kerja…………………………………………………………………………20

3.7 Izin Penelitian dan Kelayakan Etik……………………………………………………20

3.8 Pengolahan dan Analisis Data………………………………………………………....21

3.9 Alur Penelitian…………………………………………………………………………22

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fibrosis paru adalah kelainan berupa terbentuknya jaringan parut (scar) yang melibatkan
infiltrasi sel inflamasi, proliferasi fibroblas, reactive oxygen species (ROS) serta penumpukan
matriks ekstra selular yang berlebihan kejaringan parenkim paru dan dapat menyebabkan
gangguan fungsi paru (Zhao, et al. 2020). Fibrosis paru dan dapat menyebabkan penyakit paru
restriktif yang berat dan gagal napas. Fibrosis paru disebabkan oleh inflamasi, trauma, idiopatik
seperti pneumonia, efusi pleura, empiema, tuberkulosis, asbestosis, interstitial lung
disease/idiopathicpulmonary fibrosis, obat golongan ergot, sitotoksik, radiasi dan
pascakemoterapi. Selain itu penyakit jaringan ikat sistemik, hemotoraks dan pascatorakotomi
juga sering menjadi penyebab fibrosis (Salem, Nahla and Eman M 2014).
Fibrosis paru-paru (LF) adalah penyakit paru-paru kronis dan progresif yang ditandai dengan
peradangan dan perkembangan deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan yang berpuncak
pada hilangnya fungsi paru-paru yang ireversibel (Degryse, et al. 2010). Data yang diperoleh
oleh yayasan fibrosis paru memperkirakan bahwa fibrosis paru mempengaruhi 1 dari 200 orang
dewasa di atas usia 65 tahun di AS. Sekitar 50.000 kasus baru didiagnosis setiap tahun dan
sebanyak 40.000 orang Amerika meninggal karena LF setiap tahun. Episode inflamasi pada
pasien fibrotik terkait dengan perkembangan penyakit, sementara penelitian lain mengaitkan
perkembangan penyakit dengan kapasitas sel epitel yang berasal dari miofibroblas, sehingga
menginduksi proliferasi dan aktivasi fibroblas. Selain itu, fibroblas yang teraktivasi
menghasilkan banyak sitokin dan kolagen yang berkontribusi pada remodeling paru (Brochetti,
et al. 2017)
Masalah terbesar LF (Lung fibrosis) adalah pengobatan yang tidak efektif. Setiap pengobatan
telah menunjukkan efek positif dalam stabilisasi penyakit atau dalam peningkatan kualitas hidup.
Lini pertama terapi farmakologis didasarkan pada anti-inflamasi. Dengan demikian,
antiinflamasi steroid, seperti kortikosteroid, digunakan karena mekanisme kerjanya yang luas
(Brochetti, et al. 2017).
Studi (Cordeiro and Hincke 2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa cangkang telur
mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang tinggi ,sedangkan (Febrianti and Siska 2020) dan
(Pittas, et al. 2007) menyebutkan bahwa kalsium karbonat memiliki daya anti inflamasi dengan
mengurangi sitokin pro inflamasi,didukung oleh penelitian (Vuong, et al. 2017) yg menyebutkan
bahwa cangkang telur menekan peradangan dengan meningkatkan sekresi sitokin anti-inflamasi
IL-10 sementara fraksi karbohidrat mengurangi sekresi sitokin pro-inflamasi IL-1β dan IL-
6.Juga, fosforilasi dari subunit p65 dan p50 dari faktor nuklir-κB, serta lokalisasi nuklir.
Studi yang dilakukan oleh (Lucarini, et al. 2020) mengenai Efek senyawa hibrida NSAID
dalam peradangan dan fibrosis paru yang memiliki efek anti-inflamasi dan anti-fibrotik yang
tinggi pada model tikus dari fibrosis paru yang diinduksi bleomisin, dengan menghambat
produksi sitokin pro-inflamasi dan pro-fibrotik menjadikannya obat anti-inflamasi yang inovatif
dengan mode aksi ganda dan efek samping yang berkurang. Penelitian tersebut Sejalan dengan
beberapa peneliti yang membahas mengenai penggunaan terapi anti-inflamasi untuk pengobatan
fibrosis paru di antaranya oleh (Nichols et al.,2008) yang menyatakan bahwa di antara terapi
yang terbukti, beberapa penelitian pada hewan dan manusia mendukung penggunaan ibuprofen
sebagai terapi kronis untuk penyakit paru-paru CF dimana ibuprofen menghambat migrasi
neutrofil ke paru-paru tanpa memperburuk infeksi.
Bleomycin adalah agen kemoterapi yang diketahui menyebabkan fibrosis paru sebagai efek
samping yang jarang terjadi pada manusia yang menjalani terapi dengan agen ini untuk kanker.
Bleomisin menyebabkan kerusakan oksidatif pada deoksiribosa timidilat dan nukleotida lain
yang menyebabkan pemutusan rantai tunggal dan ganda pada DNA, yang menyebabkan cedera
paru (Lucarini, et al. 2020).
Menurut Tantawy & Abeer.,(2019) menyatakan bahwa membrane cangkang telur memiliki
Efek anti-fibrotik,Sedangkan Penelitian oleh (Ruff and Dale P 2014) menyatakan dengan
pemberian suplementasi oral membrane cangkang telur secara efektif menghasilkan pengurangan
sitokin pro inflamasi pada tikus.
Peningkatan produksi telur di dunia dari 2009 hingga 2019 diamati (lebih dari 30%) dan
Pada tahun 2008, produksi telur di negara-negara Uni Eropa berada di urutan kedua dengan lebih
dari 6,5 juta ton, antara Cina di tempat pertama dan Amerika Serikat di tempat ketiga. Di
Polandia, konsumsi rata-rata tahunan telur ayam lebih dari 200 unit per kapita. Tidak hanya
konsumsi telur yang tinggi tetapi juga dari tempat penetasan, industri rumah tangga dan makanan
berkontribusi pada tingginya jumlah cangkang telur sebagai limbah. Berat kulit telur sekitar 9-
12% dari total berat telur Cangkang telur ini dapat menjadi ancaman pencemaran lingkungan jika
tidak dimanfaatkan dan hanya menjadi limbah (Arnold, Yolanda Victoria and Anna 2021).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah cangkang telur yang
mengandung kalsium karbonat yang tinggi dengan sifat antiinflamasi dan antifibrotiknya dapat
di terapkan dalam penanganan fibrosis paru. Oleh karna itu perlu dilakukan penelitian mengenai
efek pemberian suspensi cangkang telur terhadap tikus wistar model fibrosis paru dengan
melihat histology paru dan efek antiinflamsi yang terjadi pada tikus wistar model fibrosis paru.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan masalah penelitian:

a. Bagaimana efek pemberian suspensi cangkang telur ayam terhadap gambaran hisologi
pada paru tikus model yang mengalami fibrosis akibat pemberian bleomisin?
b. Bagaimana efek antiinflamasi pemberian suspensi cangkang telur ayam pada paru tikus
model yang mengalami fibrosis akibat pemberian bleomisin?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui efek antifibrosis pemberian suspensi cangkang telur ayam pada
paru tikus wistar model fibrosis paru
b. Untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian suspensi cangkang telur ayam
pada tikus wistar model fibrosis paru
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian suspensi cangkang telur ayam terhadap
gambaran luas area fibrosis paru pada tikus wistar.
b. Untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian suspensi cangkang telur ayam
diliihat dari jumlah neutrofil dan limfosi tikus wistar model fibrosis paru

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat teoritis
a. Dapat mengetahui kondisi fungsi paru pada tikus wistar yang diberikan suspensi
cangkang telur ayam dilihat dari gambaran histologi paru pada tikus wistar
dengan fibrosis paru. Sekaligus diharapkan menjadi dasar pada penelitian
selanjutnya terhadap tikus wistar dengan suspensi cangkang telur ayam.
b. Dapat mengetahui efek antiinflamasi dari pemberian suspense cangkang telur
pada tikus wistar model fibrosis paru sehingga dapat menjadi acuan terhadap
penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperoleh data tentang efek pemberian
suspensi cangkang telur ayam terhadap kondisi fungsi paru dilihat dari gambaran
histologi paru pada tikus wistar model fibrosis paru, dan melihat efek antiinflamasi
dari pemberian suspense cangkang telur serta resiko dari suspensi cangkang telur
ayam tersebut terhadap fungsi paru sehingga dapat menjadi landasan untuk
mengkomsumsi suspensi cangkang telur ayam atau tidak. Menjadi salah satu
alternative untuk mengurangi limbah cangkang telur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Fibrosis Paru

2.1.1 Fibrosis Paru


Fibrosis paru adalah kelainan yang ditandai dengan proses inflamasi kompleks yang
mengakibatkan proliferasi fibroblas berlebihan dan deposisi progresif jaringan ikat di parenkim
paru (Sayed and Sherine M 2009). Fibrosis paru adalah penyakit paru kronis dan progresif.
Penyakit ini dapat bersifat idiopatik atau berkembang sebagai komplikasi dari banyak penyakit
paru dan sistemik. Hingga setengah dari pasien dengan fibrosis paru adalah fibrosis paru
idiopatik (IPF). Hal ini ditandai dengan proliferasi fibroblas, akumulasi kolagen yang berlebihan
dan deposisi protein matriks ekstraseluler lainnya di dalam interstisial paru yang mengakibatkan
hilangnya fungsi paru, dan akhirnya, gagal napas (Kilic, et al. 2015).

