Anda di halaman 1dari 26

2.

TEORI PENUNJANG

2.1 Event Tourism


2.1.1 Sejarah Perkembangan Event Tourism
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Getz (2008), pada awal
perkembangan event tourism pada tahun 1970an event belum diangggap menjadi
sebuah atraksi di dalam sistem tourism atau pariwisata. Pada saat itu event tidak
dilihat menjadi suatu area pembelajaran yang berbeda dari leisure, tourism dan
recreation. Hingga pada tahun 1974 adanya kemajuan dimana Della et al
mengeluarkan artikel pertama yang dengan spesifik membahas tentang bagaimana
hallmark events dapat melawan permintaan pariwisata yang bersifat muZachn.
Tahun 1980, perkembangan event tourism meluas secara pesat. Mulai muncul
banyak jurnal dan penelitian yang membahas tentang event tourism serta dampak
yang ditimbulkan. Jurnal – jurnal tersebut juga membandingkan satu event dengan
lainnya. Seperti contoh jurnal tentang analisa pengunjung dan dampak ekonomi
yang ditimbulkan dari beberapa festival di Kanada oleh Coopers dan Lybrand
Consulting Group pada 1989. Pada tahun 1985, konvensi TRRA (Travel and
Tourism Research Association & Canada Chapter) Canada Chapter memiliki tema
“International Events: The Real Tourism Impact”. Konvensi ini menjadi bukti
bahwa event tourism adalah sebuah studi yang semakin diakui dan perlu untuk
diteliti. Tidak hanya di Kanada saja, namun akademisi dari Australia merupakan
salah satu yang telah terlibat dan terus memberikan pengaruh terhadap topik event
tourism ini. Salah satu penelitian yang sangat berpengaruh adalah analisa dampak
dari Adelaide Grand Prix yang pertama oleh Burns, Hatch & Mules pada 1986;
Burns & Mules pada 1989.
Berlanjut pada tahun 1990, tahun dimana event tourism mulai dikenali dan
diteliti secara akademis. Dapat dilihat dari banyak buku yang diterbitkan, mulai dari
buku Goldblatt “Special Events: The Art and Science of Celebration”, “Festivals,
Special Events and Tourism” oleh Getz pada 1991 dan “Hallmark Tourist Events”
oleh C.M Hall pada 1992. Pada era ini jugalah dimana studi untuk event
management telah dilegalkan dan didaftarkan secara formal dalam institusi

Universitas Kristen Petra


pendidikan. Perkembangan dalam dunia akademis semakin didukung dengan
terbitnya jurnal Festival Management dan Event Tourism pada 1993. Jurnal - jurnal
yang diterbitkan telah memberikan banyak kontribusi terhadap penelitian dan teori
event tourism. Awal tahun 2000an sempat digalakan proyek penelitian yang besar
di Australia berhubungan dengan persiapan Sydney 2000 Summer Olympic Games.
Proyek tersebut berhasil menghasilkan penelitian – penelitian dalam satu dekade
terakhir. Sedangkan pada dekade ini perhatian lebih ditujukan kepada dampak event
secara sistematik dan teoritis secara komprihensif. Untuk masa sekarang ini
penelitian tentang event tourism telah berkembang dan dapat dikatan telah
mencapai kedewasaan. Saat ini program studi tentang manajemen even dibahas dan
dipelajari lebih dalam. Ini dibuktikan dengan diadakannya program spesialisasi
untuk event seperti untuk manajemen festival dan konvensi dari berbagai macam
universitas di dunia. Selain itu, konfrensi penelitian untuk akademisi dan praktisi
juga secara reguler diadakan di Australia dan Inggris (Getz, 2007).

2.1.2 Pengertian Event Tourism


Beberapa ahli telah mengembangkan definisi dari event tourism. Allen,
O’Toole, McDonnell dan Harris (2002) mendefinisikan special events sebagai
“Special events has been coined to describe specific rituals, presentations,
perfomarnces or celebrations that are consciously planned and created to mark
special occasions or to achieve particular social, cultural or corporate goals and
objectives.” (p.11). Contohnya seperti hari nasional dan perayaannya, acara
kebangsaan penting, penampilan kultural khusus, acara olahraga besar, dan
sebagainya Berdasarkan dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
sport tourism merupakan bagian dari special events. Sedangkan menurut Getz
(1997), definisi dari event tourism adalah sebuah segmen pasar terdiri dari orang –
orang yang melakukan perjalanan untuk menghadiri event atau yang dapat
dimotivasi untuk menghadiri event waktu sedang jauh dari rumah. Apabila dari
persepektif industri pariwisata, event dianggap menjadi suatu atraksi, katalis,
animator, tempat untuk melakukan pemasaran dan tempat untuk membangun
image. Lebih lanjut, Getz (2007) menyatakan bahwa event tourism sendiri dianggap
adalah pertemuan dari dua ilmu yang berbeda, yaitu ilmu tentang manajemen

10

Universitas Kristen Petra


pariwisata dan ilmu tentang manajemen event. Event tourism dapat menjadi pasar
untuk para pengelola event dan merupakan kondisi dimana suatu destinasi dapat
berkembang melalui event – event yang diadakan di tempat tersebut (Getz, 2007).

2.2 Sport Tourism


2.2.1 Definisi Konsep Sport Tourism
Konsep dari sport tourism itu rumit dan dari kerumitan tersebut muncullah
kesulitan untuk mendefinisikan konsepnya (Deery, Jago & Fredline, 2004). Ini
disebabkan oleh karena definisi tentang sport tourism yang tidak menjadi satu
kesatuan melainkan hanyalah gabungan dari dua kata dan konsep yang dianggap
berbeda. Meskipun begitu, terdapat beberapa definisi oleh para ahli yang
menjelaskan sport tourism dengan baik. Olahraga (sport) dapat dilihat berevolusi
dari bebagai macam bentuk aktivitas, formal atau informal, kompetitif atau
rekreasi, atau partisipasi aktif dan pasif. Olahraga juga membutuhkan orang lain
sebagai kompetitor atau teman satu kelompok partisipasi (Turner, 1974). Begitu
juga halnya dengan pariwisata (tourism) yang melibatkan orang lain, sebagai teman
wisata dan atau host (Weed & Bull, 2004). Adanya koneksi menimbulkan konsep
yang mengatakan bahwa sport tourism muncul dari interaksi unik dari aktivitas,
manusia dan tempat. Kata interaksi dalam konsep tersebut dijadikan fokus utama
dan menekankan pada fenomena sinergi alam yang terjadi, sehingga
menghilangkan ketergantungan antara sport dan tourism yang menjadi faktor
utama.
Mencoba mendefinisikan dari sudut yang berbeda, Hinch dan Higham
(2001) berpendapat bahwa sport tourism adalah perjalanan meninggalkan rumah
untuk waktu terbatas, dimana olahraga mempunyai sifat peraturan yang unik,
kompetisi yang berhubungan dengan fisik dan natur yang suka bermain. Sedangkan
sport tourism menurut Standeven dan DeKnopp (1999), segala bentuk keterlibatan
pasif maupun aktif dalam aktivitas olahraga, disusun secara santai atau teratur untuk
alasan non-komersial atau bisnis atau komersial yang mengharuskan untuk
melakukan perjalanan dari rumah atau pekerjaan lokal.
Dari konsep sport tourism dapat dilihat bahwa elemen olahraga dan
pariwisata adalah vital dalam konsep ini. Dalam sport, terdapat tiga hal penting

