Anda di halaman 1dari 3

NAMA : DESI AGUSTINA

KELAS : TK2B

NIM: PO7120320047

MATA KULIAH : PENNDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

DOSEN PEMBIMBING : ZURAIDAH , S,SKM,MKM

1. KASUS : Penandatanganan PerjanjianMLA antara Indonesia dan Swiss

Penandatanganan PerjanjianMLA antara Indonesia dan Swiss sebagai BentukPerjanjian


InternasionalUndang-Undang (UU) No. 1 Tahun2006 tentang Bantuan Timbal Balikdalam
Masalah Pidana merupakandasar hukum dan pedoman bagiIndonesia dalam meminta
dan/atau memberikan bantuan timbalbalik dalam masalah pidana dengannegara asing.
Bantuan timbal balikdalam masalah pidana merupakanpermintaan bantuan berkenaan
dengan penyidikan, penuntutan,dan pemeriksaan di sidangpengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undanganNegara Diminta (Pasal 3 ayat (1) UUNo. 1 Tahun
2006). Frase "timbalbalik" mengindikasikan bahwabantuan hukum tersebut diberikan
dengan harapan bahwa akan adatimbal balik bantuan dalam suatu

kondisi tertentu, meskipun tidakselalu timbal-balik tersebut menjadiprasyarat untuk


pemberian bantuan(cifor.org, 1 Maret 2019).Penandatanganan PerjanjianMLA merupakan
salah satu caraPemerintah RI mengikatkan diripada perjanjian internasional,sebagaimana
diatur dalam Pasal3 UU No. 24 Tahun 2000 tentangPerjanjian Internasional (UUNo. 24
Tahun 2000). PerjanjianInternasional adalah perjanjian,dalam bentuk dan nama
tertentu,yang diatur dalam hukuminternasional yang dibuat secaratertulis serta
menimbulkan hak dankewajiban di bidang hukum publik(Pasal 1 angka 1 UU No. 24
Tahun2000).Perjanjian MLA antaraIndonesia dan Swiss adalah kerjasama yang ke-10
Pemerintah RIdengan negara lain. Sebelumnyasudah ditandatangani PerjanjianMLA dengan
Asean, Australia,Hong Kong, RRT, Korsel, India,Vietnam, UEA, dan Iran (SuaraPembaruan, 7
Februari 2018).Penandatanganan Perjanjian MLAdengan luar negeri memilikiperan strategis
dalam mendukungpemberantasan tindak pidana korupsi,terutama dalam mempersempit
ruanggerak para pelaku yang “gemar”menyembunyikan asetnya di
luarnegeri.Penandatanganan PerjanjianMLA antara Indonesia dan Swissmerupakan capaian
kerja samabantuan timbal balik dalammasalah pidana yang luar biasa,dan menjadi sejarah
keberhasilandiplomasi yang sangat penting,mengingat Swiss merupakanfinancial center
terbesar di Eropa.Swiss sudah lama dikenal sebagai negara yang sistem kerahasiaan

perbankannya sangat ketat.Dalam perundang-undangan,kebutuhan akan penandatanganan


perjanjian MLA dalam upayapemberantasan kejahatan transnasionalterorganisasi, salah
satunyadiwujudkan dalam UU No. 8Tahun 2010 tentang Pencegahandan Pemberantasan
Tindak PidanaPencucian Uang sebagai penggantiUU No. 15 Tahun 2002 tentangTindak
Pidana Pencucian Uang.Sementara UU No. 31 Tahun 1999tentang Pemberantasan
TindakPidana Korupsi sebagaimana telahdiubah dengan UU No. 20 Tahun2001 tentang
Perubahan atas UUNo. 31 Tahun 1999 tidak memuatketentuan kerja sama
internasional,tetapi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana
Korupsimemungkinkan KPK melakukankerja sama internasional.Kerja sama internasional
olehaparat penegak hukum penanganankasus korupsi diamanatkan dalamKonvensi PBB
Melawan Korupsi,yaitu United Nations on ConventionAgainsts Corruption (UNCAC)dan
United Nations on Conventionagainst Transnational OrganizedCrime (UNTOC). Pasal 43
ayat(1) UNCAC menegaskan, negarapenanda tangan harus bekerja samasecara internasional
dalam masalah pidana. Negara pihak harusmempertimbangkan untuk salingmembantu
dalam proses yang berkaitan dengan korupsi.Dalam pembuatan perjanjianinternasional,
Pemerintah R Iberpedoman pada kepentingannasional dan berdasarkan prinsipprinsip, salah
satunya prinsi psaling menguntungkan (Pasal 4ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000).