2.1.2 Epidemologi
Fibrosis paru-paru (LF) adalah penyakit paru-paru kronis dan progresif yang ditandai
dengan peradangan dan perkembangan deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan yang
berpuncak pada hilangnya fungsi paru-paru yang ireversibel (Degryse, et al. 2010). Data yang
diperoleh oleh yayasan fibrosis paru memperkirakan bahwa fibrosis paru mempengaruhi 1 dari
200 orang dewasa di atas usia 65 tahun di AS. Sekitar 50.000 kasus baru didiagnosis setiap tahun
dan sebanyak 40.000 orang Amerika meninggal karena LF setiap tahun. Episode inflamasi pada
pasien fibrotik terkait dengan perkembangan penyakit, sementara penelitian lain mengaitkan
perkembangan penyakit dengan kapasitas sel epitel yang berasal dari miofibroblas, sehingga
menginduksi proliferasi dan aktivasi fibroblas. Selain itu, fibroblas yang teraktivasi
menghasilkan banyak sitokin dan kolagen yang berkontribusi pada remodeling paru (Brochetti,
et al. 2017).
Fibrosis paru adalah stadium akhir dari sekelompok penyakit kronis yang dikategorikan
sebagai pneumonia interstisial idiopatik.. Peningkatan jumlah orang yang terkena fibrosis paru di
seluruh dunia, dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Beberapa faktor, termasuk
faktor pertumbuhan transformasi (TGF)-b1, faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF), faktor
pertumbuhan yang diturunkan dari trombosit (PDGF), sitokin inflamasi, kemokin (motif CC )
ligan 2/monosit chemo atraktan protein-1 (CCL2) (Salem, Nahla and Eman M 2014).

2.1.3 Etiologi
Sejumlah sitokin telah terbukti merangsang kejadian fibrotik dan termasuk TGF-β, faktor
nekrosis tumor (TNF-α), faktor pertumbuhan yang diturunkan trombosit (PDGF), faktor
pertumbuhan jaringan ikat (CTGF), endotelin, faktor perangsang koloni granulosit-makrofag
(GM-CSF), interleukin (IL-1β), IL-6, IL-10, dan IL-13 (Chen, et al. 2016). Studi terbaik dari
berbagai sitokin ini pada fibrosis paru adalah TGF-β. TGF-β isoform memiliki sejumlah efek
pada respon seluler termasuk modulasi pertumbuhan sel, migrasi, diferensiasi, dan apoptosis.
TGF-β menginduksi diferensiasi myofibroblast, sintesis matriks ekstraseluler (ECM), dan
menghambat pemecahan ECM. TGF-β1 berlimpah di BALF dan hadir dalam biopsi fokus
fibroblastik dari subyek IPF. Ekspresi berlebihan TGF-β1 pada hewan menginduksi fibrosis paru
progresif yang sebagian besar tidak tergantung pada peradangan. TGF-β1 menghasilkan stres
oksidatif dengan induksi produksi ROS dan penurunan ekspresi antioksidan seluler. TGF-β1
menginduksi produksi ROS dengan aktivasi NADPH oksidase (NOXs) dan melalui disfungsi
mitokondria. TGF-β1 telah terbukti menurunkan ekspresi baik katalase dan mitokondria SOD2.
Selain itu, TGF-β1 telah terbukti menurunkan kadar GSH seluler melalui penurunan ekspresi dan
aktivitas γ-glutamilsistein ligase (γ-GCL), langkah pembatas kecepatan dalam sintesis GSH (Day
2008).
Fibrosis paru idiopatik (IPF; alveolitis fibrosing kriptogenik, CFA) adalah penyakit paru
parenkim kronis progresif dengan waktu kelangsungan hidup ratarata 3-5 tahun setelah
diagnosis, terutama mempengaruhi orang tua (Degryse, et al. 2010). IPF bermanifestasi dengan
sesak napas yang disebabkan oleh olahraga, batuk kering yang persisten dan dispnea, dan
ditandai dengan honeycombing yang jelas secara radiologis dan pola histologis pneumonia
interstitial biasa. Riwayat alami IPF tetap sama sekali tidak diketahui dan, seperti yang disiratkan
oleh istilah 'idiopatik', begitu pula etiologinya; namun, faktor lingkungan (seperti merokok dan
debu logam) dan faktor genetik (seperti mutasi padaSP-C, ELMOD2, ABCA3 gen dan
ketidakstabilan mikrosatelit), serta mekanisme patogenetik terkait usia (panjang telomer, stres
oksidatif dan epigenetik (Mouratis and Vassilis 2017).
Keadaan redoks seluler dan keseimbangan oksidan/antioksidan memainkan peran penting
dalam patogenesis fibrosis paru. Stres oksidatif menginduksi apoptosis sel struktural dan
mengatur sintesis sitokin proinflamasi. Disregulasi dalam keseimbangan beberapa faktor
pertumbuhan yang diinduksi oleh stres oksidatif mungkin memainkan peran utama dalam
membedakan antara perbaikan jaringan normal dan patologis. Fibrosis paru berkembang pada
sejumlah penyakit klinis, termasuk penyakit paru interstisial dan pneumonia interstisial idiopatik,
sebagai bagian dari beberapa penyakit jaringan ikat sistemik dan sindrom penyakit paru
interstisial masa kanak-kanak, dan sebagai respons terhadap berbagai jenis cedera paru, termasuk
radiasi dan beberapa obat kemoterapi (Salem, Nahla and Eman M 2014).

2.1.4 Patofisiologi
Patogenesis fibrosis paru adalah kompleks dan diperkirakan melibatkan sejumlah proses
yang menyebabkan perubahan lingkungan alveolar dan proses perbaikan abnormal dengan
akumulasi fibrosis. Beberapa faktor, termasuk usia, kerentanan genetik, dan agen lingkungan,
diketahui berkontribusi terhadap fibrosis paru (Desdiani., et al. 2020). Fibroblastik terkait dengan
peningkatan kadar beta faktor pertumbuhan transformasi aktif (TGF-β) di paru-paru fibrotik.
Sitokin ini merupakan mediator penting dari diferensiasi fibroblas menjadi fenotipe
miofibroblas. Ekspresi berlebihan dari TGF- aktifβ menghasilkan fibrosis paru-paru pada hewan.
TGF-β adalah pengatur utama perbaikan luka dan stimulan produksi spesies oksigen reaktif
(ROS) di fibroblas. Stres oksidatif sering didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara
produksi ROS dan pertahanan antioksidan. Stres oksidatif dapat mendisregulasi pensinyalan sel
dan merupakan target potensial untuk pengembangan terapi untuk mengobati fibrosis paru (Day
2008).
Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidaksetaraan antara produksi radikal bebas dan
kemampuan pertahanan antioksidan untuk menangkapnya. Stres oksidatif adalah salah satu
mekanisme utama yang terlibat dalam Patogenesis fibrosis paru. Diyakini bahwa fibrosis paru
(PF) adalah hasil dari reaksi patofisiologis terhadap cedera yang dapat disebabkan oleh stimulan
seperti radiasi, infeksi, obat-obatan, dan terpapar partikel beracun seperti silika dan asbes. PF
ditandai dengan cedera sel epitel alveolar, infiltrasi sel inflamasi seperti neutrofil dan makrofag
dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas. Peristiwa ini, akibatnya, menghasilkan deposisi
kolagen dan perubahan struktur paru-paru yang menyebabkan penurunan pertukaran gas dan
penurunan komplians paru (Hemmati, Annahita and Pegah 2013).
Fibrosis paru adalah penyakit paru kronis dan progresif , respons pertama setelah cedera
adalah peradangan. Makrofag dan neutrofil alveolar yang teraktivasi terakumulasi di saluran
pernapasan bagian bawah, melepaskan jumlah spesies oksigen reaktif (ROS) yang berbahaya dan
keragaman sitokin yang berbahaya. Neutrofil yang teraktivasi juga dapat melepaskan
myeloperoxidase (MPO), suatu enzim yang berinteraksi dengan hidrogen peroksida (H2HAI2),
untuk membentuk radikal hidroksil yang sangat beracun. Dalam hal ini, target penghambatan
peradangan, stres oksidatif, dan pelepasan sitokin merupakan titik strategis yang mungkin untuk
intervensi terapeutik (Kilic, et al. 2015).
IPF diperkirakan berasal dari cedera epitel berulang dan apoptosis, diikuti oleh re-
epitelisasi yang tidak memadai dan penyembuhan luka yang menyimpang. Inti dari respon
fibrotik yang menyimpang adalah transforming growth factor (TGF), sitokin profibrotik utama,
dan myofibroblast, tipe sel efektor kunci dari deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan dan
arsitektur paru yang terdistorsi, yang merupakan ciri khas IPF. Miofibroblas diperkirakan berasal
baik dari fibroblas residen, prekursor yang bersirkulasi bernama fibrosit, atau dari transisi epitel
ke mesenkim (EMT) (Mouratis and Vassilis 2017).
Fibrosis mengganggu struktur dan fungsi pertukaran gas paru-paru. Fibroblas sebagian
besar bertanggung jawab atas peningkatan kolagen dan sintesis matriks dan deposisi yang terjadi
pada fibrosis paru. Asal usul fibroblas paru selama fibrosis paru belum didefinisikan dengan
baik, tetapi sumber potensial termasuk proliferasi fibroblas interstisial paru yang menetap,
diferensiasi sel progenitor dari sumsum tulang, dan transisi sel epitel ke fenotipe fibroblas, suatu
proses yang disebut epitel-mesenkim. transisi (EMT). Penelitian pada hewan sebelumnya telah
menunjukkan bahwa di tempat proliferasi berkontribusi pada populasi fibroblas paru. Selain itu,
penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa selama fibrosis paru yang diinduksi secara
eksperimental, sebagian fibroblas paru muncul dari sel progenitor sumsum tulang dan bahwa
fibrosit berkontribusi pada proses fibrogenik (Tanjore, et al. 2009).
Fibrosis adalah manifestasi paling parah dari fibrosis paru, yang disebabkan oleh
produksi kolagen yang berlebihan, dan TGF-β adalah faktor yang diakui yang memiliki potensi
pro-fibrotik yang besar dengan merangsang ekspresi kolagen. Ekspresi kolagen yang berlebihan
diamati baik pada tikus yang diinduksi bleomisin dan sel yang diobati dengan TGF-β (Abidi, et
al. 2017).