11

Universitas Kristen Petra


yaitu berorientasi pada goal, kompetitif dan berbasis dalam konten (McPherson et
al, 1989). Dari ketiga hal tersebut, elemen kompetitif merupakan yang paling utama
untuk sport tourism. Ini sesuai dengan pendapat Mitchner (1976) dan Zauhar (1996)
yang mengungkapkan bahwa dalam sport tourism, adanya olahraga yang aktif dan
kompetitif sangat diperlukan untuk mendeskrispikan antara olahraga (sport),
rekreasi dan sport tourism. Tanpa adanya unsur kompetitif, sport tourism dapat
berubah tujuan menjadi wisata rekreasi (recreational tourism) atau adventure
tourism.

2.2.2 Klasifikasi Sport Tourism

Sport and
Tourism

Sport Tourism Tourism Sport

Hard Definition Soft Definition Hard Definition Soft Definition

passive or active primarily active tourists who as a


secondary visitors who
participation in a recreational engage in some
competitive participation in reinforcement
passively or minor form of
sporting event sport sports or leisure;
actively
participate in their participation
sport is purely incidental
Example:
Example: "Fun Runs"
Skiing Example: Example:
national /
international events Cycling Tours Health/Fitness Mini Golf
olympic games Hiking / center Swimming
soccer matches Walking PGL Adventure Bowls
Wimbeldon Canooing Sport Cruises Tennis Court
Caving Hire
London Marathon
International Cricket

Gambar 2.1 Klasifikasi Sport dan Tourism


Sumber: Gammon (2001)

12

Universitas Kristen Petra


Menurut Gammon (2001), pengunjung sport tourism dapat diklasifikasikan
ke dalam dua kelompok:

2.2.2.1 Sport Tourism


Di sebelah kiri gambar 2.1, terdapat bagian sport tourism dimana
dikhususkan untuk menganalisa individual dan atau sekelompok orang yang secara
aktif dan pasif berpartisipasi di olahraga kompetitif atau rekreasi, sambil berwisata
dan atau tinggal di lingkungan yang biasanya. Kriteria utama dari sport tourism
adalah olahraga menjadi tujuan utama dalam melakukan perjalanan (travelling).
a. Hard Definition : partisipasi aktif atau pasif dalam event olahraga
kompetitif. Turis dalam sport tourism tipe ini adalah seseorang yang secara
spesifik melakukan perjalanan wisata (tinggal diluar lingkungan biasanya)
untuk keterlibatan secara aktif atau pasif dalam olahraga kompetitif. Adanya
natur kompetitif menjadi faktor pembeda untuk kategori ini. Contohnya:
Perlombaan Olimpiade dan London Marathon.
b. Soft Definition: seseorang yang secara spesifik melakukan perjalanan
wisata (tinggal diluar lingkungan biasannya) dan terlibat secara utama pada
olahraga yang bersifat rekreasi atau leisure. Aspek rekreasi secara aktif
adalalah poin utama dari definisi ini. Contohnya: Hiking dan Skiing.

2.2.2.2 Tourism Sport


Merujuk pada gambar 2.1, Gammon (2001) menjelaskan bahwa di sebelah
kanan gambar, terdapat bagian tourism sport yang ditujukan untuk wisatawan yang
melakukan perjalanan wisata dan atau tinggal di tempat yang diluar lingkungan
biasanya. Dapat terlibat secara aktif, pasif, olahraga kompetitif ataupun rekreasi
dengan menjadikannya tujuan kedua dari perjalanan wisata. Dengan kata lain,
keterlibatan dalam aktivitas olahraga bukan tujuan utama dalam melakukan
perjalanan (travelling).
a. Hard Definition: wisatawan yang menjadi elemen olahraga sebagai tujuan
kedua dari liburan. Meskipun begitu, masih ada keinginan bagi untuk
berpartisipasi dalam olahraga. Contohnya: Mini-Golf dan berenang

13

Universitas Kristen Petra


b. Soft Definition: pengunjung yang dalam sebagian kecil perjalanan
wisatanya berhadapan dengan salah satu bentuk olahraga atau leisure
dengan maksud yang insidentil. Contohnya: pusat kebugaran (gym).

2.3 Tourism Experience


2.3.1 Pengertian Tourism Experience
Pengalaman (experience) adalah suatu konsep yang kaya dengan konotasi
dan digunakan dalam bahasa sehari – hari dengan arti yang bervariasi (Getz, 2012).
O’Dell (2007) mengatakan bahwa experience adalah sesuatu yang tidak dapat
dilihat, subyektif, dan mempunyai persona yang sangat bersifat pribadi. Dalam
penelitian Cutler dan Carmichael (2010), Highmore (2002) mengungkapkan bahwa
kata “experience” mempunyai 2 arti yaitu, pengalaman yang terdiri dari peristiwa
demi peristiwa; dan adalah pengalaman yang telah diberi arti (evaluated).
Sedangkan pengertian tourist atau tourism experience adalah evaluasi dan penilaian
subyektif seorang individu terhadap events yang berhubungan dengan aktivitas
pariwisata yang dimulai dari sebelum (planning dan preparation), selama acara (at
the destination) dan setelah perjalanan selesai (recollection) (Tung dan Richie,
2011). Teori lain tentang tourism experience juga diungkapkan oleh Cutler dan
Carmichael (2010), bahwa tourist atau tourism experience di dorong oleh adanya
motivasi. Dimana motivasi adalah faktor personal yang mempengaruhi penilaian
keseluruhan dari perjalanan seorang individu (Ryan, 2002b). Motivasi juga
merupakan hal yang penting karena berkontribusi terhadap bagaimana sebuah
pilihan diambil dan pengalaman (experience) yang dicari. Cutler dan Carmichael
(2010) mengatakan motivasi ini akan menjadi faktor yang memicu munculnya
ekspektasi. Larson (2007) mendefinisikan ekspektasi sebagai perilaku yang
diantisipasi, kepercayaan yang telah terbentuk dan prediksi yang berhubungan
dengan keadaan atau events di masa mendatang. Bagian terakhir dari teori ini adalah
hasil akhir yaitu kepuasan. Apabila pengalaman (experience) seseorang melebihi
atau mencapai ekspektasi yang dimiliki maka kepuasan akan terjadi. Sebaliknya
ketidakpuasan terjadi ketika pengalaman (experience) yang dialami seseorang tidak
mencapai ekspektasi yang dimilikinya.