2. DIMANA KASUSNYA : DI SWISS

3. BAGAIMANA CARA KERJA SAMA INTERNASIONALNYA?

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dapatmerugikan keuangan negara dan
dianggap sebagai pelanggaran hakhak sosial dan ekonomi masyarakatsecara luas, sehingga
dapatdigolongkan sebagai kejahatan yangpemberantasannya harus dilakukansecara luar
biasa. Tindak pidanakorupsi berkembang menjadikejahatan transnasional yangmenimbulkan
masalah yurisdiksi,artinya dapat terjadi melampauibatas negara, sehingga
menjadipermasalahan internasional. Tidaksedikit aset negara yang dikorupsiyang kemudian
dilarikan dandisembunyikan di luar negeri.Selama ini penegak hukummerasa telah
menjalankan tugasnyasaat koruptor dipidana penjara,meskipun tanpa merampas asethasil
korupsi. Berdasarkan dataIndonesia Corruption Watch (ICW)terkait penanganan korupsi

sepanjang 2018, dari 454 kasuskorupsi, hanya tujuh kasus yangmenerapkan Tindak
PidanaPencucian Uang (TPPU), yaknienam kasus TPPU ditanganiKPK, dan satu kasus
ditanganiKejaksaan, sementara Kepolisiantidak menerapkan TPPU (SuaraPembaruan, 15
Februari 2019).Akibat tidak menerapkanTPPU dan pencucian uang,kerugian negara yang
dapatdiselamatkan atau dikembalikankepada negara masih minim. Totalkerugian negara
sepanjang 2017mencapai Rp29,4 triliun. Namun,dari jumlah itu hanya Rp1,5 triliunyang
berhasil diselamatkan ataudikembalikan ke negara atau hanya5% dari total kerugian
negara(Suara Pembaruan, 15 Februari2019).
Dengan penandatangananPerjanjian MLA antara Indonesiadan Swiss, Kejaksaan
sebagaieksekutor harus mengejar hasilkorupsi yang disimpan oleh pelakudi Swiss. Kepala
Bidang PemulihanAset Transnasional KejaksaanAgung Yusfifli Adhyaksana mengatakan
salah satu kuncipengembalian aset di Swiss adalahpembuktian unsur pidana dipengadilan
Swiss. Yusfifli mengakuiperjanjian MLA membuat upayaIndonesia mengembalikan asetdi
Swiss menjadi lebih terfokus(nasional.tempo.co, 28 Februari2019).Direktur Otoritas
Pusatdan Hukum InternasionalKemenkumham, Cahyo RahadianMuzhar menilai,
kesepakatanini merupakan terobosan positifpenegakan hukum di Indonesiaserta kerja sama
antarkedua negara.Ketua Juru Runding Indonesia itumengatakan perjanjian ini menjadi
peringatan bagi para koruptoruntuk tidak mengalirkan danayang diduga hasil kejahatan ke

Swiss. Dengan perjanjian ini, adasolusi terhadap masalah yurisdiksidalam penegakan


hukum, yangmemudahkan aparat penegakhukum Indonesia dalam mengaksesinformasi
tentang pelarian aset hasilkejahatan ke Swiss (hukumonline.com, 1 Maret 2019).Perjanjian
MLA dapatdigunakan untuk proses hukumpenyidikan, penuntutan, sampaieksekusi putusan
yang berkekuatanhukum tetap. Dalam PerjanjianMLA disebutkan Indonesiadapat meminta
bantuan Swissuntuk melakukan upaya paksaterhadap pelaku kejahatan
sepertipenggeledahan, pemblokiranrekening, atau membuka rekeningbank terduga, dan
upaya nonpaksalainnya, dapat meminta datadaftar perusahaan yang didugaterkait dengan
pencucian uang(hukumonline.com, 1 Maret 2019).Hal itu sesuai dengan dasar
hukumPerjanjian MLA, yaitu Article 18UNTOC.Namun, perjanjian MLAantara Indonesia dan
Swissmemerlukan pengesahan terlebihdahulu, yang dilakukan denganUU, sebagaimana
disebutkandalam Pasal 10 UU No. 24Tahun 2000. Oleh karena itu,penandatanganan
Perjanjian MLAantara Indonesia dan Swiss perluditindaklanjuti dengan
mendapatpersetujuan atau diratifikasioleh DPR RI melalui UU. Tanpapersetujuan DPR
RI,perjanjianyang telah ditandatangani tidakakan efektif, bahkan tidak berlaku.Selain
itu,penegak hukum harusditingkatkan kapasitasnya, seperti peningkatan pengetahuan
mengenaiperbankan dan kemampuanberbahasa Inggris, agar tidakmenemui kendala dalam
upaya pengungkapan kasus korupsisampai pada pengembalian aset.

4. Siapa pelaku dikasus tersebut ?

Yusfifli mengakuiperjanjian MLA membuat upayaIndonesia mengembalikan asetdi


Swiss menjadi lebih terfokus(nasional.tempo.co, 28 Februari2019).Direktur Otoritas
Pusatdan Hukum InternasionalKemenkumham, Cahyo RahadianMuzhar menilai,
Cahyo RahadianMuzhar menilai, kesepakatanini merupakan terobosan
positifpenegakan hukum di Indonesiaserta kerja sama antarkedua negara.Ketua Juru
Runding Indonesia itumengatakan perjanjian ini menjadi peringatan bagi para
koruptoruntuk tidak mengalirkan danayang diduga hasil kejahatan ke
Swiss

Anda mungkin juga menyukai