2.2 Tinjauan Tentang Cangkang Telur Ayam

2.2.1 Pembentukan Cangkang Telur Ayam


Kulit telur terbentuk selama perjalanan telur melalui saluran telur, dengan
berbagai lapisan kulit telur dirakit secara berurutan saat telur melewati sektor saluran
telur yang berurutan. Setelah pembuahan ovum di infundibulum dan sekresi albumen di
magnum, sel telur memasuki tanah genting 2 sampai 3 jam setelah ovulasi. Di isthmus,
sel granular mensekresi berbagai komponen membran cangkang seperti kolagen tipe X.
Sebagian besar deposisi kalsium dalam cangkang telur terjadi di kelenjar cangkang telur
(ESG). Sekitar 5 sampai 6 g kalsium karbonat disimpan ke dalam kulit telur ayam selama
pembentukannya (Lavelin et al, 2000).
Struktur cangkang telur unggas terdiri dari cangkang dan membran dan mewakili
sekitar 10% dari berat telur. Cangkang adalah struktur berkapur yang sebagian besar
terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) (95%) dan matriks organik yang terdiri dari
protein, glikoprotein dan proteoglikan (3,5%) (Verma, et al. 2019). Cangkangnya terdiri
dari kolom kalsit yang disusun dalam dua bagian: bagian utama dengan sisi yang kira-
kira sejajar (lapisan palisade) dan bagian kecil yang membentuk ujung bagian dalam yang
membulat (lapisan kerucut mamilary) yang melekat pada serat membran cangkang.
Lapisan terluar dari kulit telur ayam adalah kutikula, dibentuk oleh vesikel yang
mengandung protein >85% (Arnold, Yolanda Victoria and Anna 2021).
Membran cangkang telur ditemukan di antara putih telur dan cangkang yang
terkalsifikasi, dan dianggap memainkan peran penting dalam menentukan asal dan
ultrastruktur cangkang terkalsifikasi. Serat kolagen dari membran cangkang telur disusun
menjadi dua membran individu: bagian dalam tipis yang terletak di atas putih telur
(albumen), dan membran luar tebal yang menempel pada cangkang. Membran cangkang
telur terdiri dari kolagen ikatan silang (I, V dan X), glikosaminoglikan (GAG), protein
putih telur (yaitu Ovotransferrin, Lisozim) dan protein matriks cangkang telur (yaitu
Ovocalyxin-36). Hidroksiprolin, hidroksilisin dan desmosin terdeteksi dalam hidrolisat
asamnya (Cordeiro and Hincke 2011).

2.2.2 Kandungan Cangkang Telur


Komponen utama dari kulit telur adalah CaCO3 dimana terdapat sebanyak 94%-
97% kadar kalsium karbonat dalam kulit 1 butir telur, yang setara dengan 1,5 gram
kalsium.13,22,23 Selain itu terdapat juga fosfor dan magnesium, dan sejumlah kecil
natrium, kalium, seng, mangan, besi, dan tembaga. Kulit telur dapat berasal dari
bermacam hewan seperti ayam dan bebek (Vuong, et al. 2017). Kulit telur ayam negeri
(Gallus domesticus) mengandung 96,9% CaCO3.26 Perbedaan warna pada kulit telur
ayam tidak berpengaruh pada komposisi dalam kulit telur tersebut (Jaya, et al. 2021).
Cangkang telur ayam terdiri dari cangkang terkalsifikasi dan membran cangkang
termasuk membran dalam dan luar. Membran ini menahan albumen dan mencegah
penetrasi bakteri. Membran cangkang juga penting untuk pembentukan cangkang telur.
Bahan organik cangkang telur dan membran cangkang mengandung protein sebagai
konstituen utama dengan sejumlah kecil karbohidrat dan lipid (Lavelin 2000). Asam
uronat dalam kulit telur dan melaporkan korelasi yang signifikan antara kandungan asam
uronat dan kekuatan pecah cangkang. Asam uronat merupakan gula penyusun
glikosaminoglikan. Kami telah menunjukkan bahwa bahan organik kulit telur
mengandung dua glikosaminoglikan termasuk asam hialuronat dan kopolimer kondroitin
sulfatdermatan sulfat. Asam sialat adalah karbohidrat lain yang ditemukan dalam
membran kulit telur (Nakano 2003).
Cangkang telur merupakan lapisan keras yang melindungi telur dari kondisi
lingkungan sekitar. Cangkang ini berbentuk keras serta memiliki kandungan kalsium
yang cukup tinggi (Chakraborty and Santa 2019). Cangkang telur merupakan limbah
rumah tangga yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Saat ini cangkang telur hanya
digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan tangan. Setiap telur memiliki 10.000 –
20.000 pori-pori sehingga diperkirakan dapat menyerap suatu solut dan dapat digunakan
sebagai adsorben. Produksi telur ayam ras di Indonesia pada tahun 2009 sebesar
1.071.398 ton. Jika rata-rata berat telurnya 60 gram maka kulit telur yang dihasilkan
dalam setahun adalah 107.139 ton. Beratnya setara dengan 100.710,66 ton kalsium
karbonat, 4.285,56 ton magnesium karbonat dan 1.339,25 ton kalsium fosfat (Nakano
2003).
Kandungan gizi dari cangkang telur yang telah diteliti oleh para kimiawi bahwa,
cangkang telur tersusun oleh bahan anorganik 95,1%, protein 3,3% dan air 1,6%.
Komposisi kimia dari kulit telur terdiri dari protein 1,71%, lemak 0,36%, air 0,93%, serat
kasar 16,21%, abu 71,34% (Lavelin 2000).

Nutrisi Cangkang telur (%berat)


Air 29 – 35
Protein 1,4 – 4
Lemak murni 0,10 – 0,20
Abu 89,9 – 91,1
Kalsium 35,1 – 36,4
Kalsium karbonat
(CaCO3) 90,9
Fosfor 0,12
Sodium 0,15 – 0,17
Magnesium 0,37 – 0,40
Pottasium 0,10 – 0,13
Sulfur 0,09 – 0,19
Alanin 0,45
Arginin 0,56 – 0,57
Tabel 2.1 Nutrisi Cangkang Telur (Chakraborty and Santa 2019)
Beberapa komponen selain kalsium, yang juga terdapat di kulit telur dapat
memberikan efek kepada tubuh. Kandungan Sr, F, Cu, dan Se memiliki efek yang positif
dalam metabolisme tulang. Bubuk kulit telur sendiri juga bermanfaat dalam mengurangi
nyeri dan kekakuan, juga sebagai pencegahan dan pengobatan osteoporosis (Chaudhary,
Andreas and John E 2006). Kolagen pada membran kulit telur telah dibuktikan
menunjukkan reaksi alergi yang rendah. Kolagen ini juga dapat digunakan dalam
produksi kosmetik. Kulit telur juga merupakan sumber mineral yang kaya, berfungsi
sebagai eksipien farmasi, bahan dasar untuk mengembangkan sediaan obat dan gigi,
aditif makanan dan suplemen kalsium, komponen pupuk pertanian, serta sebagai
komponen implan tulang (Jaya, et al. 2021).

2.2.3 Manfaat Cangkang Telur


Manfaat cangkang telur dalam kehidupan sudah banyak diteliti dan dibuktikan
oleh pakar ilmiah, mulai dari bidang pertanian, kesenian hingga bidang kesehatan. Dalam
bidang kesehatan khususnya, hasil sintesis cangkang telur dapat dijadikan sebagai bahan
biomaterial untuk sintesis tulang dan gigi, karena cangkang telur kaya akan kalsium
karbonat yang dapat disintesis menjadi kalsium hidroksiapatit.Selain itu, cangkang telur
dapat dimanfaatkan juga sebagai antibakteri. Pemanfaatan cangkang telur dalam bidang
kesehatan dinilai aman dan bebas dari resiko alergi serta dapat menjadi solusi bagi
pemerintah dalam penanganan masalah limbah lingkungan (Nurlaela A, dkk., 2014).