14

Universitas Kristen Petra


Masih dari penelitian Culter dan Carmichael (2010), konsep tourism
experience terjadi akibat 2 faktor utama yaitu personal realm dan influential realm.
Personal realm merupakan segala elemen tourist experience yang berasal dari
dalam individu itu sendiri. Seperti motivasi, kepuasan/ketidakpuasan, pengetahuan,
ingatan, persepsi, emosi dan identitas diri. Kedua adalah influential realm yang
adalah segala elemen tourist experience yang berasal dari luar individu yang dapat
mempengaruhi pengalaman (experience) seseorang. Adapun 3 elemen tersebut
adalah aspek sosial, aspek fisik dan produk / jasa.
Berdasarkan pada teori tourism experience diatas, pada penelitian penulis
akan membahas lebih dalam tentang apa motivasi dari para peserta sport tourism
event Borobudur Marathon. Selain motivasi, penelitian ini juga akan membahas
tentang persepsi (bagian dari personal realm) peserta beserta kaitannya dalam
pemberian makna (meaning) dan atribut – atribut yang berperan dalam memberi
meaning pada sport tourism experience tersebut.

2.4 Motivasi
2.4.1 Pengertian Motivasi
Mamoria (1995) mendefinisikan motivasi sebagai kemauan untuk
mengeluarkan energi untuk mencapai tujuan atau imbalan. Juga adalah sebuah
kekuatan yang mengaktivasi energi dominan dan menggerakan kegiatan dari pada
individu. Motivasi merupakan sebuah fungsi yang menyatukan gairah yang besar
diantara mahluk hidup dari sebuah organisasi.
Saat ini ada cukup banyak teori tentang motivasi yang telah dikembangkan
oleh para ahli. Salah satunya yang sering digunakan adalah teori motivasi yang
menggagas tentang Hierarchy of Needs. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh
Abraham Maslow pada tahun 1943. Setiap manusia memiliki kebutuhan, berarti
sesuatu yang saat ini masih belum dimiliki atau dianggap kurang cukup. Hal ini
menjadi pemicu atau tujuan utama yang memotivasi seseorang untuk dapat
memenuhi kebutuhannya. Apabila kebutuhan yang paling mendasar telah
terpenuhi, barulah individu tersebut termotivaisi untuk dapat naik ke tingkatan yang
berikutnya. Pada gambar hirarki teori kebutuhan Maslow, kebutuhan yang terletak

15

Universitas Kristen Petra


paling bawah merupakan yang paling penting dan mendasar dalam kehidupan
manusia.

Self - Actualization

Esteem Needs

Social Needs

Safety Needs

Psychological Needs

Gambar 2.2 Hierarchy of Needs


Sumber: Maslow (1943)

Merujuk pada gambar diatas dapat dilihat bahwa pyschological needs atau
kebutuhan psikologis berada pada piramida paling bawah. Menunjukkan bahwa
kebutuhan yang terletak pada tingkatan ini harus dipenuhi agar seseorang dapat
bertahan hidup. Contohnya seperti sandang, pangan dan papan. Satu tingkatan
diatasnya adalah safety needs atau kebutuhan untuk merasa aman. Rasa aman yang
dimaksud dapat mencangkup banyak hal, seperti aman secara fisik, mental dan
finansial. Berikutnya adalah social needs atau kebutuhan sosial, dimana seseorang
ingin merasa diterima, dihargai dan dapat mempunyai kesempatan untuk menjalin
hubungan dengan komunitas disekitarnya. Seperti misalnya keinginan untuk
mempunyai hubungan pertemanan, kekeluargaan dan kebutuhan untuk memberi
dan diberi kasih sayang. Hampir sama dengan social needs, esteem needs
merupakan kebutuhan seseorang untuk dihargai dan dihormati oleh lingkungannya.
Lebih penting, pada kebutuhan ini seseorang menginginkan rasa kepercayaan diri
akan kemampuan yang prestasi yang dimilikinya. Kebutuhan yang berada di

16

Universitas Kristen Petra


puncak segitiga adalah self actualization atau aktualisasi diri. Tahap ini merupakan
tempat dimana seseorang akan menginginkan untuk bertumbuh dan mencapai
potensi makZachl yang dapat diraihnya. Pada tingkat kebutuhan aktualisasi diri,
seseorang akan fokus untuk memperbaiki dirinya dan memenuhi tujuan pribadi
yang dimiliki. Memperbaiki diri dapat dari sisi moralitas, problem solving dan
bertumbuh untuk menjadi seorang individu yang diinginkan orang itu sendiri.

2.4.2 Motivasi Untuk Melakukan Pariwisata dan Rekreasi (Tourism &


Leisure)
Menurut Ahola (1982), yang didapat dari melakukan rekreasi dapat
dihubungkan dengan 2 faktor motivasi. Faktor tersebut adalah pencarian (seeking)
dan pelarian atau menghindari sesuatu (escape). Dalam faktor motivasi seeking,
individu berharap akan mendapatkan imbalan. Sedangkan untuk faktor motivasi
escape, individu berharap dapat pergi dari masalah sehari – hari, rutinitas,
lingkungan yang familiar, tekanan dan juga stress. Individu dapat mempunyai
persepsi bahwa aktivitas rekreasi mempunyai potensi sebagai penghasil dari
kepuasan untuk dua hal utama yaitu: menyediakan imbalan secara instinsik seperti
memiliki perasaan telah menguasai dan mempunyai kemampuan akan sesuatu; dan
membantu individu tersebut untuk meninggalkan lingkungan rutinitas yang
biasanya.

2.4.3 Pengertian Teori Motivasi Self-Determination Theory (SDT)


SDT adalah teori makro tentang motivasi manusia yang ditujukan untuk
membahas hal – hal penting yang berhubungan dengan ”pertumbuhan pribadi,
regulasi diri, kebutuhan psikologis universal tujuan hidup dan aspirasi, energi dan
vitalitas, proses alam bawah sadar, hubungan budaya dengan motivasi dan dampak
lingkungan sosial pada motivasi” seseorang. (Deci & Ryan, 2008b, 182).
Menurut teori SDT oleh Deci & Ryan (2000&2008a), ada 3 kebutuhan
utama yang mendasari motivasi seseorang:
1. Autonomi (autonomy) : seseorang merasakan adanya pilihan dan
dorongan dalam suatu aktifitas.

17

Universitas Kristen Petra


2. Kompetensi (competence) : seseorang merasa percaya diri terhadap
suatu aktifitas
3. Keterhubungan (relatedness): adanya kebutuhan untuk merasakan
interaksi sosial atau keinginan untuk merasa terhubung dengan orang
lain

2.4.3.1 Jenis – Jenis Motivasi Berdasarkan Self-Determination Theory (SDT)

Amotivatio
Instrinsic
n
Motivation
Extrinstic
Motivation
Non- Instrinsic
Regulation Regulation

External Introjected Identified Integrated


Regulation Regulation Regulation Regulation

Gambar 2.2 Kerangka Teori SDT


Sumber: Ryan dan Deci (2002)