2.2.4 Hubungan Penggunaan Cangkang Telur


Fibrosis paru adalah kelainan berupa terbentuknya jaringan parut (scar) yang
melibatkan infiltrasi sel inflamasi, proliferasi fibroblas, reactive oxygen species (ROS)
serta penumpukan matriks ekstra selular yang berlebihan kejaringan parenkim paru dan
dapat menyebabkan gangguan fungsi paru (Zhao, et al. 2020). Fibrosis paru dan dapat
menyebabkan penyakit paru restriktif yang berat dan gagal napas. Fibrosis paru
disebabkan oleh inflamasi, trauma, idiopatik seperti pneumonia, efusi pleura, empiema,
tuberkulosis, asbestosis, interstitial lung disease/idiopathicpulmonary fibrosis, obat
golongan ergot, sitotoksik, radiasi dan pascakemoterapi. Selain itu penyakit jaringan ikat
sistemik, hemotoraks dan pascatorakotomi juga sering menjadi penyebab fibrosis (Salem,
Nahla and Eman M 2014).
Studi (Cordeiro and Hincke 2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
cangkang telur terbentuk terutama dari kalsium karbonat (caco3) yang tinggi ,
berhubungan dengan penelitian (Febrianti et al., 2020) dan (Pittas et al.,2007) yang
menyebutkan bahwa kalsium karbonat memiliki daya anti inflamasi dengan mengurangi
sitokin pro inflamasi, selain itu penelitian oleh (Vuong, et al. 2017) juga menyebutkan
bahwa cangkang telur menekan peradangan dengan meningkatkan sekresi sitokin anti-
inflamasi IL-10 sementara fraksi karbohidrat mengurangi sekresi sitokin pro-inflamasi
IL-1β dan IL-6.Juga, fosforilasidari subunit p65 dan p50 darifaktornuklir-κB, serta
lokalisasi nuklir. Selain itu penelitian menurut (Sumardi, Arif and Andriany 2020)
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kalsium serum
dengan fungsi paru.
Studi yang dilakukan oleh (Lucarini, et al. 2020) mengenai Efek senyawa hibrida
NSAID dalam peradangan dan fibrosis paru yang memiliki efek anti-inflamasi dan anti-
fibrotik yang tinggi pada model tikus dari fibrosis paru yang diinduksi bleomisin, dengan
menghambat produksi sitokin pro-inflamasi dan pro-fibrotik menjadikannya obat anti-
inflamasi yang inovatif dengan mode aksi ganda dan efek samping yang berkurang.
Sejalan dengan beberapa peneliti yang membahas mengenai penggunaan terapi anti-
inflamasi untuk pengobatan fibrosis paru di antaranya oleh (Nichols et al.,2008) yang
menyatakan bahwa di antara terapi yang terbukti, beberapa penelitian pada hewan dan
manusia mendukung penggunaan ibu profen sebagai terapi kronis untuk penyakit paru-
paru CF dimana ibuprofen menghambat migrasi neutrofilke paru paru tanpa
memperburuk infeksi. Menurut Tantawy & Abeer.,(2019) menyatakan bahwa membrane
cangkang telur memiliki Efek anti-fibrotik, Sedangkan Penelitian oleh (Ruff et al., 2014)
dengan suplementasi oral membrane cangkang telur secara efektif menghasilkan
pengurangan sitokin pro inflamasi pada tikus.
Membran cangkang telur terutama terdiri dari protein berserat seperti Kolagen
Tipe I. Namun, membran cangkang telur juga telah terbukti mengandung komponen
bioaktif lainnya, yaitu glikosaminoglikan (misalnya dermatan sulfat, kondroitin sulfat,
dan asam hialuronat (Ruff and Dale P 2014). ESM dapat memberikan efek anti-fibrotik
dengan menekan stres oksidatif dan mempromosikan degradasi Kol dengan menghambat
transformasi HSC, berpotensi melalui modulasi baru PPARC-Jalur pensinyalan interaksi
EDN1 (El-Tantawy and Abeer 2019).

2.3 Tinjauan tentang Induksi Model Fibrosis Paru

Model fibrosis paru dengan pemberian bleomisin, sudah sering dilakukan. Bleomisin
digunakan untuk menginduksi terjadinya fibrosis paru pada model hewan tikus jantan yang
diberikan secara intratracheal dan intrapleural dengan posisi dekubitus lateral kanan. Fibrosis
paru pada hewan kecil secara histologi, dinilai dengan menggunakan modifikasi Ashcroft scale.
Skala yang sudah dimodifikasi ini memiliki korelasi yang lebih baik dengan gambaran CT scan
dibandingkan dengan skala Ashcroft konvensional (Desdiani., et al. 2020).
Bleomisin (BLM) dianggap sebagai alat yang ideal untuk meniru fibrosis paru-paru. Ini dapat
diberikan secara intraperitoneal, intravena, subkutan atau intratrakeal tetapi intravena (iv) dan
intratrakeal (itu) adalah rute yang lebih umum digunakan. Khususnya, ada kekhawatiran yang
muncul tentang model BLM mengenai reproduktifitasnya yang tinggi dan kemampuan untuk
meniru fenotipe seperti PF dan fitur histologis yang diamati pada pasien yang diobati dengan
BLM. Model PF ini dapat dibagi menjadi tiga tahap termasuk cedera, peradangan dan fibrosis
(Cheng Li and Lian-Di 2017).
Model fibrosis paru yang diinduksi oleh bleomisin, digunakan untuk mengetahui mekanisme
yang berkaitan dengan fibrosis paru. Model bleomisin adalah sistem in vivo yang paling umum
digunakan untuk meneliti pembe-rian obat. Bleomisin dapat menginduksi paru yang
menghasilkan respons inflamasi akut. Fase inflamasi dan perubahan fibrotik, meniru bebe-rapa
ciri patologis yang sesuai dengan IPF. Perubahan molekular yang terjadi selama fase fibrosis
belum pernah dinilai secara langsung. TGFβ sangat berperan sebagai pemicu pada proses
remodeling dalam model bleomisin, namun kontribusinya terhadap pengembangan penyakit di
IPF saat ini belum diketahui secara lengkap. Selain itu heterogenitas penyakit di antara pasien,
termasuk tingkat perkembangannya belum jelas, apakah model bleomisin secara akurat
mencerminkan mekanisme penyakit untuk semua pasien IPF (Chaudhary, Andreas and John E
2006).
Untuk menetapkan dosis bleomisin yang menginduksi fibrosis namun tidak mengakibatkan
kematian, penelitian dosis awal respons bleomisin telah dilakukan. Kematian yang bermakna
diamati pada kelompok tikus yang diberi dosis 3 U/kg BB (19%) atau 5 U /kg BB (50%).
Pemberian dosis 4 U/kg BB tidak menyebabkan kematian dan menyebabkan respons fibrotik
submaksimal yang mengakibatkan perubahan fungsi paru, sehingga semua penelitian selanjutnya
banyak dilakukan dengan menggunakan dosis ini (Desdiani., et al. 2020).
Respons awal terlihat banyak ditemukan sel neutrofil yang dengan cepat berkurang seiring
waktu dan digantikan dengan meningkatnya jumlah limfosit dan makrofag di saluran napas.
Setelah 35 hari, jumlah sel pada Bronchoalveolar lavage (BAL) tikus yang diberi bleomisin
kembali sama dengan kelompok kontrol. Pemberian bleomisin berulang, meningkatkan infiltrasi
sel inflamasi pada BAL tikus (Desdiani., et al. 2020).
BLM menginduksi reaksi respon inflamasi yang mengakibatkan cedera paru-paru melalui
deposisi kolagen (MMP-7 dan hidroksiprolin) di jaringan paru-paru, BLM menginduksi
peningkatan yang signifikan pada tingkat TNF-α , IL-1β, LM meningkatkan ekspresi protein NF-
κB (p65) dalam sitoplasma, BLM adalah antibiotik glikopeptida yang secara konvensional
digunakan sebagai terapi antikanker. MMP-7 mengaktifkan TGF-β, faktor pertumbuhan
fibrogenik potensial yang menginduksi fibrosis paru, dan mendorong kontraksi fibroblas
kolagen. patogenesis fibrosis paru dapat dipicu oleh cedera sel epitel paru oleh rangsangan
fibrogenik, sehingga penting untuk peradangan paru, yang dikendalikan oleh beberapa jenis sel
dan sitokin. TGF-β1 adalah sitokin profibrogenik yang paling poten. TGF-β1 dapat mendorong
fibroblas paru untuk mensekresi kolagen atau menginduksi transformasi fibroblas menjadi
miofibroblas yang mengekspresikan –smooth muscle actin (α-SMA); keduanya merupakan
langkah penting dalam patogenesis fibrosis paru. BLM menginduksi pelepasan ROS dan RNS
dengan mengikat DNA dan besi, mengakibatkan kerusakan DNA. Interaksi BLM dan DNA
disarankan untuk memulai respon inflamasi dan perubahan proliferasi fibro melalui sitokin yang
menghasilkan augmentasi kolagen di paru-paru. Selain itu, BLM menyebabkan penipisan
pertahanan antioksidan endogen, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan jaringan alveolar
yang diinduksi ROS dan RNS (Raisha, et al. 2018).

Gambar 2.1. Gambaran Paru dengan bleomisin (Degryse, et al. 2010)


Keterangan: Bagian paru-paru bernoda biru trichrome postbleomycin. A dan C: area fibrosis
yang tidak merata dicatat pada bagian paru-paru yang diwarnai trichrome dari tikus 2 minggu
setelah dosis tunggal 0,04 unit bleomycin.B dan D: sebaliknya, fibrosis lebih menonjol pada
bagian paru-paru yang diwarnai trichrome dari tikus 2 minggu setelah dosis berulang
dwimingguan ke-8 0,04 unit bleomycin. Selanjutnya, hiperplasia sel epitel alveolar (AEC)
menonjol dengan model berulang. Pembesaran dalamA dan B, 40; perbesaran diC dan D, 400
(Degryse, et al. 2010).