Berdasarkan teori SDT di atas, terdapat 3 bentuk motivasi manusia. Yaitu,


amotivasi, motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Penjelasan masing – masing
akan diuraikan dibawah ini.
1. Amotivasi : keadaan dimana seseorang kekurangan intensi atau
keingingan untuk melakukan sesuatu. Apabila seseorang berada pada tahap ini
maka individu cenderung untuk tidak melakukan apapun atau melakukan tanpa
tujuan sama sekali. Amotivasi merupakan hasil dari tidak menghargai nilai suatu
aktivitas (Ryan, 1995), tidak merasa kompeten untuk melakukannya (Bandura,
1986) atau tidak berharap bahwa suatu aktivitas akan menghasilkan akhir yang
diinginkan (Seligman, 1975)

18

Universitas Kristen Petra


2. Motivasi Instrinsik (Instrinsic Motivation) : motivasi instrinsik berkembang
di dalam individu itu sendiri dan dapat diartikan menjadi faktor interpersonal
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Perilaku seseorang
dipengaruhi oleh kepuasan internal, seperti perasaan, pencapaian, sukses dan
kesenangan (Ryan & Deci, 2000; Ryan et al., 2011). Oleh karena itu, motivasi
instrinsik terjadi ketika seorang individu berpartisipasi dalam suatu aktivitas
untuk kesenangan atau stimulasi yang didapat dari mengikuti aktivitas tersebut
(Ryan & Deci, 2007).
Pada gambar di atas terlihat disebelah paling kanan adalah intrinsic
regulation yang merupakan bentuk dari motivasi instrinsik. Terjadi ketika
seseorang melakukannya untuk kepuasaan di dalam aktivitas itu sendiri. Bentuk ini
mempunyai nilai autonomi yang tinggi dan merupakan prototipe dari self-
determination.
3. Motivasi Eksternal (External Motivation) : motivasi eksternal adalah ketika
seorang individu melakukan sebuah kegiatan karena ingin mendapatkan sebuah
hasil yang terpisah dan diluar dari aktivitas itu sendiri. Meskipun motivasi
datangnya dari eksternal, namun individu tersebut masih memiliki otonom atau
keinginan pribadi atas tindakan yang dilakukannya. Pada 5 bentuk motivasi
eksternal dibawah ini sesuai dengan gambar akan terlihat bahwa meskipun
motivasi eksternal, namun terdapat beberapa yang merupakan gabungan dari
motivasi yang internal.
a. Identified Regulation : terjadi ketika individu mulai mengidentifikasi nilai
dari aktifitas dan menerima tanggung jawab untuk perbuatannya. Individual
yang ada di kelompok ini merasakan adanya peningkatan rasa autonomi atas
keputusan dan sikap individu tersebut. Motivasi seperti ini adalah tindakan yang
mandiri, namun hasil akhir yang diinginkan tetap adalah penghargaan secara
eksternal (Ryan & Deci, 2008).
b.Integrated Regulation : adalah ketika individu telah dapat
mengidentifikasi nilai dari perilaku dan mulai untuk memasukkannya kedalam
arti dan tujuan dalam hidup diri sendiri (Ryan et al., 2011). Regulasi ini
berkaitan dengan keputusan seseorang yang memilih untuk berpartisipasi dalam

19

Universitas Kristen Petra


aktivitas karena adanya kepentingan dan nilai dari aktifitas yang telah
diintegrasikan kedalam diri masing – masing (Ryan & Deci, 2000).
a. Regulasi Exsternal (external regulation): adalah proses pengerjaan suatu
pekerjaan dengan tujuan untuk mendapatkan hadiah secara external, pengakuan
sosial atau untuk mencegah hukuman dengan cara mentaati konsituen eksternal
(2006; Pope & Wilson, 2012, Vallerand & Fortier, 1998). Pada teori ini,
seseorang akan menyelesaikan suatu aktivitas karena ia merasa diharuskan atau
berhubungan dengan pemberian hadiah dan atau menghidari hukuman.
a. Introjected Regulation : keadaan ini terjadi pada saat tindakan yang
dilakukan oleh seorang dilakukan untuk mencegah rasa bersalah atau
kekhawatiran atau untuk mencapai perbaikan diri sendiri seperti meningkatkan
harga diri. Individual yang berpartisipasi karena adannya tekanan untuk
berpikir, berperasaan atau bersikap dalam suatu cara tertentu. (Ryan & Deci,
2007). Meskipun terlihat mempunyai motivasi yang internal untuk perbaikan
diri sendiri namun alasan munculnya regulasi ini masih didasari oleh motivasi
eksternal (Ryan & Deci, 2000).
Sedangkan menurut Vallerand, Blais, Briere, dan Pelletier (1989), terdapat
3 tipe motivasi instrinsik yang terdapat dalam diri seseorang, yaitu:
1. Motivasi untuk mencapai sesuatu (motivation to accomplish)
Menantang diri sendiri untuk melampai performa yang telah lalu atau untuk
mencapai ke level yang berikutnya (Vallerand & Lossier, 1999).
2. Motivasi untuk ingin tahu (motivation to know)
Individu yang menerima kesenangan dari mengembangkan kemampuan
baru atau mencapai level yang baru dalam suatu kemampuan kompetensi
didorong oleh motivasi untuk mencapai sesuatu (motivation to accomplish)
(Carbonneau, Vallerand, & Lafrensiere, 2012).
3. Motivasi untuk mengalami stimulasi (motivation to experience stimulation)
Menurut Carbonneau et al. (2012) pengalaman stimulasi dapat dijalankan
ketika seseorang terlibat pada suatu aktivitas untuk menstimulasi sensasi,
kesenangan dan kenikmatan estetik yang terasosiasi dengannya. Pada teori ini,
individu yang bersangkutan termotivasi untuk bisa mencapai kepuasan pada
level yang optimal.

20

Universitas Kristen Petra


2.4.3.2 Motivasi untuk Mengikuti Sport Tourism dan Events
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang teori motivasi secara
umum, maka pada bagian ini penulis akan memaparkan tentang teori motivasi
secara khusus dalam mengikuti sport tourism & events. Teori ini merupakan
gagasan dari Aicher & Brenner (2015). Dimana kedua orang tersebut
menggabungkan dua elemen dari teori SDT yaitu otonomi (internal motivation) dan
controlled (gabungan dari external regulation dan introjected regulation). Terdapat
6 faktor yang mempengaruhi motivasi individu untuk mengikuti sport tourism dan
events antara lain:
1. Motivasi Organisasi (Organizational Motivation)
Pada saat peserta melakukan pertimbangan event mana yang harus dihadiri,
aspek organisasi lah yang membedakan satu dengan lainnya. Motivasi
seseorang dapat ditingkatkan melalui persepsi seberapa baik sebuah event
dipersiapkan, kualitas unik yang dimiliki dan reputasi event tersebut dalam
industri. Kurtzman (2005) mengatakan bahwa sebuah event harus menyediakan
perlengkapan dan pelayanan untuk para turis dan memberikannya kepada
indidu yang berada di luar komunitas lokal. Untuk sport tourism event
khususnya Ryan and Lockyer (2002) menemukan bahwa untuk kompetitor
yang berpengalaman, aspek organisasi sebuah event adalah penting, dan harus
ada perhatian untuk petunjuk, tim ofisial yang berkompeten, ketepatan waktu
dalam memulai event dan efisiensi keseluruhan acara. Pada faktor ini terlihat
adanya controlled motivation, dimana reputasi dari event dan hadiah dapat
menjadi sumber motivasi. Kedua contoh diatas merupakan external regulation
dimana motivasi untuk berpartisipasi karena ingin mendapatkan hadiah atau
menghindari hukuman; atau adalah introjected regulation, yaitu motivasi yang
dikarenakan individu ingin mendapatkan apresiasi atau pengakuan dari orang
lain.
2. Motivasi Destinasi / Lingkungan (Destination / Enviromental Motivation)
Faktor motivasi kedua adalah tempat atau komunitas lokal tempat dimana
event diadakan, yang dapat disebut motivasi destinasi atau lingkungan.
Menurut Yoon dan Usysal (2005), destinasi yang atraktif dapat meningkatkan

21

Universitas Kristen Petra


motivasi individu untuk melakukan perjalanan. Hal ini ditambahkan oleh
Snelgrove dan Wood (2010) yang berpendapat bahwa hal yang sama dapat
diterapkan untuk events. Salah satu atribut service quality pada destinasi yang
berpengaruh adalah aksesibilitas. Definisi aksesibilitas adalah kemudahan
individu untuk mencapai lokasi melaui transportasi yang standard. Dimana
aksesibilitas dapat dibagi menjadi 3 komponen yaitu: destinasi, lokasi dan
akomodasi (Getz, 1997). Rute transportasi ke lokasi acara menurut Hinch dan
Higham (2004) merupakan satu faktor yang mempengaruhi keputusan
seseorang dalam melakukan perjalanan. Begitu juga dengan akomodasi dan
hiburan yang mempengaruhi persepsi; komunitas yang ramah; dan lingkungan
fisik juga mempengaruhi level motivasi seseorang untuk berpartisipasi dalam
sport events (Shonk dan Chelladurai, 2008). Selain itu Urry (2002) menemukan
bahwa ada pelari yang mempunyai keinginan untuk mengumpulkan tempat,
dinamakan The Big Five yaitu lomba maraton yang diadakan di Berlin, Boston,
Chigago, London dan New York. Dengan faktor aksesibilitas, peserta lebih
memilih untuk mengikuti event yang lebih dekat dan mudah untuk dikunjungi.
Sehingga ini merupakan controlled motivation dimana lokasi rumah dan venue
tempat adalah diluar kendali dari para peserta. Sedangkan adanya keinginan
untuk mengumpulkan tempat merupakan internal motivation yang muncul
karena goal pribadi yang dimiliki pelari.
3. Motivasi Identitas Sosial atau Kelompok (Social Identiy or Group
Motivation)
Secara tradisional, identitas sosial bisa didapatkan dalam kelompok dengan
kesamaan seperti jenis kelamin, ras, agama dan pekerjaan. Namun seiring
berjalannya waktu, olahraga, pariwisata dan leisure menjadi sangat hal penting
untuk individu, sehingga dapat membentuk identitas sosial yang lebih kuat dan
bernilai untuk seseorang (Green dan Jones, 2005). Bouchet, Lebrun, dan
Auvengre (2004) berpendapat bawah sport tourism adalah kesempatan untuk
menjalin hubungan yang bertahan lama dengan turis lainnya dan komunitas
lokal pada saat aktivitas berlangsung dan setelahnya. Organisasi penyelenggara
sport tourism event diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini agar event
yang diadakan dapat menimbulkan efek sosial positif pada identitas peserta.

22

Universitas Kristen Petra


Dengan adanya kesempatan sosial yang terlibat, dapat menimbulkan motivasi
internal melalui integrated motivation.
4. Motivasi Berkompetisi (Competitive Motivation)
Motivasi ini dapat digambarkan menjadi keinginan untuk masuk dalam
persaingan untuk dapat menentukan kemampuan seorang individu dengan
lainnya. Ini juga dapat dihubungkan dengan kemampuan individu untuk
menantang dirinya sendiri selama berpartisipasi dalam event. (McDonald,
Milne & Hong, 2002). Penelitian yang dilakukan Getz and McConnell (2011)
menambahkan bahwa para partisipan lomba menganggap bahwa menantang
diri sendiri merupakan faktor motivasi utama, diikuti dengan keinginan untuk
meningkatkan kemampuan atletik dan juga kesempatan untuk mendapatkan
medali di akhir lomba. Meskipun faktor “mendapatkan medali” merupakan
motivasi pendorong yang bersifat eksternal, namun menurut (Gillet & Kelly,
2006), mendapatkan medali tersebut menimbulkan rasa pencapaian yang dapat
menunjukan seberapa baik kemampuan individu tersebut. Gillet dan Kelly
(2006) berpendapat bahwa itu adalah faktor motivasi utama dalam berlomba
dan bukan untuk memenangkan medali.
5. Motivasi Emosional (Emotional Motivation)
Kaplanidou and Vogt (2010) mendefinisikan faktor motivasi emosional
adalah kesenangan, enjoyment dan rasa pemenuhan diri seseorang yang didapat
dari berpartisipasi dalam sport tourism. Terdapat 3 komponen tambahan yang
merupakan bagian dari motivasi ini, yaitu:
a) Escapism: merupakan motivasi instrinsik yang melibatkan seseorang untuk
pergi dari rutinitas dan tekanan dari kehidupan sehari – hari (Yfantidou, Costa,
& Michalopoulos, 2008). Biasanya individu yang terlibat berharap bahwa
dengan berpartisipasi pada sport event dapat sementara membawa diri pergi
dari realita dan membantu melupakan stress tiap hari (Gammons, 2004).
b) Nostalgia: menurut Fairly (2003), sport tourism mempunyai potensi untuk
menimbulkan rasa nostalgia, menimbulkan keinginan untuk mengenang
pengalaman di masa lalu, yang membawa sport tourist kepada tipe realita yang
berbeda. Nostalgia sport tourism dapat berbentuk tempat fisik seperti museum,

23

Universitas Kristen Petra


stadion, atau hall of fame hingga pengalaman nyata partisipasi atau menonton
sebuah olahraga yang dulu pernah diikuti oleh individu tersebut.
c) Enjoyment: dengan konsep yang hampir mirip dengan escapism, adanya
rasa enjoyment pada individu dapat meningkatkan motivasi individu untuk
merasakan stimulasi dan meningkatkan tingkat motivasi internal.
6. Motivasi Pembelajaran (Learning Motivation)
Keinginan untuk belajar atau mengeksplor destinasi tujuan dapat
meningkatkan motivasi individu dalam berpartisipasi di sebuah event (Ryan &
Glendon, 1998; Snelgrove, Taks, Chalip, & Green, 2008). Funk and Bruun
(2007) juga berpendapat bahwa sport tourist internasional sangat tertarik untuk
dapat belajar lebih banyak tentang kultur dari negara penyelenggara event.
Adanya keinginan ini dapat menjadi motivasi yang cukup kuat yang mendorong
seseorang melakukan perjalanan untuk menghadiri sebuah sport event.