2.4 Tinjauan tentang Hewan Coba

Model hewan yang paling sering digunakan untuk mempelajari patogenesis dan pengobatan
IPF dan fibrosis paru terkait adalah model fibrosis paru yang diinduksi bleomisin pada hewan
pengerat. Di dalam model, bleomycin diberikan intratrakeal langsung ke paru-paru, yang
menginduksi cedera paru-paru dari pembelahan DNA yang dimediasi bleomycin. Respon
inflamasi yang dihasilkan menyebabkan kerusakan pada epitel saluran napas, aktivasi fibroblas,
dan fibrosis berikutnya. Banyak agen yang menargetkan jalur pensinyalan yang beragam seperti
pensinyalan EGFR dan PDGFR, agen antiinflamasi seperti obat antiinflamasi nonsteroid dan
kortikosteroid, sitokin, antioksidan, antikoagulan, berbagai terapi gen, dan antagonis angiotensin
II, menghambat fibrosis sangat efektif dalam model ini (Chaudhary, Andreas and John E 2006).
Tikus telah terbukti menjadi model hewan yang paling banyak digunakan karena murah dan
mudah dipelihara, memiliki kemiripan dengan organisme manusia dan ada alat genetik yang
memungkinkan manipulasi yang tidak mungkin dilakukan pada organisme lain (Mouratis and
Vassilis 2017).
Relatif terhadap tikus jantan, tikus betina memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih
besar dalam menanggapi BLM. Selain itu paru-paru tikus betina menunjukkan fibrosis
interstisial yang lebih parah dan luas dibandingkan tikus jantan menurut pemeriksaan
histopatologi. Lebih lanjut, jaringan paru-paru wanita menunjukkan derajat inflamasi dan fibrosis
paru yang lebih tinggi yang disertai dengan tingkat deposisi kolagen paru yang lebih tinggi yang
dinilai dari kandungan hidroksiprolin paru. Peningkatan respons fibrotik pada tikus betina ini
juga tercermin dalam tingkat mRNA yang lebih tinggi untuk prokolagen-1 (SAYA), - 1 (III),
serta peningkatan ekspresi sitokin fibrogenik yang lebih besar. Secara keseluruhan, temuan ini
memberikan dukungan untuk kesimpulan bahwa ada perbedaan tergantung gender yang
signifikan dalam respons terhadap cedera paru-paru, dan bahwa jenis kelamin perempuan dapat
mewakili faktor risiko untuk pengembangan PF yang lebih parah. Mekanisme untuk perbedaan
yang diamati ini mungkin melibatkan faktor genetik, sistem kekebalan, atau hormonal, atau
beberapa kombinasi dari faktor-faktor ini (Kermani, et al. 2005).

2.5 Tinjauan tentang Histopatologi

Fibrosis paru-paru manusia telah digambarkan secara histopatologis sebagai sekelompok


pneumonia interstisial termasuk pneumonia interstisial biasa (UIP), juga dikenal sebagai fibrosis
paru idiopatik (IPF), pneumonia interstisial deskuamasi (DIP), penyakit paru interstisial
bronkiolitis pernapasan (RB), pneumonia interstisial limfoid (LIP), pneumonia pengorganisasian
kriptogenik (OP), kerusakan alveolar difus (DAD) atau pneumonia interstitial akut (AIP), dan
pneumonia interstitial nonspesifik (NSIP). Variasi besar ditemukan antara prognosis pneumonia
interstisial yang berbeda. NSIP, DIP, RB, dan LIP memiliki mortalitas 5 tahun kurang dari 10%
dan biasanya responsif terhadap pengobatan kortikosteroid. IPF dan AIP memiliki prognosis
yang buruk dengan mortalitas 5 tahun >60% dan umumnya tidak responsif terhadap pengobatan
(Day 2008).
Perbaikan jaringan rusak merupakan mekanisme biologik dasar yang melibatkan penggantian
sel dan jaringan rusak setelah jejas, dan merupakan proses penting untuk kelangsungan hidup.
Jika proses ini terhambat maka akan berkembang menjadi jaringan parut yang menetap, ditandai
dengan akumulasi komponen matriks ekstraselular seperti asam hialuronat, fibronektin,
proteoglikan dan kolagen interstitial pada jaringan paru yang luka (Tanjore, et al. 2009).
Penyembuhan luka terdiri atas 4 tahap yaitu fase koagulasi, fase inflamasi, fase proliferasi
dan migrasi fibroblas serta fase remodeling Fibrosis paru pada hewan kecil secara histologi,
dinilai dengan menggunakan modifikasi Ashcroft scale. Skala yang sudah dimodifikasi ini
memiliki korelasi yang lebih baik dengan gambaran CT scan dibandingkan dengan skala
Ashcroft konvensional. Model fibrosis paru yang diinduksi oleh bleomisin, digunakan untuk
mengetahui mekanisme yang berkaitan dengan fibrosis paru. Model bleomisin adalah sistem in
vivo yang paling umum digunakan untuk meneliti pemberian obat Penilaian histologis lesi
fibrosa dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian semikuantitatif buta yang diadopsi oleh
Aschroft untuk tingkat dan tingkat keparahan peradangan dan fibrosis pada parenkim paru
(Desdiani., et al. 2020).
Tingkat keparahan peradangan dikategorikan sebagai salah satu dari berikut ini: Tingkat 0,
tidak adanya peradangan; Grade 1, peradangan minimal; Derajat 2, peradangan minimal sampai
sedang; Derajat 3, inflamasi sedang dengan penebalan dinding alveolus; Grade 4, peradangan
sedang hingga parah; dan Grade 5, peradangan parah dengan adanya folikel (Chaudhary,
Andreas and John E 2006).
Tingkat keparahan fibrosis interstisial ditentukan dengan menggunakan sistem penilaian,
yang dijelaskan oleh Ashcroft Seluruh bagian paru-paru diamati pada 100 pembesaran, dan skor
berkisar antara 0 (normal) dan 8 (fibrosis total) ditetapkan. Kategori fibrosis paru adalah sebagai
berikut: Grade 0, paru-paru normal; Grade 1, penebalan fibrosa minimal pada dinding alveolus
atau bronkus; Derajat 2-3, penebalan dinding sedang tanpa kerusakan nyata pada arsitektur paru;
Derajat 4-5, peningkatan fibrosis dengan kerusakan nyata pada arsitektur paru dan pembentukan
pita fibrosa atau massa fibrosa kecil; Grade 6-7, distorsi struktur yang parah dan area fibrosa
yang besar, "paru-paru sarang lebah" ditempatkan dalam kategori ini; dan Grade 8, obliterasi
fibrotik total lapangan. Skor rata-rata dari semua bagian diambil sebagai skor fibrosis dari bagian
paru-paru itu. Mikrografik ditangkap menggunakan kamera Nikon Coolpix 4500 (Abidi, et al.
2017).
Gambar. 2.2 Gambaran fibrosis paru dengan modifikasi skala Aschroft (Desdiani., et al. 2020)

Tabel 2.2 Karakterisasi skala modifikasi Ashcroft (Desdiani., et al. 2020)


Skala modifikasi
Derajat fibrosis Sampel foto
Septum alveoli: tidak ditemukan fibrosis pada sebagian besar
0 Gambar A
dinding alveoli. Struktur paru normal
Septum alveoli: fibrosis terbatas, ketebalan septum ≤3x dari
1 Gambar B normal. Struktur paru sebagian alveoli membesar, belum terlihat
fibrosis
Septum alveoli: fibrosis tampak jelas, ketebalan septum ≥3x dari
2 Gambar C normal. Struktur paru sebagian alveoli membesar, belum terlihat
fibrosis
Septum alveoli: dinding mulai fibrosis, ketebalan ≥3x dari
3 Gambar D normal. Struktur paru: sebagian alveoli membesar, belum terlihat
fibrosis
Septum alveoli: bervariasi. Struktur paru: single fibrotic masses
4 Gambar E
Septum alveoli: bervariasi. Struktur paru confluent fibrotic
5 Gambar F
masses, ≥10% dan ≤50% lapangan pandang, kerusakan struktur
meluas
Septum alveoli: bervariasi, sebagian besar berubah bentuk.
6 Gambar G Struktur paru: massa fibrotik besar, ≥50% lapangan pandang,
kerusakan struktur sangat luas
Septum alveoli: tidak berbentuk. Struktur paru: alveoli
7 Gambar H bergabung dengan massa fibrosis, masih tampak gelembung
udara
Septum alveoli: tidak berbentuk. Struktur paru: complete
8 Gambar I
obliteration with fibrotic masses