2.5 Persepsi

Melanjutkan kajian literatur sebelumnya, persepi merupakan bagian dari


personal ream seseorang dalam sebuah proses tourism experience. Adanya persepsi
memberikan dorongan yang menciptakan adanya motivasi atau ekspektasi pada
tahap awal tourism experience. Pada bagian ini penulis akan mepaparkan tentang
pengertian persepsi dan faktor yang mempengaruhinya. Setelah itu akan dibahas
lebih lanjut tentang pengertian dari makna (meaning) dan bagaimana persepsi
peserta sport event tourism Borobudur Marathon 2017 dalam memberikan makna
(meaning) kepada sport event experience tersebut.

2.5.1 Pengertian Persepsi


Menurut Young dan Adrian (2010), persepsi merupakan sebuah aktivitas
berupa mengindra, mengintegrasikan serta memberikan penilaian pada objek –
objek fisik maupun sosial. Penginderaan tersebut biasanya tergantung dari stimulus
fisik dan sosial yang berada di dalam lingkungannya. Sensori dari lingkungan inilah
yang bersama – sama dengan hal lainnya berupa harapan, nilai, ingatan, sikap dan
sebagainya. Sedangkan menurut Sudarsono (1997), persepsi merupakan
kemampuan dalam menanggapi, memahami, mengamat, memandang, serta proses

24

Universitas Kristen Petra


lainnya untuk mengingat dan mengidentifikasi suatu hal dengan menggunakan
kemampuan diri untuk mengorganisasikan pengamatan yang telah ditangkap oleh
indera yang dimiliki. Lebih lanjut, menurut pendapat Asrori (2009, p.214), persepsi
adalah proses individu dalam menginterprestasikan, mengorganisasikan dan
memberi makna terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan di mana individu
itu berada yang merupakan hasil dari proses belajar dan pengalaman.

2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi


Menurut Parek (1984, p.14) persepsi dipengaruhi faktor interen yang
berkaitan dengan diri sendiri, seperti latar belakang pendidikan, perbedaan
pengalaman, motivasi, kepribadian dan kebutuhan; dan faktor ekstern yang
berkaitan dengan intensitas dan ukuran rangsang, gerakan, pengulangan dan
sesuatu yang baru. Sedangkan menurut Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor
yang berperan dalam persepsi yaitu:
a. Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus
dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari
dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf
penerima yang bekerja sebagai reseptor.
b. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di samping
itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang
diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan motoris yang dapat
membentuk persepsi seseorang.
c. Perhatian
Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi

25

Universitas Kristen Petra


dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan
objek.

2.5.3 Pengertian Konsep Makna (meaning) Pada Sport Tourism Event


Dalam Kaplanidou dan Vogt (2010), Osgood, Suci dan Tannenbaum (1957)
mengatakan bahwa makna (meaning) merupakan sebuah keadaan psikologis yang
kognitif. Dimana makna adalah konsep berproses yang menganggap bahwa setiap
obyek yang telah dievaluasi dapat memiliki atribusi yang berbeda terhadap makna
(meaning) yang dimiliki. Atribusi makna (meaning) atau analisa dari makna
(meaning) berhubungan dengan represntasi mental yang disimpan oleh seseorang,
atau disebut dengan schemas, yang digunakan oleh individu untuk
mengintepretasikan stimuli (James & James, 1989). Dalam penelitian ini stimuli
yang dimaksud adalah sport tourism event. Sedangkan schemas adalah struktur
kognitif yang mewakili pengetahuan terorganisir tentang kategori yang berbeda –
beda seperti diri sendiri, orang lain, events dan obyek. (Kaplanidou & Vogt, 2010).
Menurut Heider (1958) terdapat 2 sifat atribusi yaitu internal dan eksternal. Atribusi
internal merupakan proses yang menempatkan penyebab dari sebuah perilaku
adalah disebabkan oleh karakter internal seseorang dan bukan pada dorongan dari
luar. Misalnya pada saat seorang individu ingin menjelaskan perilaku orang lain,
individu tersebut akan mencari atribusi internal dari orang tersebut. Seperti
kepribadian, motivasi dan kepercayaan yang dimiliki. Sedangkan atribusi eksternal
adalah suatu proses yang menempatkan penyebab dari sebuah perilaku adalah
disebabkan oleh situasi atau kejadian yang terjadi diluar kendali orang tersebut.
Misalnya, pada saat seorang individu ingin menjelaskan alasan dari perilaku diri
sendiri maka ia akan membuat atribusi eksternal, seperti kepada situasi atau
lingkungan sekitar.

2.5.4 Pemberian Makna (meaning) Pada Sport Event Tourism Sebagai Sport
Event Experience
Partisipan olahraga melekatkan berbagai macam makna pada events yang
telah dipilih untuk dihadiri, begitu juga dengan komunitas yang mengadakan event
tersebut, yang dimana dapat mempengaruhi keputusan partisipan untuk

26

Universitas Kristen Petra


berpartisipasi (McGehee et al, 2003). Pada saat individu melekatkan makna pada
suatu hal, individu tersebut menyediakan evaluasi tentang pikiran dan perasaan
yang dimiliki terhadap entitas tersebut (Eagly & Chaiken, 1993). Proses melekatkan
makna pada suatu hal khususnya dapat dijelaskan dengan teori atribusi. Teori
atribusi menjelaskan bagaimana satu individu penerima menggunakan informasi
untuk dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kejadian. Proses ini melihat
informasi apa yang dikumpulkan dan bagaimana menggabungkannya sehingga
dapat membentuk sebuah penilaian yang kausal (Fiske & Taylor, 1991). Pemberian
makna (meaning) peserta terhadap sebuah sport event atau destination dapat
mempengaruhi kemungkinan peserta untuk kembali lagi (Bigne, Sanchez & Sanjez,
2001).
Mengacu pada hasil penelitian Kaplanidou dan Vogt (2010), ditemukan
terdapat 5 aspek dalam pemberian makna (meaning) pada sport event experience
dalam sebuah sport tourism event. Kelima aspek ini merupakan hasil dari focus
group discussion yang dilakukan kepada peserta sebuah sport tourism event yaitu
cycling atau bersepeda. Peserta focus group discussion diminta untuk
mengungkapkan pendapat, perasaan dan pandangan (persepsi) yang dimiliki
terhadap event tersebut. Persepsi yang dimiliki para peserta merupakan makna
(meaning) yang para peserta miliki untuk sport tourism event tersebut. Adapun
kelima aspek tersebut adalah:
1. Aspek Organisasi (Organizational Aspects): meliputi rute lomba yang
aman, transportasi yang terorganisir, kenyamanan, biaya pendaftaran yang
mahal atau terjangkau, pelayanan yang baik.
2. Aspek Lingkungan (Enviromental Aspects): meliputi pemandangan yang
indah, tempat yang baru.
3. Aspek Fisik (Physical Activity Aspects): meliputi kesehatan, stamina,
kondisi fisik yang baik, training.
4. Aspek Sosial (Social Aspects): meliputi sosialisasi, bertemu dengan orang
lain, liburan dengan keluarga dan teman.
5. Aspek Emosional (Emotional Aspects): meliputi rasa senang, relaxing,
exciting, accomplishment, challenge.