2.6 Tinjauan tentang Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR)


Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR) merupakan penanda penting dalam penilaian
inflamasi sistemik yang hemat biaya dan dapat dihitung dengan cepat dan mudah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa NLR lebih tinggi pada pasien dengan AS dan NLR dapat
dilihat sebagai penanda yang berguna dalam menunjukkan peradangan dan dalam mengevaluasi
efektivitas terapi anti-TNF-α (Gokmen, et al. 2015). Anti-fibrotik dan aktivitas anti-inflamasi
nintedanib dapat memengaruhi perjalanan klinis penyakit paru-paru penyakit fibrotik seperti IPF
(Wollin 2014). Respon inflamasi neutrofilik berpotensi menjadi penanda penting dari prognosis
buruk. NLR adalah penanda inflamasi subklinis yang mudah diukur, dapat direproduksi, dan
tidak mahal. Selain itu, NRL merupakan indikasi dari gangguan imunitas yang diperantarai sel
yang terkait dengan peradangan sistemik (Faria, et al. 2016).
NLR adalah indeks yang diperoleh sebagai proporsi neutrofil dan limfosit, yaitu komponen
hematologi dari inflamasi sistemik. Dalam penelitian terbaru, NLR telah digunakan bersama
dengan penanda inflamasi lainnya dalam menentukan peradangan pada penyakit rematik dan
penyakit nonrematik dan telah terbukti menjadi indikator peradangan yang baik (Gokmen, et al.
2015). Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR) adalah biomarker inflamasi. Rasio neutrofil
terhadap limfosit (NLR) dan indeks inflamasi imun sistemik (SII) adalah penanda inflamasi yang
mungkin mencerminkan potensi antiinflamasi diet. (Szymanska, et al. 2021).
Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR) adalah indeks untuk evaluasi peradangan, dua
variabel yang dapat dengan mudah diperoleh dari tes darah. NLR mengintegrasikan dua jalur
kekebalan - neutrofil yang menggambarkan peradangan terus menerus dan limfosit yang
menggambarkan jalur regulasi4. NLR juga telah banyak digunakan sebagai penanda prognostik
untuk penilaian pasien dengan berbagai kanker, termasuk kanker lambung, kanker kolorektal,
kanker payudara, kanker paru-paru, kanker ovarium, kanker pankreas dan HCC5-11. Peradangan
sistematis memiliki peran yang diakui dalam Patogenesis sirosis lanjut12-14. Dengan demikian,
NLR dapat menjadi penanda yang mencerminkan keparahan fibrosis hati (Peng, et al. 2018).

2.7 Kerangka Konsep


Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Antiacid Antiinflamasi Antifibrotik

Cangkang Telur
Kalsium Karbonat Kolagen Tipe 1

Sitokin Sitokin Stres Oksidatif Menghambat


antiinflamasi IL-10 Proinflamasi transformasi HSC

Histopatologi Fibrosis Paru NLR

Sitokin Deposisi Kolagen Kontraksi


MMP-7 &
proinflamasi Fibroblas
ROS & RNS Hidroksiprolin NF-KB TGF-B1
TNF-a, IL-B Kolagen

Bleomisin (BLM)

2.8 Kerangka Teori

Gambar 2.4 Gambar Kerangka Teori

Kalsium karbonat pada


Cangkang Telur Ayam Ras Tingkat fibrosis paru dengan
Suspensi Cangkang Telur modifikasi skor Aschroft dan
Ayam Ras NLR (Rasio neutrofil terhadap
limfosit)

Keterangan:
: Variabel Bebas
: Variabel Antara
: Variabel Terikat

2.9 Hipotesis Penelitian


2.9.1 Hipotesis Nol (H0)
Tidak ada pengaruh pemberian suspensi cangkang telur terhadap kerusakan paru pada tikus
wistar yang diinduksi Bleomisin.
2.9.2 Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh pengaruh pemberian suspense cangkang telur terhadap kerusakan pada Tikus
wister yang diinduksi Bleomisin melalui pengamatan histopatologi paru dan pengukuran NLR.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Analitik dengan desain Eksperimental secara in vivo
(Desdiani., et al. 2020). Penelitian ini dibagi secara acak menjadi 4 kelompok hewan coba
tikus untuk menilai dan menganalisis efek anti fibrosis pemberian Suspensi Cangkang Telur
pada Paru model tikus yang mengalami fibrosis akibat pemberian Bleomisin.
Sampel penelitian berjumlah 24 ekor dan dibagi secara random menjadi 4 kelompok
tikus putih jantan galur Wistar ( Rattus norvegicus) dengan berat 200-250gr dan berusia 10
minggu. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan Desdiani et al, (2020) dengan
kelompok tikus model yang terdiri atas kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif
yaitu tikus model yang hanya diberikan bleomisin 4 mg/kg BB hari ke-0 dan hari ke-21,
kelompok tikus model dengan pemberian bleomisin 4 mg/kg BB hari ke-8 dan hari ke-28 +
suspense cangkang telur setiap hari selama 49 hari (fibropreventif), kelompok tikus model
dengan pemberian bleomisin 4 mg/kg BB hari ke-0 dan hari ke-21+ suspense cangkang telur
setiap hari mulai hari ke-15 sampai ke-49 (fibrolisis) dengan dosis bleomisin yang
digunakan adalah 4 mg/kg BB secara intratracheal. Dosis Suspensi Cangkang telur Ayam
Ras menggunakan dosis bertingkat diantaranya yaitu dosis rendah 10mg/kgBB, sedang
30mg/kg BB dan tinggi 100mg/kg BB.
Rancangan penelitian ini dilakukan dengan membagi sampel dalam
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan melalui randomisasi. Rancangan ini diperluas
dengan melibatkan lebih dari satu variabel bebas, dengan kata lain perlakuan dilakukan pada
lebih dari satu kelompok dengan bentuk perlakuan yang berbeda. Setelah semua perlakuan
selesai, dilakukan observasi (post-test) pada semua kelompok untuk memperoleh
kesimpulan mengenai perbedaan diantaranya melalui analisis data SPSS.

P1 D1

P P2 D2

A R K+ D3

K- D4

Gambar 3.1. Skema Desain Penelitian


Keterangan :
A: Adaptasi, sampel akan diberi makan pallet dan air minum selama 1 minggu

R: Sampel. Sampel akan dibagi ke dalam 2 kelompok

K1: Kelompok kontrol positif diberi BLM 4 mg/kg hari ke-0 dan hari ke-21
K2: Kelompok kontrol negatif dengan pemberian aquades dan makanan pallet selama 4
minggu
P1: Kelompok perlakuan 1 akan diberi BLM 4 mg/kg hari ke-8 dan hari ke-28 dan
pemberian suspensi cangkang telur dengan larutan CMC 0,5% selama 4 minggu
sebanyak 10,0 mg/kg ekor
P2: Kelompok perlakuan 3 akan diberi BLM 4 mg/kg hari ke-0 dan hari ke-21 dan
pemberian suspensi cangkang telur dengan larutan CMC 0,5% selama 4 minggu
sebanyak 10,0 mg/kg ekor
D1: Data gambaran histopatologi hati kelompok Perlakuan 1
D2: Data gambaran histopatologi hati kelompok Perlakuan 2
D3: Data gambaran histopatologi hati kelompok control Positif
D4: Data gambaran histopatologi hati kelompok control Negatif

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri
Makassar.
3.2.2 Waktu penelitian ini dilakukan pada April-Juni 2022

3.3 Populasi dan Teknik Sampel


3.3.1 Populasi penelitian ini adalah Tikus Putih galur (Rattus norvegicus) Wistar jantan
3.3.2 Teknik Sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, tidak cacat, dan bergerak aktif)
2) Berjenis kelamin jantan
3) Berusia sekitar 3 bulan
4) Berat 200-250gr
b. Kriteria Eksklusi
1) Tikus sakit atau mati saat penelitian berlangsung
2) Tikus hamil
3.3.3 Besar Sampel
Alokasi sampel dengan menggunakan metode Simple Random Sampling. Penentuan besar
sampel sesuai dengan desain 1 – 0ne way ANOVA (Arifin & Zahiruddin, 2017) yaitu
sample minimal menggunakan DF = 10, sedangkan sampel maksimal menggunakan DF
=20
Sample minimal : Sample maksimal

n= DF/k+ 1 n = DF/k+ 1

n=10/2 + 1 n = 20/2 + 1

n=5+1 n = 10 + 1

n=6 n = 11
Sehingga 6 ≤ n ≥ 11

Keterangan:

n : jumlah sample per kelompok

DF: degrees of freedom (derajat kebebasan)

K: jumlah kelompok

Besar sampel pada penelitian ini adalah 24 tikus dengan masing-masing 2 kelompok
kontrol dan 2 kelompok perlakuan, untuk setiap kelompoknya ada 6 tikus, sebagai
antisipasi apabila terdapat tikus yang mati saat penelitian berlangsung.

Tabel 3.1 Besar Sampel Penelitian

Kelompok Besar sampel

Kelompok 1 6 ekor

Kelompok 2 6 ekor

Perlakuan 1 6 ekor

Perlakuan 2 6 ekor

Total sampel 24 ekor

3.4 Definisi Operasional dan Variabel

Tabel 3.2 Defenisi Operasional

Defenisi Operasional dan Cara


No Variabel Unit Skala
Pengukuran

Bubuk suspensi cangkang telur digunakan


Cangkang
1 sebagai penurun luas area fibrosis paru tikus MG Nominal
Telur
wistar

Bleomsin yang diinduksi pada hewan coba


2 Bleomisin MG Nominal
dengan model fibrosis paru pada tikus wistar

Pengambilan organ paru setelah hewan


Histologi
3 dilakukan eutanasi kemudian organ G Nominal
Paru
dimasukan dalam larutan formalin.