27

Universitas Kristen Petra


2.5.4.1 Pengukuran Makna (meaning) pada Sport Event Experience dalam
Sport Tourism Event
Kaplanidou dan Vogt (2010) telah mengembangkan sebuah skala
pengukuran yaitu sport event experience. Tujuan dibuatnya skala ini adalah untuk
mengetahui apakah makna (meaning) yang diberikan para peserta terhadap sport
tourism event. Dalam penelitian ini pengukuran makna yang ingin dicapai adalah
dengan menggunakan pendekatan pada aspek afektif. Oleh karena itu skala sport
event evaluation ini akan menggunakan teknik semantik diferensial. Skala ini
terdiri dari 11 items dengan menggunakan dua kata sifat yang berlawanan. Skala
semantik diferensial ini memiliki dua tujuan yaitu yang pertama adalah “untuk
mengukur secara objektif sifat – sifat semantik dari kata atau konsep dalam ruang
semantik tiga dimensional. Tujuan kedua adalah sebagai skala sikap yang
memusatkan perhatian pada aspek afektif atau dimensi evaluatif” (Issac dan
Michael, 1984, p.144-145). Adapun items tersebut adalah: safe; unsafe, healthy;
unhealthy, supporting; unsupportive, organized; disorganized, dirty; clean, sad;
happy, not fulfilling; fulfilling, not stimulating; stimulating, ugly; beautiful.
Pengukuran makna (meaning) pada dasarnya dapat dilakukan dalam 3 tahap yaitu,
fase pre-trip, pada saat event, dan fase post-trip. Pada penelitian ini, pengukuran
akan dilakukan langsung di tempat event diadakan. Dikarenakan pengalaman yang
dialami masih baru dan langsung, maka diharapkan ingatan yang dimiliki dapat
menjadi lebih jelas dan akurat dari pada dua fase lainnya (MacKay & McVetty,
2002).

2.6 Motivation of Marathon Scale (MOMS)


2.6.1 Pengertian MOMS
Mengikuti lomba maraton menurut Masters, Ogles & Jolton (1993) tidak
hanya berarti datang di garis perlombaan pada waktu yang ditentukan dan ikut
berlomba hingga garis finis. Namun mengikuti maraton merupakan hasil kerja
keras dan persiapan selama berbulan – bulan bahkan tahunan untuk sebagian pelari.
Adanya fenomena ini menyimpulkan bahwa mengikuti lomba lari butuh
determinasi dan motivasi yang kuat. Sedangkan belum ada alat pengukuran yang
dapat secara langsung mengukur alasan peserta untuk mengikuti lomba maraton.

28

Universitas Kristen Petra


Oleh karena itu, munculah Motivation of Marathon Scale (MOMS) yang bertujuan
untuk mengukur motivasi para pelari maraton saat latihan atau persiapan dan
hingga pada saat mengikuti lomba. Skala ini dibagi menjadi 4 dimensi motivasi dan
9 faktor yang menjadi sumber motivasi peserta:
1. Motivasi Psikologi (Pyschological Motives)
a. menjaga atau meningkatkan rasa kepercayaan diri (Self-Esteem)
b. memberikan arti hidup (Life Meaning)
c. penyelesaian masalah atau mengatasi emosi negatif
(Psychological Coping)
2. Motivasi Sosial (Social Motives)
a. keinginan untuk dikaitkan dengan pelari yang lain (Affiliation)
b. untuk mendapat pengakuan dari orang lain (Recognition)
3. Motivasi Kesehatan Fisik (Physical Health Motives)
a. berorientasi pada kesehatan secara umum (General Health
Orientation)
b. mempunyai perhatian khusus terhadap berat badan (Weight Concern)
4. Motivasi Pencapaian (Achievements Motives)
a. mempunyai kompetisi dengan pelari lainnya (Competition)
b. pencapaian tujuan pribadi (Personal Goal Achievement)
Skala pengukuran oleh Masters et al (1993) ini sudah terbukti dapat
mengidentifikasi motivasi yang dimiliki oleh para pelari dalam mengikuti maraton.
Namun skala tersebut hanya untuk mengidentifikasi motif dari pelari dan tidak
didasari oleh teori apapun. Zach et al (2015) melihat bahwa pada masa sekarang ini
demografi dan motivasi pelari sudah banyak berubah. Terlebih lagi didukung
dengan kemajuan teknologi yang dapat mempengaruhi motivasi sesorang. Oleh
karena itu, dibuatlah model terbaru dari MOMS yang didasarkan dengan self-
determination theory. Model baru dari MOMS ini secara garis besar masih sama
dengan yang dirumuskan oleh Masters et al. (1993), namun terdapat penambahan
kepada 2 faktor. MOMS yang awalnya hanya mempunyai 9 faktor sekarang telah
ditambahkan menjadi 11 faktor. Penambahan tersebut berada pada faktor
psychological coping (PC) yang awalnya hanya 1 faktor menjadi 2. Dimana PC 1
adalah untuk emotional related coping atau motivasi yang berhubungan cangkupan

29

Universitas Kristen Petra


emosional, dan PC 2 lebih mengkaji tentang manajemen untuk kehidupan sehari –
hari seseorang atau everyday life management. Penambahan berikutnya ada pada
faktor general health orientation (GHO) yang dipisah menjadi 2 faktor. Dimana
GHO 1 mencangkup reduction in disease prevalence atau tindakan untuk mencegah
penyakit dan GHO 2 tentang keeping fit & longevity atau menjaga kebugaran tubuh
dan menginginkan hidup yang panjang. Pada skala MOMS juga terdapat
pertanyaan seputar demografi, kebiasaan, serta pencapaian yang dimiliki oleh para
pelari tersebut (Zach et al., 2015).
Terkait dengan desain kuesioner, skala MOMS ini merupakan adopsi
langsung dari skala pengukuran asli yang digunakan oleh Zach et al. (2010). Teks
kuesioner asli akan dilampirkan pada Lampiran 1. Akan tetapi skala tersebut
berbahasa Ibrani. Penulis telah melakukan korespondensi dengan penulis terkait
dengan kuesioner asli. Namun untuk penerjemahan kedalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris, penulis lakukan dengan bantuan aplikasi online.

2.7 Hubungan Antar Konsep


Sebelumnya penulis telah memaparkan sejarah munculnya sport tourism
hingga perkembangannya selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Sport tourism
yang pada awal kemunculan hanya merupakan bagian kecil namun saat ini
merupakan salah satu sektor dalam industri pariwisata yang berkontribusi besar.
Adanya peningkatan minat yang besar tersebut menimbulkan rasa ingin tahu
penulis tentang apakah motivasi para peserta dalam berpartisipasi dalam sporting
events, khususnya lomba lari maraton. Penulis telah memaparkan teori – teori
menunjang tentang motivasi dan memilih Self-Determination Theory (SDT)
menjadi teori yang mendasari penelitian ini. Pemilihan teori ini sejalan dengan
skala pengukuran yang digunakan yaitu Motivation of Marathon Scale (MOMS).
Dimana atribut pengukurannya juga berdasarkan teori SDT. Selain motivasi, yang
ingin diketahui oleh penulis adalah persepsi terhadap makna (meaning) yang
dimiliki oleh peserta terhadap event. Persepsi nantinya akan diukur menggunakan
sport event evaluation scale, sebuah skala yang diadopsi dari penelitian Kaplanidou
dan Vogt (2010).