NLR (Rasio
neutrofil
4
terhadap
limfosit)
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
1. Pemeliharaan Tikus
a. Alat
Alat yang digunakan berupa kandang tikus putih, kawat, penutup kandang, alu dan
lumpang. Timbangan hewan, neraca dosis Suspensi Cangkang telur dan Bleomisin,
wadah makan dan minum hewan coba, alat Suspensi Cangkang telur, mikroskop,
wadah sampel, water bath, alat pencukur rambut, gagang bisturi, pinset shirugis,
gunting, duk steril, dan bisturi.
b. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan,
Suspensi Cangkang Telur, dan Bleomisin (4 mg/KgBB), larutan CMC 0,5%,
aquades, alkohol, wadah sampel, spuit 1 dan 3 cc.

3.6 Prosedur Kerja


1. Pemeliharaan Tikus
Tikus dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara 18-260C. 1 kandang berisi 2 ekor
tikus. Tikus diberi pakan 2 kali sehari dan air minum ad libitum. Kandang tikus diberi
sekam dan diganti setiap 2 hari sekali.
2. Penimbangan BB Tikus
Selama percobaan dilakukan penimbangan bobot badan tikus setiap 7 hari sekali, dan
pertambahan bobot badan tikus pada masing-masing kelompok dibandingkan. Rasio berat
paru bersih (mg) dengan berat badan (g) untuk setiap tikus digunakan sebagai indeks
paru-paru.
3. Pembuatan Bleomisin
Bleomisin dosis 4 mg/kg BB.
4. Pembuatan Suspensi Cangkang Telur
Cangkang telur dibersihkan. Setelah itu dilakukan pengecilan ukuran. Cangkang telur
kemudian direbus menggunakan aquades selama 15 menit pada wadah yang berbeda, air
rebusan dibuang. Selanjutnya, masing-masing cangkang telur dikeringkan menggunakan
dry cabinet pada suhu 50o C selama 3 jam. Cangkang kering selanjutnya ditepungkan
menggunakan blender, kemudian diayak menggunakan mesh 1003 selanjutnya di suspensi
ke dalam larutan CMC 0,5% sampai kedalam aquades (Ruff & DeVore, 2014).
5. Pembuatan preparat Histopatologi Paru
Pengambilan organ paru setelah hewan dilakukan eutanasi kemudian organ dimasukan
dalam larutan formalin. Rangkaian proses pembuatan preparat histologi melalui beberapa
tahapan diantaranya dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, pengeblokan, pemotongan,
pewarnaan, perekatan dan pelabelan. Setelah itu preparat histopatologi paru dapat diamati
di bawah mikroskop.
6. Pembuatan sediaan apus darah tepi
Pengambilan darah melalui bagian ujung ekor tikus pada jam ke-0, 4, 8 dan 12 setelah
injeksi bleomisin. Sampel darah yang diambil langsung dibuat sediaan apusan darah tepi
dan diwarnai dengan pewarnaan giemsa. Sediaan apus darah tepi yang telah dibuat
diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x untuk melihat hitung jenis
neutrofil dan limfosit per 100 sel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistic
menggunakan shapiro wilk.

3.7 Izin Penelitian dan Kelayakan Etik


Pemberian izin penelitian akan dilakukan pada Komisi Etik Penelitian Kedokteran pada
sampel tikus di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Setelah
mendapatkan izin, penelitian ini akan segera dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-
persyaratan etik yang telah diberikan.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data


1 Pengolahan Data
Cara pengolahan data dalam penelitian ini meliputi beberapa langkah yaitu:
a. Editing, data yang telah dikumpulkan diperiksa kembali kebenarannya.
b. Coding, data yang telah diedit kemudian diberi kode numerik (angka) yang terdiri
atas beberapa kode.
c. Entry data, setelah dilakukan kegiatan editing dan koding dilanjutkan dengan
memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master table atau database
computer.
d. Melakukan teknik analisis, melakukan analisis khususnya terhadap data penelitian
akan menggunakan ilmu statistic terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang
hendak dianalisis. Mengadakan penjumlahan dari angka-angka jawaban responden
pada yang diteliti dengan menggunakan bantuan computer program SPSS yang akan
menjawab hipotesis penelitian.
2 Analisis Data
a. Analisis normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Data berdistribusi normal
dengan nilai p˃0,05
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat diperlukan untuk menghubungkan antara variabel independen
dengan variabel dependen yaitu hubungan antara usia, pola makan, status gizi.
Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square.
Σ( ο−E) 2
X2=
E

Keterangan:
2
X : Chi Square

Σ : Jumlah

Ο : Frekuensi yang teramati

E : Frekuensi yang diharapkan


Keputusan yang diambil dari hasil uji Chi Square adalah bila p value ≤ α, Ho ditolak,

berarti data sampel mendukung adanya hubungan yang bermakna (signifikan). Bila p value > α,

Ho diterima, berarti data sampel tidak mendukung adanya hubungan yang bermakna (signifikan).

Untuk mengetahui keeratan hubungan atau kekuatan hubungan digunakan OR karena

desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Nilai OR merupakan nilai estimasi

resiko untuk terjadinya outcome sebagai pengaruh adanya variabel independen. Jika nilai OR >

1 berarti memiliki hubungan erat positif, OR < 1 memiliki efek perlindungan, sedangkan OR + 1

tidak memiliki hubungan.

3.9 Alur Penelitian

Gambar 3.3 Alur Penelitian

Tikus diadaptasi selama 7 hari

Tikus dibagi menjadi kelompok control negative dan kelompok


control positif dengan 3 kelompok perlakuan

Kelompok Perlakuan Kelompok control Kelompok control


Positif Negatif

Kelompok perlakuan BLM Kelompok perlakuan BLM Kelompok perlakuan Kelompok kontrol
4mg/kg (Hari ke-8 dan ke- 4mg/kg (Hari ke-0 dan ke- BLM 4mg/kg (Hari ke- negatif pemberian
28) + Suspensi cangkang 21) + Suspensi cangkang 0 dan ke-21) aquades dan
telur (Setiap hari selama 49 telur (Setiap hari selama 49 makanan pallet
hari)(Fibropreventif) hari) (Fibrolisis) selama 4 minggu

Pengujian efek antiinflamasi (dinilai dengan Pemeriksaan Histopatologi Paru


perhitungan jumlah neutrofil dan limfosit) (dinilai dengan menggunakan modifikasi Ashcroft

Analisis Data
(uji bivariat dengan chi-square test, antara variabel kelompok atau
jenis perlakuan (kategorik) dengan variabel derajat)

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Abidi, Anouar., et al. “Protective Effect of Pistacia lentiscus Oil Against Bleomycin-Induced Lung Fibrosis
and Oxidative Stress in Rat.” Nutrtion and cancer, 2017: 490-497.

Alhussary, Banan N., Taqa. Ghada A, and Taqa Amer A. “Preparation and Characterization of Natural
Nano Hydroxyapatite from Eggshell and Seashell and Its Effect on Bone Healing.” Journal of Applied
Veterinary Sciences, 2020.

Arnold, Marcellus., Rajagukguk. Yolanda Victoria, and Gramza-Michałowska Anna. “Functional Food for
Elderly High in Antioxidant and Chicken Eggshell Calcium to Reduce the Risk of Osteoporosis—A
Narrative Review.” Food, 2021.

Brochetti, Robson Alexandre, et al. “Photobiomodulation therapy improves both inflammatory and
fibrotic parameters in experimental model of lung fibrosis in mice.” Original Article, 2017.

Chakraborty, Sagarika, and Datta Santa. “Kulit Telur: Sumber Alternatif, Murah, dan Tersedia Secara
Hayati Kalsium dalam Diet Manusia.” Jurnal Sains dan Teknologi Susu, 2019.

Chandler, Joshua D., et al. “Antiinflammatory and Antimicrobial Effects of Thiocyanate in a Cystic Fibrosis
Mouse Model.” American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology, 2015.

Chaudhary, Nveed I, Schnapp Andreas, and Park John E. “Pharmacologic Differentiation of Inflammation
and Fibrosis in the Rat Bleomycin Model.” American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine,
2006.

Chaudhary, Nveed I., Schnapp. Andreas, and Park John E. “Pharmacologic Differentiation of
Inflammation and Fibrosis in the Rat Bleomycin Model.” 2006.

Chen, Kong., et al. “Antiinflammatory effects of bromodomain and extraterminal domain inhibition in
cystic fibrosis lung inflammation.” insight, 2016.

Chen, Yu-Chen., et al. “Particulate matters increase epithelial mesenchymal transition and lung fibrosis
through the ETS-1/NF-κB-dependent pathway in lung epithelial cells.” Particle and Fibre Toxicology,
2020.

Cheng Li, Liu., and Kan Lian-Di. “Traditional Chinese medicine for pulmonary fibrosis therapy: Progress
and future prospects.” Journal of Ethnopharmacology, 2017: 45-63.

Chu, Haiyan., et al. “Treatment effects of the traditional Chinese medicine Shenks in bleomycin-induced
lung fibrosis through regulation of TGF-beta/Smad3 signaling and oxidative stress.” scientific report,
2017.
Chung, Man Pyo., Monick. Martha M, Hamzeh. Nabeel Y, Butler. Noah S, Powers. Linda S, and
Hunninghake Gary W. “Role of Repeated Lung Injury and Genetic Background in Bleomycin-Induced
Fibrosis.” AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY CELL AND MOLECULAR BIOLOGY, 2003.

Cordeiro, Cristianne M.M, and Maxwell.T. Hincke. “Recent Patents on Eggshell: Shell and Membrane
Applications.” Recent Patents on Food, Nutrition & Agriculture, 2011: 1-8.

Day, Brian J. “Antioxidants as Potential Therapeutics for Lung Fibrosis.” National Jewish Medical &
Research Center, 2008: 355-370.

Degryse, Amber L, Tanjore Harikrishna, Xu Xiaochuan C, Polosukhin Vasiliy V, and Jones Brittany R.
“Repetitive intratracheal bleomycin models several features of idiopathic pulmonary fibrosis.” Am J
Physiol Lung Cell Mol Physiol, 2010: 299.

Desdiani., et al. “Ekstrak Teh Hijau Mengurangi Luas Area Fibrosis Paru Tikus.” Maj Patol Indonesia,
2020: 15-24.

El-Tantawy, Walid Hamdy, and Temraz Abeer. “Aktivitas anti-fibrotik dari produk alami, ekstrak herbal
dan komponen.” Arsip Fisiologi dan Biokimia, 2019.

Faria, Sara Socorro, et al. “The neutrophil-to-lymphocyte ratio: a narrative review.” ecancer, 2016.

Febrianti, Dwi Rizki, and Musiam Siska. “Aktivitas Anti-Inflamasi Eupatorium inulifolium dan Kalsium
Karbonat Pada Tikus Jantan.” Jurnal Pharmascience, 2020.

Febrianti, Dwi Rizki., and Musiam Siska. “POTENSI KOMBINASI KAPUR SIRIH DAN DAUN KUMPAI
MAHUNG (Eupatorium inulifolium H.B&K.) SEBAGAI ALTERNATIF SALEP ANTI INFLAMASI ALAMI.” Jurnal
Ilmiah Ibnu Sina, 2019.

Gokmen, Ferhat, et al. “Neutrofil – Rasio Limfosit Terhubung dengan Pilihan Perawatan dan Penanda
Peradangan dari Ankylosing Spondylitis.” Jurnal Analisis Laboratorium Klinis, 2015: 294–298.

Hawortha, Charles S., Andrew M. Jonesa, and Judith E. “Randomised double blind placebo controlled
trial investigating the effect.” Journal of Cystic Fibrosis, 2004: 233-236.

Hemmati, Ali Asghar., Rezaie. Annahita, and Darabpour Pegah. “Preventive Effects of Pomegranate Seed
Extract on Bleomycin-Induced Pulmonary Fibrosis in Rat.” Effect of Pomegranate Seed Extract, 2013.

Iraz, Mustafa., et al. “Ginkgo biloba inhibits bleomycin-induced lung fibrosis in rats.” Pharmacological
Research, 2006: 310-316.

Jaya, Nitya M., Anjani. Elisabeth, Madeleine. Alycia, and Saraswati Made R. “Potensi Bubuk Kulit Telur
sebagai Terapi Hiperparatiroid Sekunder.” Journal of Medicine and Health, 2021.

Jung, Sung-Yun., et al. “Tannylated Calcium Carbonate Materials with Antacid,Anti-Inflammatory, and
Antioxidant Effects.” International Journal of Molecular Sciences, 2021.

Kermani, Mehrnaz Gharaee., Hatano. Kazuo, Nozaki. Yasuhiro, and Phan Sem H. “Gender-Based
Differences in Bleomycin-Induced Pulmonary Fibrosis.” American Journal of Pathology, 2005.

Kilic, Talat., et al. “Protective and Therapeutic Effect of Apocynin on Bleomycin-Induced Lung Fibrosis in
Rats.” Inflammation, 2015.

Kim, Tae H., et al. “Role of Lung Apolipoprotein A-I in Idiopathic Pulmonary Fibrosis Antiinflammatory
and Antifibrotic Effect on Experimental Lung Injury and Fibrosis.” AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY
AND CRITICAL CARE MEDICINE, 2010.

Lavelin, i., N. Meiri., M. Pines. “Wawasan Baru dalam Formasi Kulit Telur.” Ilmu Unggas, 2000.

Lucarini, Laura., et al. “Effects of New NSAID-CAI Hybrid Compounds in Inflammation and Lung Fibrosis.”
biomolecules, 2020.
McElvaney, Oliver J., et al. “Specific Inhibition of the NLRP3 Inflammasome as an Antiinflammatory
Strategy in Cystic Fibrosis.” American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 2019.

Mecozzi, Laura., et al. “In-vivo lung fibrosis staging in a bleomycin-mouse model: a new micro-CT guided
densitometric approach.” Scientific Reports, 2020: 1-12.

Mouratis, Marios A., and Aidinis Vassilis. “Modeling pulmonary fibrosis with bleomycin.” 2017.

MUSTAFAR, RUSLINDA., et al. “The effects of calcitriol with calcium carbonate supplementation on
inflammatory biomarkers in chronic kidney disease patients’ with low vitamin D.” Clinical immunology,
2014.

Nakano, T., Ikawa, NI., Ozimek. L. “Komposisi Kimia Kulit Telur Ayam dan Membran Cangkang.” Ilmu
Unggas, 2003.

Peng, Ying, et al. “The role of neutrophil to lymphocyte ratio for the assessment of liver fibrosis and
cirrhosis.” Expert Review of Gastroenterology & Hepatology, 2018.

Pittas, Anastassios, Harris Susan S, Stark Paul C, and Dawson-Hughes Bess. “The Effects of Calcium and
Vitamin D Supplementation on Blood Glucose and Markers of Inflammation in Nondiabetic Adults.”
Diabetes Care, 2007.

Rabolli, Virginie., Lo Re. Sandra, U. Francine, Y. Yousof, Lison. Dominique, and ois Huaux Franc. “Lung
fibrosis induced by crystalline silica particles is uncoupled from lung inflammation in NMRI mice.”
Toxicology Letters, 2011: 127-134.

Raisha, Mohammad., et al. “Sinapic acid ameliorates bleomycin-induced lung fibrosis in rats.”
Biomedicine & Pharmacotherapy, 2018: 224-231.

Ruff, Kevin J., and DeVore Dale P. “Reduction of pro-inflammatory cytokines in rats following 7-day oral
supplementation with a proprietary eggshell membrane-derived product.” Modern Research in
Inflammation, 2014.

Salem, Mohamed Y, El-Eraky El-Azab Nahla, and Faruk Eman M. “Modulatory effects of green tea and
aloe vera extracts on experimentallyinduced lung fibrosis in rats: histological and immunohistochemical
study.” Journal of Histology & Histopathology, 2014.

Sayed, Nesrine S El., and Rizk Sherine M. “The protective effect of quercetin, green tea or malt extracts
against experimentally-induced lung fibrosis in rats.” African Journal of Pharmacy and Pharmacology,
2009: 191-201.

Sheikh, Zara., et al. “Development and in vitro characterization of a novel pMDI diclofenac formulation
as an inhalable anti-inflammatory therapy for cystic fibrosis.” International Journal of Pharmaceutics,
2021.

Sumardi, Ermida., Santoso. Arif, and Qanitha Andriany. “Korelasi Konsentrasi Kalsium Serum dengan
Fungsi Paru pada Remaja di Makassar.” Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2020.

Szymanska, Patrycja, Rozalski Marcin, Wilczynski Miroslaw, and Golanski Jacek. “Systemic immune-
inflamation index (SII) and neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) are useful markers for assessing effects
of anti-inflammatory diet in patients before coronary artery bypass grafting.” Original Article, 2021.

Takei, Hiroshi., Yasuoka. Hidekata, Yoshimoto. Keiko, and Takeuchi Tsutomu. “Aryl hydrocarbon receptor
signals attenuate lung fibrosis in the bleomycininduced mouse model for pulmonary fibrosis through
increase of regulatory T cell.” Arthritis research and theraphy, 2020: 1-10.

Tanjore, Harikrishna., et al. “Contribution of Epithelial-derived Fibroblasts to Bleomycin-induced Lung


Fibrosis.” American Journal of respiratory and critical care medicine, 2009.

Verma, Anish H., Kumar. T. S. Sampath, K. Madhumathi, Y. Rubaiya, Ramalingan. Murugan, and Doble
Mukesh. “Curcumin Releasing Eggshell Derived Carbonated Apatite Nanocarriers for Combined Anti-
Cancer, Anti-Inflammatory and Bone Regenerative Therapy.” Journal of Nanoscience and
Nanotechnology, 2019.

Vuong, Tram T, et al. “The extracellular matrix of eggshell displays anti-inflammatory activities through
NF-κB in LPS-triggered human immune cells.” Journal of Inflammation Research, 2017: 1-14.

Wollin, Lutz., Isabelle, Maillet., Valérie, Quesniaux., Alexander, Holweg., Bernhard, Ryffel. “Anti-fibrotic
and anti-inflammatory activity of the tyrosine kinase inhibitor, nintedanib,in experimental models of
lung fibrosis.” The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 2014.

Zhao, Xin, Cao Zhengmin, Wang Ruipeng, and Liu Shuang. “Research Progress in Modeling Methods of
Rat Lung Fibrosis.” Journal of Physics, 2020.

Zhou, Zhihong., et al. “Carbon Monoxide Suppresses Bleomycin-Induced Lung Fibrosis.” American
Journal of Pathology, 2005.

Anda mungkin juga menyukai