30

Universitas Kristen Petra


2.7.1 Pengaruh Kewarganegaraan (Nationality) Terhadap Motivasi
Berpartisipasi dalam Event
Setelah mengetahui motivasi dan persepsi dari para pelari, selanjutnya
adalah mengetahui apakah terdapat perbedaan motivasi dan persepsi diantara
peserta domestik dan asing. Mengacu pada kajian literatur terdahulu, dapat dilihat
bahwa motivasi dan persepsi pengunjung dapat berbeda berdasarkan
kewarganegaraan masing – masing pengunjung. Seperti penelitian yang dikaji oleh
Lee (2000) pada Kyungju World Cultural Expo yang dihadiri oleh peserta Asia
(Korea dan Jepang) dan Kaukasia (Amerika dan Eropa). Beliau ingin melihat
perbedaan antara pengunjung asing dan domestik, serta perbedaan antara
pengunjung Asia dan Kaukasia. Dalam penelitiannya Lee (2000) merumuskan 7
dimensi motivasi yang digunakan untuk mengelompokkan 32 butir pertanyaannya.
Dimensi tersebut adalah 1) family togetherness, 2) novelty, 3) cultural exploration,
4) event attractiveness, 5) external group socialization, 6) known group
socialization dan 7) escapism. Hasil menunjukan bahwa secara keseluruhan nilai
rata – rata nilai dari dimensi motivasi yang dimiliki oleh pengunjung asing lebih
tinggi daripada pengunjung domestik. Berarti bahwa pengunjung asing memiliki
motivasi yang rata – rata lebih tinggi untuk dipuaskan dalam menghadiri festival
atau event. Dimensi motivasi event attractions dan cultural exploration merupakan
dua faktor yang memiliki poin tinggi, mengindikasikan bahwa dua hal ini
memberikan motivasi yang tinggi. Sedangkan family togetherness merupakan
dimensi yang paling rendah untuk pengunjung asing dan domestik, yang berarti
faktor ini mempunyai dampak yang paling sedikit terhadap motivasi pengujung.
Hasil terakhir yang ditemukan oleh Lee adalah bahwa motivasi terbesar pengunjung
domestik adalah external group socialization. Lalu untuk pengunjung asing,
dimensi motivasi terbesar adalah escapism.
Masih dari Lee (2000), diketahui bahwa diantara pengunjung Korea dan
Jepang hanya ditemukan 2 dimensi motivasi yang berbeda, yaitu pada dimensi
escape dan socialization. Sedangkan pengunjung dari negara Amerika dan Eropa
tidak ditemukan perbedaan motivasi pada pada 7 faktor yang ada. Lalu apabila
dilihat antara Asia dan Kaukasia, terdapat 3 perbedaan faktor motivasi yang
signifikan yaitu pada dimensi cultural exploration, novelty dan event attraction.

31

Universitas Kristen Petra


Secara keseluruhan, pengunjung berkewarganegaraan Korea dan Jepang tidak
memiliki perbedaan motivasi yang signifikan terhadap satu sama lain, begitu juga
antara pengunjung berkewarganegaraan Amerika dan Eropa.
Satu lagi penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perbedaan motivasi
berdasarkan kewarganegaraan dikaji oleh Park, Reisinger & Park (2008). Penelitian
ini dilakukan pada South Beach Wine & Food Festival di Florida, Amerika Serikat.
Pada event ini, pengunjung berasal dari Amerika, Kanada, Amerika Selatan, Eropa
dan Asia. Park et. al (2008) merumuskan 7 dimensi motivasi yaitu 1) taste, 2) social
status, 3) change, 4) meeting people, 5) meeting experties, 6) enjoyment dan 7)
family. Hasil menunjukkan bahwa dimensi family bagi pengunjung dari Amerika
Selatan, Eropa dan Asia adalah penting secara signifikan. Dimana bagi pengunjung
dari Amerika dan Kanada, dimensi ini lebih rendah secara signifikan. Menurut
pengunjung dari Amerika Selatan, Eropa dan Asia, yang menjadi motivasi untuk
datang ke festival ini karena melihat adanya kesempatan untuk menghabiskan
waktu dan menikmati festival bersama dengan keluarga.
Pada obyek penelitian ini, sport tourism event Borobudur Marathon juga
merupakan event yang akan dihadiri oleh sangat banyak peserta asing. Mengacu
pada hasil penelitian Lee (2000) dan Park et al. (2008) dapat diasumsikan bahwa
akan terdapat berbedaan motivasi dan perspesi dari peserta asing dan domestik
dalam mengikuti event Borobudur Marathon. Maka berdasarkan rumusan masalah
pada bab 1, penulis dapat merumuskan hipotesis bahwa:
a. H1o: Tidak ada perbedaan persepsi yang signifikan pada peserta
domestik dan asing dalam mengikuti sport tourism event Borobudur
Marathon 2017
b. H1a: Ada perbedaan persepsi yang signifikan pada peserta domestik dan
asing dalam mengikuti sport tourism event Borobudur Marathon 2017.
c. H2o: Tidak ada dimensi motivasi signifikan yang mempengaruhi
motivasi peserta domestik dan asing dalam mengikuti sport tourism
event Borobudur Marathon 2017
d. H2a: Ada dimensi motivasi signifikan yang mempengaruhi motivasi
peserta domestik dan asing dalam mengikuti sport tourism event
Borobudur Marathon 2017

32

Universitas Kristen Petra


Adapun rumusan masalah terkait dengan faktor – faktor motivasi dan
persepsi dari peserta adalah bersifat deskriptif, sehingga hasil yang diperoleh
nantinya hanya akan dapat diketahui setelah sport tourism event ini berlangsung

2.8 Kerangka Pemikiran


Penulis berasumsi bahwa untuk berpartisipasi dalam sport tourism event, harus
ada motivasi dan persepsi yang muncul pada peserta untuk dapat menghadiri event
tersebut. Setelah memapaparkan motivasi dan persepsi, pada penelitian ini penulis
juga ingin melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara peserta domestik
dengan peserta asing.

Perkembangan sport
tourism event di
Indonesia

Borobudur Marathon
sebagai salah satu
Hallmark Event di
Indonesia

Motivasi (SDT Theory) Persepsi


menggunakan skala Motivation of Marathon menggunakan skala sport
Scale (MOMS) event evaluation scale
Sumber: Masters And Ogles (1993) dan Zach et Sumber: Kaplanidou and
al. (2015) Vogt (2010)

Peserta sport tourism Peserta sport tourism Peserta sport tourism Peserta sport tourism
event Domestik event Asing event Domestik event Asing

Ditemukan / tidak ditemukan perbedaan signifikan pada peserta asing

Ditemukan / tidak ditemukan perbedaan signifikan pada peserta domestik

Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran

33

Universitas Kristen Petra


34

Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai